Bait IV
だからもう会えないや ごめんね
だからもう会えないや ごめんね
あなたも早くなってね
別の人の彼氏に
♬♩♪♩ ♩♪♩♬
Dering yang menyembur dari telepon genggam mengambil perhatian Lumine. Lantas, gadis itu menghentikan kegiatan mendesain brosurnya, meraih benda pipih tersebut dan menjawab panggilan.
Paimon― adalah nama yang muncul ia memandang layar handphone miliknya. Puan dengan mata sewarna madu itu menghela napas, sudah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh si pemanggil. Walau demikian, Lumine tetap mengangkatnya.
"Halo? Selamat malam, Paimon," sapanya ramah.
"Malam, Lumine! Aku merindukanmu!" ujar suara dari seberang panggilan dengan nada dramatis.
Lumine terkekeh, mantan manajernya itu sama sekali belum berubah― masih saja cerewet dan suka berbicara dengan nada bicara yang dilebih-lebihkan.
Paimon akhir-akhir ini masih sering menghubunginya, entah itu untuk mengeluh akan pekerjaannya maupun berbasa-basi belaka. Lumine sama sekali tidak merasa risih, justru ia merasa senang karena tetap dapat berhubungan dengan sang mantan manajer― walau kini bukan sebagai kolega bisnis.
Entah mengapa, sesi telepon bersama Paimon selalu mengingatkannya akan masa-masanya menjadi publik figur tiga tahun yang lalu.
"Kita baru saja berbincang lewat telepon kemarin malam, Paimon," tanggap Lumine atas balasan yang diberikan oleh gadis bersuara cempreng itu.
Paimon membalas tanggapan Lumine dengan tawa canggung.
"Ngomong-ngomong, bagaimana pekerjaanmu? Apa tokomu ramai hari ini?" tanya Paimon mengalihkan topik.
Lumine berdeham. "Iya, lumayan banyak yang berkunjung. Yah, walau bunga yang paling laris hanya inteyvat, windwhell aster dan ... cecilia."
Cecilia, bunga itu selalu mengingatkannya akan mantan kekasihnya. Seakan takdir tengah mempermainkan dirinya, bunga dengan kelopak putih itu selalu menjadi bunga yang paling sering dibeli oleh pelanggan. Mengenaskan memang.
"B-Begitu, ya," balas Paimon dengan nada ceria yang sedikit canggung. "Tampaknya kau menikmati pekerjaanmu, ya. Hei, apa kau masih tidak mau menerima tawaranku?"
Setiap kali berbincang dengan Lumine lewat telepon, Paimon selalu memberi tawaran padanya untuk kembali ke dunia hiburan. Bukan hanya karena kesuksesan Lumine yang membawa imbas baik pada agensi mereka, tapi juga karena Paimon sudah menganggap gadis itu sebagai saudarinya sendiri. Ia masih merasa berat hati akan keputusan Lumine hari itu.
Paimon terus meminta Lumine untuk kembali, namun sang puan tetap kukuh pada keputusannya.
Lumine tersenyum. "Aku tetap menolaknya. Maaf Paimon, tapi aku sudah menikmati hidupku sebagai seorang florist."
Kekehan kecewa terdengar dari seberang panggilan. "Apa boleh buat jika kau berkata begitu. Yah, aku turut senang jika kau juga senang."
"Terima kasih."
Paimon hanya menanggapi ucapan tersebut dengan dehaman. Terdengar suara lain dari seberang panggilan, tampaknya seseorang tengah memanggil mantan manajernya itu untuk mengurus suatu hal. Ucapan tersebut tak terdengar jelas, Lumine hanya bisa mendengar balasan Paimon yang mengatakan bahwa ia akan segera menyusul.
Helaan napas terdengar kembali dari telepon. "Aku sebenarnya ingin berbicara panjang lebar denganmu, tapi pekerjaan memanggilku."
Lumine tertawa pelan. "Baiklah."
"Sampai jumpa!"
"Hm, sampai jumpa."
Dengan begitu, panggilan pun berakhir. Lumine memandangi layar ponselnya, lantas mengulas senyum sendu. Tampaknya, Paimon sudah menyadari alasan sebenarnya ia mengambil keputusan itu tiga tahun lalu, namun memilih untuk tidak membahasnya lebih jauh― dan Lumine berterima kasih atas hal tersebut.
Lumine meletakkan ponselnya ke meja, mengalihkan pandangan ke layar monitor untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Namun, beberapa menit kemudian, dering yang sama terdengar dari benda persegi panjang itu.
Perempuan muda bersurai emas itu meraih ponselnya, mengecek si pemanggil sebelum mengangkat panggilannya.
"Halo, Ganyu. Ada apa menelepon malam-malam seperti ini?"
"Ah. Selamat malam, Lumine," balas suara lembut nan halus dari seberang panggilan. "Sebelumnya maaf karena menghubungimu di jam seperti ini."
"Tidak apa-apa," tanggap Lumine dengan nada ramah. "Jadi, ada apa?"
"Sebenarnya, teman-teman alumni SMA akan mengadakan acara reuni Sabtu depan nanti. Apa kamu bisa datang?"
"Reuni, ya ... yang mengadakan alumni kelas kita saja atau satu angkatan?"
"Satu angkatan, Lum."
Lumine berdeham. "Begitu, ya."
Gadis itu tersenyum miris. Ia tak habis pikir, mengapa takdir seakan senantiasa berusaha mempertemukan dirinya dengan sang mantan kekasih? Mulai dari bunga cecilia, musik yang diputar setiap kali ia menaiki taksi online, dan sekarang acara reuni yang berkemungkinan besar akan mempertemukan mereka lagi― sungguh suatu rentetan kebetulan yang patetis.
"Maaf sekali, Nyu. Tapi, aku tidak bisa datang. Aku sibuk hari itu," dusta Lumine dengan nada bersalah.
"Oh, begitu ya," balas Ganyu memaklumi. "Tidak apa-apa jika kamu tidak bisa datang, Lumine. Nanti akan kusampaikan ke teman-teman."
"Terima kasih, Ganyu."
Ganyu berdeham. "Sama-sama, Lumine. Kututup, ya. Selamat malam."
"Ya. Selamat malam."
Setelah itu, suara 'tut' terdengar bersamaan dengan berakhirnya panggilan. Lumine menghela napas dan memandang langit-langit, sebelum akhirnya tertawa hambar.
Tawa berganti isak bersamaan dengan air mata yang lolos dari pelupuk mata, mengalir membasahi pipi. Lumine menutupi matanya yang masih terus menitikkan tirta bening dengan lengan, senyuman sendu terlukis di bibir mungilnya.
"Takdir sialan."
♬♩♪♩ ♩♪♩♬
「 Karenanya, aku tak bisa lagi menemuimu maaf ya
Karenanya, aku tak bisa lagi menemuimu maaf ya
Kamu juga cepatlah
Jadilah kekasih orang lain 」
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top