OS Izumi Iori- You

"Iori~ kau benar-benar tidak memiliki keinginan apapun?"

"Tidak (surname)-san."

"Hmm," (Name) mempoutkan bibirnya sembari menopang dagu diatas telapak tangannya. Mengalihkan atensinya dari pemuda berambut biru itu ke luar jendela kelas.

Maniknya yang sedari tadi menatap buku yang ia baca teralihkan kepada gadis disampingnya yang kini menyandang status sebagai pacarnya.

Helaan nafas ia keluarkan, digunakannya buku yang ia baca untuk memukul kepala gadis itu pelan.

"Jangan seperti itu (Surname)-san, lagipula rasanya aneh kau menanyakan hal itu secara kau yang biasanya memiliki banyak keinginan."

"Ish, aku kan sedang berbaik hati padamu. Lagipula aku tidak enak karena kau selalu menuruti keinginanku walau itu akan terwujud di kemudian hari. Setidaknya biarkan aku mewujudkannya,"(Name) mengelus ujung kepalanya yang tertimpuk buku, meskipun ia tidak merasa sakit karena Iori tidak serius menimpuknya.

Hanya sentuhan kecil, tapi (Name) membuatnya sedramastir mungkin.

Iori mengalihkan pandangannya dan berpikir. Memang keduanya sudah lama berhubungan, mungkin sekitar 3 tahun sejak SMP kelas akhir. Tapi Iori tidak pernah merasa menginginkan apapun darinya, cukup gadis itu berada disampingnya sudah membuatnya tenang.

Tapi tidak mungkin Iori akan mengatakam hal itu dikelas dan didepan banyak orang. Mau ditaruh dimana harga dirinya nanti.

Bahkan meskipun ia ingin sekali dibelikan Usamimi Friends oleh (Name).

"Aku tidak ada keinginan apapun. (Surname)-san jika kau hanya menanyakan hal itu sebaiknya kau kembali kekelasmu saja. Sebentar lagi istirahat akan berakhir," (Name) tersentak.

Ia merutuki betapa tidak pekanya pacarnya itu, ingin sekali menguliti kulitnya atau membuatnya terbuka pasal perasaannya.

"Lskysoxmwüxnosyliyöshyownylwixpwoüykd, jangan dekati aku hari ini. Kau menyebalkan, hpmh!" (Name) beranjak dari duduknya dan meninggalkan kelas sambil menghentakkan kakinya.

"Ha? Bahasa apa itu?" Protes Iori, namun perkataan yang keluar selalu tidak sepadan dengan pikirannya.

'Sial, kenapa sikapnya sangat imut.'

"Iorin, aku mendengarnya."

"Berisik Yotsuba-san."

🌻🌼🌻🌼🌻🌼

"Tadaima," Iori merenggangkan persendiannya yang kaku. Setelah sekolah ia memilili jadwal pemotretan dan variety show bersama Re:vale.

Ia sangat lelah, belum lagi dengan ujian yang akan ia hadapi esok hari. Iori tidak menyangka saja bahwa ia akan pulang selarut ini, ya meski tidak sangat larut mengingat sekarang masih jam setengah delapan malam.

"Oh, okaeri Iori. Kamar mandi baru saja kosong," ucap pemuda berambut orange yang sibuk memotong bahan-bahan untuk makan malam sebentar lagi.

"Uhn, arigatou nii-san."

"Ah, ngomong-ngomong (Name)-chan ada di ka-"

Belum sempat Mitsuki menyelesaikan kalimatnya, pintu ruang tempat mereka berkumpul langsung tertutup. Mitsuki menghela nafas, memaklumi sifat adiknya yang memang sudah seperti itu sejak dulu.

"Maa i ka..."

Sembari melangkah menuju kamarnya, Iori berpikir untuk melihat foto-foto (Name) yang ia ambil secara diam-diam.

Percaya atau tidak ini merupakan rutinitasnya baik ketika ia sedang suntuk ataupun ingin tidur. Cukup melihat senyumnya yang selalu merekah, rasanya beban Iori menghilang sepenuhnya.

Knop pintu kamar ia putar, senyum kecil tidak lepas dari wajahnya. Namun, sedetik kemudian lepas begitu saja dan digantikan dengan teriakan.

"Yo Iori! Akhirnya kau pulang juga, aku lelah menunggumu tau."

"..."

"Iori?"

"GYAAAAAA!!!"

"KYAAA!!"

"Eh? Nani nani? Doushita?"

Punggung Iori bersentuhan dengan tembok dibelakangnya. Mukanya memucat kala sosok (Name) berada dikamarnya.

Beberapa kali ia mengucek kedua matanya guna memastikan bahwa penglihatannya tidak salah jika yang sedang duduk santai dikasur tercintanya.

"Uhhh, Iori jangan berteriak seperti itu. Kau membuatku kaget saja," seru (Name) sembari mengorek telinganya tuk memastikan masih bisa berfungsi akibat teriakan kedua insan yang memancing member Idolish7 keluar dari kamar mereka.

"Iori kenapa kau berteriak?" Tanya sang center namun tidak mendapat jawaban dari Iori.

Iori justru masih menetralkan jantungnya dan bersiap untuk mengomeli (Name).

"Ha ... ha!? Seharusnya aku yang kaget (Surname)-san! Sejak kapan kau ada dikamarku!?" Merasa sosok (Name) itu benar-benar nyata, ia memasuki kamarnya sendiri dengan gerakan yang ingin mengeluarkan (Name) dan menyuruhnya pulang.

Sayangnya (Name) menangkis gerakan Iori.

"Wah tidak sopan sekali pacarku ini. Memaksaku untuk pulang, jika Mitsu-nii tahu ia akan menangis melihat kelakuan adiknya ini."

"EH!? PACAR!?"

Atensi keduanya teralih kepada 5 orang dengan beragam warna rambut yang terkejut dengan kehadiran seorang wanita selain manager mereka dan pengakuan (Name).

Iori menepuk jidatnya, ia lupa teriakannya menarik perhatian orang-orang dan pintu kamarnya terbuka begitu saja.

"Hm? Mereka siapa?" Pandangannya beralih pada segerombolan orang didepan kamar Iori.

Seketika raut (Name) memucat disertai bulu kuduk yang berdiri. Iori menyadari itu langsung membalikkan badan (Name) kearah lain.

"Jangan melihat (Surname)-san," seru Iori dengan intonasi yang lebih halus. (Name) mengangguk kecil, tubuhnya terasa kaku dan sulit untuk melihat kebelakang.

(Name) mengutuk dirinya akan ketakutannya yang muncul begitu saja.

'Kenapa sekarang? Padahal sudah jarang muncul.'

"Iorin, kau tidak memberitahuku (Nickname) akan kesini. Kalau begitu aku akan bermain dengannya," ujar Tamaki sedikit kecewa.

"Tidak akan aku biarkan. Sudahlah kalian semua menyingkir, aku dan (Surname)-san ingin belajar," Iori mengisyaratkan untuk pergi, tapi sayangnya mereka begitu enggan untuk pergi.

"Bukankah kau baru saja pulang?"

"Hoo, apa kau tidak ingin memperkenalkan pacarmu kepada kita?"

"Iori, kau ternyata licik ya dibekalang."

"Sudah kubilang pergi, kalian benar-benar mengganggu."

"Ouh, kenapa kau begitu tergesa-gesa Iori? Wait, don't say that you'll-"

"Aku tidak tahu apa yang kau katakan Rokuya-san, mohon menyingkirlah," Iori masih mendesak teman-temannya untuk segera pergi.

Demi kebaikan (Name) tentunya.

"Hora Yamato-san, Tamaki-kun, Riku-kun, Nagi-kun. Kalian tidak boleh mengganggu privasi orang," Sogo secara spontan membantu Iori untuk mengusir tikus-tikus kecil itu. Meskipun sangat terlihat di wajah Sogo semburat merah yang hampir ada diseluruh mukanya.

"Ap-"

Iori tidak mengerti lagi dengan teman seunitnya itu. Setelah semuanya berhasil diseret ke ruang kumpul, Iori menutup pintu kamarnya.

"(Surname)-san, semuanya sudah pergi. Sekarang kau bi-"

"Jangan mendekat!" Iori tersentak. Maniknya mengecil saat melihat raut (Name).

Raut yang sudah lama menghilang namun kini kembali lagi hanya karena insiden kecil.

"Jangan ... mendekat," keringat dingin mengucur dari wajahnya, nafasnya memburu. Maniknya bergerak ke segala arah tak menentu.

Iori diam, dia tidak ingin (Name) semakin merasa anxiety terhadapnya.

"Baiklah, tapi biarkan aku mendekat."

"Ha!? Katanya ok, tapi kok malah mendekat!?"

"2 meter, hanya 2 meter jarak diantara kita (Surname)-san. Aku tidak akan berbuat apa-apa kepadamu,"

Manik (Name) menatap tajam Iori. Ia tidak bisa mempercayainya meskipun hubungan mereka hampir mencapai 3 tahun.

3 tahun itupun ialah masa-masa yang sulit untuk Iori. Tidak, bahkan lebih dsri 3 tahun.

Iori dan (Name) sudah lama mengenal sejak smp. Dulu (Name) bukanlah tipe yang aktif dan tomboy, ia merupakan tipe pendiam dan pemalu.

Jarang sekali ia berinteraksi dengan banyak orang mengakibatkan dirinya sering menjadi bahan ejekan teman sekelasnya. Bahkan mereka tak segan untuk menyakiti fisik (Name).

Terutama laki-laki.

Mereka menyakiti (Name) secara brutal, tak segan melakukan pelechan seksual terhadapnya hingga akhirnya (Name) mengidap syndrome Androphobia.

Penyakit dimana orang itu merasa takut terhadap laki-laki. Gejala yang ditimbulkan seperti keringat dingin ketika berada disekitar laki-laki, panik, kepala pusing dan mual, ketakutan yang besar, dan lainnya.

Penderita ini tidak memiliki obat untuk menyembuhkan, biasanya mereka akan dianjurkan untuk melakukan terapi ke dokter ataupun psikiater.

(Name) telah menjalankannya. Tentunya bersama Izumi Iori dan Izumi Mitsuki.

Iori adalah orang pertama dari banyak siswa yang menolong dan membela (Name), awalnya memang sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan (Name). Terlebih dengan kondisi dia yang mengidap Androphobia.

Seperti ketika dirinya dan (Name) bertemu tuk pertama kalinya. Dan itu bukanlah pertemuan yang indah.

Ia ingat dengan jelas pertemuan itu. Dimana untuk pertama kalinya ia dilempari sampah oleh gadis ini.

Padahal niatnya hanya mengantar (Name) ke UKS akibat lukanya yang diterima akibat dibully sekelompok anak nakal.

Namun, perlakuannya sangat diluar kendali.

"Aku tidak akan menyakitimu, aku serius."

"TIDAK TIDAK TIDAK!!! MENYINGKIRLAH!! KAU SAMA SAJA!! KALIAN SEMUA SAMA SAJA!!" (Name) melempar apapun yang ada didekatnya dengan brutal. Sebuah kaleng minum berhasil menggores pipi Iori, rasanya sakit namun sakit yang ia rasakan tidak separah yang (Name) rasakan.

Iori paham apa yang ia rasakan, maka dari itu Iori mengulurkan tangannya untuk memberi bantuan.

Tapi sangat sulit karena detak jantung dan pikiran (Name) yang tidak stabil.

"Aku tidak akan melakukan hal yang buruk. Kau boleh memukulku atau menendangku, tapi aku tidak akan melakukan hal itu kepadamu."

"TIDAK!! SEKALINYA TIDAK TETAP TIDAK!! PERGII!!" kali ini bukanlah sebuah kaleng atau benda lainnya, melainkan batu yang tidak begitu besar maupun kecil.

Mengenai kepala Iori dan membuat kepalanya mengeluarkan cairan merah yang kental.

(Name) tidak peduli dengan apa yang ia lakukan, kalau bisa ia berharap orang yang berada didepannya mati.

"Baiklah," Iori mengambil nafas dalam-dalam lalu membuangnya. Ia tidak akan mengulurkan tangannya lagi, seolah ia menyerah dan membiarkan (Name) sendirian.

"Mari buat keputusan. Aku akan menuntunmu ke UKS, tapi aku akan membuat jarak 2 meter dari tempatmu berdiri, bagaimana?"

"Aku tidak akan menyentuhmu ataupun melukaimu, aku hanya akan menuntunmu dan setelah itu aku akan pergi," pernyataannya membuat (Name) bungkam. Sikapnya yang tadi brutal kini menjadi tenang meskipun tidak bisa dipungkiri keadaannya cukup mengenaskan.

"Uhn," (Name) menganggukkan kepalanya kecil. Iori tersenyum lega karena usahanya untuk membuat gadis itu tenang sukses meskipun ia harus menerima berbagai macam lemparan.

Sangat perlahan, Iori selalu membujuk dan menjaga jarak dengannya. Dan sesuai yang ia bilang, ia tidak melukai ataupun menyakiti (Name). Hanya menuntun gadis ini ke UKS dan rumah sakit karena mentalnya yang terguncang.

Tentu saja perjuangannya kembali diuji. Lebih sulit ketika harus membawa gadis itu ke rumah sakit sehingga Iori sangat membutuhkan bantuan kakak tercintanya

"Hmm, jadi namanmu (Fullname) ya. Nama yang indah. Perkenalkan aku kakaknya Iori, Izumi Mitsuki," tidak ada yang bisa membantah senyumnya yang hangat. Mitsuki tidak mengulurkan tangannya, ia hanya menatap lembut (Name) disertai senyumnya yang menghangatkan.

"..."

(Name) tidak merespon ucapan Mistuki, ia justru semakin waspada. Kelembutan dan kehangatan yang Mitsuki berikan ternyata tidak cukup untuk membuat dirinya percaya kepada dua sosok didepannya.

"Hmm, apakah aku menakutimu?"

"..."

"Ahaha maaf maaf, sepertinya aku membuatmu tidak nyaman," Mitsuki berjalan beberapa langkah didepan (Name).

"Yosh, bagaimana bila segini? Kudengar dari Iori kau tidak suka disentuh, maka aku akan membuat jarak didepanmu. Bagaimana? Apakah sejauh ini aku masih membuatmu takut? Atau aku perlu mengambil jarak yang lebih jauh lagi?" (Name) terdiam. Kalimat yang dilontarkan Mitsuki membuatnya bingung harus merespon apa.

Meskipun ia masih waspada, namun ia merasakan kehangatan yang jarang ia temukan baik di sekolah maupun rumahnya.

"5 meter."

"Hm?"

"Hanya 5 meter saja," Mitsuki tersenyum.

"Yosh, kalau begitu ikuti Nii-san. Kita akan berpetualang hari ini!"

"Kawai..."

"Iori, meskipun aku jauh darimu tapi aku tetap bisa mendengar gumamanmu!"

Segala hal mereka hadapi bersama. Dari (Name) yang perlahan mulai mendekati Iori serta Mitsuki dan memperpendek jarak, panggilan "-nii" kepada Mitsuki, berusaha melakukan kontak mata, dan sebagainya.

Bagi Mitsuki, (Name) sudah seperti adik kecil kedua Mitsuki. Tidak akan ada yang pernah menduga bahwa sebenarnya (Name) adalah sosok yang periang.

Dan tentu saja masih menjadi pertanyaan kenapa Iori sangat ingin sekali membantunya, padahal ia begitu cuek disekolah.

Seandainya Mitsuki menanyakan alasannya, Iori pasti hanya menjawab.

"Aku hanya ingin menolongnya saja, tidak lebih."

Sangat aneh namun Mitsuki tahu bahwa Iori memiliki ketertarikan kepada gadis itu.

Bahkan ketika Iori dan (Name) berpacaran, ketimbang terkejut Mitsuki malah memberi mereka ucapan selamat dan menangis haru.

Pertama, ia senang adiknya mulai terbuka dan tidak malu-malu. Kedua, Mitsuki yakin jika ditanyakan alasan maka Iori akan menjawab ini hanya untuk menyembuhkan (Name). Maka dari itu Mitsuki tidak pernah menanyakan alasannya.

Yap, bahkan hingga keduanya menjadi idol. Mitsuki tidak akan menanyakannya dan tidak akan mengganggu privasi adiknya.

Ya setidaknya untuk dirinya, Mitsuki tidak tahu bagaimana perilaku teman seunitnya yang lain.

.
.

"Uhh So-chan tidak asik."

"Kau tidak boleh menggangu mereka Tamaki-kun, lagipula Iori-kun sudah menyuruh kalian untuk pergi bukan?"

"Tapi aku sangat jarang melihat Iori membawa seorang wanita. Tidakkah itu wajar ketika kita ingin tahu siapa orang itu?"

"Yep, dan Ichi pasti akan melakukan hal itu."

"Yamato, I pray for your broken brain."

"Aku tidak mengerti maksudmu tapi onii-san sedih mendengarnya."

Manik orangenya teralihkan kepada para member yang tiba-tiba masuk dan lembuat dirinya mengeluarkan tanda tanya.

"Ohh? Tumben sekali kalian langsung kesini. Makan malam sebentar lagi siap," seru Mitsuki disertai pandangannya yang mulai fokus ke masakannya kembali.

"Iorin dan So-chan mengusir kita, cih tidak asik."

"Tamaki-kun."

"Memangnya ada apa?"

"(Nickname) ada dikamar Iorin. Aku kan ingin bermain dengannya," kegiatan Mitsuki terhenti sesaat. Ia menatap tak percaya Tamaki bahkan yang lainnya dan mendapat balasan pandangan bingung dari mereka.

"Mitsu?"

"Ahh, kalian benar-benar menambah pekerjaan orang saja," serunya sembari menghela nafas lelah.

Niatnya tadi ingin membantu Iori, tapi ia urungkan. Mitsuki tersenyum maklum dan menyerahkan semuanya kepada Iori.

"Untuk saat ini jangan ganggu mereka."

"Ehh...."

"Kenapa?"

Sangat wajar bila Tamaki dan Riku memprotes kalimat Mitsuki.

Tapi untuk dua orang yang otaknya sudah terkontimasi beda lagi.

"Hoo Mistu, tidak kusangka kau membiarkan Ichi menyerangnya terlebih dahulu."

"Mitsuki, apa kau ingin cepat-cepat memiliki keponakan?"

"Eh? Ponakan? Mitsuki tidak baik membiarkan Iori melakukan hal itu. Ia masih dibawah umur."

Mitsuki hanya bisa tersenyum tanpa berucap apa-apa. Tapi dipastikan 2 porsi makanan sempat ia tuang dengan tabasco.

Terlalu lelah untuk meladeni mereka, jadi lebih baik ia bertindak langsung saja.

.
.
.
.
.
.
.

"Bagaimana?"

(Name) menatap manik biru tuanya. Mencari ruang terbuka dimana ia berbohong akan ucapannya.

"Jangan mencari-cari kesalahan orang (Surname)-san."

"E ... eh? Darima-"

"Terbaca jelas diwajahmu," (Name) cemberut, ia mempoutkan kedua bibirnya dan melirik ke arah lain.

Merasa kalah oleh pemikiran cepatnya entah ini yang keberapa kalinya.

"Kau ... benar-benar tidak akan merabaku kan?"

"Pilihlah penggunaan kata yang tepat agar orang tidak salah paham (Surname)-san!!" Seketika wakah Iori memerah.

"Memangnya apa yang akan pria lakukan selain meraba? Apakah mencium? Memaksa? Menindas?"

Seandainya (Name) bukan penderita Androphobia, mungkin sekarang Iori akan mengunci pergerakan.

Dan kata itu terus menerus keluar dari mulutnya.

'Tolong hentikan, kau kira pria tidak berpengaruh dengan kata-katamu hah!?'

Sayangnya Iori tidak bisa mengatakannya secara langsung.

"Kenapa kau bisa mengatakan hal seperti itu dengan mudah?"

"Ha? Tentu saja karena mereka semua sa-"

"Apakah aku pernah melakukan hal yang kau sebutkan kepadamu? Atau nii-san, apakah kita pernah?"

(Name) terdiam. Jika dipikirkan lagi, Iori benar. Selama ini tidak pernah sekalipun Iori melakukan kontak fisik dengan (Name) kecuali keadaan tertentu.

Ketimbang itu, justru tubuhnya sendiri yang berjalan. Iori tidak pernah menjadi orang pertama yang mendekatkan diri.

Entah itu karena ia membiarkan (Name) mendekatinya atau memang sudah menyadarinya.

Iori tersenyum lembut, melihat reaksi (Name) yang terpaku membuatnya sedikit lega.

Setidaknya (Name) menyadari sesuatu, bahwa di dunia ini tidak ada yang sama. Itu semua hanyalah nafsu yang mengambil alih kendali tubuh.

"Lihat? Aku bahkan tidak pernah melakukannya."

"Bahkan aku belum menjawabnya."

Senyum Iori melembut.

"Caramu mengekspresikannya melalui raut wajahmu sudah cukup bagiku," diam-diam Iori mulai mengikis jarak diantara keduanya.

(Name) menunduk. Maniknya bergerak kesana kemari dengan gelisah dan rada oanas yang tiba-tiba menerjang pipinya.

"Mengapa kau bisa seyakin itu?"

"Karena itu adalah kau, (Name)," (Name) mendongakkan kepalanya.

Ia tidak terkejut dengan jarak antara dirinya dan Iori yang tipis.

"Aku yakin karena aku tahu kau bisa melakukannya. Kau terus berusaha untuk menghilangkan syndrome itu. Meskipun kita memakai status sebagai pacar, awalnya aku akan berpikir ini tidak akan berhasil. Namun, melihatmu yang mulai menyukaiku secara perlahan membuatku lega. Bukankah itu berarti sedikit demi sedikit kau menerima keberadaan kami?"

Iori tidak salah. (Name) termenung mendengar penuturannya, ia tidak menyangka Iori akan melihatnya dari segi pandang itu. Meski (Name) dan Iori terlihat dekat, (Name) tidak pernah merasa bahwa Iori benar-benar menyukainya.

Tapi, cukup dengan ungkapannya saat ini ia merasa senang. Mengetahui bahwa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.

"Hmm, sepertinya kau sudah kembali."

"Hm?" (Name) memiringkan kepalanya tidak mengerti beberapa derajat membuat Iori harus berdehem dulu sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Tidakkah kau menyadari bahwa kita sangat dekat?"

Ahh, setelah Iori mengatakan itu ia baru menyadarinya. Dan rasanya memang aneh karena ia tidak takut maupun menangis.

(Name) mengepal tangannya di dada.

"Uhhh..."

"????"

"Lagi-lagi aku kalah darimu. Curang," (Name) menatap kearah lain. Rasa panas di pipinya semakin menjadi.

"Tidak, justru kau menang."

"Eh?" (Name) mendongakkan kepalanya. Menatap manik pemilik rambut raven itu.

Iori mengambil salah satu tangan (Name) dan mengecup telapak tangannya. Matanya menatap lurus (Name).

(Name) tidak dapat berbuat apa-apa, ronanya semakin menjalar hingga ke telinga.

"Sejak awal kau sudah membuat pandanganku teralihkan sepenuhnya," Iori memberi jeda sejenak,"dan kini kau mengambil alih hatiku. Kau benar-benar gadis yang nakal ya," bibirnya menyungging seulas senyuman hangat disertai tatapannya yang melembut.

Tangannya mulai membelai pipi (Name) dan menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga.

"Jika kau takut dengan laki-laki disekitarmu, aku tidak keberatan asal kau merasa nyaman didekatku. Selama kau tersenyum dan merasa senang bagiku itu sudah cukup. Aku tidak ingin kau tersiksa lagi."

(Name) tertegun. Tiba-tiba lintasan kejadian pagi tadi menghiasi pikirannya. Bertanya-tanya apakah ini adalah sebuah keinginannya.

"Apakah ... itu keinginanmu selama ini?" Semburat merah tipis menjalar di kedua pipi Iori.

"... ya, dan mungkin keinginan ini akan terus menerus ada untuk selamanya."

"Mengapa?" Tiba-tiba Iori menarik (Name) kedalam dekapannya dan mengusap pucuk rambutnya.

"Karena aku tidak ingin kita berpisah kecuali maut yang memisahkannya. Kau tidak perlu membuatku bahagia dengan berbagai macam cara, karena dengan adanya dirimu bagiku itu sudah lebih dari cukup," Iori semakin mengeratkan pelukannya.

(Name) tidak memeberontak, ia membalas pelukan Iori dengan mata yang berurai air mata.

Ia tidak pernah merasa sebahagia ini, dianggap oleh orang dan tidak ingin kehilangan dirinya.

"Iori..."

(Name) menangis sejadi-jadinya. Bukan karena sedih, melainkan terlalu bahagia.

"Terima kasih ... hiks ... terima kasih karena mau menerimaku ... hiks."

"Kau sudah lama diterima dikehidupan ini..."

"(Name)."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
The end










Owari

"Kau yakin?"

"Uhn!"

"Tidak ingin makan dikamarku saja? Jangan memaksakan diri."

"Kau yang bilang aku harus sembuh tapi kau melarangku, apa-apaan itu?"

"Bukan begitu, kau baru saja pu-"

"Ahhh~ Iori menyebalkan. Kau cerewet sekali."

"Bagaimana aku tidak cerewet ji-"

Dobrakan pintu keras mengejutkan Iori maupun orang-orang didalam sana.

"Ah maaf, kau bilang apa tadi Iori?"

"(Name)..."

"Ohh, (Name)-chan Iori akhirnya kalian datang," seru Mitsuki dengan senyuman yang entah kenapa lebih bersemangat dari biasanya.

"Iorin kau lama sekali, kami lapar tahu!"

"Benar, kau lama sekali."

"Diamlah Yotsuba-san, Nanase-san," Iori menghela napas sembari menutup kedua mata (Name).

"Sudah kubilang jangan memaksakan dirimu," Iori tahu badan (Name) sempat menegang, makanya dengan cepat Iori menutup matanya.

"A ... aku bilang aku baik-baik saja!"

"Kau tidak"

"Mitsu-nii, aku tidak diizinkan makan sama Iori."

"Ha!? Aku tidak mengatakan mela-"

"Sudah sudah kalian cepat duduk sini. Kau tidak lihat wajah memelas mereka? Biarkan (Name)-chan duduk diantara aku dan kamu, Iori," Iori menghela napas kemudian melepas tangannya.

"Yey Mitsu-nii yang terbaik," (Name) langsung berlari dan duduk di sisi kiri Mitsuki tanpa menatap member Idolidh7 lainnya diikuti oleh Iori yang menyusul.

"Yosh, mari kita makan."

"Akhirnya, ittadakimasu," Tamaki langsung melahap makanan didepannya.

"Tamaki-kun makannya pelan-pelan."

"Akhwu lhaphwuah Gho-kchan (Aku lapar So-chan)."

"Siapa namamu?"

"(Fullname)."

"Temas sekelas Ichi kah?"

"Teman sejak SMP"

"Begitu..."

"..."

"Uhmm ... kenapa kau tidak menatap kami?" (Name) tidak berani menatap langsung mereka. Ia menjawab pertanyaan Yamato dalam keadaan menunduk.

"Aku yakin tadi ada yang bersikeras untuk sembuh, tapi kenyataannya sungguh jauh," sarkas Iori sembari memakan makanannya dengan tenang.

Sebal dengan ucapannya, (Name) mengambil sepotong udang di hidangannya dan langsung melahapnya.

"Hei!"

"Apa? Kau kira mudah melakukannya? Hmph."

"Tidak perlu mengambil jatahku bukan!?"

"Hukuman, bweh~"

Perempatan menghiasi dahi Iori. Rasa untuk ingin membalas perbuatannnya meningkat.

"Hahaha kau tidak akan bisa membalasku."

"Huh."

"Oi Ichi, dia pacarmu?"

"Ossan, jangan menginterogasi (Name) dan Iori seolah kau orang tua mereka."

"Aku hanya bertanya Mitsu."

"Kau lebih terlihat seperti orang tua yang tidak rela melepaskan anaknya untuk menikah."

"Oi oi..."

"(Name)-chan tidak menatap kita tapi kenapa jika dengan Iori ia langsung menatapnya?"

"Tentu saja, aku kan pacarnya."

"HA!?"

(Name) tersedak miso sup yang sedang ia minum sedangkan yang lainnya berteriak kecuali Mitsuki.

"Eh!? Sejak kapan!? Jadi yang tadi itu benar kalau kalian pacaran!?"

"Iorin kau curang!"

"Tunggu dulu, apakah itu berarti tadi Iori sedang ingin melakukan hal priva-"

"Tidak! Bukan begitu!"

"Iori, jadi selama ini kau menahan naf-"

"Bukan begitu Rokuya-san! Biar aku je-"

"Ichi, aku tahu kau tidak tahan. Tapi Onii-san tidak menya-"

"Cukup! Itu berlebihan!" Mitsuki mengakhiri pernyataan-pernyataan ambigu yang keluar dari makhluk-makhluk laknat itu. Sedangkan wajah Iori sudah memerah sepenuhnya.

"Kalian semua salah paham, (Name) memiliki snydrom Androphobia. Tadi sempat kumat karena kalian bergerumul didepan kamar Iori, makanya ia tidak menatap kalian."

"Ahh..."

"Andropobhia?"

"Itu penyakit dimana seseorang takut dengan pria Yotsuba-san."

"Eh? Tapi kenapa (Nickname) baik-baik saja dengan Mikki dan Iorin? Apakah dia melihat kalian sebagai perempuan?"

"Tidak!"

"Mereka sudah lama didekatku dan mereka yang membantuku sejak awal, makanya aku merasa nyaman didekat mereka," (Name) akhirnya membuka suara.

"Ahh, maafkan kami (Name)-chan. Seandainya kami tahu."

"Tidak apa-apa, lagipula tidak ada yang tahu tentang hubunganku dengan Iori kecuali Mitsu-nii."

Iori menghela napas lelah. Suasana ruang makan seketika menjadi berat dan menimbulkan rasa tidak nyaman.

Mungkin akan bertahan lama jika saja (Name) tidak mengambil topik baru?

"Ne ne Mitsu-nii, kau tahu? Selama ini ternyata Iori mesum kepadaku."

Baik Iori dan Mitsuki sama-sama tersedak. Tidak hanya mereka sih, melainkan seluruh member.

"EH!?/DARIMANA TEORI ITU MUNCUL (NAME)!?"

"Ehh, kau bahkan sering memotretku diam-diam dan menyembunyikan hadil potretnya atau menempelnya di dinding. Aku melihatnya di- umph!"

Dengan cepat Iori membekap mulut (Name), wajahnya benar-benar merah.

"Jadi alasan aku tidak boleh masuk kekamarmu ataupun menaiki kasurmu karena.."

"Iorin..."

"Ichi ... onii-san tidak menyangka..."

"Iori...."

"Iori-kun ternyata sudah dewasa."

"Aku tidak tahu kau sebejad itu Iori."

"BUKAN SEPERTI ITU!!! BERHENTILAH MEMPERSULIT HIDUPKU!!!"

Dibalik bekapan Iori, (Name) tersenyum penuh kemenangan karena sukses menjahili calon suaminya dimasa depan nanti.

Owari.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Uwaaa panjang sekali OS ini😅😅😅

3k+

Tapi gpp, sekalian pen impruv diri.

Ga tau aku nulis apaan, berasa ga nyambung dari atas ke bawah/crii/

Mungkin untuk sementara aku bakal bikin OS kek gini, ga dari ainana aja tentunya. Ini kebetulan ide yang melintas buat ainana.

Dan charanya yang kupake chara2 yg jarang ternotis di rata2 buku wattpad, sad banget ya jarang kenotis. Udah kek oshi yang ga pernah notis seberapa keras usaha kita buat bikin dia pulang.

Semoga kalian suka ya~

Pub: 26 Agustus 2020

See you in next chapter~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top