Bait VII
夢や希望とかを 語ることを嫌って
ちゃんと現実をね 見つめていて
正しいことだけしか 言わないから
ずっとさらけ出せず おとなしくしてるの
♬♩♪♩ ♩♪♩♬
Dua insan berlawanan jenis tengah duduk di bawah pohon rindang, menikmati pemandangan yang tersaji di hadapan. Cuaca yang cerah dengan langit biru berhias awan-awan putih dan tiupan angin lembut nan menerbangkan kelopak rapuh bunga dandelion ke angkasa, sungguh suatu panorama yang menyejukkan hati.
Sepasang mata berwarna kuning kecoklatan bak madu menatap setangkai bunga dandelion yang ada di genggaman, kelopaknya masih utuh. Sebuah pertanyaan terus menari dalam pikirannya, menarik gadis si empunya mata madu jatuh ke alam lamunan tanpa sadar.
"Apa benar jika membisikkan keinginan pada bunga dandelion dan meniupnya akan membuat keinginan itu menjadi kenyataan?"
Pertanyaan polos yang lolos begitu saja dari sang puan berambut pirang membuat pemuda di sebelahnya terkekeh. Jejaka dengan rambut hitam berombre toska tersebut memetik setangkai bunga dandelion di dekatnya, turut mengamati dengan tatapan tertarik.
"Entahlah," balasnya sembari melirik ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. "Mengapa kau tidak membuktikannya sendiri?"
Sang dara― Lumine mengerjapkan kedua mata, lantas mengangguk. Ia pun mendekatkan bunga putih itu ke depan bibir dan meniupnya, menerbangkan kelopak rapuh kembang tersebut bersama angin yang berhembus. Si pemuda― Venti terhibur akan kepolosan yang ditunjukan oleh sang kekasih.
"Apa permintaanmu?" celetuk sang jejaka sambil memiringkan kepala dengan senyum sumringah.
"Gak akan kukasih tahu," ketus Lumine. "Kalau kukasih tahu, nanti permintaanku tidak akan menjadi nyata, dong."
Jawaban lugu yang diberikan kekasihnya membuat Venti mendengkus geli sebelum akhirnya pecah menjadi gelak tawa. Di sisi lain, Lumine telah mengepalkan tangan, bersiap untuk meninju pemuda penyuka syair tersebut.
"Eh, eh. Jangan marah dulu," pinta Venti sambil mengangkat kedua tangan. "Aku hanya gemas akan jawabanmu, kau tahu. Tidak perlu marah."
Lumine hanya berdecih dan menyedekapkan tangan di depan dada. Kedua netranya mengamati jejaka yang menirukan gesturnya sebelumnya― memetik lalu meniup bunga dandelion sembari membisikkan keinginan.
Venti terus menatap kelopak yang terbang dibawa angin tersebut hingga hilang karena jarak. Lumine menatap kekasihnya itu dengan tatapan penasaran, berharap sang pemuda memberi tahukan keinginannya.
"Jika kau berharap aku akan ngasih tahu permintaanku, harapanmu pupus," ucap Venti sambil menoleh ke arah Lumine dengan senyuman usil. "Karena, aku tidak akan melakukannya."
Sang gadis pirang mendengkus kesal, memalingkan wajah ke arah lain. "Siapa pula yang penasaran."
Balasan tersebut pun disambut dengan tawa Venti yang mengalun di antara gemerisik rindangnya dedaunan tertiup angin.
♬♬♬
"Lumine?"
Sang empunya nama mengerjapkan mata, mendapati dirinya tengah duduk di bangku restoran dengan semangkuk menu crab roe tofu di hadapan. Ah, Lumine ingat sekarang. Saat ini ia tengah makan siang bersama Albedo di Restoran Wanmin milik keluarganya Xiangling― salah satu temannya semasa SMP.
"Apa kamu tidak menyukai menunya? Kamu belum menyentuh makananmu sedari tadi."
Lumine menggeleng cepat. "Tidak, kok. Aku sangat menyukainya. Aku hanya ... melamun sebentar."
"Begitu, ya."
Lumine mengangguk. Tangan rampingnya meraih sendok dan mengambil sesuap hidangan di hadapan, lantas memasukannya ke dalam mulut. Dehaman panjang terdengar setelahnya bersamaan senyum bahagia yang merekah di bibir, kedua mata memejam akibat kenikmatan yang terasa di lidah. Rasa dan sensasi dari makanan tersebut masih sama saat ia pertama kali datang kemari, membuat sang puan merasa bernostalgia.
Tatkala Lumine membuka mata, ia mendapati Albedo yang tengah tersenyum ke arahnya. Kedua pipi sang puan memerah, ia langsung merutuki dirinya sendiri karena lupa menjaga sikap.
"Maaf," lirih Lumine tanpa menatap kedua ambar biru milik Albedo.
Sang pemuda tertawa pelan. "Tidak apa-apa. Kamu terlihat menggemaskan, jadi tidak masalah."
Lumine langsung menundukkan kepala, memasukan sesendok hidangannya ke dalam mulut― berusaha menyembunyikan rona merah yang mewarnai kedua pipi. Albedo meloloskan tawa pelan, menikmati reaksi kekasihnya yang tengah tersipu di hadapan.
Jejaka dengan mata biru itu menyuapkan sesuap tianshu meat ke dalam mulut, mengunyah dan menelannya sebelum kembali angkat bicara.
"Lumine, akhir-akhir ini kamu sering melamun. Apa kamu punya masalah?" tanya Albedo dengan raut wajah cemas.
Yang ditanya langsung menggeleng. "Tidak ada, Albedo. Semuanya baik-baik saja."
"Sungguh?"
"Iya," balas Lumine sambil menganggukan kepala. "Aku hanya ... terpikirkan oleh beberapa hal."
Albedo berdeham, sorot matanya menyiratkan rasa ingin tahu. "Begitu, ya. Hal yang seperti apa?" tanyanya.
"Apakah keinginan dan harapanku kelak tercapai atau tidak, seperti itu?" jawab Lumine dengan nada yang lebih condong seperti pertanyaan.
Balasan tersebut dibalas dengan dehaman panjang oleh Albedo. Pemuda itu kembali memasukkan daging ke dalam mulut, mengunyahnya sambil menyimak apa yang akan dikatakan oleh sang puan selanjutnya.
"Albedo, menurutmu, apa itu harapan?"
Albedo menelan makanan di dalam mulutnya, lantas menjawab, "Menurut kamus besar, harapan adalah suatu keinginan supaya menjadi kenyataan. Serupa dengan keinginan, hanya saja harapan cenderung lebih tinggi."
"Begitu, ya," tanggap Lumine dengan nada memahami. "Lalu, apa menurutmu suatu harapan bisa menjadi nyata? Aku ingin mengetahui pendapatmu."
"Tercapai atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha yang dilakukan oleh subjek. Jika hanya berharap, kemungkinan berhasil tidaknya ia mencapai tujuan sangatlah kecil,"
"O-oh," respon Lumine sembari menyuapi mulutnya dengan sesendok crab roe tofu lagi. Aku sudah memperkirakan jawabannya, tapi entah mengapa aku masih merasa malu atas perbedaan pemikiran kami.
Albedo adalah seorang yang realistis― orang yang lebih fokus pada masa sekarang daripada memikirkan masa depan nan jauh dan tak tentu, Lumine tahu hal itu sejak awal. Mengharapkan balasan berbagi harapan akan masa depan mereka masing-masing merupakan hal yang mustahil.
Lumine berusaha mengembangkan senyum, bersikap seolah-olah jawaban dari sang kekasih tidak mengganggunya. Ia harus bersikap tenang dan tetap anggun, pendam semua yang dirasa dan sembunyikan dengan senyuman.
Lagipula, seperti itu 'kan orang dewasa seharusnya bersikap?
♬♩♪♩ ♩♪♩♬
「 Dia tak suka membicarakan mimpi dan harapan
Lebih fokus menghadapi kenyataan
Hanya berkata apa yang semestinya
Ku terus diam tanpa pernah mengungkap jati diriku 」
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top