Selfie [St☆rish]

Hati-hati idol-nya dinistai! Mohon jangan dibawa serius xD

Just for fun~

Happy reading!

Shinomiya Natsuki
Suatu ketika, Natsuki beli ponsel baru. Keluaran terbaru pula. Tidak lupa, aksesorinya--- strap piyo dan secara fisik ponselnya berwarna gold. Namun, sebelum ia mengisi ulang baterai, ia ingin menguji kamera depan yang diumbar sang penjual begitu percaya diri; 'bersih seperti tanpa kaca'.

"[Name]!" panggil Natsuki dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Kau yang berada di seberang pun melangkah dari trotoar menuju zebra-cross.

"Tumben sekali kita bertemu. Apa kabar?"

"Baik. Mau ke mana?"

[Name] melirik arloji. "Mau ke perpustakaan, sih. Dekat kok dari sini."

"Kalau gitu sempat 'kan buat selfie?"

Kau pun mengiyakan. Natsuki menekan aplikasi Camera 365.

"Satu, dua, tiga...."

Hasilnya memang bagus namun dalam foto itu telah berevolusi menjadi empat bagian; ditambah filter yang kelewat mencolok---merah, biru, ungu, dan hijau. Ditambah lagi ada piyo yang jadi maskot di setiap fotonya.

"T-tunggu!" cegatmu yang segera disahutnya dengan menoleh, meski jari Natsuki tetap mengetuk layar.

"Ya?"

"Fotonya jangan di-share ke media sosial manapun, ya. Pokoknya jangan!"

"Eh? Sudah terlanjur," ucap Natsuki polos sambil menyertakan ponselnya, "Nih, di Instokrom. Baru diunggah tapi sudah ada 2.230 likes."

"Masa bodoh dengan likes! Cepat di hapus!"

"Tidak mau. Ih, sayang tahu!" tolak Natsuki yang segera melarikan diri di sekitar jalanan penuh keramaian.

Tahu begitu, kau akan meminta pemuda berambut ikal kuning itu memotret dengan kamera depan nonfilter.

Ichinose Tokiya
Suasana di kafe tampak begitu sepi dengan sejumlah orang. Beberapa orang begitu santai sambil bercengkrama. Tak lupa, tercium semilir biji kopi mewarnai suasana di siang hari.

Pemuda berambut indigo itu dengan tenang menyesap americano.

"I-Ichinose-san?" panggilmu memecah keheningan, "Ma-mau...."

Kau gugup tapi ingin. Kesempatan kalian bertemu secara empat mata bisa terbilang langka, apalagi masa-masa yang kini terjadi sangat berharga bagimu. Oleh karena itu, kau memupuk keberanianmu sebisa mungkin agar tidak terlewatkan.

"Mau... se-selfie?" ajakmu sedikit gagap.

Manik biru Tokiya sempat melebar namun beralih normal kembali. Ia mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Boleh. Mau pakai punyaku atau pu---"

Dengan cepat kau mengambil ponselmu. "P-punyaku saja!"

Saat memotret, kalian duduk secara berhadapan. Mau tidak mau, gambar harus terambil secara landscape. Tanganmu juga kerap bergetar; bercampur rasa gugup dan senang menjadi satu.

"Fotonya bagaimana?" tanya Tokiya hendak mengintip hasil potretan.

Kau mengernyitkan dahi. "Buram."

Tokiya pun menggeser posisi duduknya ke kiri, mumpung sebenarnya meja yang kalian tempati ada empat kursi. Jadi, masih ada sisa kursi di sisi kanannya.

"Duduklah. Kalau bersebelahan lebih mudah, 'kan?"

Kau mengangguk lalu segera duduk di sampingnya. Tanganmu hendak mengarahkan kalian, tetapi kerap kali hanya bisa terpotret setengah wajah karena tinggi tubuh yang berbeda. Tokiya pun akhirnya mengambil ponselmu.

"Biar aku saja."

Ia pun mengambil pengaturan waktu sebanyak dua detik. Tak kau sangka, ia merangkul bahumu sehingga jarak kalian kini merapat satu sama lain.

"Sudah, ya."

Dan lagi, hasil potretnya bagus. Kau tersenyum lebar.

"Arigatou!" serumu berusaha tidak berteriak, meski hati telah berbunga-bunga.

Pipi Tokiya pun sedikit memerah sembari tersenyum balik. "H-hm, tidak masalah. Jangan lupa kirimi ke aku juga, ya."

"Tentu saja!"

Tanpa pikir panjang, kau langsung mengganti foto barusan sebagai lockscreen.

Aijima Cecil
"[Name]! [Name]! [Name]!" panggil Cecil begitu antusias.

"Ada apa?"

"Taraaaa! Dikasih Camus biar keren!"

Kau memiringkan kepala, berusaha mencerna alasan barusan. Seingatmu, Camus sering risih mencari Cecil yang sulit dihubungi. Bisa jadi, sebenarnya itu alasan adanya ponsel di genggaman Cecil.

"Katanya bisa jadi kamera juga, loh!"

"Memang, sih," jawabmu cepat.

"Jadi, tadi aku foto. Mau lihat?" ajak Cecil mengarahkan ponselnya.

Kau mengangguk. Total fotonya sekitar 700 buah; mulai dari pohon cemara, burung bertengger di ranting, kucing tetangga, sampai tong sampah pun jadi bahan potretan.

"Kau tidak mau coba memotret diri sendiri?" tanyamu mulai mencari semua foto tetapi bahkan Cecil tidak ada di dalamnya.

"Oh, benar juga. Apalagi ada [Name]. Ayo!" Cecil dengan antusias menekan tombol kamera.

Kau menoleh Cecil, yang perlahan disadari sang subjek menolehmu pula.

"Ada apa?"

"Kenapa pakai kamera belakang kalau mau selfie?" tanyamu mengernyitkan dahi.

"Bukannya cuma ada satu kamera, ya?"

Ada baiknya, seorang Aijima Cecil perlu membaca tutorial menggunakan ponsel.

"Ada dua. Nih, yang ada lingkaran hitam gede ini juga kamera," ucapmu menunjuk kamera depan lalu menekan tombol panah berbalik. Akhirnya wajah kalian bisa terlihat di layar.

"Wah! Lebih mudah pasang ekspresi ya sekarang kalau kayak gini!"

Tidak perlu waktu lama, foto kalian pun bisa terambil dengan bagus. Apalagi kalian berada di outdoor--- luar ruangan tentunya memiliki pencahayaan yang lebih baik sehingga lebih menarik.

"Baguslah kalau sudah tahu, aku pergi dulu, ya!" ucapmu lalu pamit meninggalkannya.

Cecil pun mulai kecanduan dengan kamera depan berkat [Name]. Keesokan harinya, total foto Cecil di galeri berjumlah 1.400 foto--- walau seperdua foto memuat dirinya sendiri.

Ren Jinguji
"Lady."

"Ya?"

Hadir lagi sebuket mawar merah seperti biasanya.

"Kau... tidak ingin menciptakan momen bersamaku? Terima bungaku dulu sebelumnya."

Agak canggung, kau tetap menerima buket bunga darinya. "Makasih. Menciptakan momen apa?"

Manik biru sisi kanannya mengedip cepat. "Foto bersama."

"Ah, foto. Boleh-boleh saja."

Awalnya, semua foto yang terambil semestinya normal. Namun, hari itu juga rupanya menjadi momen penyesalanmu yang terdalam. Hal itu kausadari ketika tiba di rumah Jinguji untuk mengantarkan catatan yang tertinggal saat kerja kelompok.

Pigura foto berukuran 120 cm x 60 cm tersemat di dinding ruang tamu. Sempat merasa bulu kudukmu meremang, rupanya hal itu dikarenakan sederetan pelayan sibuk membandingkan pigura itu dengan wajahmu.

"JINGUJI-SAN! TAMATLAH RIWAYATMU!"

Pigura itu semestinya normal kalau untuk memajang foto keluarga, bukannya hanya memotret kalian berdua ditemani sebuket mawar merah norak.

"Oh, kau sudah melihatnya?" tanya Ren keluar tanpa mengenakan atasan, hanya handuk--- memperlihatkan roti sobek.

Syok, kau langsung membuang muka.

Dengan gugup kau berkata, "Bisa tidak, sekali saja tidak mempermalukanku?"

Ia menyeringai penuh arti lalu menatap salah satu pelayannya. "Kemarikan ponselku."

"Kau mau apa? Jangan-jangan...." dugamu telah merasakan firasat buruk. Takut diajak selfie lagi.

Tak mendengar ocehan akan asumsimu, Ren pun menempelkan ponsel ke telinga.

"Moshi-moshi? Bisakah kau mencetak sebuah foto dengan pigura yang sama seperti kemarin? Baiklah. Terima kasih."

"Kau...."

"Kau pasti senang, 'kan? Aku tahu perasaan itu, jadi aku sudah memesannya khusus untukmu. Kira-kira besok siang sudah bisa diantar ke rumah."

Kau mengacak rambutmu penuh frustrasi. Yang ia lakukan justru lebih parah.

"Ren... kau...."

"Kalau nanti sudah menikah, aku akan membeli banyak pigura foto lalu menyebarkannya kepada tetangga."

"ENGGAK. SIAPAPUN, SEGERA HENTIKAN TINGKAHNYA!"

Ittoki Otoya
Hari ini, kau dan Ittoki berencana jalan-jalan menggunakan bus untuk piknik bersama. Perjalanan ke sana memakan waktu sekitar empat jam. Kalian pun sampai di tujuan. Banyak pula keluarga yang berpiknik, juga pejalan kaki sambil melihat guguran daun momiji.

"Mau ke sana?" tunjukmu ke arah rerumputan yang lapang. Di sana juga bebas dari guguran daun.

Ittoki mengangguk. Persiapan piknik kalian pun di mulai. Kau hendak merebahkan karpet merah petak-petak sedangkan Ittoki membuka keranjang untuk mengambil perlengkapan piknik.

Malangnya, momen belum sempat dimulai dan sebuah pompa air menyirami kalian berdua tanpa pandang bulu. Tepatnya, kebocoran di segala arah. Alhasil, kalian berdua pun basah kuyup.

Pompa itu masih mengalami kebocoran walau tidak sedahsyat tadi--- tak lagi menyembur kalian.

"Astaga! Maafkan saya!" seru pria itu mendekati kalian, "Tadi saya hendak mengambil kunci inggris tetapi kebocorannya ternyata cukup parah!"

Kau menggeleng pelan. "Tidak apa."

"Aku punya baju ganti untuk kalian. Sebentar, aku akan memanggil istriku sambil memperbaiki pompa ini!"

Akhirnya sesuai instruksi, kalian telah menerima sebuah kaus bermodel sama--- sepertinya khusus dirancang sebagai couple tee berwarna merah. Kalian saling bertatapan walau tidak mengucap sepatah kata pun--- antara terkejut dan bingung.

"Wah! Kalian manis sekali! Pengantin baru?" tanya istri sang tukang melihat kalian, "tenang saja, baju itu untuk kalian saja! Aku ini agen baju, jadi tidak masalah karena ini kesalahan suamiku."

"A-anu, kami...." ucapmu tergugup.

Ittoki menutup sebagian wajahnya yang telah memerah. Hanya saja, tangan kanannya memegang ponsel.

"Bi-bisakah kau mengambil foto kami?"

Manikmu mengerjap beberapa kali--- tidak percaya kalau Ittoki tidak merasa keberatan dengan 'pengantin' yang dimaksudkan.

"Tentu saja! Di belakang rumahku ada taman bunga. Pasti sangat cocok untuk pemandangannya!" ucap istri sang tukang berjalan lebih dulu ke halaman belakang.

Ittoki menoleh lalu menggandeng tanganmu. "Kau tidak masalah, 'kan?"

Sama-sama malu, kalian mengangguk penuh tawa. Beberapa gambar pun terambil dengan menarik sambil menunggu baju kalian kering. Akhirnya, sepulang dari perjalanan kalian juga didera rasa lelah (tentu saja kalian tetap berpiknik). Walau begitu, keinginan Ittoki kesampaian di luar dugaan. Selain baju yang kembaran, kini wallpaper kalian juga kembaran jika disatukan ♡

Syo Kurusu
Sebagai seorang figur yang menarik dipandang, Syo sangat menjaga penampilan. Hanya satu yang kurang darinya; tinggi badan.

Hal itu sangat teruji ketika mengambil foto.

"Syo! Selfie, yuk!" ajakmu menggandeng lengan Syo setelah keluar dari kafe.

Syo mengangguk mantap. "Siap!"

Kalian berada di depan kafe. Hendak memotret, ternyata kau agak kesulitan mengambil secara keseluruhan.

"Syo, aku turun selangkah dari sini, ya," ucapmu menuruni sebuah anak tangga, "Nah, kalau begini lebih oke!"

Jadi, tinggi tubuh Syo kini berada di atasmu berkat sealas anak tangga.

Tentunya hal itu disadari beberapa pasang mata. Beberapa ada yang tertawa karena secara fisik dianggap lucu. Syo diam-diam merasa kesal, tetapi tidak punya hak untuk membantah tubuhnya yang memang kurang tinggi.

"Aku pasang timer loh, ya!" ucapmu fokus terhadap kamera selama dua detik.

Detik berikutnya, Syo secara spontan memelukmu dari belakang--- hendak mengalungi sekitar tengkukmu dengan lengannya. Belum sempat bereaksi, kau tersenyum kaku.

"S-Syo!" kejutmu nyaris melempar ponsel.

"Aku tidak mau mengambil foto yang kedua. Sudah bagus, kok."

Kau melihat lagi foto barusan. Tidak buram juga, hasilnya malah bagus di luar dugaan.

"Baiklah. Nanti aku kirim ke Lime ya," ucapmu tersenyum melihat foto itu.

Wajah Syo memanas lalu membuang muka. "Y-ya, terserahmu saja."

Hijirikawa Masato
"[Name], maukah kau berfoto denganku?" ajak Masato sesopan mungkin.

Karena Masato adalah gebetanmu, mana mungkin kau menolak.

"Tentu!" sahutmu mengangguk mantap.

"Begini, pertama-tama kau akan difoto mengenakan kimono."

"Eh?" kejutmu mengernyitkan dahi.

Belum sempat bertanya banyak hal, pesuruhnya mulai datang lalu menggantikan pakaianmu sesuai instruksi. Ada pula fotografer khusus telah siap dengan kamera DSLR.

Foto pertama, mengenakan kimono.

Foto kedua, mengenakan seragam sekolah.

Foto ketiga, mengenakan kaus training.

Hingga foto kesepuluh, kalian mengenakan piyama.

"Hijirikawa-san, kita masih harus berfoto berapa banyak lagi?" tanyamu mengelap peluh keringat. Kau memang senang kalau foto bersama, tetapi kalau berulang kali harus berganti pakaian jadi merasa risi.

Masato mengernyitkan dahi. "Sudah. Yang itu terakhir. Apa... kau tidak suka aku mengajakmu foto bersama?"

Kau menggeleng cepat. "Bukan begitu! Aku senang, kok. Hanya saja, aku kira tadi Hijirikawa-san mengajakku selfie."

"Selfie?"

Kau tersenyum lembut. "Akan kuberitahu setelah kita mengenakan pakaian semula, ya!"

Akhirnya, kalian telah mengenakan pakaian kasual--- tepatnya, pakaian semula.

"Nah, selfie itu," ucapmu mengarahkan kamera lalu memasang jari telunjuk dan tengah, "foto menggunakan ponsel."

Masato dan kau akhirnya foto bersama. Kau terlihat begitu ceria sedangkan Masato yang masih tampak asing menampilkan wajah polos setengah melongo.

"Yey! Bakal kujadikan profile picture di Lime~" ucapmu terlihat girang, "ah, ya. Yang tadi foto bersama pakai kamera dikirimi juga, ya!"

Masato mengangguk. Foto dengan penampilan sederhana rupanya tidak buruk juga. Selama bersama [Name], apapun akan terasa menyenangkan.

A/N : Ada yang kangen sama update-an saya? /digampar. Dapat ide di jalan setelah beberapa waktu didera webe nulis skenario.

Nantikan part QN ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top