4
⬐➺➺❀➺➺⬎
⚠️Mentioning about SH (please be wise while reading)⚠️
Sedikit kata tidak baku
Out Of Character
⬑➺➺❀➺➺⬏
She's the flowers, but she's also the rain. She's the beauty of the day, but also the nights full of pain.
→• ✿ •←
Name menatap cermin yang merefleksikan dirinya dengan rambut putih panjang yang digerai dan pakaian kasualnya hari ini. Tidak lupa ia pasang jepit rambut dengan tiga bintang sebagai hiasannya.
Semuanya siap, kuharap tidak ada hal-hal buruk hari ini.
Senyum tipis terpatri sebelum akhirnya Name keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang kelas wave controller.
Suara langkah kaki memenuhi lorong yang ia lewati. Name menyapa beberapa reguler yang ia temui sepanjang jalan sebelum suara familiar seseorang mengalihkan pandangannya.
Pupilnya membulat dan langkahnya dipercepat ketika netranya menangkap dua rekan timnya yang sedang beradu mulut.
"Selamat pagi Nona Alora dan Tuan Arsen."
"Kau mau ke kelas?" Pertanyaan Alora membuat Name mengangguk mengiyakan. "Kalian juga, 'kan? Ayo ke sana bersama," ajak Name.
Awalnya Arsen menolak karena ingin ke kantin terlebih dahulu, tapi Alora sudah menyeretnya. Name hanya bisa tertawa sembari menggandeng tangan Alora yang tidak menyeret Arsen.
"Tuan Arsen masuk apa?"
"Masuk angin."
Satu pukulan melayang di kepala Arsen. Alora buru-buru tersenyum pada Name, "Arsen fisherman."
"Memangnya Tuan Arsen bisa berkelahi dari dekat?"
Sontak suara tawa keluar dari bibir Alora. Arsen yang cemberut bertambah cemberut mendengarnya.
"Gue bisa berantem padahal."
"Iya, habis itu langsung tepar sama encok seminggu," timpal Alora.
Name tertawa mendengar percakapan keduanya. Namun tidak bagi mereka. Tawa Alora meredup, matanya melotot.
"Kamu paham kita ngomong apa, (Name)?"
Name menggaruk lehernya, "Uhm ...." Beberapa detik kemudian seseorang di ambang pintu kelas wave controller mengambil perhatiannya dalam sekejap.
"Selamat belajar Tuan Arsen dan Nona Alora! Sampai jumpa!" Ia berlari meninggalkan Alora dan Arsen.
"Loh ... eh?"
Namun beberapa saat keduanya menghembuskan napas malas. Netra mereka menatap Name yang sedang menyapa Bam di dekat pintu masuk kelas wave controller.
"Pantesan," celetuk Alora. Wajahnya mengkerut ketika ia tiba-tiba mendengar suara isakan yang dibuat-buat di sebelahnya. "Kenapa dah lu?"
"Rasanya sakit banget kayak ngeliat anak gue sendiri tumbuh gede terus sekarang bisa cinta-cintaan."
Alora menggelengkan kepalanya kesal, "Gausah alay."
Lambaikan tangan dilayangkan pada Name yang sudah memasuki ruang kelas bersama Bam. Name tersenyum dan membalas kedua rekan timnya.
Fokusnya kembali pada pemuda yang kini duduk di sebelahnya, "Apakah luka Tuan Bam sudah tidak sakit?"
Tangan Bam meraba ikat kepalanya, "Sedikit, tapi sudah tidak terlalu sakit."
Name ingin melanjutkan percakapannya, namun suara dengkuran dari Lauroe di bangku belakangnya sudah lebih dulu merusak mood-nya. Dan beberapa menit kemudian guru pengajar mereka datang.
Penjelasannya sangat mudah dipahami oleh otak Name, hanya saja rasa malas lebih dulu menggerogotinya. Name melipat tangannya dan memejamkan matanya malas.
"Untuk membuat kontrak, ubah pocket kalian ke mode terlihat dan tutup mata kalian."
Telinganya mendengar ucapan guru pengajar itu.
"Perintahkan itu untuk membuat kontrak dengan penjaga."
"Kontrak dengan penjaga," bisik Name.
Seketika pandangannya berubah, ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menyadari bahwa yang ada di depannya adalah mata yang sangat besar.
"Halo?" Ia bergumam.
"Halo, nak."
(Name) bergidik ngeri saat suara besar itu menggema di pendengarannya. Tangannya ia gunakan untuk menutup telinganya yang masih kaget.
"Kau tampak kelelahan, bukan begitu?"
Name menatap bingung, tidak tahu jawaban apa yang harus dikeluarkan di saat seperti ini.
"... benarkah? Aku tidak terlalu memperhatikannya."
"Apa kau mau membuat kontrak denganku?" Suara itu kembali bertanya, (Name) mengangguk sebagai jawaban.
"Baiklah."
Sepasang netra itu tertutup sejenak. (Name) membuka matanya dan menatap sekeliling yang sudah kembali normal. Usapan kasar diberikan pada keringat yang membasahi pelipisnya.
"Apa maksudnya aku terlihat kelelahan?"
Tanpa Name sadari, Lauroe di belakangnya mendengar gumaman tersebut.
"Beristirahatlah hari ini untuk persiapan besok," ucap guru pengajar, Yuga, yang kemudian melenggang keluar dari kelas.
Name hendak mengajak Bam keluar, namun sosok pemuda itu telah hilang dari bangku sebelahnya. Netra Name melirik ke sana kemari.
Eh? Tidak ada?
Tiba-tiba seseorang memegang pucuk kepalanya dan mengarahkannya pada salah satu tempat. Name mendapati Bam yang sedang berbincang dengan Hwaryun dan Hoh. Kemudian gadis itu menoleh untuk mengetahui siapa yang sedang membantunya.
"Oh ... terima kasih banyak Tuan Lauroe."
Lauroe mengangguk sebagai jawaban. Name awalnya menganggap Lauroe tidak peduli dengan sekitarnya, tapi mungkin ia salah.
"Tuan Bam!" Yang dipanggil menoleh, "Nona (Name)!" Name menyamakan langkahnya dengan Bam keluar kelas.
"Apakah Nona (Name) tidak merasa lelah setelah melakukan kontrak dengan penjaga?"
Yang ditanya menoleh, menatap netra emas itu dan mengangguk, "Sedikit, apa Tuan Bam mau membeli minum bersamaku?"
"Tentu saja! Aku merasa lelah setelah melakukan kontrak."
Name tertawa melihat Bam yang tampak begitu bersemangat. Keduanya berjalan berdampingan, saling mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan dan selagi berjalan menuju kantin.
Tanpa mereka sadari seseorang mengintip dari balik jubah di sekitar koridor.
Dasar j*lang.
—•★•—
"Kelas hari ini sangat membosankan."
Name yang sedang duduk di atas kasur Bam hanya diam, memperhatikan pemuda bersurai biru yang sedang kesana kemari di ruangan Bam.
Awalnya ia berencana untuk kembali ke kamarnya, namun apa yang harus ia lakukan selain berbaring saja di sana?
Meski akhirnya sama saja tidak melakukan apa-apa di sini.
"Tuan Khun, Tuan Rak di mana?" Mereka bertatapan sejenak, sebelum Khun memilih duduk di sebelah Name. "Sepertinya bagi spear bearer, jika mengenai target yang amat jauh akan langsung lulus di tempat."
"Spear bearer? Berarti Nona Alora juga ada di sana?"
Khun menyandarkan kepalanya pada bahu Bam. "Iya, melihat seberapa ambisiusnya dia selama ini, orang itu tidak akan kembali sebelum berhasil."
Dahi Name berkerut melihat posisi kedua temannya saat ini yang malah saling bersandar.
Mereka gay?
Name menggelengkan kepala agar pikiran acaknya menghilang. Tubuhnya diputuskan untuk direbahkan di ranjang Bam sembari memejamkan matanya sejenak ketika Bam dan Khun masih sibuk berbicara. Sejujurnya ia bukan tipe yang akan masuk ke dalam pembicaraan tanpa diajak.
Namun memejamkan mata tidak cukup untuk mengusir kebosanan. Name membuka matanya kembali sebelum suara dua orang, Hatz dan Shibisu sudah berada di kamar ini.
Kapan mereka berdua masuk?
Name perlahan mendudukkan dirinya di lantai, tepat di sebelah Bam.
"Ujian scout menyuruh kami untuk mencari sepuluh teman." Shibusu menunjukkan selembar kertas yang berisi 10 kolom.
Tugas apa mencari teman? Bahkan anak kecil saja juga pasti bisa.
"Kau punya masalah apa dengan antingku, hah!"
Lamunan Name buyar ketika suara Khun mengisi kamar. Sebenarnya apa yang terjadi ketika ia sedang sibuk melamun?
"Kau yang punya masalah apa!" Hatz balik berteriak.
Name hanya diam menatap keduanya. Tapi lama-kelamaan suara mereka membuat kuping Name seakan-akan berdarah. Ia tidak tahan lagi dan mengambil kertas di tangan Shibisu.
"Tinggal tulis nama, kan?" keluh gadis itu yang sedang menulis namanya sendiri.
"Nona (Name) benar, mari kita lakukan, Tuan Khun."
"... Bam?" Khun tampak lebih tenang ketika Bam mengatakan hal tersebut.
Dan sekali lagi Name berpikir.
Mereka betulan gay, ya?
Ya Tuhan, mari kesampingkan hal ini. Name mengalihkan pandangannya pada Bam.
"Selama tes pertama Tuan Khun memintaku untuk berteman, itu membuatku sangat senang." Pemuda itu menghentikan ucapannya, tatapannya tampak menyendu untuk sesaat.
Wajahnya tampak sangat polos dan murni. Name bisa merasakan kemurnian hati Bam yang pasti belum tercemari oleh kejahatan dan keegoisan.
Tidak seperti dirinya dan yang lain, berbeda dari yang berbeda.
Khun mengusap surainya kasar sembari menghela napas, "Baiklah, akan kulakukan."
Dan dengan begitu misi mencari teman oleh Shibisu dan Hatz, sukses dan menyisakan empat kolom tersisa.
"Kalau begitu aku kembali juga, ya, Bam, Khun. Sampai jumpa besok." Name mengikuti Shibisu dan Hatz yang juga keluar dari sana.
Sekarang apa yang harus kulakukan?
Sepasang mata itu menatap ke sana kemari mencari sesuatu yang menarik untuk ia lakukan. Tapi sayangnya nihil, tidak ada apa-apa di sekelilingnya.
Ugh, aku akan tidur sebentar.
—•★•—
Blech!
Cough! Cough!
Suara air mengalir meyamarkan deru napas Name yang memburu. Dadanya terasa sesak.
Dilihat sekilas pun tampak jelas. Gadis ini sedang tidak baik-baik saja.
Tangan kecilnya mengusap kasar tetesan air di dagunya. Name menatap sayu wujud dirinya pada cermin.
Aku tidak kunjung terbiasa meski sudah terjadi ribuan kali.
Genggamannya pada wastafel menguat. Bulir-bulir air mata mulai turun membasahi pipi yang semakin hari semakin tirus itu.
Apa yang harus kulakukan?
Mati.
Mati lebih baik.
Aku ingin mati.
Name keluar dari kamar mandi dengan gontai. Tenaganya terkuras habis hanya karena ia berhasil tidur selama 30 menit.
Tidak ada yang bisa ia lakukan.
Name frustasi, air matanya terus mengalir membasahi lantai. Gadis itu meringkuk di pojok ruangan sembari memeluk lututnya erat berharap seseorang benar-benar memeluknya saat ini.
Sikap impulsifnya kali ini menang. Satu persatu helai rambutnya berjatuhan di lantai. Gunting yang beberapa detik yang lalu ia genggam bergerak memotong surai putih panjang itu.
Name memotongnya tanpa sadar, tatapannya kosong namun air matanya masih tetap mengalir deras.
Seharusnya tidak begini.
Sebenarnya apa masalahnya?
Lea, Noah.
Tolong ....
Tes!
Gerakan tangan itu berhenti ketika setetes cairan merah lolos mengenai pakaiannya. Jarinya terluka karena gunting yang ia genggam.
Suara detik jam seakan-akan berteriak memenuhi ruang hampa.
Bukankah seharusnya aku merasakan sakit?
Name menatap kosong ibu jarinya yang masih mengeluarkan darah setetes demi setetes di bajunya.
Aku tidak bisa merasakan apapun.
Knock! Knock!
Suara ketukan pintu terdengar. Name yang tidak mempunyai tenaga tetap berada di tempatnya, berharap siapapun itu agar pergi setelah ia tidak membuka pintu itu.
Knock! Knock!
"Name! Apa kau di sana? Mau makan malam bersama?" Sayup-sayup seseorang berbicara.
...
Lea ....
Kepalanya terasa pusing. Name tak menghiraukan ajakan siapapun itu yang berada di balik pintunya. Ia tidak bisa berhadapan dengan orang lain dengan kondisinya yang seperti ini.
Beberapa saat kemudian orang itu bergumam, "Apa dia sedang tidur? Atau tidak ada di kamarnya?" ucapnya yang kemudian berjalan menjauh dari kamar Name.
Harusnya Name merasa lega. Namun ia tidak lagi memiliki tenaga untuk merasakan perasaan itu lagi. Napasnya yang naik-turun secara teratur tak menghiraukan tetesan darah yang kini mulai berhenti dari jarinya.
Dia bahkan tidak paham dengan dirinya sendiri.
Satu hal yang ia tahu adalah ia harus segera membereskan keadaan ini sebelum ada yang menyadarinya.
Rambut yang telah terpotong ia rapikan potongannya. Tisu yang telah dinodai darah ia buang. Jari yang terluka ia tutupi dengan plester.
Namun siapa yang akan membereskan jiwanya yang telah kacau?
Ia bahkan tidak bisa melakukannya.
Kekehan kecil keluar dari bibir Name. Tangannya meraih kotak tempat jepit rambutnya berada. Tapi jepit rambut yang ia inginkan tidak ada di sana.
Apa aku menjatuhkannya di suatu tempat?
Betapa cerobohnya dirinya. Name menghela napas dan keluar untuk mencari jepit dengan tiga bintang miliknya.
"Oh? Kukira kau tidak ada di sini, aku baru ingin mengetuk pintunya. Ngomong-ngomong kenapa kau memotong rambutmu?"
Name membelalakkan matanya ketika Arsen sudah berada di sana saat ia membuka pintu, "Sudah berapa lama Tuan Arsen di sini?" tanyanya tidak menghiraukan ucapan Arsen tentang rambutnya.
"Hm? Aku baru saja datang, kata Alora dia tidak bisa menemukanmu jadi aku yang kemari." Arsen merangkul pundak Name dan berjalan menuju kantin, "Kau belum makan, 'kan? Alora sudah menunggumu di sana."
"Uhm ... belum."
Rasa canggung menyelimuti Name. Ia tidak tahu bahwa keinginannya mencari jepit rambut justru membuatnya berada di kantin, memakan sepiring omurice yang dibelikan oleh Alora.
"Padahal Nona tidak perlu membelikannya, aku masih mempunyai cukup poin."
Gadis bersurai biru itu tersenyum lebar dan menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa! Kau mengingatkanku dengan temanku di masa lalu."
"Teman?" beo Name.
"Iya, dia sangat polos dan pemalu juga sepertimu." Sesendok makanan memasuki mulut Arsen.
Name hanya diam bingung. Apalagi ketika Alora dan Arsen bertatapan seperti berbicara dengan mata mereka.
"Dia polos sebelum lu cekoki manhwa-manhwa biadab, anjing."
"Cuman scene ciuman apanya yang biadab?"
"Ciuman? Ciuman sambil ng*n*ot maksud lu?"
"Hehe, kan ga sengaja anjrit."
Sepertinya mereka akan mulai lagi.
Ini sudah menjadi rutinitas bagi Name jadi ia tidak kaget lagi. Malah ia tersenyum tipis melihat keduanya yang begitu akrab.
Andai aku juga ... bisa seakrab itu.
Setitik rasa sedih menyelimuti hatinya melihat hal itu. Name hanya bisa mengamati dalam diam sembari bergegas menghabiskan makanannya.
—•★•—
"Tuan Hatz? Ada apa?"
Hatz mengangkat sesuatu yang berada di tangannya, "... jepitmu."
Jepit dengan tiga bintang. Name menerima jepitnya yang hilang dan membungkuk sebagai tanda terima kasih.
Padahal ia hanya berjalan kembali ke kamarnya setelah menyelesaikan makan malam, namun tak disangka pemuda ini sudah berada di depan pintu kamarnya.
"Aku mencarinya daritadi, terima kasih banyak!"
Name melirik pedang yang berada di pinggang Hatz.
Aku memikirkannya beberapa kali sebelumnya.
Tapi ... bukankah akan aman jika aku bisa mempelajari pedang? Atau apapun itu?
"Uh ... Tuan Hatz, apa kau keberatan jika memiliki seorang murid?"
"Murid?"
Name mengangguk mantap, "Ajari aku cara menggunakan pedang."
→• to be continued•←
Hay ... maaf ... hilang ... setahun ... aku ... lupa ... punya ... wattpad ... (╥﹏╥)
Aku usahain buat terus update walau agak slow-up, ya. Anw thanks for reading, have a nice day 💗!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top