Sick [HEAVENS]
Bagaimana respons ketujuh pria tampan asal surga bila kamu jatuh sakit?
You will see if you choose...
Hyuuga Yamato
Yamato melirik [Name] terbaring dengan kompres di dahi. Tangan kekarnya menaruh protein, obat penurun panas, dan selebaran kertas.
"Hyuuga-san?" panggil [Name] sesekali terbatuk.
Yamato mengambil segelas air dari dispenser. "Minum obat dulu. Agar kau tak sakit lagi, kau harus berolahraga."
[Name] meneguk dua butir kapsul setelah menerima gelas dari Yamato. Bukan sekali dua kali, Yamato mengajak [Name]. Namun, ia terlalu malas. Selain berkeringat, [Name] sulit bangun pagi di hari libur.
Gadis itu pun mengernyitkan dahi. "Harus, ya?"
Yamato berdecak. "Mau sehat nggak, sih? Nggak perlu ekstrem deh. Dimulai dari tread mill---maksudnya yang awalnya jalan lalu lari dari mesin gym dulu. Itu malah sudah langkah yang paling sederhana."
"Kau nggak akan meninggalkanku saat berada di sana, kan? Aku benar-benar nggak mengerti." Gadis itu mengerucutkan bibir. "Aku benar-benar payah soal olahraga."
Pemuda berambut jabrik kuning kehijauan itu tersenyum penuh percaya diri. Ia mengacak rambut [Name] singkat. Dia selalu ingin gadis itu sehat. Bila sakit seperti ini, gadis itu akan sulit melaksanakan aktivitas.
"Akan kutemani kapan saja hingga kau suka berada di gym. Gimana kalau sudah merasa sangat fit nanti sekalian bentuk otot?"
[Name] mengerjap, tahu betul maksud baik pemuda itu. Namun jika tak mengenal Yamato, bisa saja mengira pemuda itu sebagai atlet.
Otori Eiji
"TIDAK!"
Gadis itu berseru sembari membuka paksa sepasang manik. Keringat deras mengucur di pelipis. Kepanikan menderukan degup jantungnya. Hal yang pertama yang ia tangkap adalah langit-langit kamar yang bukan miliknya.
Ia bermimpi buruk. Sangat buruk.
"Ini... di mana?" gumam [Name] bermonolog.
Kamar itu terasa familiar, nyaris sangat ia kenali begitu betul. Tapi... ia tak mau terlalu berandai-andai. Takut kelewat bahagia dalam kamuflase masa lalu.
"[Name]? Sudah sadar?" panggil suara sang pemuda dari belakang.
[Name] menutup kedua telinganya. Akankah panggilan barusan hanyalah kesemuan yang menyakitkan hati?
Gadis itu kembali memejamkan mata. Namun, ia merasakan seseorang menangkup kedua pipinya dengan jemari.
"Ini memang aku, Eiji. Apa kau baik-baik saja?"
Suara lembut dan menenangkan itu membiarkan gadis itu mau tak mau menggigit bibir.
"Eiji yang kukenal pergi demi kariernya selama sebulan penuh. Aku tahu dia akan kembali. Aku tahu mungkin aku egois, tetapi dia tak menghubungiku sama sekali."
[Name] hanya kesepian. Merasakan kekosongan hati yang berakhir meremukkan raga. Ia mungkin terlihat konyol di depan pemuda itu. Makan tak teratur, tidur selalu tengah malam menjelang subuh. Dengan kedua alasan itu cukup menyebabkan suhu tubuhnya meninggi.
Eiji menatap gadis itu dengan raut bersalah. "Maafkan aku, [Name]. Karena terlalu terburu-buru, ponselku tercelup air ketika HEAVENS cs sibuk mencari hotel terdekat."
Gadis itu masih kunjung bergeming dengan posisi mata terpejam. Lain halnya, Eiji memberi dekapan hangat. Membenamkan wajahnya di bahu [Name]. Gadis itu merasa kesal juga bercampur bingung. Tanpa membalas dekapan itu kembali.
"Aku akan bertanggungjawab terhadap kesalahanku. Pasti takkan mudah memaafkanku. Tapi izinkan aku menurunkan demammu lebih dulu, ya?"
[Name] setengah terisak. "Aku rindu, tahu. Hanya saja... kalau memelukku terlalu lama seperti ini, kau bisa tertular juga."
Meski bibirnya berucap demikian, keinginan egois dari sang gadis itu justru bertolak belakang: tak mau Eiji melepasnya. Ia terlanjur merasa nyaman seperti ini.
Eiji memberikan tepukan pelan di punggung gadis itu. "Nggak apa. Justru sangat menyakitkan ketika semalam melihatmu pingsan di apartemen ketimbang merasakan sakit yang sama. Sekarang ceritakan kepadaku, mimpi apa yang barusan kau alami?"
[Name] menarik ingus yang seolah akan meler kapan saja. "Mimpi kalau kau takkan kembali. Dan kita berpisah untuk selama-lamanya."
Usai melepas dekapan, Eiji terkekeh kecil. "Mulai sekarang, aku akan meralat mimpi itu. Di versi kenyataan, aku akan tetap kembali kepadamu. Hanya kepadamu, [Name]."
Amakusa Shion
Shion menatap [Name] tengah melahap bubur ayam. Saat sakit, pemuda itu tidak menyangka bahwa [Name] malah memaksakan diri melakukan aktivitas--- multitasking. Bertumpuk-tumpuk buku yang merupakan pekerjaan rumah harus segera ia bereskan. Bukan rahasia umum, sebagai pelajar kebanyakan memang senang menunda-nunda tugas karena malas.
"Nggak tidur?" Shìon menopang dagu.
"Belum selesai," jawab [Name] cepat. "Banyak sekali yang belum kubereskan."
Shion mengelus dagu. "Bagaimana kalau aku membantumu mengerjakan tugasnya?"
[Name] menganga--- dalam artian senang bercampur tak percaya.
Shion mau membantunya? Itu keajaiban yang sepertinya mampu menyaingi bangunan bersejarah yang disetujui pihak UNESCO.
"Kalau soal bahasa Inggris dan sastra Jepang, aku lumayan bisa."
[Name] menampar pipinya sekali. "Tapi aku nggak punya uang."
Shion mengernyitkan dahi. "Apa kaitannya?"
"Siapa tahu kau akan memerasku besok," sahut [Name] terlihat takut-takut. "Habisnya... kau jadi agak beda."
Shion yang tiba-tiba peduli kepada [Name]. Bersedia datang ke rumah tanpa diminta. Teman sebangkunya. Mungkin bisa jadi, wali kelasnya hanya meminta Shion memberitahu sederetan tugas dan ulangan yang menumpuk. Tanpa permisi lebih dulu, Shion membiarkan posisinya lebih terarah ke meja belajar sedangkan [Name] sudah mendekati tempat tidur.
"Siapa yang mau memerasmu? Aku cuma lelah karena harus mencatatkan bagianmu yang tertinggal di kelas. Kalau kau kelamaan absen, tanganku bisa-bisa keriting duluan," decak Shion. "Juga...."
Gadis itu mengangguk paham. Seringkali Shion menjadi wadah sumber catatan karena tulisan rapi sekaligus mudah dimengerti.
Namun, [Name] memiringkan kepala, yakin pemuda itu semestinya masih tetap berucap patah demi patah kata.
Kembali bergumam dengan posisi membelakangi [Name], Shion mengambil bolpoin.
"Juga... cepatlah sembuh agar kita bisa pulang bersama-sama seperti dulu."
Van Kiryuin
Pemuda berambut cokelat itu menatap gadis itu. Sesekali berkedip-kedip dengan manik menggoda.
"Sekarang, kok malah kau yang sakit, ya?"
Belum cukup lama, [Name] sibuk menolong Van yang mimisan. Van ingat betul bahwa menjahili gadis itu merupakan prioritas hal yang disukainya.
"Van... aku juga manusia. Serius nggak pengin main-main. Ini sakit benaran," sahut [Name] mengangkat selimut hingga tengkuk.
"Siapa juga yang mengajakmu bermain? Yang pas aku mimisan juga itu benaran. Dan...."
Van mendaratkan wajahnya di sebelah wajah gadis itu meskipun tubuhnya masih memasang posisi duduk. "Aku ingin balas budi."
Wajah [Name] malah semakin merona. "Aku nggak pernah minta balas budi."
Van terkekeh. "Kalau aku yang mau, gimana?"
[Name] berbalik badan. "Kalau begitu, pulang sana. Sudah, kan?"
"Hei! Kau barusan mengusirku, sadar?" Van tergelak.
[Name] menghela napas. Ia tak lagi berbaring, melainkan membiarkan bantal sebagai alas tubuhnya.
"Lalu caramu membalas budi seperti apa?" tanya [Name] ingin tahu.
Sebuah kecupan singkat mendarat ringan di puncak kepala [Name]. Tak lain, sang pelaku adalah Van. [Name] refleks memegang puncak kepalanya.
"Van!" pekik [Name], tak menyangka Van akan bertindak demikian.
Tanpa menunjukkan raut bersalah, Van mengedipkan manik kanannya sekali. "Mulai saat ini, aku siap memulihkan kondisimu seperti semula, [Name]! Ikuti saja instruksiku pelan-pelan~"
Van mengambil hotpack--- sebuah penghangat mungil--- ke jemari gadis itu.
Sudut bibir pemuda itu terangkat. "Mungkin aku terlihat seperti laki-laki yang bisa melakukan hal-hal romantis demi kesenanganku semata. Tapi, aku ingin kau benar-benar sembuh."
Otori Eiichi
"Kau ini pura-pura sakit, ya?"
Untuk yang pertama kalinya bagi [Name]--- bila jatuh sakit--- justru menerima tuduhan tidak bersahabat dari Eiichi.
"Eiichi... kau," timpal [Name] mengerutkan dahi. "Bukan masalahmu. Pergi sana!"
Eiichi melipat tangan. "Tentu saja masalahku."
Kakinya melangkah mendekati [Name]. Terdapat aura gelap yang seolah terlihat mengintimidasi--- ingin mendominasi.
"Tunjukkan, seberapa parah sakit yang kau alami. Perih, keluh kesah, dan gejala semuanya." Eiichi menyentuh dagu [Name].
[Name] menepis tangan Eiichi. "Sudah kubilang ini bukan urusanmu. Apa kau nggak bisa dikatakan dengan sekali ucapan? Perlukah dengan bahasa lain agar kau paham?"
Eiichi terkekeh, tak peduli aura kekesalan yang terlihat dari raut wajah gadis itu. "Kekuatan menepismu masih cukup kuat. Berarti kau belum cukup sakit."
"EIICHIII---" [Name] memijat dahi, tak paham dengan jalan pikiran anak sulung Raging Otori itu.
Eiichi mengangguk paham. "Patut disyukuri. Sakit yang parah itu tentunya tak lagi berdaya. Selain itu bisa berujung terhadap kematian. Kau tak mau hal itu terjadi, kan?"
[Name] mengerucutkan bibir. "Jangan... membuatku takut! Aku hanya--- ah---"
Ah-choo!
Dengan sukses, gadis itu terbersin di depan wajah Eiichi. Memang sedari awal, ia sudah ingin bersin karena hidungnya yang terasa gatal. Namun, tindakannya bisa jadi membawa bencana.
"Aku paham, [Name]. Yang tadi itu cuma reaksi pelepasan virus dari tubuh."
Persetan dengan bencana. Tanpa pikir panjang, [Name] segera menggencarkan lemparan bantal dan segala barang menuju pria berbingkai manik bermarga Otori itu.
Padahal, Eiichi hanya ingin berbuat simpel: berkata cepat sembuh--- dan kesulitan menyampaikannya kepada gadis itu hingga diusir dengan tidak hormat.
Nagi Mikado
Nagi menggeleng arogan. "Sakit? Payah sekali."
[Name] memutar bola matanya malas. "Maaf ya, aku nggak sekuat Nagi."
Nagi menyilangkan tangan. Padahal, ia hanya berminat mengajak [Name] membeli boneka teddy. Namun, [Name] sangat kelelahan dengan segala rutinitas yang dialaminya. Dan akibatnya, ia harus absen dengan segala akibat dari kesibukan yang dipaksakannya.
"Kalau sakit, kau bisa jadi sangat membosankan. Aku sebal karena kau malah bersantai-santai seperti ini."
Jika Nagi bukanlah anak laki-laki yang baru berusia 13 tahun, mungkin [Name] akan memberinya sumpah serapah. Namun, gadis itu tak sanggup untuk melawan balik. Nagi menyempatkan datang ke rumah dan seharusnya ia paham bahwa semestinya bersikap layaknya sebagai tuan rumah.
[Name] bangun sebentar lalu memberikan segelas teh es manis. "Silakan."
Manik abu-abu Nagi melebar. "Tch. Kenapa kau masih bisa memperlakukanku sebagai tamu? Baka."
[Name] tersenyum singkat. "Karena hanya kau yang mau datang."
Nagi merebut nampan dari tanganmu lalu ditaruh di atas meja. Ia memegang pergelangan tanganmu dengan tangan kanan. Tangan kirinya menepuk pahanya sendiri yang sudah diposisikan duduk berlutut.
"Tidurlah." Nagi membuang muka, tampak malu-malu.
[Name] mengerjap. "Kau... barusan menawarkanku tidur di pangkuanmu?"
Nagi menggembungkan pipi. "Memangnya salah?"
Gadis itu menggeleng polos.
"Kalau begitu, berbaringlah!" perintah Nagi sekali lagi.
Akhirnya, [Name] menempatkan kepalanya di pangkuan pemuda mungil itu.
"Nagi... kau nggak perlu repot-repot, loh," ucap [Name] mulai memejamkan mata.
Pemuda berambut salmon pink itu menautkan alis. Batinnya merasa tergelitik: malu bercampur senang.
"Tenang saja karena menerima pangkuanku nggak gratis. Kalau sudah sembuh, kau harus menemaniku membeli boneka teddy."
Sumeragi Kira
Kira memandangi [Name] dalam diam. Namun, tidak dengan tangannya yang sibuk mengganti kompres dahi. Sesekali pula, ia menatap arloji.
"Sumeragi-san... sibuk?" tanya [Name] menyadari gerak-gerik Kira yang monoton.
Kira menggeleng. "Waktuku benar-benar sedang luang saat ini."
[Name] tersenyum. "Begitukah. Kukira kau sangat tergesa-gesa karena terus memandangi arloji...."
Manik kuning Kira melebar. Ia sudah hampir seharian menemani. Tujuan kedatangannya hanya satu; suhu tubuh [Name] harus kembali normal.
Masih seperti biasa dengan intonasi datar. "Kau sudah dipastikan sembuh besok."
[Name] memang merasa kondisi tubuhnya kian membaik. Kira memberinya instruksi mulai makanan, obat, hingga beristirahat dengan cukup. Pemuda bermimik datar itu terlihat tak menunjukkan tanda apapun selama membantu [Name]. Namun gadis itu tahu, pemuda itu benar-benar tulus.
"Terima kasih, Sumeragi-san."
Kira mengangguk. "Tidak masalah. Hanya saja ketika kau sakit, aku tidak tenang."
[Name] tergelak, "Eh?"
"Tadi pagi, aku sudah memecahkan empat piring. Shion dan Nagi mengomeliku. Eiji membantuku membersihkan pecahan kacanya," ucap Kira menyampaikan dengan singkat, padat, dan jelas.
Entah mengapa, [Name] merasa bersalah.
"Akan kuganti segera piringnya! Berapa biayanya?"
Kira menggeleng. "Tidak apa. Itu murni kecerobohan yang kusebabkan sendiri."
Gadis itu menghela napas. Pemuda itu rupanya bisa merasa khawatir juga. Akan tetapi, ia justru merasa senang. Ketika pemuda itu memprioritaskannya.
"Aku akan segera sehat. Kau nggak perlu khawatir lagi."
Kira mengangguk paham.
[Name] mulai kembali beristirahat. Lain halnya, Kira masih tetap duduk kalem hingga gadis itu tertidur.
"Alasan piring itu pecah juga dikarenakan selama ini, kau sudah memenuhi isi pikiranku."
A/N:
Late update for HEAVENS Imagine. Maap ya :")
Terima kasih sudah membaca Utapri Imagine!
Sekian,
Agachii
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top