- d r e a m -
Catatan dari Author sebelum membaca:
Sakuraba Twins (OCsona) di sini berbeda dengan Sakuraba Siblings (OC). Terima kasih banyak atas perhatiannya, selamat membaca.
⚠️Trigger warning:
• Kata kasar
• Bullying
• Self-insert
• May be OOC
Please, read at your own risk.
Malam itu cukup melelahkan bagi seorang gadis yang baru saja lembur menyelesaikan tugas. Dia meregangkan diri sejenak, sebelum meneguk hingga tetes terakhir minuman yang menemaninya begadang dan meletakkan cangkir kosong tersebut di wastafel. Kakinya melangkah menuju tempatnya biasa mengistirahatkan seluruh badan, kasur empuk kesayangannya. Matanya perlahan memejam. Kemudian terlelap dalam pelukan rasa penat ditambah kehangatan dari selimut bermotif langit malam kesayangannya.
Sebuah lagu diputar berulang, seolah sengaja hendak membangunkan siapa pun yang dengar. Satu-satunya penghuni ruangan bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke meja belajar tempatnya biasa menaruh ponsel. Masih setengah tidur, gadis itu mengusap kedua matanya pelan sebelum berniat kembali merebahkan diri.
Namun, ketika tanpa sengaja menatap cermin di sebelah kasur, kedua mata gadis itu seketika membelalak. Jantungnya berpacu cepat dan rasa kantuknya seolah hilang begitu saja. Diikuti perasaan seperti seluruh tulang yang menopang tubuh bagian bawahnya lenyap tak bersisa.
Tampak di sana, bayangan seorang gadis berambut merah muda dan warna mata senada terduduk di lantai dengan wajah pucat menunjuk cermin.
Gadis itu berusaha menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri, hanya untuk mendapati bayangan di cermin melakukan hal serupa.
“Ha, hahaha …. HAHAHAHAHA, SERIUS?!”
Seperti kehilangan akal, gadis itu bangkit dan memeriksa keadaan fisiknya sekali lagi. Terkesiap, dia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tampilan ruangan yang dia lihat sebelum menutup mata, lenyap entah ke mana. Digantikan dengan hiasan manis bak kamar remaja perempuan yang biasa terlihat di anime-anime yang dia tonton kala senggang.
Namun, anehnya dia merasa familier dengan semua hal di ruangan tersebut. Perabot serta dekorasi yang ada, terasa seperti benar miliknya. Meski dia sendiri tidak tahu sejak kapan warna rambut atau pakaian atau ruang tidurnya berganti. Pun tak menyangkal bahwa apa yang terlihat sebelum dan sesudah dia tidur berbeda.
“Tunggu.”
Seolah diburu waktu, gadis itu melangkah lebar ke jendela kamar dan membuka penghalang antara dirinya dan lingkungan luar tersebut.
Alam seakan unjuk gigi menampilkan mentari yang masih malu-malu memamerkan sinarnya. Para burung mengadakan konser gratis di atap rumah tetangga. Rerumputan hijau yang masih basah di halaman bawah bergemerisik nyaring seolah menyapa, begitu disenggol angin atau ditimpa sesuatu.
Namun sayang, sang gadis tak bisa menikmati keindahan itu sepenuhnya. Dadanya lebih terasa sesak akibat kebingungan yang melanda diri.
“Apa mungkin aku bermimpi?” Gadis itu bergumam pada dirinya sendiri setelah berjongkok dan bersandar pada dinding tepat di bawah jendela.
Tangannya menarik pipi. Terasa empuk, tetapi tidak perih. Hanya terasa pegal sedikit. Selanjutnya menampar betis, tetapi hanya merasakan panas. Tidak ada rasa takut luka atau khawatir sedikit pun saat gadis itu melakukan semua hal yang mungkin membahayakan dirinya sendiri.
“Namaku? Siapa namaku?” Lagi, dia bergumam sendiri. Berusaha mengorek informasi dari memori penyimpanan di otaknya yang sedang lemot.
“Hanaru? Aku tak ingat nama asliku, tetapi aku ingat di sini dipanggil Hanaru. Hanaru? Sakuraba Hanaru, anak yang kubuat karena aku tidak bisa tampil begitu di dunia nyata? Apa maksudnya OC? Apa itu dunia sana? Dunia nyata? Ah.”
Hanaru menjeda perkataannya beberapa saat ketika menyadari apa yang sebenarnya terjadi. “Aku sekarang bermimpi dan aku sadar. Sial, biasanya yang begini hanya akan meninggalkan kesan buruk di memoriku.” Gadis itu menggerutu.
“Karena aku tidak bisa mengingat nama asliku, mari panggil saja diriku sendiri Hanaru. Nah, Hanaru, sekarang apa? Bagaimana setting mimpiku kali ini, huh?”
Hanaru memutuskan untuk berkeliling kamar. Namun, ponselnya—yang dia tahu milik dirinya di dalam mimpi ini—kembali berdering. Seolah mengingatkan pemiliknya akan sesuatu yang penting.
Hanaru mengambil benda persegi panjang tersebut dan mendelik, berusaha membaca apa pun informasi yang tertulis di layar benda canggih itu.
“Meh, tidak ada informasi berguna. Hanya tanggal, hari, dan tulisan berangkat ke sekolah saja yang aku bahkan tidak tahu kapan dan dari mana harus berangkat,” oceh gadis itu seraya kembali mematikan satu-satunya benda yang dia pikir bisa menjadi sumber petunjuk utama tentang alur cerita mimpi kali ini.
“Hanaru, sarapan!”
Sebelah alis gadis yang dipanggil namanya, terangkat tinggi. Sayup-sayup dari luar pintu kamar barusan, terdengar suara yang cukup akrab di telinganya—telinga Hanaru—yang kemungkinan besar merupakan ibu dari Hanaru. “Hmm, kelihatannya setting anak SMA? Okei, akan aku ikuti saja progress ceritanya.”
“Okeee!” Gadis tersebut menjawab singkat sebelum buru-buru mengganti pakaian dan bersiap untuk sekolah, seakan ini bukan pertama kalinya dia melakukan rutinitas Hanaru—secara teknis, dia saat ini Hanaru, tetapi dia juga sadar kalau ini hanyalah mimpi dan Hanaru bukanlah sosok dirinya yang sebenarnya.
“Hanaru, sudah turun? Ayo makan dulu,” ajak seorang wanita berambut keriting dengan panjang tidak melebihi telinga yang sedang mencuci peralatan memasak.
Hanaru benar-benar tak ingat memiliki orang tua berpenampilan seperti itu, meski tubuhnya mengatakan yang sebaliknya, perasaan tidak tenang yang menguasai pikiran gadis itu sejak bangun tidur tadi perlahan menghilang. Senyum mengembang natural di mulutnya saat melihat sarapan yang tersaji di atas meja makan.
Aku pikir, karena aku tersadar menjadi Hanaru, aku akan dapat melihat Hanae juga, tapi kurasa tidak? batin gadis itu sembari mengingat tentang tokoh ciptaannya—atau biasa dia panggil anak—yang merupakan kembaran dari Hanaru. Sepertinya mereka berpisah rumah. Orang tua Hanaru cerai?
Hanaru makan tanpa menimbulkan suara yang tidak perlu sambil mengamati sosok ‘ibunya’ yang sedang mencuci peralatan memasak. Perlahan-lahan, ingatan mengenai latar belakang tokoh Hanaru yang tubuhnya dia gunakan saat ini seolah muncul begitu saja di kepalanya.
Hanaru adalah seorang gadis SMA dengan latar belakang keluarga broken home. Gadis itu ikut ibunya, sementara Hanae mengikuti ayah mereka. Dua kakak beradik itu awalnya masih bersekolah di sekolah yang sama. Namun, saat SMA, Hanaru masuk SMA umum, sementara Hanae dimasukkan ke akademi khusus. “Atau semacamnya lah,” gumam gadis itu kesal sendiri dengan latar belakang tokoh yang menurutnya rumit.
Setelah mengucapkan terima kasih, Hanaru pamit ke sekolah. Tas sudah ditentengnya bersamaan dengan ponsel di tangannya yang satu lagi, sedang berusaha mencari informasi tambahan mengenai sosok yang tubuhnya dia gunakan sekarang.
“Hmm, oke. Jadi, kalau aku lewat jalan biasa, persentase bertemu Hanae tinggi? Oke, skip. Aku mau bertemu Hanae, tetapi itu akan merepotkan karena aku bukan Hanaru dan aku yakin Hanae yang peka akan cepat menyadarinya. Dan apa pula dengan latar belakang keluarga broken home itu? Ayolah, kedua orang tuaku masih bersama di dunia nyata. Jangan membuatku mencoba bertingkah dengan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.”
Hanaru mengoceh terus-menerus sambil memusatkan fokus pada ponsel. Dia tidak memperhatikan jalan karena yakin bahwa tubuhnya sudah familier dengan jalanan menuju sekolahnya sendiri.
“Oke, yang tersisa sekarang hanya perlu mengikuti apapun yang akan terjadi nanti dan berharap aku bisa cepat bangun dari mimpi absurd nan detail ini?” Gadis itu bergidik ngeri. “Mimpi-mimpi seperti ini terkadang membuatku merasa mereka benar-benar menyeramkan dengan cara mereka sendi—”
Monolognya terpotong sebab dirinya terjatuh setelah menabrak seseorang yang datang dari arah seberang. Hanaru dapat melihat ponsel ber-casing merah tergeletak di dekat kaki pemuda di hadapannya. Saat ini mereka berada di tengah-tengah jalan yang membentuk huruf T. Mungkin mereka bertabrakan karena timing berbelok mereka berbarengan. Sepertinya arah tujuan mereka sama dan keduanya tidak melihat jalanan dengan benar tadi.
“Oi, kau ini tidak punya mata atau apa? Lihat ke mana arah jalanmu, sialan!” teriak pemuda berambut merah kecokelatan yang kini mulai bangkit dan membersihkan debu di pakaiannya. Dia tampak memakai seragam dengan pola yang sama dengan seragam yang dikenakan Hanaru, maka gadis itu menyimpulkan kalau tebakan bahwa tujuan mereka sama adalah benar.
“Ah, maa—”
“Ah, sial. Seragamku jadi kotor, padahal aku baru pertama kali memakainya. Oi! Gara-gara kau aku jadi begini! Cepat minta maaf!”
Hanaru refleks menutup mulutnya akibat terkejut.
“Inilah kenapa negara ini tidak pernah maju. Masih banyak orang-orang tidak tahu sopan santun berkeliaran di mana-mana,” gumam pemuda itu dengan wajah kusut.
Gadis berkucir dua yang sejak tadi diteriaki di sana menarik salah satu ujung bibirnya paksa sebelum ikut bangkit secara mandiri dan mengambil ponsel miliknya. Kata maaf yang tadinya hendak dia lontarkan kembali dia pendam bersamaan dengan emosinya yang tersulut akibat kata-kata kasar pemuda asing di depannya.
Hanaru menarik napas singkat sebelum melontarkan balasan, “Heeeh, aku pikir kau juga tidak melihat jalan tadi. Jadi kurasa, kita sama-sama salah dalam kasus ini.” Gadis itu menunjuk ponsel ber-casing merah yang saat ini sudah berada dalam genggaman si pemuda asing.
Pemuda di hadapannya mendecak dan berteriak, “Berisik, sekalinya salah tetap salah dan kau belum meminta maaf kepadaku!”
Hanaru semakin menghias wajahnya dengan senyum meremehkan. Ah, sepertinya aku akan sedikit mengotori image Hanaru, tapi ya sudahlah. Ini mimpiku dan aku kesal sekarang.
“Tapi bukankah kau sendiri juga salah? Bermain ponsel sampai tidak melihatku berjalan ke arahmu tadi. Kalau kau tidak bermain ponsel dan melihatku, lalu kenapa kita berdua bisa saling menabrak? Mana permintaan maafmu? Aku juga belum mendengarnya.”
“Aku tidak bersalah! Kau yang menabrakku lebih dulu!”
“Kalau kau tidak terlalu fokus pada ponselmu tadi, aku yakin kau bisa memperingatkanku atau menyingkir supaya kita berdua tidak bertabrakan.”
“Tapi kau yang menabrakku lebih dulu!”
“Ya, tetapi kau juga bersalah dalam kasus ini dan aku juga menuntut permintaan maaf darimu.”
Pemuda itu tidak lanjut membalas, hanya merespon dengan geraman seolah dapat menerkam Hanaru saat itu juga.
“Kenapa diam? Karena aku benar?”
Kapan lagi aku bisa seberani dan sebebas ini selain di mimpi? pikir gadis itu seraya mengeluarkan kikikan serta cengiran.
“Jadi, mana permintaan maafku?” Gadis itu kini sedikit menelengkan kepala, sengaja membuat kucir dua rambutnya bergoyang-goyang berusaha memprovokasi pemuda asing di depannya.
“Ah! Baiklah, baiklah, aku salah!”
Senyum kemenangan semakin mengembang di wajah Hanaru yang mulai tertawa jahat.
“Oi! Aku sudah. Sekarang giliranmu minta maaf! Bukankah itu hal mendasar? Di mana sopan santunmu, hah?”
Hanaru tersentak dan menghentikan tawanya. “Tidak usah galak begitu, astaga. Baiklah, aku juga minta—”
Ponsel Hanaru kembali mengeluarkan lagu yang sama dengan dering alarm pagi tadi. Gadis itu melirik layar dan memasang ekspresi terkejut. Tanpa aba-aba, kakinya refleks melangkah lebar menuju arah sekolah sesuai ingatan yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
“Oi! Mau ke mana kau?”
Hanaru sejenak melupakan eksistensi pemuda yang sejak tadi berteriak marah kepadanya akibat panik.
Berhenti berlari, gadis itu menoleh ke belakang. “Hei, aku minta maaf karena menabrakmu tadi! Bel masuk berbunyi sepuluh menit lagi! Kau dari sekolah yang sama denganku, ‘kan? Cepatlah lari kalau kau tidak ingin terlambat!”
Setelah mengatakan hal yang sejak tadi dia tahan, kedua kaki gadis itu kembali berlomba ke tempat tujuan.
Hanaru tidak tahu menahu bagaimana keadaan pemuda yang tadi ditemuinya setelah dia tinggalkan di belokan tempat mereka bertabrakan. Hanya saja, ketika sudah sampai dan duduk di kursi kelas miliknya—milik Hanaru—seorang siswa laki-laki yang sangat familier di ingatannya memasuki ruangan dan diperkenalkan oleh wali kelas sebagai siswa pindahan.
Hanaru melayangkan senyum miring. Gadis itu sangat berharap bahwa siswa baru yang dimaksud adalah Hanae yang telah diizinkan oleh ayahnya—ayah Hanaru—untuk bersekolah di sini bersamanya. Namun, harapan gadis itu kandas begitu iris merah muda miliknya dan iris abu-abu kekuningan siswa baru itu bertemu. Tampak sekali raut tidak ramah dilayangkan kepadanya seolah mereka musuh bebuyutan.
Hanaru menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan menunduk. Tak lupa mengembuskan napas panjang, kode kepada siapapun yang mendengar kalau dirinya lelah.
Lebih parah lagi, seolah memang sudah dijahili takdir, wali kelas menyuruh siswa baru itu duduk di belakang Hanaru. Gadis itu kini merutuk di dalam hati sembari mencoba memasang wajah normalnya kembali. Sekarang dia yakin, skenario mimpi yang dia masuki saat ini sangat memiliki hubungan dengan siswa baru tersebut.
Hanaru sama sekali tidak mendengar perkenalan diri siswa tersebut di depan kelas. Hanya melihat papan sekilas dan mencoba menerka sendiri siapa nama siswa baru itu.
“Etto, Fuuta? Apapun nama panggilanmu, aku minta maaf soal tadi dan yoroshiku, nee.” Gadis itu menoleh ke belakang dan melemparkan senyum. Setidaknya dia mencoba ramah kepada teman baru-nya.
“Ha? Apa-apaan sikap sok ramahmu itu? Menjijikkan.”
Senyum di wajah Hanaru runtuh seketika. Keinginan untuk menggebrak meja pemuda itu seketika meningkat drastis. Namun, suara papan tulis diketuk dengan kapur seakan menahan Hanaru untuk melakukan hal tersebut dan memaksanya mendengarkan penjelasan guru di depan kelas.
Gadis itu berusaha mengontrol ekspresi wajahnya yang sudah terlihat masam. Dia yakin yang barusan refleks bereaksi bukanlah dirinya, melainkan pemilik tubuh yang sebenarnya, Hanaru. Sekarang pun tubuhnya terasa seperti dipaksa untuk tidak kembali menoleh ke belakang dan mengamuk, meski dia sangat ingin.
“Hah, muka dua.”
Seolah belum cukup mengatai dirinya menjijikkan, Fuuta kembali melayangkan fitnah pada Hanaru yang membuat emosi gadis itu terpancing. Wajahnya lama-lama mungkin akan sewarna dengan netra dan rambutnya.
FUUTAAAA, LIHAT SAJA KAU NANTI SAAT JAM ISTIRAHAT, AKU YAKIN TUBUHKU SUDAH DAPAT KUGUNAKAN KEMBALI DENGAN NORMAL. TUNGGU SAJA, KAU! MESKI AKU TIDAK TAHU APA YANG HARUS KULAKUKAN DENGANMU NANTI, AKU AKAN MEMBALASMU!
Beberapa jam kemudian, bel istirahat berbunyi. Diiringi teriakan dipenuhi rasa senang, gembira, lega, antusias, atau bahkan teriakan kekecewaan yang terdengar dari kelas lain. Sementara di kelasnya sendiri, Hanaru tidak melihat reaksi apa pun dari teman-teman sekelasnya.
Guru di depan ruangan mengomel sembari merapikan tas mengajarnya. Hanaru tidak dapat mendengar apa yang disampaikan karena suara pelan gurunya itu teredam bunyi bising dari luar. Setelah orang tua itu keluar, akhirnya suara-suara tertahan setiap insan di kelas yang sejak tadi seolah menyangkut di tenggorokan terlepas begitu saja.
Hanaru juga entah kenapa merasa lebih bebas bernapas. Teman-temannya yang lain dia lihat ada yang sampai memekik nyaring sebelum mengeluh badannya kaku duduk berjam-jam di kursi sekolah yang dirasa terlalu kecil.
Hanaru tidak menyalahkan keluhan tersebut. Dia sendiri juga merasa kursi sekolahnya tidak didesain untuk diduduki berlama-lama karena kakinya sejak tadi kesemutan.
Suara bising dari luar tiba-tiba terasa mengecil ditimpa riuh yang berpindah ke belakangnya, kursi Fuuta. Tempat itu kini dikerubungi oleh teman-teman sekelasnya yang sekedar penasaran atau bahkan mengajak siswa baru itu masuk ke klub ekstrakulikuler mereka.
Hanaru sendiri penasaran, tetapi gadis itu cukup menoleh ke belakang tanpa perlu repot-repot mendekat ke sana.
Fuuta menjawab dengan nada yang sama sekali tidak bisa dibilang ramah. Beberapa siswa tampak menyerah dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari kerumunan, sementara sisanya masih menunjukkan rasa tertarik pada pemuda liar itu.
“Kajiyama, kau tertarik ikut klub sepak bola? Tadi kau bilang hobimu bermain sepak bola, ‘kan?” Salah satu siswa yang Hanaru ketahui bernama Hiroi dari klub sepak bola menawarkan Fuuta untuk masuk ke klubnya.
Fuuta menaikkan sebelah alis. “Memangnya kalian masih menerima anak baru? Bukannya ini sudah bulan kesekian sejak sekolah dimulai? Aku yakin kalian sudah mulai melakukan latihan atau semacamnya.”
Nada bicara Fuuta terdengar sangat kasar. Hanaru yakin sekali saat ini wajah pemuda itu terlihat seakan mengajak bertengkar, sama seperti tadi pagi.
Menyebalkan sekali, pikir Hanaru sembari menahan pipi dengan tangan kanannya di atas meja. Dia memasang telinga baik-baik karena sekarang sudah tidak dapat melihat langsung pemandangan Fuuta diwawancarai di belakangnya. Beberapa siswa yang baru datang, berdiri di antara kursinya dan meja Fuuta, menghalangi pandangan gadis itu.
“Yah, kami selalu menerima anggota baru yang mau bersungguh-sungguh berlatih. Bagaimana? Tertarik?” Hiroi mengulangi tawarannya. Anggota klub sepak bola satu itu lebih gigih dari perkiraan Hanaru. Tidak seperti dugaannya bahwa mungkin saja pemuda itu akan menyerah dan meninggalkan Fuuta begitu saja.
“Heh, baiklah. Karena kau yang meminta, akan aku lakukan latihan klub sepak bola itu.” Fuuta menjawab dengan gaya bicara yang kali ini terdengar sok di telinga Hanaru.
Kekhawatiran gadis itu mengenai bagaimana kehidupan sosial Fuuta depannya kalau pemuda yang dimaksud terus-terusan menggunakan cara bicara yang gampang membuat lawan mengobrolnya salah paham, seketika tergantikan dengan kekesalannya begitu mendengar Fuuta bertingkah sombong.
“Hei, Fuuta, kau suka game online?” Terdengar suara lain lagi yang entah kenapa bisa Hanaru identifikasikan sebagai milik Yoshiki.
“Hah? Main. Tapi aku tidak tahu game sialan mana yang kau maksud.”
Lagi-lagi? Hanaru membatin gemas mendengar balasan Fuuta. Ingin sekali rasanya dia membungkam mulut pemuda itu saat ini juga dengan buku miliknya agar tidak mengeluarkan kata-kata kasar yang mengganggu kedamaian telinganya. Skenario sebuah buku melayang ke wajah Fuuta cukup untuk membuat Hanaru mengeluarkan senyum diikuti tawa kecil yang terdengar cukup jahat dan mengerikan.
“Game online yang baru-baru ini populer itu, loh!” Yoshiki kemudian melanjutkan obrolan soal game online-nya dengan Fuuta.
Hanaru yang tidak terlalu mengerti mengenai kondisi game online di sini, memutuskan untuk angkat kaki ke kantin. Perutnya sejak tadi memberi kode untuk diisi.
Di jalan menuju kelas, selepas dari kantin membeli beberapa onigiri dan jus buah, Hanaru melihat sesuatu yang membuat sarapannya tadi pagi seolah dipaksa keluar. Pemandangan seorang siswi dijambak dan ditendang oleh siswi lainnya.
Hanaru spontan merasakan keinginan untuk segera pergi ke sana dan membantu. Namun, tubuhnya tidak memiliki keberanian yang cukup untuk melawan para perundung di sana sekaligus. Dia yakin dia hanya akan menambah jumlah orang yang dirundung di sana. Maka dari itu, ponsel yang senantiasa berada di saku roknya dia keluarkan guna menangkap bukti perundungan oleh kelompok tersebut.
Setelah menangkap beberapa gambar, Hanaru bergegas pergi dan pura-pura tidak mengetahui apapun. Bisa gawat kalau dia ketahuan mengintip apa yang baru saja terjadi dan bukti yang sudah dia dapatkan tidak akan sampai ke tangan para guru.
Rasa bersalah menggelayut di dada. Hati kecilnya berteriak mengatakan bahwa perbuatannya jelas-jelas salah besar. Namun, tubuhnya yang lain mengatakan kalau itu juga demi kebaikan dirinya sendiri.
“Apa karena aku sedang berada di alam mimpi, makanya obrolan anggota tubuhku yang jarang kudengar, terdengar sangat jelas di sini?” Hanaru bergumam memikirkan teori ciptaannya sendiri.
Sesampainya di kelas, Hanaru langsung duduk di kursinya dan menatap sekilas meja Fuuta yang kosong. Mungkin diajak ke klub sepak bola atau bermain game online atau pergi makan bersama teman-teman barunya. Kalau keliling sekolah ‘kan, sudah tadi pagi dengan wali kelas kita, pikir gadis itu sembari melanjutkan sesi makan siangnya yang sempat tertunda.
Selesai makan, Hanaru mengawasi keadaan di dalam kelas selama beberapa saat. Setelah dia yakin sekitarnya aman, gadis itu membuka foto-foto yang tadi dia ambil sebagai bukti perundungan. Dia sangat ingin segera melapor ke guru, tetapi gadis itu bahkan tidak tahu bagaimana sifat perundung, korban, dan guru-guru di sekolah ini. Bisa runyam nanti keadaannya kalau laporan perundungannya malah berbalik menjadi kasus pencemaran nama baik teman sendiri. Hanaru masih ingin menjaga kehidupan sekolah—dalam mimpi—nya yang tenang dan damai.
“Hahaha, tentu saja, sialan!”
Raut Hanaru seketika tertekuk kala mendengar suara seseorang yang entah sampai kapan akan berada di belakang dirinya selama jam belajar sekolah. Hanaru juga sangat berharap pemuda yang satu itu mengubah gaya bicaranya agar lebih enak didengar. Bisa-bisa emosi dan gendang telinganya pecah akibat suara pemuda yang terdengar seperti selalu sengaja memancing perkelahian itu.
Fuuta kini sudah kembali ke tempat duduknya dengan wajah tersenyum yang terlihat menyebalkan. Dahinya yang seolah tidak pernah berhenti menekuk menambah kesan ‘jahat’ di wajah pemuda bermata tajam itu.
“Hah? Apa yang kau lihat? Berhenti menatapku seolah kau tidak punya kerjaan lain yang lebih berguna untuk dikerjakan, bodoh.”
Hanaru melempar senyum paksa sebelum kembali memutar kepalanya ke depan kelas. Dapat dia rasakan bagian belakang kepalanya seolah ditusuk-tusuk oleh jarum akibat terlalu menahan emosi. “Fuuh, sudah cukup dengan kejadian tadi, Hanaru. Jangan terpancing olehnya dan meledak. Itu bisa berakibat fatal pada kehidupan sekolahmu ke depannya,” pesan Hanaru kepada dirinya sendiri sambil berbisik.
Hari yang terasa panjang dan melelahkan akhirnya usai. Langit tidak lagi memaparkan panas separah tadi siang. Namun, masih terlalu cepat untuk menyebutnya malam hari. Hanaru berjalan pulang melewati lapangan sepak bola dan melihat Fuuta yang sedang memperkenalkan dirinya kepada anggota klub lainnya.
Hanaru mengembuskan napas singkat. “Semangat,” ucapnya pelan, sengaja agar tidak didengar oleh orang lain selain dirinya. Sejujurnya dia tidak sudi menyemangati seseorang dengan kepribadian, suara, bahkan rupa buruk seperti Fuuta. Namun, dari lubuk hatinya yang terdalam, mungkin masih ada rasa peduli sebagai teman sekelas ketika melihat Fuuta berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
“Yah, lagipula dia baru masuk, ‘kan?” Hanaru meregangkan tangan. “Seharusnya sih, belum ada hal yang bisa membuatnya terkena masalah.”
Langkah gadis itu terhenti ketika mengingat kejadian tadi siang sepulang dari kantin. Sebuah senyum canggung otomatis terbentuk. “Aku … tidak baru saja menegakkan bendera yang buruk, ‘kan?”
Hanaru mengutip kata-kata karakter tokoh yang sering dia baca. Maksud bendera dari perkataan asli, ‘I … didn’t raise a flag, did I?’ adalah sesuatu yang dapat mengaktifkan sebuah event atau kejadian-kejadian penting di dalam cerita. Mulai dari event yang bagus seperti membuat tokoh lain jatuh cinta pada si tokoh utama atau bahkan sesuatu yang lebih buruk seperti kematian tokoh itu sendiri.
Hanaru mulai merasa cemas. Mereka saat ini berada dalam dunia mimpi. Apapun bisa terjadi si sini, bahkan sesuatu yang tidak masuk akal seperti hal-hal yang baru dia sebutkan.
“Astaga, semoga saja tidak benar-benar ada hal buruk yang akan terjadi padanya,” lirih gadis berambut merah muda itu cemas. Rasa bersalah terus menghantui Hanaru sampai ke rumah. Dia tidak ingin menjadi tokoh jahat di mimpinya sendiri karena telah mendoakan kehancuran teman barunya.
Kecemasan Hanaru seolah hangus begitu saja di hari berikutnya. Gadis itu lagi-lagi harus menahan emosi sebab Fuuta yang semakin banyak bicara.
Di satu sisi, Hanaru lega karena sepertinya Fuuta tidak memiliki masalah dalam mendapatkan teman baru. Di sisi lain, kini dia harus mendengarkan kata-kata kasar lebih sering dari biasanya—meski gadis itu juga baru datang ke dunia ini kemarin—dan itu membuat telinganya sesekali terasa panas sehingga dia selalu keluar setiap jam istirahat tiba, entah ke kantin atau sekedar ke toilet membasuh wajah serta telinganya.
Masalah perundungan yang pernah dia lihat waktu itu pun masih berlanjut dan Hanaru bingung harus meminta tolong pada siapa dalam hal ini. Perasaannya tidak enak, seolah mencegah gadis itu melaporkan langsung ke guru atau teman-temannya di sekolah.
Gadis itu berhasil membaur dengan anak-anak di kelas yang tampak mengenalnya. Dia juga selalu berusaha menyapa siapapun yang namanya tiba-tiba muncul ke ingatan. Untungnya tidak ada yang bertanya mengenai perubahan dalam diri Hanaru—pemilik tubuh aslinya.
“Apa mungkin aku tanpa sadar sudah bertingkah seperti Hanaru yang biasanya, ya?” gumam gadis itu sambil bercermin. Saat ini dia berada di toilet dan sekarang masih jam istirahat.
“Ah, soal perundungan itu, kurasa aku sudah dapat gambaran kurang lebihnya bagaimana.”
Sebelum dia keluar dari salah satu bilik toilet tadi, dia sempat mendengar gosip mengenai kelompok yang biasa merundung siswi lainnya di dekat tempat pembakaran sampah. Hanaru langsung tahu kalau yang mereka maksud adalah perundungan yang dia lihat sejak hari pertama menginjakkan kaki di sekolah ini. Meski samar-samar, Hanaru dapat memahami kalau perundungan tersebut termasuk salah satu rahasia umum yang dianggap lumrah oleh sebagian besar murid.
Sepulang dari kantin, gadis itu selalu memilih jalan memutar yang cukup sepi. Sebenarnya dia hanya ingin menghindari kerumunan orang yang mungkin saja kenalan Hanaru, tetapi siapa sangka rupanya dia harus menyaksikan perundungan di sana hampir setiap hari.
Terkadang ada hari di mana Hanaru tidak akan menemukan siapapun di halaman belakang yang dimaksudkan. Walau tidak mengetahui alasannya, gadis itu sangat bersyukur apabila bisa melewati jalan tersebut tanpa harus berhati-hati dalam melangkah.
Tiba-tiba saja bayangan wajah kesal Fuuta melintas di pikiran Hanaru. Gadis itu menebar cengiran kepada bayangannya sendiri.
“Heh, daripada jadi korban, kurasa bocah itu malah akan menjadi salah satu perundung juga. Mengingat bagaimana wajahnya yang menyeramkan cocok untuk menganggu orang lain.”
Helaan napas panjang terdengar memenuhi toilet. Hanaru membasuh wajahnya sekali lagi sebelum memutuskan untuk keluar dan berjalan ke kantin. Gadis itu tidak terlalu merasa lapar, hanya saja dia tiba-tiba ingin melewati jalan di dekat halaman tempat pembakaran sampah. Mungkin hati kecilnya tanpa sadar merasa tidak tenang setelah mendengar gosip beberapa saat lalu.
Sesampainya di lorong dekat tempat tempat pembakaran sampah, Hanaru tersenyum masam. Tampak Fuuta dan teman-temannya datang dari arah kantin sembari memainkan ponsel. Refleks, Hanaru menyembunyikan diri di balik pilar yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
“Seriusan? Parah!”
“Iya, ‘kan?”
“Hei, hei, memangnya kalian tahu apa, hah?”
“Huh? Hei, apa-apaan itu?” Fuuta yang pertama kali menyadari sesuatu langsung menoleh dan mengerutkan dahi melihat pemandangan di depan mata.
“Ah, anak kelas sebelah. Sudahlah, Fuuta. Abaikan saja. Mereka memang selalu begitu,” jelas salah satu temannya sambil mendorong punggung Fuuta paksa agar pemuda itu menggerakkan kakinya melanjutkan perjalanan mereka ke kelas.
“Hei, jelas-jelas terjadi penindasan di sana! Itu kejahatan! Kalian mau pura-pura tidak lihat hah, sialan?” Fuuta malah melakukan hal yang berkebalikan dengan berhenti dan menoleh ke teman yang mendorong dirinya. Sebelah tangan pemuda itu menunjuk ke para perundung yang sepertinya mulai merasa terganggu dengan teriakan Fuuta. “Mereka jelas-jelas melanggar peraturan sekolah dan hak asasi manusia, ‘kan? Mereka harus dihukum!”
Kontras dengan ucapan menggebu dari mulut Fuuta, teman-temannya tampak ragu membalas kata-kata pemuda bermata bak almond yang paling pendek di antara mereka semua itu.
“Ekhem, Fuuta. Berurusan dengan mereka hanya akan membuat kehidupan sekolahmu kacau. Sebaiknya kau jangan dekat-dekat dengan mereka, meski mereka sangat menyebalkan.”
“Aku juga tidak mau diam begitu saja melihat mereka menindas yang lemah seperti itu, tetapi aku bisa apa? Salah satu kenalanku malah mendapat surat peringatan karena melaporkan gerombolan murid-murid tidak tahu aturan itu.”
“Kalian bodoh atau apa? ‘Kan ada cara yang lebih cepat dan efektif. Ditambah lagi mereka tidak akan tahu siapa pelaku pelaporan itu sendiri,” ujar Fuuta sembari mengarahkan layar ponsel yang menampilkan laman base dari sebuah aplikasi cuitan online ke teman-temannya. Seringai kejam terpatri di wajah penuh tekad pemuda bermasker hitam itu.
Hanaru menatap dengan ekspresi khawatir. Sudah cukup aneh pemuda itu datang ke sekolah menggunakan masker meski jarang dia pakai dengan benar dan temperamennya yang seperti gunung meletus kebocoran. Kali ini tampaknya Fuuta hendak melaporkan kejadian tersebut secara tidak langsung, lewat sosial media.
“Memangnya bisa? Hmm ... mungkin bisa. Ada banyak berita viral yang bermula dari laporan di media sosial, ‘kan?” gumam Hanaru berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Rombongan siswa yang diperhatikan oleh Hanaru akhirnya melanjutkan perjalanan mereka dengan tawa dan antusiasme untuk melaporkan kejadian tadi yang mereka sepakati cukup mengganggu.
Hanaru masih berada di tempat persembunyiannya. Masih tidak yakin semuanya akan berjalan semudah kelihatannya.
“Haah, semoga saja benar-benar semudah itu. Kalau mereka benar-benar berhasil, aku hanya harus ikut melaporkan bukti yang aku dapatkan.” Gadis itu berujar sembari menatap ponsel yang kini berada dalam genggamannya.
Beberapa hari telah berlalu, semuanya berjalan seperti biasa. Fuuta masih semangat berkoar akan membuat para perundung itu mendapatkan balasan yang sesuai. Teman-temannya juga selalu mengikuti apa pun rencana yang dia buat.
Namun, entah kenapa semua itu malah membuat perasaan Hanaru tidak nyaman.
Seolah menjawab kebingungan yang melanda Hanaru, suatu hari Fuuta dipanggil ke ruang guru. Rumor beredar mengenai laporannya di media sosial yang benar-benar berakhir viral.
Situasi sekolah menjadi tidak mengenakkan setelah kabar tersebut tersebar.
Anehnya, tak seorang pun mendukung laporan tersebut saat sekolah malah menskors Fuuta. Siswa-siswi yang mendengar kabar malah menyetujui bantahan bahwa laporan Fuuta hanyalah pencemaran nama baik semata. Ditambah lagi, mereka kini terang-terangan bergantian mengganggu pemuda itu dengan alasan bahwa perilaku Fuuta selama ini selalu membuat mereka tidak nyaman.
“Si Kajiyama itu, baru masuk juga sudah bikin masalah? Jangan-jangan pindah sekolah kemarin karena dia juga biang kerok di sekolah lamanya?"
“Aku sudah lama tidak menyukainya. Anaknya kasar dan tidak ramah sama sekali. Pasti tidak diajari oleh orang tuanya di rumah.”
“Uwah, kalau kepribadiannya begitu, aku juga tidak mau berteman dengannya.”
“Hei sudahlah, aku dengar orang tuanya cerai.”
“Hah, seriusan? Pantas saja dia berani berulah.”
“Hush, pelan-pelan bilangnya, kasihan kalau nanti dia sakit hati karena mendengar perkataanmu tadi.”
“Memangnya orang yang begitu punya hati?”
Tawa menguar dari gerombolan siswi yang bergosip di koridor.
Sekarang rasanya tidak mungkin Hanaru bisa berjalan di sekolah dengan tenang tanpa harus mendengar celaan yang dilemparkan untuk pemuda yang bertempat duduk di belakang gadis itu.
“Apa maksudmu aku tidak harus ikut latihan sepak bola lagi mulai besok?” Fuuta yang baru masuk setelah berhari-hari diskors menatap Hiroi yang berdiri di sebelah mejanya dengan tatapan tidak percaya.
Pemuda yang awalnya mengajak Fuuta masuk klub sepak bola itu bahkan tidak dapat membalas tatapan Fuuta dan malah sibuk melirik teman-teman klubnya yang menunggu di depan pintu kelas dengan ekspresi tidak setuju.
“Kau sudah tidak mengikuti latihan selama berhari-hari. Jadi, mau tidak mau kami harus mengeluarkanmu dari klub sepak bola. Maaf, Fuuta,” jelas Hiroi sambil memegangi tengkuknya. Masih tidak berani melihat Fuuta secara langsung.
“Hah? Omong kosong macam apa—”
Fuuta juga dikeluarkan dari klub sepak bola karena ketidakhadirannya dalam latihan.
Meski Hanaru yakin itu hanya alasan belaka untuk memutus hubungan dengan siswa yang reputasinya memburuk. Lagi pula kabar skorsnya pasti terdengar di seluruh sekolah. Tidak mungkin pihak klub sepak bola diam saja setelah mengetahui hal tersebut.
Pun teman-teman pemuda itu dulu yang ikut membantunya melaporkan kasus perundungan lewat sosial media, sekarang malah berbalik menyalahkan dan membela diri mereka sendiri dengan alasan terpaksa mengikuti kemauan Fuuta.
“Hei, kami kemarin hanya korban, tahu! Aku sudah memperingatkan anak itu untuk tidak bermacam-macam dan dia tidak mendengarkanku sama sekali! Aku benar, ‘kan?”
“Benar, benar! Aku juga melarangnya berbuat hal serendah itu dan dia malah mengancam akan membuat laporan tentangku juga di internet.”
“Kalau kami tahu dia benar-benar akan melakukan aksinya kemarin-kemarin, kami pasti berusaha sekuat mungkin untuk menghentikannya.”
Hanaru bersusah payah menahan cengiran yang hendak terbit di wajahnya. Penyataan bela diri mantan teman-teman Fuuta di belakang kelas barusan terasa sangat lucu baginya. Gagal menahan diri, Hanaru menutup mulut dengan kedua tangan dan mati-matian merendahkan volume suara agar tawanya tidak terdengar orang lain.
Suara pintu dibuka tiba-tiba membuat kelas hening seketika. Hanaru mendongak, penasaran dengan sosok yang mampu meredam kericuhan satu kelas begitu saja.
Ternyata yang memasuki kelas adalah orang yang sedang dibicarakan. Hanaru tersenyum canggung saat Fuuta melewatinya dengan tatapan tidak bersahabat seperti biasa. Jantung gadis itu berdebar kencang, diiringi keringat dingin yang dapat dirasa mulai membasuh leher. Meskipun dia tidak ikut mencemooh pemuda itu, Hanaru faktanya masih duduk dengan tenang di dekat mereka. Jadi, sangat mungkin bagi Fuuta untuk salah paham bahwa dirinya juga sama seperti yang lain, menusuknya dari belakang.
“Wah, pahlawan kesiangan tiba.”
“Haha, lihat wajahnya. Seram sekali.”
“Hei, kalau dia mendengarmu, kau akan jadi target berikutnya.”
“Kau takut?”
Kikikan serta kekehan terdengar dari ujung ke ujung kelas.
“Berisik, dasar sampah! Orang-orang seperti kalian itu seharusnya musnah dari dunia ini!”
Bukannya berhenti, anak-anak kelas malah semakin menjadi.
Fuuta kemudian mendecih sebelum membenahi posisi maskernya hingga sempurna menutupi mulut. Kemudian membuka ponsel, mengabaikan lingkungan sekitar dengan kerutan menghias dahi.
Di hari-hari awal berakhirnya skors, Fuuta sama sekali tidak bisa menerima apa yang terjadi dan selalu balik membalas perkataan yang lain dengan penuh semangat sampai orang tersebut menyerah dengan sendirinya meladeni pemuda itu. Namun, semenjak sadar bahwa celaan yang dia terima hanya bertambah buruk, Fuuta tampaknya menahan diri untuk tidak menimbulkan lebih banyak masalah dan hanya sebatas membalas dengan beberapa kalimat ejekan balik kepada para penggosipnya.
Hanaru mengintip dari balik pundaknya sendiri. Dapat dia lihat Fuuta dengan kening berkerutnya serius menatap ponsel yang sejak tadi hanya dia gulirkan layarnya. Ketika mata mereka bertemu, Hanaru spontan kembali menoleh ke depan.
Hei, dia tidak baru saja menggeram kepadaku sama seperti saat kami pertama kali bertemu, ‘kan? batin Hanaru bertanya-tanya waspada.
Fuuta sekarang selalu masuk dan keluar kelas tepat setelah bel berbunyi. Jelas sekali pemuda itu tidak nyaman dengan situasinya saat ini. Waktu istirahat atau pergantian jam juga. Kalau dulu dia akan berkumpul dengan teman-temannya, sekarang malah menjauhi mereka. Mendekat pun dia hanya akan diusir, secara halus maupun kasar, Fuuta sepertinya tidak ingin mengambil risiko dipermalukan lebih dari yang dari dapatkan saat ini.
Ini mimpi yang aneh. Tapi lagi pula, mimpiku memang biasanya aneh, ukh. Tapi seriusan astaga, sekolah mana yang malah mencibir pelapor kegiatan pem-bully-an dan malah membiarkan pelakunya bebas begitu saja? Bahkan kudengar sekolah membantu menutup-nutupi kasus ini? Gila. Semua orang di mimpi ini gila. Terutama pemuda kasar itu, astaga.
Keesokan harinya, ketika Fuuta piket, teman-temannya yang lain meninggalkan pemuda itu seorang diri di kelas. Tentu saja Fuuta tidak menerima perlakuan tersebut tanpa perlawanan sama sekali.
“Oi! Kerjakan tugas kalian masing-masing! Ini kewajiban, ‘kan? Memangnya kalian tidak malu lari dari tanggung jawab, hah? Dasar pengecut!” Fuuta menggertak sembari menggebrak meja di dekatnya.
“Setidaknya lebih baik dari pada melaporkan teman sendiri atas tuduhan yang tidak masuk akal. Hahaha, daaah!”
“Sialan!”
Hanaru masih berada di kursinya. Gadis itu sengaja berlama-lama berkemas menunggu kelas sepi. Dia tidak ingin melewatkan satu-satunya kesempatan untuk berbicara dengan Fuuta tanpa dilihat oleh orang lain.
Bisa gawat kalau ada yang melihat mereka berdua bersama dan ikut menyebarkan gosip kalau Hanaru dekat dengan Fuuta. Aku sih tidak masalah karena bisa terbangun kapan saja, tetapi aku tidak tahu dengan Hanaru yang sebenarnya dan Hanae— ah, sudahlah.
Gadis itu mencuri pandang ke arah dekat pintu kelas. Fuuta masih mengomel dan menendang-nendang salah satu meja untuk melampiaskan rasa kesalnya. Hanaru dapat merasakan jantungnya kembali berdetak tak karuan diliputi perasaan cemas dan takut menjadi korban kekerasan teman sekelasnya itu, meski dia juga sadar bahwa ini hanya mimpi semata.
Beberapa kali dia telan kata-kata yang hendak diucapkan sebelum akhirnya berteriak, “Fuuta, kau kesal? Mau aku bantu bersih-bersih?”
Hanaru berusaha keras tersenyum ramah, meski pada akhirnya yang tampak di wajahnya hanyalah lengkungan bibir yang terlihat canggung. Gadis itu tak menampik ketakutan yang perlahan menguasai diri. Dia pun tidak akan mau percaya begitu saja dengan perkataannya tadi kalau dia berada di posisi Fuuta.
“Hah, sekarang kau mau pencitraan? Heh, busuk sekali, ya. Sudah muka dua, tukang cari muka, kau mau sok baik padaku pula sekarang? Jangan mimpi!”
Dentum gebrakan meja yang terdengar di detik berikutnya membuat Hanaru terperanjat.
Ayolah, kau sudah tahu semuanya akan berakhir seperti ini. Kau tidak boleh mundur sekarang. Sekarang atau tidak sama sekali.
Hanaru mencoba menenangkan dirinya dengan menarik dan mengembuskan napas berkali-kali sebelum lanjut berbicara. “Aku akui kalau aku sama sekali tidak membantumu dalam pelaporan kasus maupun saat kau diejek oleh murid lainnya. Tapi aku pikir, tingkahmu itu juga sangat ceroboh! Bagaimana bisa kau langsung menyerang tanpa tahu musuhmu terlebih dulu?”
“Bukannya itu sudah jelas? Tidak mungkin aku diam saja melihat sesuatu yang tidak benar seperti itu, sialan! Sekarang kau mau menceramahiku karena aku mengekspos keburukan sampah itu? Berkacalah, penjilat!”
Hanaru mendesis. Dia tahu berdebat dengan Fuuta tidak ada untungnya. Namun, gadis itu sama sekali tidak ingin memikirkan kemungkinan meninggalkan Fuuta seorang diri di sini. Kalau semuanya berjalan dengan lancar, mereka bisa berteman dan setidaknya Fuuta tidak harus menanggung semua bebannya sendirian. Dia juga bisa membantu pemuda itu tanpa harus melewati jalan yang sulit.
“Aku tahu kau melakukannya karena niatmu baik. Kau hanya tidak ingin melihat terjadinya penindasan di sekolah kita. Aku pun berpikiran sama. Hanya saja, kau memiliki keberanian yang lebih dariku. Bagaimana kalau kita berteman? Aku tidak akan mengabaikanmu seperti yang lain. Aku merasa setidaknya kita mirip di beberapa hal, seperti tidak tahan melihat ketidakadilan.”
Penjelasan panjang Hanaru dibalas Fuuta dengan tatapan tidak percaya. Gadis itu menelan ludah karena harapannya terasa menipis semakin mereka tidak menemukan akhir dari obrolan absurd sore hari ini.
“Hah? Bicara apa kau ini? Pengecut seperti kau yang hanya ingin membuat dirimu sendiri terlihat lebih baik dari orang lain membuatku jijik! Hentikan omong kosong memuakkanmu itu. Sebaiknya kau segera pergi dari sini selama aku masih bersikap baik, sampah. Kau sama saja dengan yang lainnya!”
Gadis berambut merah muda itu menyentuh dadanya yang terasa ditusuk oleh kata-kata Fuuta barusan. Pengecut, menjijikan, memuakkan, sampah. Empat kata itu memiliki makna yang cukup kasar. Namun, tidak begitu jauh untuk digunakan sebagai istilah orang-orang yang tidak benar. Hanaru sendiri menyadari bahwa tawarannya barusan terdengar seperti bujuk rayu penjilat korup kepada atasan mereka.
Tarikan napas panjang diikuti embusan yang tak kalah terdengar berat menggema di ruang kelas. “Baiklah, aku akan pulang. Sepertinya tawaranku untuk membantumu piket tidak kau terima dengan baik. Kau tolak mentah-mentah, lebih tepatnya. Tetapi ingatlah, besok dan seterusnya aku akan terus menyapamu. Tawaranku untuk berteman denganmu masih berlaku.”
Setelah menegaskan pernyataannya, Hanaru menyampirkan tas di sebelah pundak dan berjalan cepat keluar dari kelas.
“Argh! Kenapa cuma aku yang begini? Aku tidak butuh rasa kasihan payah semacam itu!”
Perkataan Fuuta selanjutnya terdengar sayup-sayup dan baru dapat gadis itu pahami sepenuhnya setelah meninggalkan kelas. Bisikan siswa-siswi yang masih belum pulang terdengar jelas di telinga Hanaru yang bahkan sedang berlari. Mereka semua mulai menerka-nerka apa yang terjadi di kelas tersebut barusan hingga terdengar gebrakan meja berkali-kali dan tampak seorang siswi yang keluar dari kelas berlari dengan raut ketakutan.
Hanaru masih dapat merasakan tangannya gemetar meski saat ini dia sedang berlari. Gadis itu ketakutan dan sangat ingin menenangkan tarikan napas serta debaran jantungnya yang sama sekali tidak beraturan. Namun, kedua kakinya terus membawanya menuju rumah tanpa berhenti barang sejenak pun.
“Hanaru! Kenapa berlari buru-buru begitu?” Ibu Hanaru yang sedang menyapu halaman bertanya heran, melihat anak gadisnya tergesa memasuki rumah dengan wajah pucat.
“Dikejar anjing di jalan!” Hanaru membalas dengan lantang setelah menaiki tangga, supaya suaranya terdengar sampai ke lantai bawah.
Gadis itu memutuskan untuk mengurung diri di kamar agar dapat menyusun kembali rencananya berteman dengan Fuuta.
Jelas sekali pemuda itu kunci dari lucid dream-nya saat ini, tetapi bukan hanya itu.
Sepertinya akan menyenangkan kalau aku juga punya teman dekat di dunia ini, pikir Hanaru yang merebahkan diri di kasurnya, masih dengan seragam sekolah melekat di tubuh.
“Pengecut seperti kau yang hanya ingin membuat dirimu sendiri terlihat lebih baik dari orang lain membuatku jijik!”
Tangan kiri Hanaru otomatis menutupi wajahnya—sengaja menghalangi pandangan—setelah mengingat salah satu perkataan yang Fuuta layangkan pada gadis itu. Bibirnya tersenyum lebar sebelum mengeluarkan tawa yang terdengar seperti menahan tangis, amarah, dan kelucuan.
“Ah, sial. Dia benar. Aku hanya ingin memenuhi egoku sendiri di mimpi sialan ini.”
Hanaru datang ke sekolah pagi-pagi sekali demi menyiapkan hati menghadapi Fuuta atas tawarannya kemarin. Tidak akan aneh kalau pemuda itu benar-benar membencinya kali ini.
Kelas Hanaru ternyata sudah dipenuhi dengan gosip dan rumor sejak pagi—bukan hanya kelasnya saja, melainkan seluruh sekolah juga—tentu saja dengan Fuuta sebagai topik utamanya. Beberapa murid di kelas bahkan menatap Hanaru dengan tatapan penasaran, khawatir, bahkan kasihan.
Hanaru sendiri hanya menenggelamkan kepala dalam kedua tangannya yang dia tekuk rapi di atas meja sejak memasuki kelas. Ceringan muncul di wajahnya tanpa bisa gadis itu cegah, mendengar rumor yang seolah bercampur dengan udara di sekitarnya.
Yah, kejadian kemarin memang membuatku tidak tenang. Tetapi kesalahpahaman yang terjadi setelah itu juga tak kalah lucunya, astaga. Obrolan kami kemarin malah terdengar seperti perdebatan. Ditambah lagi aku membuatnya marah hingga menggebrak meja beberapa kali. Tidak heran kalau bahkan ada rumor Fuuta melakukan kekerasan padaku. Aku mau membenarkan rumor miring itu, tapi siapa yang bicara tadi aku bahkan tidak tahu, astaga!
Kening gadis itu berkerut. Kedua matanya yang dipaksa menutup hanya menambah dalam lekukan pada dahinya. Gadis itu mencoba menangis untuk menenangkan diri sedikit—karena merasa terlalu cringe saat ini—tetapi tentu tidak bisa.
Keramaian di kelas tiba-tiba meningkat pesat. Hanaru mengangkat kepalanya dan seperti beberapa hari terakhir ini, menemukan sebagian murid di kelas mencoba mengajak Fuuta adu mulut.
“Oh? Kau masih punya nyali untuk datang ke sekolah setelah membuat masalah kemarin sore, hah?”
“Apa maksudmu, sialan?” Fuuta menurunkan masker yang dia kenakan dan menambah kerutan pada dahinya. Kesal sebab harus ditahan di depan kelas karena jalan masuk dihalangi oleh segerombolan siswa.
“Entahlah. Bukankah kau lebih tahu dariku, apa yang terjadi kemarin?”
Siswa yang berbicara melirik ke arah Hanaru, membuat gadis itu jadi pusat perhatian.
“Aku tidak tahu apa yang kau maksud. Setidaknya aku tidak melakukan perbuatan brengsek seperti menuduh orang secara tidak jelas seperti yang kau lakukan sekarang.”
“Hah? Brengsek? Kau tidak punya cermin di rumah? Kau sendiri membuat satu sekolah gaduh dengan laporan palsumu itu. Sok-sokan jadi pahlawan, hah.”
“Kau itu yang harusnya introspeksi diri! Sampah masyarakat sepertimu yang hanya bisa membual lebih baik musnah daripada menebarkan kebusukanmu itu!”
“Coba ulang sekali lagi, bocah sialan!” Siswa itu mendorong bahu Fuuta dengan sebelah tangan.
“Hah? Kau sendiri kurang bercermin sepertinya, dasar tidak tahu aturan! Matamu buta atau apa, hah, sialan?” Seolah tak mau kalah, Fuuta balas mendorong. Sebelah tangannya yang bebas menunjuk mata siswa tersebut dengan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk pose gunting pada permainan ‘gunting baru kertas’.
Seolah dirasuk setan, siswa yang beradu mulut dengan Fuuta spontan melayangkan tinju ke pipi lawan bicaranya sampai pemuda berambut merah itu terjatuh.
Sorak sorai seketika memenuhi kelas. Sebagian besar mendukung perkelahian dadakan tersebut. Sementara sebagian kecil murid kelas yang berusaha melerai merupakan perangkat kelas yang tampak pucat memikirkan bagaimana nasib kelas mereka apabila kepergok guru sedang berkelahi padahal masih pagi.
Fuuta yang baru bangkit mengembalikan pukulan yang dia terima di tempat yang sama di wajah siswa yang kini telah ditahan oleh ketua kelas. Pemuda itu saat ini benar-benar tidak terlihat akan mundur begitu saja tanpa perlawanan.
Siswa yang terkena serangan Fuuta terlihat marah dan meraung-raung mencoba meloloskan diri dari tahanan ketua kelas.
“Oh, sial. Aku tidak tahu mimpiku bisa jadi seserius ini. Sialan! Aku hanya ingin bangun dari mimpi absurd ini!” Hanaru berdiri dari tempatnya dan bergegas mendekat ke kerumunan. Berharap apapun yang terjadi dapat segera berhenti seketika.
Begitu Hanaru sampai di barisan kerumunan terdepan, semuanya tampak lebih jelas dibandingkan pemandangan yang dia lihat dari tempat duduknya tadi.
Fuuta kembali diserang hingga terjatuh di lantai. Namun, kali ini bukan hanya siswa yang tadi menonjok saja yang menyerangnya. Teman-teman dari siswa yang Fuuta balas ikut mengeroyok pemuda bermata bak almond itu.
“Hei—”
“Kalian ini apa-apaan? Pelajaran belum juga dimulai, tetapi kalian sudah membuat masalah di depan kelas!”
Suara berat lantang mengagetkan hampir seluruh murid di kelas, kecuali mereka yang sedang berkelahi. Mereka sibuk membalas serangan satu sama lain. Fuuta sendiri tidak terlihat akan menyerah meskipun wajahnya mulai babak belur.
Para murid yang tidak dalam pacuan adrenalin serentak kembali ke tempat duduk masing-masing. Beberapa dari mereka berbisik dan menghela napas karena tidak ikut terlibat dalam perkelahian barusan.
Hanaru sendiri memutuskan untuk tetap diam di tempat. Jantungnya sedari tadi meraung-raung tidak karuan, tetapi wajahnya sekilas tampak seperti menyunggingkan seringai.
“Guru kali ini ... kira-kira bisa dipercaya tidak?” gumamnya mengingat akar dari seluruh permasalahan Fuuta adalah lingkungan sekolah yang sangat tidak terduga. Terutama guru-guru yang lebih memfavoritkan murid yang lebih, seperti para perundung di dekat tempat pembakaran sampah itu.
Yah, meski Fuuta sendiri juga seakan memiliki masalah dengan kepribadiannya yang terlalu berapi-api dalam berbagai bentuk dan artian.
“Apa yang kalian lakukan, berandalan? Masih pagi dan kalian sudah berkelahi di depan kelas? Mana guru yang mengajar kalian? Kalau gurunya belum datang, duduk dengan tenang di kursi masing-masing, bukannya adu kekuatan di depan kelas!” Guru tadi memulai omelannya.
“Anu, Sensei, Fuu— bukan, Kajiyama ... kun tidak bersalah. Dia hanya melindungi dirinya dari serangan tiba-tiba murid lainnya.” Hanaru memutuskan untuk mengatakan kesaksiannya secepat mungkin sebelum anak-anak kelas lainnya mulai membual menyalahkan Fuuta. Gadis itu sempat menjeda perkataannya sejenak setelah menyadari bahwa ini pertama kalinya dia memanggil nama Fuuta, meski dia sering memanggil pemuda itu dengan nama kecil apabila bermonolog.
“Hah, benar begitu?” Wajah guru tersebut tampak semakin tertekuk sebelum melirik rombongan siswa yang memiliki bekas pukulan pada muka akibat serangan balasan dari Fuuta. Kemudian ganti menatap yang sisa murid duduk di kursi masing-masing.
“Itu tidak benar, Sensei! Kami hanya sedang mengobrol di depan kelas dan tiba-tiba saja Fuuta yang baru datang mencari masalah dengan kami semua!” Murid yang pertama mengajak Fuuta bertengkar membuka suara.
“Aku tidak mencari masalah, bukannya kalian yang bertingkah duluan?” Fuuta balas menggeram. Sepertinya berusaha keras untuk tidak mengumpat di depan guru. Tangannya terkepal sangat erat di sebelah pinggang.
Hanaru sedikit membelalakkan mata saat melihat tangan Fuuta yang terkepal tampak bergetar. “Mungkin dia benar-benar serius menahan diri kali ini karena ada guru yang mengawasi,” bisik gadis itu pada dirinya sendiri sembari mencuri-curi pandang ke seisi kelas untuk melihat bagaimana respon teman-teman sekelasnya.
“Percayalah pada kami, Sensei! Kajiyama memang anak bermasalah yang langsung membuat keributan di hari awal perpindahannya ke sekolah ini. Sementara kami tidak bahkan tidak pernah membuang sampah sembarangan!” sahut siswa lain yang pipinya tampak lebam.
Hanaru menoleh ke arah siswa tersebut dan menyunggingkan senyum miring mendengar pernyataan barusan. Seharusnya dia tahu kalau mereka akan tetap bersikukuh bahwa semua ini salahnya Fuuta.
Embusan singkat gadis itu lepaskan atas dasar tidak habis pikir dengan kesaksian barusan. Bukan membuang sampah sembarangan, hanya mengotori lapangan sekitar kantin dengan bekas makanan.
Fuuta sendiri menatap tajam dengan urat yang mulai tampak di sudut dahinya. “Hah? Omong koso—”
“Hentikan, kalian semua! Yang lainnya! Bagaimana menurut kalian yang melihat kejadian barusan?” Teriakan guru tersebut terdengar sedikit menggema di ruang belajar pagi itu.
Sekelas hening, semuanya saling melirik, tidak berani mengeluarkan pendapat.
“Aku bertanya! Kalian ini tuli atau apa?”
Gertakan dadakan berikutnya membuat siswa-siswi di kelas terlonjak kaget. Namun, bukannya lekas menjawab, mereka malah berbisik dengan satu sama lain.
Salah satu siswa akhirnya mengangkat tangan dan mengaku, “Saya tidak tahu apa-apa, Sensei. Tiba-tiba saja mereka semua sudah berkelahi ketika saya lihat kegaduhan di depan kelas.”
“Iya, pasti Kajiyama yang membuat masalah duluan.”
“Dia kan baru saja membuat onar beberapa waktu lalu. Barangkali dia melampiaskan kekesalannya dengan berulah lagi, Sensei.”
“Anak-anak kelas yang lain kan tidak mungkin tiba-tiba mengganggu orang begitu saja.”
Hanaru diam-diam mengembuskan napas panjang untuk menetralkan amarah yang perlahan menguasai diri. Dia sudah mengira bahwa tidak akan ada yang memihak Fuuta, tetapi dia tidak menyangka kalau emosinya akan tetap tersulut saat mendengar tuduhan yang dilemparkan anak-anak kelas.
“Katanya begitu. Lalu, kenapa kau berbohong?” Guru tadi tiba-tiba kembali menoleh kepada Hanaru dengan ekspresi tidak senang.
“Sa-saya tidak berbohong, Sensei! Yang tadi saya lihat bahwa mereka menyerang Fuuta duluan! Fuuta hanya membela diri!”
“Oi, Sakuraba! Apa-apaan?”
“Uwah, sepertinya kemarin Kajiyama benar-benar melakukan sesuatu pada Sakuraba sampai dia jadi aneh begitu.”
“Apa Hanaru-chan baik-baik saja, ya?”
“Aku kasihan padanya. Pasti Bakajiyama itu mengancam sesuatu.”
Aku baik-baik saja, sehat, dan sadar seratus persen tanpa tekanan apapun, sialan! Kalaupun ada tekanan, itu pasti datang dari keabsurdan kalian yang tampak sangat bodoh di mimpi menyebalkan ini! Hanaru menatap kesal murid kelas lain yang mengira dirinya telah benar-benar diganggu oleh Fuuta.
“Semuanya tenang! Kalian berandalan, ikut aku ke ruang guru! Kau, kembali ke tempat dudukmu!”
Hanaru menelan ludah gugup dan mengangguk—mencoba menaruh harapan kecil terakhir pada guru tersebut—sebelum menurut kembali ke kursinya.
Setelah para pelaku pembuat kegaduhan tadi diseret keluar, murid yang tersisa di kelas langsung menyerbu meja Hanaru.
“Hanaru-chan, baik-baik saja? Pasti gara-gara yang kemarin, ya?”
“Sakuraba, kau diancam apa oleh berandal itu?”
“Sakuraba-san, kalau kau merasa tidak enak badan, izin pulang saja tidak apa.”
Hanaru tampak linglung mendengar kesalahpahaman yang ditanyakan teman-teman sekelasnya.
“Kalian benar-benar percaya kalau aku diancam oleh Kajiyama-kun?”
“Astaga, tentu saja! Hanaru yang aku kenal tidak akan melakukan hal-hal aneh seperti tadi kecuali diancam oleh Bakajiyama sialan itu!” Seorang gadis spontan menyahut dengan wajah masam.
Kontras dengan keyakinan serta anggukan mantap yang diikuti oleh beberapa murid lainnya, Hanaru sendiri semakin menekuk alisnya dalam mencoba membayangkan orang macam apa si pemilik tubuh sebenarnya.
Mungkin aku dan dia agak berbeda? Astaga, maafkan aku Hanaru, tetapi sepertinya aku akan mengacaukan image-mu lebih parah lagi nantinya.
“Bukannya kalian sendiri tahu kalau perundungan yang dilaporkan Fu— Kajiyama-kun itu benar adanya? Kenapa kalian tidak ikut melaporkan buktinya ke guru?”
Hanaru mengangkat sebelah alisnya menunggu respon.
Setelah saling pandang beberapa kali, beberapa dari mereka kemudian mengeluarkan tawa kecil.
“Loh? Bukannya hal seperti itu normal? Sudah biasa terjadi, ‘kan?”
“Iya, kamu tahu sendiri kalau kita ikut campur, urusannya malah jadi runyam. Sudah jadi rahasia umum kalau perundungan itu terjadi.”
“Sakuraba-san sepertinya benar-benar diancam Kajiyama sialan itu sampai pola pikirnya berubah begini.”
“Benar benar, bukannya Sakuraba-chan biasanya ikut-ikutan saja apapun yang terjadi? Kita semua juga pernah merundung orang lain, ‘kan? Hanya saja semester kali ini tidak ada mangsa yang tepat untuk dirundung, jadi tidak asik.”
“Kau saja yang jadi korbannya, bagaimana?”
“Sinting. Kupukul kau nanti.”
Rahang bawah Hanaru seolah memberat hingga sedikit membuka mulut gadis itu. Dahinya yang tadi sedikit rileks, kini kembali berkerut tidak karuan.
SEPARAH APA SETTING CHARA HANARU SEBELUM AKU MASUK KE MIMPI INI???
Teman-temannya baru saja membahas perundungan seolah topik tersebut sama seperti pertanyaan apa menu makan siang di kantin siang ini. Ditambah dengan canda tawa yang mereka lontarkan, dia semakin yakin kalau hampir seluruh murid di sekolah ini tidak ada lagi yang masih waras.
“Ah, Hana-chan, ada apa?” Salah satu siswi yang menduduki meja Hanaru bertanya setelah melihat gadis berkucir dua itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Kalau kau memang lelah, pulang saja, tidak apa. Akan kami beri pelajaran si Bakajiyama itu nanti,” sahut siswa yang berdiri di sebelah kiri meja Hanaru.
“Mau aku temani ke UKS atau pulang? Aku bisa membawakan tasmu.” Sosok siswi berjaket yang menopang diri dengan menaruh kedua tangannya di sandaran kursi Hanaru ikut menimpali dari belakang.
“Kalau mau bolos, bilang saja, Mitsushima,” bantah siswi berkacamata di sebelahnya.
“Berisik, Kazehara! Aku hanya mau menemani Sakura-chan pulang. Kasihan kalau-kalau dia harus bertemu si bodoh Kajiyama itu di jalan pulangnya nanti.”
Menyadari kericuhan yang terdengar kembali, Hanaru mengangkat dan sedikit melambaikan tangan kanannya. “Aku tidak apa-apa.”
Gadis itu kembali menjadi pusat perhatian.
“Tapi aku mau minta maaf, sepertinya aku akan tetap berada di pihak Kajiyama-kun setelah ini. Aku tahu dia tidak bersalah,” lanjut Hanaru dengan menatap sekelilingnya, mencoba terlihat meyakinkan.
Sebagian besar siswi tampak khawatir, sementara para siswa menunjukkan raut tidak senang.
“Sakuraba, kau serius baik-baik saja?”
“Ya. Aku yakin aku seratus persen masih waras.”
Bisik-bisik mulai terdengar dari segala arah.
“Hanaru-chan.”
Sang pemilik nama menoleh ke sumber suara, hanya untuk menemukan dirinya berada dalam pelukan seorang siswi di detik berikutnya.
“Aku tahu pasti berat rasanya diancam oleh si Bakajiyama itu. Kau tidak harus menanggungnya sendirian. Kami ada di sini untukmu. Kau bisa bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa dengan pemuda itu nantinya. Jangan khawatir.”
Masih dengan kebingungan memenuhi kepala, Hanaru akhirnya mengembuskan napas panjang dan mengangguk pelan.
“Baiklah, terserah kata kalian.”
Siswi yang memeluk Hanaru tadi melepaskan dekapannya dan menatap gadis berambut merah muda di hadapannya dengan mata berbinar.
“Hei, bagaimana kalau si Kajiyama itu kita jadikan target perundungan berikutnya saja?”
Kali ini usulan yang lagi-lagi membuat Hanaru menatap tidak percaya itu dicetuskan oleh salah satu siswa yang berdiri agak jauh dari kursi gadis itu.
“Sepertinya menarik, tapi sepertinya akan menyebalkan kalau dia balik membalas kita ketika sedang asik-asiknya merundung.” Teman di sebelahnya menyahut.
“Bodoh, di situlah keseruannya! Rasanya seperti menjinakkan anjing liar!”
“Haha, gila kau! Bagaimana kalau dia mengigitmu dan ternyata dia memiliki rabies?”
Hanaru kali ini benar-benar ternganga. Dia menggelengkan kepala sekejap demi memantapkan diri. Dia harus membela Fuuta kali ini. Mereka sudah cukup keterlaluan dengan membandingkan pemuda yang bertempat duduk di belakangnya itu dengan anjing liar.
“Hei—”
“Berisik! Dari tadi mengeluh terus, ini juga salah kalian aku jadi ikut terseret ke masalah sialan ini!”
Baru saja hendak menegur kumpulan siswa yang mengatakan hal jahat tentang Fuuta, tokoh utama pembicaraan tersebut membuka pintu kelas dengan kasar sembari berteriak menghadap rombongan di belakangnya.
“Ya, ya, terserah. Oi, semuanya! Inugami-sensei izin cuti! Kelas kita kosong sampai jam istirahat!”
“Wooh! Seriusan? Asik!”
“Pantas dari tadi tidak ada tanda-tanda guru anjing itu.”
“Akhirnya kebebasan! Masa mudaaa!”
Di tengah keributan yang ditimbulkan akibat pengumuman barusan, Fuuta tampak berdecak kesal saat berjalan menuju tempat duduknya. Tak lupa mengusir semua yang berkerumun di sekitar Hanaru sebelum menduduki kursi miliknya. Pemuda itu lalu langsung mengeluarkan ponsel tanpa memedulikan kericuhan di sekelilingnya.
Hanaru berkali-kali mengatur napas sebelum memberanikan diri memundurkan kursinya dan mendorong tubuhnya ke belakang hingga kaki depan kursinya terangkat. Kepalanya ditolehkan ke belakang dan memanggil pemuda yang duduk di belakangnya dengan desisan.
“Psst, bagaimana di ruang guru tadi?”
Fuuta menggeram sambil menatap kesal. “Ah? Bukan urusanmu. Jangan sok dekat denganku, muka dua.” Kemudian lanjut menatap ponselnya yang dia gulirkan layarnya.
Hanaru kali ini tertawa kecil. Keanehan teman-teman sekelasnya tadi membuat respon Fuuta seolah menyegarkan. Respon alami yang sangat mudah untuk diprediksi.
“Ayolah, aku benar-benar serius dengan tawaran untuk menjadi teman kemarin. Omong-omong, mereka,” Hanaru melirik teman-temannya yang sibuk merayakan jam kosong dengan bergossip ria sembari menatapnya intens, “katanya berencana untuk menjadikanmu korban perundungan mereka selanjutnya. Sebaiknya kau hati-hati ke depannya. Tentu saja aku tidak akan ikut dengan mereka. Aku sudah menyatakan kalau aku sekutumu kemarin, ‘kan?”
Alis Fuuta yang pada dasarnya memang tajam, semakin tertekuk ke dalam. Wajahnya yang perlahan memucat menunjukkan ekspresi tidak percaya. Kedua matanya menatap sekeliling sekilas sebelum berdecih pelan.
“Aku tidak takut pada apapun,” ketus pemuda itu kembali menatap layar ponselnya, mencoba berpura-pura tidak peduli.
Hanaru tertawa pelan dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Dia tidak ingin terlalu menarik perhatian murid lain yang masih mengawasi.
“Serius? Oh ya, kalau besok kau merasa bosan, kau bisa bicara padaku. Sekarang situasi kita mirip, sama-sama tidak punya teman yang bisa dipercaya lagi. Bagaimana kalau kita menjadi teman dekat saja sekalian?”
Lagi-lagi Fuuta melayangkan tatapan tajam pada Hanaru sekilas, sebelum melanjutkan aktivitas menggulirkan layar ponselnya. “Jangan samakan aku dengan kau. Lagi pula pembicaraan para gadis itu membosankan, lebih baik aku berbicara dengan orang asing di internet. Yah, walau orang-orang bodoh di sana sekarang sudah bertambah banyak, ck.”
Senyum di wajah Hanaru perlahan bertambah lebar. Pemuda itu selalu membalas dengan nada ketus nan kasar, tetapi menjawab dengan benar kalau ditanya.
Menarik juga, aku rasa akan menyenangkan berbicara dengan seseorang dengan character dynamic seperti dia ke depannya. Kikikan lolos dari mulut gadis bernetra merah muda itu.
Bel istirahat beberapa saat kemudian berbunyi.
Hanaru memutuskan untuk kembali ke posisi awalnya dan hanya melihat dari tempat duduk saja ketika Fuuta bangkit dari kursinya kemudian keluar kelas. Masih banyak murid yang terang-terang bergosip atau mengejek pemuda itu tepat di depan orangnya saat Fuuta berjalan melewati mereka.
Hanaru sendiri masih harus menghadapi interogasi teman-temannya—teman pemilik asli tubuh ini—mengenai pembicaraan singkatnya dengan Fuuta barusan.
Kelanjutan setelah bel masuk berbunyi hingga pulang sekolah, seperti biasa. Belajar seperti biasa, mendengarkan gossip harian mengenai Fuuta, dan pulang ke rumah masing-masing.
“Hanaru-chan! Kalau Bakajiyama itu mengganggumu lagi, bilang saja padaku! Akan aku pastikan dia merasakan akibatnya!”
“O-oke! Dadah!”
Hanaru membalas lambaian siswi yang mengucapkan salam perpisahan padanya sebelum berjalan ke arah yang berbeda dengan gadis tersebut.
Hanaru sengaja ikut pulang bersama teman-teman pemilik asli tubuh yang dia gunakan saat ini agar tidak menimbulkan kecurigaan lebih jauh lagi. Beruntung, mereka berpisah di halte bus dekat sekolah. Hanaru yang tidak tenang selama perjalanan pulang bersama, kini bisa menghela napas lega. Gadis itu tersenyum, bahkan sedikit melompat-lompat sepanjang perjalanan menuju rumah karena merasa gembira.
“Hah, semoga besok aku bisa berbicara dengan Fuuta-kun lebih banyak lagi! Aku jadi menantikan bagaimana interaksi kami besok di sekolah,” tutur gadis itu ketika telah merebahkan diri di kasur kamar.
Hanaru bangun sedikit lebih cepat dari biasanya pagi ini. Hanya butuh waktu satu menit untuk mengumpulkan kesadaran setelah bangun tidur, biasanya butuh waktu lima menit sampai setengah jam. Gadis itu pun telah bersiap-siap di depan cermin kamar dengan seragam lengkap dan tampilan rapi untuk berangkat ke sekolah.
“Sip, saatnya ke—”
Terdengar dering ponsel yang memutar lagu dengan ritme bersemangat. Hanaru melirik ponsel di saku rok seragam sekolahnya, tetapi tidak merasa kalau sumber suaranya berasal dari sana.
“Hah.”
Kali ini, suara berisik yang seakan memukul nyeri di kepala itu terdengar semakin jelas. Bersamaan dengan perasaan tidak asing serta aroma familier yang sedikit demi sedikit membantu menyadarkan gadis yang salah satu tangannya masih menggenggam erat selimut di depan dada kirinya. Dari sana dapat terasa degup liar yang sampai mengganggu indra pendengaran sang gadis. Napasnya memburu. Panik, dia bangkit mengambil ponsel miliknya di atas meja belajar dan melirik keterangan waktu di sana.
“Sial, kesiangan! Belum terlambat, sih. Aaah! Aku mau lanjut bermimpi sajaaa!”
Meski debaran jantungnya belum tenang sama sekali ataupun ingatannya yang masih tumpang tindih antara mimpi dan kenyataan, gadis itu tetap mengomel sembari mempersiapkan diri untuk kegiatannya setelah ini.
“Yah, mana mungkin juga kehidupanku seindah itu. Jelas banget itu mah mimpi.”
Ruangan itu akhirnya dipenuhi oleh suara rengekan sang gadis untuk dapat kembali ke alam mimpinya.
Sangat berkebalikan dengan keinginan terus menerusnya di alam mimpi untuk cepat terbangun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top