Propose [Quartet Night]
Kotobuki Reiji
Terdengar desingan yang mengakibatkan tidurmu terganggu. Kau langsung membuka tirai, manikmu menyipit terhadap suara itu. Marakas.
"Aloha, [Name]~"
Senpai-mu yang energik itu sukses membangunkanmu di pagi hari.
"Kenapa kau menggangguku, sih? Ini 'kan hari minggu,"keluhmu keluar dengan piyama [Fav color].
Reiji beralih menatap papan yang tersemat di sebelah gerbang rumahmu. Kediaman [Last Name].
"[Name],"tegurnya membuatmu menoleh ke arah yang sama dengannya.
"Kenapa?"
"Apa kau tertarik mengganti nama belakangmu?"
Kau mengusap dagu. "Bukannya tidak bisa sembarangan mengganti nama, ya?"
Manik abu laki-laki itu melirikmu penuh arti lalu jemarinya mengacak rambutmu. Tubuhnya yang lebih tinggi darimu ia tundukkan hingga sejajar denganmu.
"Apa kau tertarik mengganti [Last Name] dengan 'Kotobuki'?"
Awalnya kau benar-benar tidak peka. Namun kau perlahan sadar. Laki-laki baru saja, detik itu melamarmu.
Mikaze Ai
"[Name],"
Kau menoleh ketika Ai datang menghampirimu. Syuting filmnya sudah berakhir beberapa menit lalu dan kau sengaja menemaninya.
Yup, dia pacarmu.
"Aku boleh bertanya?"
Kau iyakan dengan anggukan.
"Umumnya, kenapa ada pasangan yang menikah?"
Pacarmu itu cyborg sehingga ia kurang memahami tentang cinta. Kaulah yang mengajarinya selama ini.
"Umumnya mereka menikah karena adanya komitmen untuk hidup bersama."
"Apakah itu beda dengan pacaran?"
Kau terkekeh, "Tentu saja beda. Kalau menikah 'kan berarti legal hidup bersama dan itu berlangsung seumur hidup."
Ai memandangimu lekat-lekat lalu memegang jemarimu. "Kalau begitu, aku mau menikah denganmu."
Kau bergeming disertai manik mengerjap beberapa kali.
"Tapi--"
Manik cyan-nya tak berbohong, penuh keseriusan mengharapkanmu.
"Dengan begitu aku bisa hidup bersamamu dan mencintaimu sepenuhnya, 'kan?"
Kurosaki Ranmaru
Pemuda itu meletakkan bass-nya di sebelah meja belajarnya. Mendengar bel rumahnya berdering membuatnya beralih mendekati pintu utama.
Kaulah yang menjadi tamunya.
"Ah, [Name]."
Laki-laki itu biasanya memang sibuk dalam menjalani passion-nya. Sudah seminggu kalian tidak bertemu. Kau melihat apartemen Kurosaki yang mirip kapal pecah -- buku not, pakaian, dan bungkusan makanan instan berserakan di mana-mana.
"Kau ... pernah bersih-bersih tidak, sih?"sindirmu yang ternyata disahuti oleh delikan Kurosaki.
"Tch. Kau mau diusir?"
Kau menyeringai kaku, "Gomen. Hanya menegur. Berantakan, sih."
Namun pria itu tak sungguh-sungguh melakukannya dan memilih duduk di ruang tamu.
"Beginilah aku jika sedang sibuk menulis lirik dan mengaransemen lagu,"ucapnya memegang bass lagi. Kau melihat ujung jemarinya yang terkelupas kulitnya karena kebanyakan memetik senar.
"Apa kau tak merindukanku?"pancingmu yang membuat jemarinya mengudara sesaat.
"Aku biasanya lupa waktu."
"Kau tak menyukaiku lagi, ya?"
Manik heterokromnya menatapmu lekat-lekat, "Bukan begitu."
Kau menggigit bibir bawahmu, "Bohong. Baiklah, kalau kau memang suka sendirian. Aku takkan mengganggumu lagi."
Kakimu beralih menuju pintu utama, hendak meninggalkan apartemennya. Tetapi tangan kiri kekar laki-laki itu menahan erat pintu utamanya. Tangan kanannya beralih memeluk pinggangmu.
"Aku tak pernah ingin sendiri. Begitu single rilisanku keluar, aku bermaksud melamarmu,"
"Eh?"
Kurosaki sepenuhnya mengekang eksistensimu berkata, "Iya, aku sedang membuat lagu untuk melamarmu, baka. Jadi jangan memutuskan segalanya sendirian."
Camus
Kau sedang menuangkan teh merah kepada pemuda berambut gondrong itu -- Camus. Dia penggemar teh sejati.
"[Name], mana gulanya?"titahnya membuatmu linglung mencari gula. Ternyata terdapat di dalam rak dapur.
Laki-laki itu mencintai gula melebihi apapun.
Entah ada maksud apa, Camus berkunjung ke rumahmu. Memang makhluk ekstentrik ini agak misterius namun kau bersyukur dia datang tanpa menunggang kuda.
Kau mengernyitkan dahi ketika ia menaruh takaran gula yang sedikit berlebihan -- empat balok ke dalam secangkir porselen.
"Kau ... tak khawatir kemanisan?"tanyamu tak yakin jika Camus akan segera menelannya.
Camus mendengus, "Jadi kau tak senang aku bertamu ke sini?"
"B-bukan begitu, kalau kebanyakan nanti bisa diabetes,"bantahmu merasa serba salah.
Namun Camus tak lagi menyentuh teh itu. Kau dibuat panik ketika ia menopang dagu dan memilih diam-diaman melirikmu.
"I-itu cuma pendapatku, jadi tetaplah minum."
"Aku tak berselera lagi. Kalau begitu, kau sebenarnya memperhatikan kesehatanku, 'kan?"
Wajahmu tersipu ketika ia berkata demikian.
"Kalau kau peduli seharusnya kau menikahiku,"ucapnya membuatmu mengerjap.
"Loh?"
Camus menyentuh dagumu lalu menyeringai, "Dan kau akan seumur hidup bertanggung jawab terhadap hidupku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top