Bait I
別の人の彼女になったよ
今度はあなたみたいに 一緒にフェスで大はしゃぎとかはしないタイプだけど
余裕があって大人で 本当に優しくしてくれるの
♬♩♪♩ ♩♪♩♬
Sapuan warna jingga nan hangat di angkasa telah hilang, tergantikan dengan kegelapan malam berhias taburan bintang. Iluminasi lampu dari kedai-kedai yang berjejer mengusir gelap, menjadi penerang utama dalam festival kembang api yang diadakan di Pulau Narukami malam itu.
Seorang gadis jelita berbalut yukata putih dengan motif flora kebiruan berjalan pelan di antara keramaian manusia yang berlalu-lalang. Rambut pirang sebelah kirinya dijepit ke belakang dan dihias dengan ornamen jepit bunga putih yang apik, menambah kesan manis pada sosoknya. Riasan tipis menghias rupa, membuat sang puan tampak semakin rupawan.
Sang gadis― Lumine kembali berusaha tampil anggun petang itu.
Sepasang netra madu milik Lumine menatap sosok pemuda yang berjalan beriringan di sebelahnya.
Pemuda tersebut mengenakan setelan kaos hitam dengan mantel coklat pucat sebagai luaran, celana panjang berwarna gelap membungkus kedua tungkainya dengan sempurna. Rambut pirang pucatnya bersinar di bawah sorotan lampu, membuat sosok lelaki muda berwajah tampan itu terlihat kian menarik untuk dipandang.
Albedo, pria yang kini telah merangkap status menjadi kekasihnya itu tetap tampak menawan walau mengenakan pakaian kasual.
"Ada apa?"
Suara lembut nan familier tersebut membuat Lumine terjengat. Gadis tersebut lantas mengerjap, kedua mata kuning kecoklatannya berisitatap dengan netra biru milik pemuda di hadapan. Sang lelaki terkekeh, membuat Lumine langsung mengalihkan pandangan karena malu.
Aku tertangkap basah..., batin sang puan bersurai emas sambil terus menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai menyebar di kedua pipi.
"Maaf," cicit Lumine pelan, genggaman pada tali tas serut yang dibawanya mengerat.
"Tidak apa-apa," balas Albedo dengan nada lembut.
Lumine langsung menoleh begitu merasakan kehangatan yang membungkus jemarinya, mendapati Albedo tengah menggenggam telapak tangannya sambil mengulas senyum tipis.
"Kau bisa menatap wajahku selama dan kapan pun kau mau, Lumine," lanjut pemuda berambut pirang pucat itu, genggamannya pada tangan sang puan sedikit mengerat. "Lagipula, kau kekasihku, bukan?"
Pipi Lumine semakin memerah begitu mendengar penuturan dari Albedo. Senyum kecil menghias wajah, ia dengan pelan menganggukan kepala sebagai ungkapan setuju.
"Benar," Lumine menggenggam balik tangan kekasihnya. "Aku adalah kekasihmu."
Balasan tersebut disambut dengan senyuman tipis dari Albedo, ia kembali mengeratkan pegangan pada tangan sang hawa di hadapan. "Pegang erat tanganku, jangan sampai lepas. Aku tidak mau kau hilang di tengah kerumunan."
"Baiklah," balas Lumine disertai anggukan singkat. Gadis itu juga turut mengeratkan genggaman pada tangan Albedo disertai rekahan senyum.
Keduanya pun mulai berjalan bersama, berbaur dengan kerumunan orang-orang yang juga bertujuan untuk menikmati festival. Suara-suara geta* yang bersentuhan dengan tanah berlapis beton menggema di udara, bersatu padu dengan teriakan para penjual yang menjajalkan dagangan.
Kedua mata kuning madu memandang sekitar, disusul dengan mengembangnya senyum di bibir plum sang puan. Harum aroma makanan yang menusuk penghidu, suara berisik para pengunjung, juga musik bernuansa Inazuma yang terdengar merdu― semuanya masih sama bagi Lumine.
Benar, semuanya masih sama ... masih sama seperti hari itu― hari di mana ia pergi ke sana bersama seorang pemuda dengan suasana secerah langit musim semi.
Pikiran Lumine sekali lagi ditarik untuk mengingat masa-masa itu.
♬♬♬
"V-Venti, t-tunggu!" seru Lumine khawatir kepada seorang pemuda bersurai hitam dengan ombre toska di depannya― sosok yang tengah menarik tangannya saat ini.
Namun, pemuda bernama Venti itu hanya menyambut kekhawatiran Lumine dengan tawa riang. Ia menoleh ke arah sang puan, mata hijau kebiruannya memantulkan cahaya terang dari lampu stan-stan festival, membuatnya tampak lebih cerah dari biasanya. Senyum merekah disertai genggaman yang semakin erat, kebahagiaan terpancar jelas dari gelagat lelaki muda itu.
"Kau terlalu lamban, Lumine!" sahut Venti diakhiri dengan tawa khasnya. "Jika kau lamban begitu, kau tak akan bisa menikmati festivalnya, lho."
"T-Tapi, bagaimana dengan manajer kita? Jean dan Paimon ... mereka pasti akan marah jika tahu kita kemari," terang Lumine dengan raut cemas. "L-Lalu, bagaimana jika orang-orang melihat kita? Kita pasti akan--"
Venti mengentikan langkahnya, yang mana membuat Lumine langsung bungkam. Pemuda itu berbalik, menatapnya dengan tatapan teduh.
Venti mengangkat tangan mereka yang bertaut, tangannya yang satu lagi turut menggenggam tautan itu. "Tenang saja, tidak akan ada yang tahu kita ke sini. Yah ... belum, lebih tepatnya."
"Eh?"
"Jean masih sibuk mengurusi dokumen-dokumen terkait konser kami selanjutnya, manajer kecilmu itu masih sibuk berburu kuliner dan orang-orang di sini belum menyadari kita. Dengan kata lain, kita masih aman," jelas Venti dengan cengiran lebar. "Jadi, kau tidak perlu khawatir, cecilia manisku."
Mendengar panggilan sayang yang diucapkan oleh Venti membuat Lumine tersipu. Walau sudah sering mendengarnya, ia tetap saja merasa malu dan berdebar.
Lagi-lagi, dia menggunakan nama panggilan itu, batin Lumine sambil menggigit bibir. "Tetap saja--"
"Hm ... kau akan tetap bersamaku dan menikmati festival ini asal kita tidak dikenali orang-orang di sini, 'kan?" sela Venti dengan nada bertanya, memiringkan kepala sambil meletakkan jari telunjuk di dagu.
Lumine berkedip beberapa kali dan mengangguk. "Y-Yah, begitulah...."
Seuntai senyum cerah kembali terbit di bibir pemuda bernetra hijau. "Heh, ternyata hanya itu yang kau khawatirkan."
"Apa maksudmu dengan hanya itu?!"
"Jika hanya itu masalahnya, aku sudah menemukan solusinya," lanjut Venti tanpa memedulikan pekikan Lumine.
Sang pemuda kemudian menarik kekasihnya ke arah sebuah stan yang menjual berbagai jenis topeng. Ada topeng rubah, topeng karakter dari kartun terkenal, dan lain-lain. Lumine mengamati jajaran topeng itu satu per satu, menatap dengan tatapan tertarik.
Sang gadis meraih sebuah topeng rubah berwarna putih dengan corak biru dan kuning. Jemari rampingnya mengelus topeng itu dengan lembut, menyukai bentuk serta paduan warna benda di genggaman.
"Cantik," gumamnya pelan sambil terus memandang topeng yang sedang dipegang.
"Tapi tak secantik sosok yang memegangnya."
Tatkala mendengar bisikan menggelikan telinga itu, Lumine seketika terjengit dan menoleh― mendapati Venti yang tengah tersenyum jahil padanya. Sang puan bersurai pirang langsung mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan rona tipis yang menyelimuti pipi sembari menggerutu pelan.
Venti merupakan orang yang jahil dan suka memberikan pujian secara tiba-tiba dengan tujuan menggoda, dan hal itu tak baik bagi Lumine. Suhu udara yang tiba-tiba naik setelah mendengar kata-kata manis tersebut sangat meresahkan bagi sang puan.
Venti terkekeh begitu mendapat reaksi imut dari sang pujaan hati, ia lalu bertanya, "Sudah menentukan ingin beli yang mana?"
Lumine mengangguk, pandangannya kembali beralih ke topeng rubah yang masih digenggamnya. "Aku memutuskan untuk membeli yang ini."
"Begitu, ya. Hm, ini pilihan yang bagus," puji Venti sambil melebarkan senyuman. "Tunggu apa lagi, cepat pakai!"
Lumine mengerutkan dahi. "Aku harus membayarnya dulu sebelum--"
"Sudah kubayari, jadi kau tinggal memakainya saja," sela Venti sambil mengacungkan jempolnya. "Jadi, cepat pakailah!"
"Duh ... iya, iya. Bersabarlah sedikit," gerutu Lumine sambil mengarahkan topeng rubah di genggaman ke wajah dan memakainya. "Nah, sudah. Kau puas sekarang?"
Sang pemuda berambut hitam dengan ombre toska kembali terkekeh pelan, menunjukkan tatapan lembut setelahnya. "Tentu saja, aku merasa sangat puas. Topengnya sangat cocok kau kenakan, Lumi."
Sekali lagi, Lumine merasakan suhu udara di sekitarnya meningkat secara tiba-tiba. Ia yakin wajahnya sangat merah sekarang. Sang puan bersyukur karena telah mengenakan topeng yang menutupi romannya kala itu.
Dari kedua lubang mata topeng, Lumine dapat melihat Venti yang turut memakai topeng rubah dengan corak warna toska dan hijau. Pemuda itu menggaet tangannya sekali lagi, menariknya untuk mengikuti langkahnya.
"Dengan begini, tidak akan tahu identitas kita," kata Venti dengan nada senang. "Dan kita berdua, bisa menikmati kencan festival ini dengan sepuasnya!"
Sebuah senyum merekah di bibir Lumine. Menjadi egois untuk sesekali tidak apa-apa, 'kan?
♬♬♬
"Lumine?"
Sang gadis pemilik nama seketika mengerjap. Ia menoleh ke sosok yang memanggilnya, mendapati sepasang mata biru yang menatapnya dengan kilatan cemas.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya sosok itu― Albedo dengan nada khawatir yang kentara. "Apa kamu sakit?"
Lumine menggeleng. "Aku baik-baik saja Albedo, sungguh."
"Kamu yakin?"
"Tentu, aku sungguh baik-baik saja. Aku hanya ... melamun sebentar," kata sang puan sambil mengulas seuntai senyum tipis.
Albedo menghela napas. "Begitu, ya. Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa."
Lumine mengulum senyum kecil, perhatian yang diberikan oleh Albedo membuat hatinya menghangat.
Kekasihnya memang seorang yang baik. Pemuda yang selalu tenang dan tidak begitu ekspresif itu menunjukkan kekhawatiran tatkala dirinya terdiam tiba-tiba. Padahal ia hanya melamun, tapi Albedo terlihat begitu cemas. Hal inilah yang membuat Lumine kian jatuh hati pada lelaki tersebut.
"Lumine, ada yang ingin kamu beli?" tanya Albedo tiba-tiba.
Lumine berdeham panjang, berpikir dan berusaha mengambil keputusan. Di tengah kebingungannya tersebut, suara familier nan riang itu kembali terdengar di kepala.
"Lumi! Permen apel ini sangat enak, lho! Kau harus mencobanya!"
Lumine segera menggelengkan kepala, berusaha mengusir gambaran sosok pemuda bermata hijau dengan senyuman ceria itu dari benaknya. Ia tidak boleh terus mengenang masa lalu.
"Aku ingin membeli takoyaki," jawab Lumine sambil mengeratkan genggaman pada tangan Albedo, menatap kekasihnya itu dengan tatapan lembut. "Aku juga ingin kamu membelinya, lalu memakannya bersamaku."
"Takoyaki? Oh, makanan yang terbuat dari adonan tepung terigu dengan isian potongan gurita di dalamnya itu, 'kan?"
Lumine mengangguk.
Albedo tersenyum sekali lagi, tangannya menarik pelan tangan Lumine ke arah salah satu kedai penjual takoyaki yang cukup ramai. "Baiklah, kita akan membelinya. Aku yang membayar."
Lumine membuka mulutnya, hendak menyuarakan penolakan. Namun, Albedo menggeleng, mengisyaratkan agar gadis itu tidak menolak traktiran darinya. Sang dara pirang pun akhirnya menghela napas dan menurut, mengatakan kata 'baiklah' dengan suara pelan setara bisikan― yang mana membuat Albedo terkekeh.
Selama mengantri, Lumine terus melirik pemuda dengan surai pirang pucat yang berdiri di sebelahnya. Sosok lain dengan aura yang berbeda pula, seorang lelaki dengan sifat baik, tenang dan dewasa. Bukan lagi sosok pemuda bernetra hijau dengan aura hangat dan penuh keceriaan bak musim panas.
Sang puan sama sekali tak membenci suasana tenang kencan malam itu, mungkin ia hanya sedikit merindukan masa-masa di mana ia bisa bertingkah kekanak-kanakan tanpa beban di hadapan orang terkasih.
♬♩♪♩ ♩♪♩♬
「 Aku sudah menjadi kekasih orang lain
Kali ini tak seperti dirimu, dia bukanlah tipe yang bersemangat saat bersama di festival
Dia orang yang tenang dan dewasa sungguh orang yang sangat baik hati 」
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top