Bait III

キスや態度だけで 終わらせたりせずに
ちゃんと「好きだ」という 言葉でくれるの
怒鳴りあいはおろか 口喧嘩もなくて
むしろ怒るとこが どこにもないの

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Seorang gadis dengan rambut sekuning emas menghela napas lelah. Kakinya terasa lemas karena menari selama jam penuh, napasnya terengah-engah akibat terlalu banyak mengeluarkan energi. Senyuman mengembang di bibirnya tatkala merasa puas dengan hasil latihannya hari ini.

Gadis itu― Lumine berjalan ke arah pojok ruangan di mana botol minum dan handuknya berada. Diraihnya botol minum berwarna putih dengan corak kebiruan tersebut, lalu menegak air di dalamnya. Selesai meminum air, sang puan mengusap ujung bibir yang basah akibat tirta bening tadi.

Lumine mengusap wajahnya yang terasa lengket karena keringat dengan handuk, sekali lagi meminum air dalam botol minumnya. Suara knop pintu yang dibuka membuat sepasang iris madu itu melirik, mendapati seorang pemuda bersurai hitam dengan ombre toska yang tengah mengulas senyum.

"Selamat malam, cecilia manisku," sapanya dengan nada ceria. "Tampaknya kau berlatih keras lagi hari ini."

"Malam, Venti," balas Lumine dengan senyuman. "Aku berlatih tidak begitu keras, kok. Hanya mengulangi gerakan agar aku hafal di luar kepala."

Venti menghela napas. "Yah, terserah katamu. Walau kunasehati pun, kau pasti akan membantah lagi nantinya."

Lumine terkekeh atas ucapan yang terlontar dari mulut pemuda penyuka amer itu. Yah, ucapan Venti memang benar, Lumine merupakan tipikal orang yang keras kepala jika diberi nasehat.

Jejaka itu sering kali mengingatkan agar sang puan jangan terlalu memaksakan diri dalam berlatih. Namun, peringatannya tersebut sering kali ditanggapi dengan bantahan diiringi kata-kata seperti, 'aku hanya...', 'jangan terlalu mengkhawatirkanku...,' dan seterusnya.

Venti benar-benar gemas akan sikap Lumine yang menurutnya terlalu pekerja keras. Seorang yang rajin dan pekerja keras, benar-benar berbeda dengan saudara kembar gadis itu yang senang bermalas-malasan dan bersantai sambil membaca komik. Yah, walau tak dipungkiri dirinya tak jauh berbeda dengan Aether― saudara kembar Lumine.

Kembali ke cerita.

Pemuda dengan mata hijau kebiruan itu berjalan menghampiri Lumine, mendekap tubuh kecil perempuan pirang itu dalam pelukan. Diletakannya kepala ke pundak sang puan, menikmati aroma bunga aster yang menyusup ke dalam penghidu. Ah, wangi tubuh dari kekasihnya memang yang terbaik.

"V-Venti, a-aku masih berkeringat," lirih Lumine sambil mendorong pelan dada Venti, rona tipis menghias kedua pipinya.

Namun, daripada menyudahi, Venti justru semakin mempererat pelukannya― yang mana membuat pipi Lumine kian memerah. Mendengkus, sang gadis memilih untuk mengelus surai malam pemuda di pelukan, membiarkan helaian rambut nan halus itu menyusup di sela-sela jemari lentiknya.

Venti terkekeh pelan, kemudian meniup leher jenjang Lumine. Dara itu memekik kaget dan langsung mendorong pemuda di hadapannya dengan sekuat tenaga, tangannya sigap menyampirkan handuk ke pundak untuk menutupi leher.

"A-Apa yang kau lakukan?!" jerit Lumine sambil terus memegangi leher, wajahnya merah padam.

"Hm? Aku hanya meniup lehermu," kata Venti dengan polosnya tanpa merasa bersalah, senyuman miring menghias rupa sedetik setelahnya. "Ngomong-ngomong, suara terkejutmu tadi sangat imut, Lumi."

Lumine mengalihkan pandangan, kedua pipinya menggembung karena kesal. "Jangan meggodaku," gerutunya dengan bibir mengerucut.

Venti tertawa, menikmati wajah tersipu Lumine yang terlihat begitu menggemaskan.

"Maaf," tuturnya setelah selesai tertawa, tangannya mencubit pipi tembam gadis pirang di hadapan. "Tapi, jika pacarku seimut ini, bagaimana aku bisa tahan untuk tidak menjahilinya?"

Lumine kembali mendengkus, ini tidak adil bagaimana ia begitu mudah terjahili oleh oleh kekasihnya. Bagi Lumine, Venti seperti setan yang suka berbuat iseng pada manusia. Ya, setan, setan yang manis.

"Oi, tukang mabuk! Sudah waktunya pulang!"

Panggilan dari suara familier itu membuat Venti mengulum senyum masam. Kenapa harus sekarang?!

"Kak Ae?" cicit Lumine heran. Ekspresi wajahnya kemudian berubah menjadi marah, tangannya berkacak pinggang. "Venti, jangan bilang kamu kabur sebelum latihan selesai."

Jejaka itu mengalihkan pandangan dan bersiul, bersikap seolah tak tahu apa-apa. Lumine menyipitkan kedua matanya, sudah mengetahui jawabannya hanya dari gerak-gerik kekasihnya itu.

Dara pirang itu menghela napas, kemudian menyilangkan tangan di depan dada. "Kamu sebaiknya segera ke sana. Kak Ae mungkin akan membunuhmu jika tahu kamu ada di sini."

"K-Kau ada benarnya," balas Venti dengan nada ketakutan. Ia segera berlari ke arah pintu. "Kalau begitu, aku pergi dulu."

Lumine mengangguki. "Ya, hati-hati di jalan."

"Oh iya, aku lupa satu hal."

Lumine mengernyitkan dahi begitu melihat Venti berlari kembali ke arahnya. Belum sempat ia bertanya, pemuda itu langsung membungkam bibirnya dalam ciuman. Sang gadis yang tak sempat mengelak hanya bisa bergeming dengan kedua pipi yang memerah.

Ciuman itu hanya berlangsung singkat. Venti menarik diri beberapa detik kemudian, senyum lebar menghiasi rupa imutnya. Pemuda tersebut lantas lari ke arah pintu, meraih knop lalu membukanya.

Venti menoleh ke belakang, melemparkan senyuman kepada kekasihnya yang masih terdiam itu sambil melambaikan tangan. "Sampai jumpa besok, Lumi!"

Dan pintu pun ditutup dengan suara keras.

♬♬♬

"Lumine, bangunlah. Kita sudah sampai."

Lumine mengerang pelan. Gadis itu perlahan membuka matanya, sesekali menggosoknya untuk memperjelas pandangan. Tatkala pemandangan sekitarnya tak lagi menjadi buram, kedua iris madu Lumine bertatapan dengan sepasang netra biru yang familier.

Sang pemilik mata biru itu― Albedo tersenyum dan mengulurkan tangan. Lumine mengerjapkan mata. Ah, ia ingat sekarang. Dirinya sedang diantar pulang sang kekasih setelah pulang dari art museum date mereka hari ini.

Dan dari pernyataan juga gestur pemuda berambut pirang platina itu, Lumine dapat menyimpulkan bahwa mereka sudah sampai di depan apartemennya.

Sang puan bersurai keemasan menghela napas pelan. Ternyata mimpi to.

"Lumine?"

Lumine lantas menggelengkan kepalanya, meletakan tangan pada telapak tangan Albedo. "Aku tidak apa-apa," katanya dengan intonasi lembut.

Albedo hanya menatap gadis itu dengan tatapan menyelidik, memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.

Dengan bantuan Albedo, Lumine turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih setelahnya. Kekasihnya itu hanya membalas ucapannya dengan senyuman.

"Akan kuantar sampai ke pintu apartemenmu," tutur Albedo sambil meraih tangan Lumine.

Namun, gadis itu menggeleng. "Tidak perlu repot-repot, Albedo. Aku bisa ke sana sendiri."

"Tidak merepotkan sama sekali, kok," sanggah sang jejaka. "Kuantar, ya?"

Mendapat tawaran (yang sedikit memaksa) dari kekasihnya, Lumine akhirnya menghela napas dan mengangguk― menerima ajuan tersebut. Albedo terkekeh, kebiasaan sulit menolak yang dimiliki oleh Lumine membuatnya semakin gemas pada gadis itu.

Begitu sampai di pintu apartemennya, Lumine mengucapkan terima kasih kepada Albedo.

"Terima kasih atas kencannya hari ini, Albedo. Aku sangat menikmatinya," ujarnya sambil menampilkan senyum mata tertutup.

"Sama-sama, aku senang mendengarnya," balas Albedo ramah.

Pemuda itu kembali mengulurkan tangannya― yang mana membuat dahi Lumine mengernyit bingung. Dengan ragu-ragu, dara pirang itu meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan sang lawan jenis.

Albedo menggenggam telapak tangannya, memberi kecupan lembut ke punggung tangan. Gestur tersebut membuat pipi Lumine merona sempurna, ia belum terbiasa dengan perlakuan tuan putri seperti itu.

Pemuda bermata biru itu kemudian menarik diri, lantas terkekeh tatkala menangkap wajah merah Lumine. Kekasihnya memang seorang gadis yang imut dan menggemaskan.

"Kalau begitu, aku pamit undur diri," katanya sambil melepaskan genggaman. "Sampai jumpa, Lumine."

Lumine menunduk, kemudian mengangguk malu. "Y-Ya ... sampai jumpa, Albedo."

Dengan begitu, pertemuan mereka hari itu berakhir. Albedo segera berjalan pergi menyusuri koridor, meninggalkan Lumine yang masih memandangi kepergiannya hingga sosoknya hilang di balik belokan.

Sang gadis pirang menghela napas begitu mengingat mimpinya tadi. Ia merasa seperti seorang perempuan yang tak tahu diri, bisa-bisanya memimpikan lelaki lain walau telah memiliki kekasih.

Aku benar-benar memalukan.

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Dia takkan mengakhiri hanya dengan ciuman dan sikap manja
Sebelum dia mengatakan "Aku mencintaimu" dengan tegas
Kita tak pernah berdebat apalagi saling merajuk
Malah aku tak punya alasan apapun untuk marah padanya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top