Watching Boku no Pico [HEAVENS]
Requested by HoshiPhantomhive
Ini rikuesan skenario pertama saya---dan ini termasuk permintaan anti mainstream (meski ga yakin tulisanku akan begitu (^^;)).
Fyi, hanya di part ini yang nggak ada jatah Starish dan Quartet Night. Tapi di part skenario lain, ketiga sub unit ini akan tetap ada.
Note: Adegan yaoi apapun nggak terekspos secara eksplisit. Kurasa, genre part ini nggak bakal jatuh terlalu dalam ke komedi. Mungkin bisa dibilang romance fluff, hehe ;v;)
Rate: T+ (PG-15)
• • •
Summary:
Akhir-akhir ini, [Name] senang menyendiri. Menyadari hal itu, sebenarnya inilah kesempatan bagi ketujuh pemuda itu untuk mendekati [Name].
Sanggupkah mereka tetap bersama [Name] yang merupakan fujoshi setelah mereka menonton Boku no Pico bersama?
Akankah [Name] berhasil memengaruhi mereka menjadi fudanshi ataukah mereka yang mengubah [Name] ke arah yang semestinya?
You'll find the answer if you choose ...
Hyuuga Yamato
Yamato meremehkan anime Boku no Pico. Ia menyangka animasi Jepang keluaran tahun 2006 itu hanya diperuntukkan anak-anak semata. Dia bahkan mengaku cukup berani menonton Corpse Party, sebuah animasi yang bisa terbilang sadis.
Namun Yamato sedikit gugup, terutama bersama [Name] karena Dare yang diberikan Eiichi. Katanya, film itu bertema romantis. Menonton genre seperti itu bersama lawan jenis yang disuka tentunya akan merasa canggung, bukan?
Namun, sebuah pemikiran yang menye-menye barusan akan menjadi tumpuan penyesalan Yamato. Penyesalan yang mendalam karena telah merasakan kegugupan yang sia-sia. Ia tidak menyangka, Eiichi dan ekspresi [Name] akan menipunya. Yamato menjambak rambut hijau terangnya. Menyesali waktunya terbuang untuk sebuh movie berdurasi 34 menit.
"Bagaimana filmnya? Bagus, kan?" tanya [Name] dengan santai, malah ingin menekan play sekali lagi; replay.
Yamato menatap skeptis [Name]. "Kau... memang perempuan tulen, kan?"
[Name] menganga sejenak, lalu terbahak. "Tentu saja aku perempuan! Dasar, kenapa bertanya---"
Yamato mendekap gadis itu dengan lengan kokohnya. Menenggelamkan puncak kepala di bahu [Name].
"Baguslah. Kalau kau adalah laki-laki, aku tidak bisa menyukaimu lebih lama lagi, baka!"
[Name] pun sepertinya akan terhanyut dalam geming berkepanjangan. Berawal dari tontonan penuh canda, ternyata Yamato malah menyatakan perasaannya.
(//w//)
Eiji Otori
[Name] dan Eiji pun duduk bersama-sama di ruang tamu. Tidak biasanya, pemuda itu mau duduk di sebelahmu untuk menonton bersama apalagi di malam hari. Padahal, pemuda itu sama sekali tidak terlibat dalam permainan Dare.
Namun demi semua tontonan yang telah dinikmati gadis itu untuk kesekian tentang hubungan sesama jenis, gadis itu kini merasa sangat berdosa karena membiarkan pemuda itu menonton tayangan tak senonoh. Ia tidak tahu caranya mengusir pria pemilik senyum malaikat itu jauh-jauh darinya untuk sementara. Kalau langsung ia hentikan, Eiji akan merasa curiga kepadanya.
Hingga pada adegan Pico membuka baju, wajah [Name] benar-benar memerah. Ia bukan terfokus terhadap tontonan nista itu, melainkan berdebar-debar mendengar respons Eiji.
"[Name]-san...," panggil Eiji pelan, tanpa ada nada amarah sedikit pun.
[Name] menyeringai, lalu tanpa sadar telah menggigit bibir bawahnya keras-keras. Ia tidak peduli jika bibirnya akan berdarah sekarang. Detik yang dirasakannya penuh dengan penyesalan.
Eiji menutup sepasang manik [Name] dengan tangan kanannya. "Kuharap... kau tidak menonton film seperti ini lagi."
"A-aku...." [Name] hendak tergagap.
Persetan dengan desahan Pico dan Tamotsu yang seharusnya terasa memekakkan indera pendengaran bagi penggemar anime kelas awam, [Name] merasa lebih berdebar karena masih merasakan kehangatan tangan Eiji yang tidak mengizinkannya melihat layar televisi.
Detik berikutnya, [Name] merasakan puncak kepalanya diacak pelan oleh Eiji. Sentuhan singkat itu menenangkan, juga secara tidak harafiah, menampar dirinya untuk segera tersadar untuk melepas sisi buruk yang tidak semestinya ia sukai.
"Aku tidak mau pikiranmu tercemar ke arah yang tidak seharusnya," timpal Eiji membiarkan [Name] melihat kembali.
"Maafkan aku, Eiji," ujar [Name] dengan mata berkaca-kaca, "sekarang kau pasti membenciku, 'kan?"
Persetan dengan adegan klimaks yang justru semakin membahana, [Name] langsung mengakhiri tontonan nista barusan dengan sekali menekan tombol 'stop'.
"Jujur... sekarang kepalaku agak pusing. Aku nggak mungkin membencimu karena hal seperti ini, tapi maaf telah menegurmu seperti itu." Eiji memijat dahinya.
[Name] beranjak dari sofa, lalu berkata, "Apa kau perlu segelas air atau minyak angin? Aku bisa mengambilkan keduanya kalau mau---"
Eiji menautkan jemarinya kepada [Name]. Seulas senyuman hangat milik Eiji selalu membiarkan [Name] bahagia. Ketimbang merasa kecewa karena tidak menikmati tontonan Boku no Pico, senyuman Eiji beratus--- bahkan menurut [Name] beribu kali lebih ingin ia pertahankan.
"Aku hanya perlu waktumu sebentar." Eiji menarik [Name] pelan sehingga tetap duduk di sebelahnya. "Kalau kau tidak keberatan."
Kepala Eiji bersandar di bahu gadis itu.
[Name] terkejut sekilas saat Eiji melakukannya, tetapi bibir gadis itu tetap berucap, "T-tidak kok, tapi sungguh, kalau kau ingin minum atau obat, bilang saja."
"Hm, hm." Eiji mengangguk pelan. "Suka."
Wajah [Name] memerah. Hendak mengira maksud 'suka' yang disebut Eiji barusan. Tanpa sadar, [Name] mengelus pelan rambut Eiji yang terasa lembut.
Keduanya hendak menikmati malam hangat yang semestinya menusuk tulang di tengah musim dingin. Tanpa mereka sadari, mereka berakhir tertidur bersama di sofa dengan posisi berpelukan hingga pagi menjelang.
(//v//)
Amakusa Shion
Mata Shion berbinar-binar demi sebuah tontonan anime nista sepanjang masa. Sepertinya pemuda itu yang paling senang meski harus menonton bersama [Name] karena tantangan Dare.
"Cinta... yang seperti ini ternyata ada." Shion mengatupkan jemarinya dengan tatapan takjub.
[Name] mengernyitkan dahi. Sempat berekspektasi Shion akan masuk ke dalam lemari karena ketakutan, tetapi justru tidak demikian.
"Kau... menyetujui hubungan Pico dan Tamotsu?" tanya [Name] tidak menyangka Shion punya sisi terbuka dengan hubungan seperti itu.
"Aku bisa melihat bahwa keduanya... saling mencintai. Secara raga dan jiwa dengan penuh penghayatan. Baik Tamotsu, begitu pun dengan Pico meskipun usia mereka terpaut jauh. Kau juga setuju, 'kan?" Shion mengelap butiran manik yang meleleh di pipi kirinya.
Demi apapun, [Name] tidak pernah menyangka seorang Amakusa Shion bisa menangis terharu. Bahkan, gadis itu tidak mengetahui di mana letak sedihnya film barusan yang berujung mengharukan.
[Name] menyeringai kaku. "Y-ya, sepertinya begitu...."
Diam-diam, [Name] menatap Shion penuh kecurigaan. Apa jangan-jangan Shion menyetujui hal itu karena ia menyukai Nagi? Belum lagi, Shion terlihat sangat suka bermanja-manja kepada Nagi dengan memeluk cowok imut itu erat-erat.
"Ada masalah?" tanya Shion sambil meneguk air dengan elegan, seolah menonton movie yaoi bagai menyanjungkan opera.
"Shion... kita nonton yang lain saja, yuk?"
"Nggak. Ini belum apa-apa---"
Padahal, tontonan itu telah berlalu selama dua puluh menit. Masih tersisa empat belas menit hingga film itu dinyatakan tamat.
Tanpa pikir panjang, [Name] langsung mendekapnya. "Pokoknya jangan tonton film ini lagi! Ya? Ya? Ya?"
Shion menautkan alis. "Haruskah kita akhiri film ini?"
"Te-tentu saja! Dare-nya sudah selesai! Yey!" seru [Name] berpura-pura terlihat ceria agar Shion teralihkan.
[Name] menyadari tantangan Dare ini bisa membiarkan Shion menjadi seorang fudanshi--- lelaki yang menyetujui dan menyukai hubungan sesama jenis--- cepat atau lambat.
(>w<)
Van Kiryuin
"Yo, [Name]," panggil Van yang langsung duduk di sebelah [Name].
Gadis itu menyahutinya dengan anggukan singkat. Kelihatannya, Van tampak santai menikmati Dare karena tidak tahu tontonan apa yang dimaksudkan Eiichi. Ia menyilang kaki kanan di atas kaki kiri, sesekali menyelip helaian rambut cokelatnya.
Ya, itulah gaya santai Van untuk setengah durasi anime Boku no Pico.
Sesekali [Name] memandang reaksi Van, tetapi Van berusaha tampil sekalem mungkin.
Namun, pertahanan pemuda itu tidak bertahan lama. Sebuah cairan kental kemerahan menetes dari lubang hidungnya.
[Name] yang segera menyadari hal itu mengambil selembar tisu. "Duduklah dengan tegak. Aku akan mengambilkan kain basah atau es untukmu."
Van memegang jemari mungil [Name]. "Aku... aku tidak apa-apa."
"Mana boleh begitu! Kau bisa kehabisan darah nanti. Pencet tepat di tulang hidungmu dulu agar darahnya tidak mengalir." [Name] terlihat cemas segera beranjak dari sofa.
Van tersenyum tipis. "Sepertinya aku membuatmu kerepotan, ya?"
Tidak lama kemudian [Name] telah membawa kain basah.
"Apa kau pernah menjadi perawat?" tanya Van dengan suara yang lebih cempreng karena masih memencet hidung.
Gadis itu menggeleng. "Aku pernah terlibat sebagai seksi kesehatan semasa sekolah, jadi aku punya sedikit pengalaman."
Merasa senang meraih perhatian gadis itu, film Boku no Pico seolah bukan tandingannya. Atau mungkin, ia akan bersyukur menerima Dare tersebut.
"Hm, kalau begitu, aku boleh menuntut tanggung jawab darimu, [First Name]. Aku akan sangaaat senang jika ada gadis sepertimu yang merawatku dengan sepenuh hati."
"E-Eeeh?" kejut [Name] yang disahuti dengan kekehan Van.
"Kapan-kapan, kau boleh mengajakku menonton film seperti ini lagi---" Van menyeringai usai melepas pencetan di hidungnya secara perlahan.
Gadis itu dengan cepat menggeleng. "Nggak. Pokoknya nggaaak. Aku takut kau mimisan lagi."
Van tahu [Name] hanya sekadar menemaninya karena kondisi seperti ini, tapi ia ingin bersama-sama dengan gadis itu dengan niat yang sedikit jahil.
(>,^)
Eiichi Otori
[Name] merasa sekujur tubuhnya merinding. Hal itu dikarenakan Eiichi yang sedang menonton bersamanya. Tepatnya, sang leader HEAVENS adalah penyelenggara Dare tersebut.
"Kata reviewer, Boku no Pico adalah anime terbaik sepanjang masa. Penuh dengan romansa yang menginspirasi jiwa," ungkap Eiichi tengah memperbaiki letak kacamatanya dengan jari tengah.
Entah sang reviewer yang dimaksudkan Eiichi sengaja untuk menjebak penonton anime kelas awam atau memang benar-benar menyukai anime Boku no Pico, [Name] hanya tahu bahwa anime ini berbau yaoi kelas berat. Lebih berat daripada yang bisa dibayangkan siapapun yang belum menontonnya.
"Eiichi... kau serius?" tanya [Name] menggaruk tengkuk.
Eiichi mengangguk mantap. "Tentu saja. Apa yang bisa kauragukan dariku?"
"Ki-kita bisa tonton yang lain, seperti Full Metal Alchemist atau Baka to Test to Shoukanjuu? Kedunya jauh... jauh lebih seru pastinya ketimbang Bo-Boku no Pico," ajak [Name] dengan suara bergetar, berusaha untuk berantusias dengan bujukannya.
Eiichi mencondongkan tubuhnya mendekati [Name]. Terdapat jarak sepuluh sentimeter yang terbatas di antara mereka.
"Kau... kenapa, sih? Ada yang kausembunyikan dariku?" tanya Eiichi telah mendekatkan wajahnya dengan wajah [Name] yang merona.
Sudut manik gadis itu menangkap layar televisi yang sudah menunjukkan 'PLAY'. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Dirinya merasa sedang berada di ujung tanduk. Serba salah untuk membiarkan Eiichi menonton dan memberitahunya.
Merasa panik luar biasa dan tidak mau Eiichi menonton, [Name] berseru, "INI ANIME YAOI! PICO CUMA BOCAH COWOK SOK IMUT DAN JADIAN DENGAN TAMOTSU, SI OOM-OOM PEDOFIL!"
Eiichi pun membeku. Mungkin [Name] seolah meretakkan ekspektasi yang sudah membuncah batin Eiichi yang membara, tetapi gadis itu merasa lebih lega setelah mengungkapkan hal itu. Setidaknya, [Name] tidak ingin Eiichi kehilangan nyawa saat melihat adegan nista antar sesama jenis tersebut. Atau berakhir termuntah-muntah dengan kantong kresek.
Beberapa detik berikutnya, Eiichi tertawa terbahak-bahak. Padahal [Name] mengira Eiichi akan berlutut dengan kepala tertunduk. Lalu, merasa terpuruk karena merasa tertipu oleh reviewer.
"Ternyata begitu. Lalu, kau sadar dengan satu hal lagi?" tanya Eiichi bermaksud ingin menggoda [Name]. "Kau... segitunya ingin menyentuhku agar aku tidak teralihkan?"
[Name] tidak sadar telah memegang kedua tangan Eiichi saat memberitahukan garis besar alur dari anime itu.
"Bu-bukan begitu! A-aku...."
"Kita tetap bisa menikmati Boku no Pico. Kau fujoshi, 'kan?"
"APAAAA?" pekik [Name] merasa upayanya menceritakan garis besar anime nista itu bagai keisengan belaka yang berujung sia-sia.
Eiichi pun bangkit dari sofa, lalu dengan bangga mengangkat remote. "Pft. Seorang idola sejati yang sempurna harus bertahan dalam situasi apapun. Termasuk menghayati tontonan seperti itu sebagai referensi!"
Apapun alasan yang Eiichi ungkapkan kepada [Name] hanya ada dua kemungkinan; Eiichi sangat positive thinking untuk terobsesi menjadi idola atau sangat penasaran dengan anime Boku no Pico.
(-_-)
Nagi Mikado
"Pico lebih menjijikkan daripada yang kukira, euwh! Bisakah kita akhiri tontonan ini? " hina Nagi merasa merinding; hendak menggosok bulu roma yang berdiri di lengan.
[Name] terkikik lalu berkata, "Kukira kau akan semangat menanyakanku soal keimutanmu dengan Pico."
Nagi menggembungkan pipi. Ia terjebak harus menonton Boku no Pico bersama [Name] berkat sebuah Dare yang dimainkan oleh sejumlah anggota HEAVENS. Namun, Nagi diam-diam merasa senang karena bisa berduaan dengan [Name].
Nagi menekan tombol pause dari remote pada menit ketujuh belas.
"Nggak. Aku nggak mau disandingkan dengan dia. Lagipula aku juga masih normal," gerutu Nagi memeluk bantal.
Entah mengapa, melihat respons Nagi yang menggemaskan membuat [Name] ingin menggodanya.
"Bukannya Nagi maunya sama Shion? Kalian kan sudah seperti perangko dan amplop," ujar [Name] memperagakan penyatuan yang merapat dengan kedua jari telunjuknya.
Nagi menggeleng cepat, lalu menimpuk pelan puncak kepala [Name] dengan bantal yang didekapnya.
"Shion yang duluan menempel kepadaku, tapi aku nggak. Lagipula, sebenarnya aku lebih ingin menempel kepadamu seperti ini...." Nagi pun mendekap [Name].
Mereka pun berbaring secara beriringan. Meskipun berada di ruang tamu beralaskan karpet.
"Aku nggak mau lihat film jahanam itu lagi," ungkap Nagi sambil menyelipkan helaian rambut [Name] ke telinga, "lebih baik aku melihatmu saja. Setidaknya, kau jauh lebih menarik daripada makhluk trap yang sok imut seperti itu."
[Name] terkesiap dengan wajah merona, memandangi Nagi yang menatap lekat-lekat di sisinya. Sepertinya, tantangan menonton film nista sampai habis berhasil digagalkan berkat sisi menggemaskan Nagi yang meluluhkan hati.
(^^;)
Sumeragi Kira
Tidak banyak respons yang bisa [Name] harapkan dari seorang Sumeragi Kira. Sepanjang tayangan Boku no Pico selama 34 menit berlalu bagai menonton film dokumenter. Jangankan tersenyum sepersekian milimeter, ekspresi Kira selama menonton Boku no Pico tetap datar bagai papan triplek yang baru diamplas.
[Name] ingin sekali menjahili Kira. Kira seolah bagaikan patung yang terpaksa harus hidup karena tuntutan perubahan.
"Kira... sudah mengantuk?" tanya [Name] sambil memilin rambut.
Kira memandang layar televisi yang telah menampilkan credits sekilas, lalu menatap [Name] lekat-lekat dari sepasang manik kuningnya.
"Tidak sama sekali." Kira menggeleng cepat. Tanpa [Name] sadari, tangan Kira telah membatasi dirinya dan sofa sebagai sandaran tubuh.
"K-Kira-kun?" tanya [Name] tanpa sadar telah berkeringat dingin.
Kira menarik napas dalam-dalam. "Kau ini perempuan tulen, kan?"
[Name] menganga. "Ini pertanyaan kedua setelah Yamato. Kenapa kalian senang sekali menanyakan hal seperti---"
Sepersekian ucapan [Name] terhenti berkat kecupan singkat dari Kira ketika kedua bibir mereka yang saling bertemu. Refleks, [Name] menekap bibirnya.
"Aku memutuskan hanya akan melirikmu, mencintaimu ketimbang siapapun. Tapi, tolong jangan tonton anime yaoi ini lagi."
[Name] masih terdiam dengan wajah memerah. Tidak pernah menyangka Kira memiliki sisi posesif. Namun, gadis itu menghela napas.
"K-kau... hanya terbawa momen untuk melakukan hal barusan, 'kan? Sungguh, itu hanya film."
"Kalau begitu, lupakanlah film itu."
Tangan Kira menyentuh dagu [Name]. Hendak memejamkan sepasang maniknya. Dan sekali lagi, Kira memberi ciuman. Yang lebih dalam, yang penuh pengharapan untuk menghanyutkan benak [Name] selarut-larutnya akan tontonan itu.
Usai ciuman itu berakhir, Kira menyadari wajah [Name] telah memerah padam bagai tomat.
"Kau demam?" tanya Kira memegang dahi [Name].
[Name] memukul pelan dada bidang Kira. "S-Siapa yang nggak malu-malu habis menerima... ci-ciuman barusan?!"
Kira tersenyum tipis, merasa senang [Name] telah teralihkan. Ia pun merengkuh gadis itu.
Diam-diam, sebenarnya Kira sudah tidak mampu menahan kekesalan setiap melihat adegan nista antar sesama jenis itu. Dia tidak ingin, bahkan sesegera mungkin ingin [Name] berhenti menjadi fujoshi.
• • •
A/N:
Sebelumnya, part ini nggak ada maksud sama sekali untuk mencela kalian sebagai fujoshi (kalau pun kenyataannya kalian itu fujo, itu hak kalian). Jadi, mohon dimaklumi khusus part ini, ya :">
Soal Full Metal Alchemist dan Baka to Test to Shoukanjou di part Eiichi, hal itu ada kaitannya. Tidak disangka, sebenarnya penulis skrip Boku no Pico itu juga yang menulis skrip kedua anime populer di atas.
Bagi siapapun yang baca karya ini, terima kasih. Selama tujuh bulan ini, buku ini jadi berwarna-warni berkat kalian. Tanpa ada yang membaca, memberi dukungan, dan komentar rusuh dari kalian, karyaku ini jelas bukanlah apa-apa ;3
So, Happy New Year's Eve~
[31.12.2016]
Sincerely,
Agashii-san
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top