Sick [St☆rish]

Bagiamana perlakuan ketujuh pria tampan ketika kau sedang demam dan sendirian di rumah?

You will find it if you choose...

Shinomiya Natsuki
Pemuda berambut ikal kuning itu tak segan menawarkan bantuan. Segalanya benar-benar lancar ketika memasangkan kompres demam di dahi, menyiapkan obat... hingga kakinya menuju dapur. Tubuh [Name] yang lemas langsung beralih segar bugar secara tidak harfiah. Tepatnya karena ia merasa tegang.

"Shinomiya-san! Aku baik-baik saja tanpa makan, kok!" ujar gadis itu menghampiri Natsuki.

Natsuki tersenyum lebar. "Daijobu. Makan bisa membuatmu lebih cepat sembuh."

Hingga kini, tak ada siapapun yang benar-benar berani menegur rasa masakan pemuda itu.

"Aku... nggak berselera makan," bantah [Name] tak ingin kalah.

Natsuki menautkan alis, tak enak hati. Ia mengajak [Name] duduk di atas tempat tidur, ditemani boneka piyo raksasa di dekapan.

"Jadi... harus dengan cara apa supaya kau mau makan, [Name]?" Natsuki duduk di lantai, memegang jari-jari mungil [Name]. "Otomatis, kau kan nggak bisa minum obat."

[Name] berpikir keras agar tak menyakiti perasaan pemuda itu. Ia tahu betul niat Natsuki baik karena mengkhawatirkannya, tapi bisa-bisa sakitnya justru tak kunjung sembuh bila memaksakan diri.

"Aku... tak mau merepotkanmu. Apa kau boleh buatkan bubur instan?" usul [Name] usai terpikir sebuah ide simpel.

Meski hanya sekadar produk kemasan setengah jadi, hasilnya instan setelah diseduh dengan air panas dan ditunggu hingga beberapa menit. Dengan demikian, pemuda itu takkan mungkin menambahkan bahan makanan yang aneh-aneh. Usul [Name] diterima pemuda itu daaan... hadir semangkuk porselen beralaskan nampan di pangkuannya.

Tepat pada suapan pertama, tercicip rasa yang tergolong manusiawi. Dan itu merupakan keajaiban terindah bagi [Name].

"Terima kasih, Natsuki," ucap [Name] tersenyum lebar.

Natsuki tersenyum hangat. "Sama-sama, [Name]. Semoga lekas sembuh."

Ichinose Tokiya
Pemuda berambut indigo pekat itu tak terlalu menunjukkan raut khawatir. Namun, tidak dengan aksinya. Ketika mengetahui [Name] pulang larut malam dan justru mengidap demam keesokan harinya, ia langsung menunda pertemuan reuni bersama teman-temannya.

Ia tahu, [Name] takkan sembuh dengan mudah bila sendirian. Tepatnya, mengurusi diri di saat kondisi lemah tak bisa terbilang mudah. Hal itu terbukti. Gadis itu hanya berbaring dengan selimut tebal. Rumahnya bahkan dalam kondisi tak terkunci di kala ia menjenguk [Name].

"Ichinose-san?" tanya [Name] sesekali terbatuk.

"Sudah minum obat?" Ichinose meletakkan kantong berisi minuman isotonik, obat flu, dan buah-buahan.

[Name] menggeleng.

Ichinose sudah paham betul kondisi rumah [Name]. Bertetangga. Diambilnya sebatang termometer lalu mengukur temperatur suhu tubuh [Name].

"38,5°C. Tinggi juga," ujar Ichinose mulai hanyut dalam kesibukan demi kesembuhan [Name].

[Name] memandangi punggung lebar Ichinose dari kejauhan. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit. Merasakan haru yang menyelip di batinnya. Padahal, ia sekadar meminta bantuan pemuda itu membelikan parasetamol melalui chat.

"Ichinose-san... aku nggak apa-apa," ujar [Name] setengah menggumam ketika Ichinose meletakkan kompres demam tepat di dahi gadis itu.

Ichinose menggeleng cepat. "Kau nggak perlu merasa sungkan kepadaku. Tunggu aku menyiapkan makanan kepadamu."

[Name] mengangguk patuh. Entah mengapa, hatinya terasa hangat. Ketika pemuda itu memerhatikan [Name]. Ketika menyadari seluruh perjuangan itu spesial tertuju kepadanya. Tak butuh waktu lama, [Name] bisa mencoba hidangan menyehatkan--- bubur dan sup ayam milik Ichinose.

Pemuda itu menunggu [Name] hingga terlelap dengan duduk di sebelah tempat tidur. Tangan [Name] terkait di sela-sela jemarinya. Manik biru cerah Ichinose menyorotkan tatapan teduh. Detik berikutnya, ia mendaratkan kecupan singkat di dahi [Name].

"Beristirahatlah, [Name]. Aku akan tetap di sisimu hingga kau merasa lebih baik."

Aijima Cecil
"NONA, SEHAT?" Cecil terbelalak.

[Name] sesekali terbatuk. "Hanya... sedikit demam."

Cecil membandingkan suhu tubuhnya dengan [Name]. Ia dapat merasakan perbedaan yang sangat signifikan. Keringat dingin mengucur di sela pelipisnya--- panik.

"Aku... hubungi rumah sakit saja, ya?" saran Cecil.

Cecil, sang pangeran Agnapolis dahulunya selalu mendapatkan apa saja. Ketika ada keluhan, segalanya akan dibereskan oleh sang bawahan. Tak mengherankan bahwa ia cukup bingung meskipun yang dialami [Name] tergolong masalah sepele.

"Ti...dak usah," bantah [Name] menjadikan bantal sebagai sandaran tubuh dalam posisi duduk.

Cecil menautkan alisnya. "Maaf jika aku terkesan berlebihan, [Name]. Sejujurnya... aku tak pernah mengurus orang sakit."

Terkesiap sesaat, [Name] menarik senyuman tipis.

"Akan kuberi petunjuk. Intinya, kau nggak perlu membopongku hingga ke rumah sakit."

Cecil menatap [Name] berseri-seri. "Sungguh? Apa dengan demikian, kau akan segera sembuh?"

[Name] mengangguk mantap. "Tentu saja."

Dengan sekali tarikan napas singkat, [Name] menjabarkan petunjuk cara menangani seseorang yang menderita demam. Cecil mengambil notes lalu mencatat detail petunjuk yang disampaikan. Alisnya semakin berkerut seiring [Name] menyelesaikan penjelasannya.

"Nah... sudah mengerti?" tanya [Name].

Cecil mengusap dagu. "Sudah, Nona! Akan segera kulaksanakan!"

[Name] berharap yang Cecil lakukan akan selaras dengan petunjuknya.

Ren Jinguji
"Lady pasti sangat menderita, ya?" ucap Ren ketika mendatangi rumah [Name]. Segera ia letakkan sebuket berisi mawar sebanyak lima puluh tangkai tepat di meja.

[Name] terbatuk kecil seiring menaungi hidung dengan tisu. "K-Kenapa kau datang?"

Ren tak merasa tersinggung. Ia melepas mantel yang dikenakan lalu memakaikannya kepada [Name]. Kaki Ren bergerak menuju laci meja rias. Menggunakan ikat rambut berwarna [Favorite Color] dengan gaya rambut ponytail.

"Mulai dari sekarang, kita mulai dari mana dulu, ya?" tanya Ren menggulung lengan kemeja putih hingga siku.

Samar-samar, kedua pipi [Name] merona. "M-Mulai apa maksudnya?"

Sedikit membungkukkan tubuh untuk merapatkan jarak, Ren memegang dagu [Name] dengan tangan kiri menyentuh dinding.

"Meredakan gejala demam yang diidap oleh seorang [Full Name]. Mulai dari yang sederhana hingga ekstrem, aku siap melakukan yang mana saja."

[Name] memegang lengan Ren. "Y-Yang wajar saja! Normal, oke?"

Ren terkekeh ketika [Name] terlihat malu-malu menanggapinya. Tak lupa, ia mendaratkan kecupan singkat di pipi kanan [Name].

"Dengan senang hati, Lady. Semua demi kebaikanmu sebagai prioritas utamaku."

Ittoki Otoya
Ittoki hadir lebih kalem ketimbang biasanya--- terlihat tak berkutik di rumah [Name]. Panik bercampur bingung. Dia datang ketika [Name] terbilang cukup mandiri dalam mengurus segalanya sendirian.

Namun, pemuda berambut merah itu belum ingin memulangkan diri. Akhirnya, ia duduk di sebuah kursi yang terletak di seberang tempat tidur [Name].

"Kalau saja... kau menghubungiku lebih cepat," gumam Ittoki memeluk kedua lutut.

[Name] berkata, "Tidak masalah, Ittoki-kun. Aku senang kau menyempatkan diri untuk datang ke rumah."

"Apa kau ingin tiduran dulu? Tapi sebelumnya ganti baju dulu," usul Ittoki berjalan menghampiri laci kamar [Name].

Jemarinya nyaris membuka laci, tetapi langsung diurungkan karena merasa ragu.

Takut bila isinya adalah sesuatu yang tak sepantasnya dilirik apalagi disentuh oleh laki-laki berusia akil balig sepertinya.

[Name] berucap, "Bajuku ada di lemari. Ada sweater sih di situ."

Entah mengapa Ittoki merasa lega ketika [Name] memberitahunya lebih dulu. Dan benar pula, hampir semua baju [Name] ditampung di sana. Ittoki memberikan sweater kepada [Name].

Kedua pipi Ittoki bersemu--- sepintas mulai paham jika [Name] berganti pakaian, ia tak boleh ada di sana.

"A-Aku akan keluar sebentar." Ittoki langsung bergegas keluar dari kamar [Name].

Usai [Name] selesai berganti pakaian, Ittoki kembali masuk ketika gadis itu telah menggulung diri di balik selimut tebal.

"Sebenarnya... aku sudah mengalami insomnia berhari-hari. Nggak bisa tidur. Obat yang kuminum tak lagi manjur," timpal [Name] menatap nanar lantai kamarnya.

Ittoki tersenyum tipis lalu mengacak pelan rambut [Name]. "Justru kau harus beristirahat, bagaimana pun caranya."

"Aku... tak tahu caranya," gumam [Name] berpasrah diri.

Raut Ittoki memancarkan sorot khawatir. Tak lama, manik merahnya menemukan gitar yang tak sengaja dibawanya ketika mendatangi panti asuhan lebih dulu. Ditariknya senyum simpul.

"Bagaimana jika aku menyanyikan lagu untukmu hingga tertidur? Pelan-pelan saja."

Hati gadis itu perlahan terasa menghangat. "Arigatou, Ittoki-kun."

Demi [Name], sang gadis yang dijatuhi hati oleh Ittoki, apa sih yang tak bisa ia bantu?

Syo Kurusu
Syo dan [Name] sempat bertengkar hebat karena selisih waktu pertemuan kencan mereka. Dan ketika gadis itu sakit sekalipun, status hubungan mereka masih dinyatakan sedang kurang baik. Syo sempat merasa tak enak hati. Ingin pergi, tapi enggan menerima pengusiran [Name]. Jika ia pergi justru semakin memperparah situasi.

Pemuda itu mengacak rambut kuningnya. "Apa yang harus kulakukan?!"

Rasanya tidak keren pula hanya sekadar mengirim pesan: 'Yo, cepat sembuh ya.'

Namun, kekhawatiran Syo membawa sepasang kakinya menuju supermarket terdekat. Larut dalam pemikiran akan [Name], keranjang belanjaan terisi dengan buah, sayur-sayuran, hingga obat. Seluruh belanjaan termuat sebanyak dua kantong.

Meski ada sedikit gengsi, mau tak mau usahanya bagai kiasan nasi sudah menjadi bubur. Jari telunjuk Syo bergetar menekan tombol bel rumah [Name]. Meneguk ludah bagai memasuki kandang harimau. Namun, ia memantapkan hatinya. Ia adalah laki-laki yang tak boleh meralat perlakuannya.

Dugaan Syo benar saja, [Name] masih menyambutnya dengan wajah masam.

"Kenapa kau ke sini?" semprot [Name] yang sebenarnya terkesiap dengan kehadiran Syo.

'Karena... aku merindukanmu, baka!'

Syo membasahi bibir. "Karena kau sakit."

"Kalau aku nggak sakit, kau nggak bakalan datang ke sini, dong?" singgung [Name].

Kepala Syo terasa berkedut. "Y-Ya, setidaknya aku mengkhawatirkanmu! Kau ini kenapa bawaannya marah-marah terus, sih?! Maaf, deh!"

Ia tak mau memperpanjang perdebatan tak pasti. Ia ingin seperti dulu, menikmati waktu bersama-sama dengan kebahagiaan yang sederhana. Bukan didera perasaan bingung dan saling menyudutkan diri.

[Name] sedikit terisak. Ia senang Syo datang tepat ketika menunggu pemuda itu pula. Namun, ia terlanjur tak paham memulai interaksi di antara mereka yang perlahan canggung.

"Masuklah...," gumam [Name] membuka lebar pintunya.

Alih-alih langsung masuk, Syo membuang muka disertai ekspresi malu-malu.

"Apa aku benar-benar boleh masuk ke rumahmu?"

[Name] mengerjap lalu mendesah. "Te-Tentu saja! Aku kan tuan rumahnya."

Tepat Syo menginjakkan kaki ke rumah [Name], di situlah siasatnya memperbaiki hubungan mereka kembali.

Hijirikawa Masato
Masato menganggap demam yang [Name] alami bukan sebuah perkara besar. Melihatmu yang sakit tentu terasa mengiris hati, tetapi dengan telaten, Masato mengatur semuanya.

Kompres demam, makanan, obat, dan pakaian hangat tersedia khusus [Full Name].

Namun, Masato masih sibuk mengerjakan banyak hal di rumah [Name].

Salah satunya, mengelap kaca jendela.

"Masato... kau ngapain, sih?" tanya [Name] mengernyitkan dahi.

"Kamar yang bersih dan asri akan menciptakan aura baik bagi penghuninya," ungkap Masato lanjut mengelap lalu memeras kain setelah mencelupkan air di dalam ember.

"Tapi... kau nggak perlu serepot ini," ujar [Name] terdengar lirih.

Masato menggeleng. "Kau wajib memiliki kualitas hidup yang baik. Itu hakmu."

[Name] merasa tak enak hati. Pasalnya, bersih-bersih rumah hanya dilakukan beberapa kali dalam seminggu. Ia merasa sedikit termotivasi.

"Lain kali, aku akan lebih rajin membersihkan rumah. Ajarkan aku trik-triknya, ya?"

Masato menarik senyum tipis. "Tentu saja. Kau harus sembuh dulu agar kita bisa melakukannya bersama-sama."

A/N: As usual, QN &  HEAVENS nyusul~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top