Ineffable - [Otori Eiji x Reader]
Agar paham kisah part ini, silakan baca twoshoot berjudul Dalliance.
Enjoy!
• • •
"Hehehehehe...," cengirmu tak bisa berhenti tersenyum.
Sahabatmu menyikut lenganmu, disertai dahi berkernyit. "Ketawa apaan, sih?"
Kau memilin rambut. Namanya juga sedang jatuh hati. Senang sekali bila memiliki sosok yang disukai. Hati berbunga-bunga.
"Eiji... mengajakku bermain sudoku denganku kemarin."
Sudoku--- sekadar informasi adalah permainan menginput angka baik secara mendatar maupun menurun secara teratur.
Mendengar ucapan barusan, sahabatmu justru menganga tak paham--- di mana letak kebahagiaanmu barusan.
"Hanya karena itu saja kau sudah senang? Kau ini apa, bocah berusia sekolah dasar yang baru pertama kali jatuh cinta?"
Wajahmu merona. "Jangan samakan dengan anak SD, dong. Tapi... aku memang baru pertama kali sesenang ini karena jatuh hati, sih."
Sahabatmu menggeleng-gelengkan kepala. "Kau jangan terlalu polos. Memangnya kau yakin dia juga suka padamu?"
Kau bergeming. Refleks, tanganmu meraba kalung berbandul cincin berbatu kecubung pemberian sang Tante yang kau temui di stasiun kereta api. Kejadian itu telah berlalu sejak tiga bulan silam.
Senyummu memudar seketika.
Apakah... jatuh cinta yang kau alami hanya sepihak?
Apakah perasaan itu hanyalah kesemuan belaka?
Ineffeable
- Means as unuttarable and inexpressible -
Pair: College Student! Otori Eiji x High School! Reader
Inspired song: Perfume - Magic of Love
Petikan yang tercantum di sini dengan ikon (**) adalah arti liriknya.
Warning: plot mainstream, AU, agak ooc
Uta no Prince-sama (c) Broccoli, Sentai Filmworks
By agashii-san
.
.
.
**By drawing out a sweet romance and our love
I'll make you my captive
Magic of love - if I could ever use a magic like that
Would it make your heart race?
Your heart is like a butterfly
Lightly soaring through the air
As free as the breeze
Untouchable**
• • •
Ucapan temanmu tak salah. Kau tak pernah terpikir perasaan Eiji sesungguhnya kepadamu. Berkat instruksi kertas cincin magis itu dengan mudahnya membiarkan hati berbunga-bunga tanpa alasan logis.
Alhasil, mood-mu memburuk hingga perjalanan menuju tempat kerja. Seperti biasa, kau bekerja paruh waktu di sebuah toko roti. Namun, kau menyadari rintik-rintik air menetesi eksistensi apapun dari angkasa. Cepat-cepat, kau berlari. Dari arah yang berlawanan darimu, terdapat pemuda berambut cokelat lurus melangkah. Menjinjing payung putih transparan.
"Ei...ji?" panggilmu seolah merasakan jantung melorot ke tanah.
Langkahmu pun terhenti. Air yang kian menitik di puncak kepalamu seolah bukan perkara. Tak tinggal diam, pemuda itu justru menghampirimu. Memberimu tatapan menenangkan dengan sepasang manik ungu cerah. Tak hanya itu, kini suasana teduh muncul darinya--- berkat setangkai payung miliknya yang menaungi diri kalian bersama.
"Lupa membawa payung?" tanya Eiji tersenyum tipis. "Lain kali, kau harus membawa jaket agar tidak kebasahan."
Kau mengangguk kecil. "Jaketnya tertinggal di loker sekolah."
Kau berbohong. Jaketmu ada di dalam ransel. Hanya saja malas dikeluarkan.
Eiji menyuruhmu memegang tangkai payungnya sebentar lalu melepas jaket navy yang ia kenakan. Detik kemudian, ia merebahkan jaket itu ke sisi tubuhmu. Jaket itu kebesaran--- ukuran tubuh jaketnya mencapai setengah pahamu--- dan bahkan di sisi lengannya menutupi seluruh tanganmu.
"Eiji... aku nggak apa-ap---"
Kau bisa mendapati jejak aroma tubuh maskulin Eiji tertinggal di sana--- musk--- bercampur dengan aroma hujan. Ringan, tetapi meninggalkan jejak yang membuaikan.
Eiji menggeleng. "Tentu saja apa-apa kalau sampai sakit. Kita jalan sama-sama ke tempat kerjamu, ya?"
Kau tersenyum malu.
Bagaimana kau bisa tidak berharap jika pemuda ramah itu bertindak seperhatian itu kepadamu?
"Nanti aku... akan memberimu sebuah roti eclair," gumammu memilin tali jaket Eiji yang telah melekat di tubuhmu.
Eiji terkekeh. "Sungguh? Wah, terima kasih."
Seiring perjalanan menuju tempat kerjamu--- sekitar dua ratus meter lagi, Eiji berhenti melangkah lebih dulu. Disusul olehmu yang menoleh ke arahnya. Tangan Eiji memegang pipimu.
Kau mengerjap panik. Wajahnya mendekati wajahmu. Kau bahkan bisa merasakan embusan karbondioksida Eiji menerpa indera perabamu.
Biasanya... saat-saat seperti ini bagaikan momen romantis, kan?
Manikmu terpejam. Setengah mati berusaha meredamkan jantung yang berdesir tak keruan. Jantungmu seolah akan lepas kapan saja. Katakanlah, kau tidak siap.
"Ah... bulu matamu lepas."
OH. Bulu mata.
Sedetik kemudian, kau membuka paksa manikmu. Pangkal jari telunjuk Eiji mendapati sehelai bulu matamu. Ia segera meniupnya, membiarkan jejak debaranmu ikut hilang bersama rintik-rintik hujan.
Terima kasih atas pemberitahuan dari pemuda tidak peka itu barusan, kau, merasakan wajah semerah tomat karena memendam malu--- ditambah malangnya, hanya Tuhan yang tahu persis alasan di balik ekspresimu.
"Ayo jalan lagi, nanti bisa-bisa kau telat, loh?"
Kau mengangguk dalam diam. Eiji merasakan keganjilan ketika dirimu jadi lebih diam ketimbang sebelum ia mengambil bulu matamu.
Kau pun terpikir: Tidak mungkin pemuda itu akan menciummu. Menyatakan hubungan sebagai kekasih saja tidak. Sol sepatu yang berpijak dengan aspal sengaja kau seret paksa karena dilanda kegundahan.
"Eiji... kau nggak apa-apa mengantarku?" tanyamu melihat arah yang biasa Eiji lalui tidak lewat sini.
Eiji mengangguk. "Tidak apa. Nanti biar sekalian bisa ke perpustakaan daerah."
Kau menunduk bingung. Jelas-jelas, perpustakaan daerah lebih jauh dari tempat kerjamu. Perlu melewati sekali terminal.
Sebenarnya status hubunganmu dengan dia itu... apa?
• • •
** If I could only take apart all the components
That make up a heart for one moment
And put them back together the way I want
These worries would all fade away**
Ketika Eiji mampir ke toko roti tempatmu bekerja sambilan, ternyata Eiichi telah berada di sana lebih dulu. Sendirian sambil duduk menyesap americano yang mengepul asap lembut.
"Nii-san," panggil Eiji menghampiri Eiichi.
Anak sulung bermarga Otori itu mendapatimu berada di belakang Eiji. Setelah mengalihkan pandangan dari laptop-nya, ia memasang senyum penuh misteri. Kau justru menyahut dengan senyuman kecut. Kalau dia bukan kakak gebetanmu, kau takkan mau meladeninya.
Eiichi yang semena-mena. Yang peka dengan keadaan, tetapi... firasatmu berkata ia datang di saat tidak tepat.
"Kebetulan sekali kita bertemu, ya?" Eiichi mengedikkan bahu. "Ah... nasibmu dengan [Name] omong-omong bagaimana, ya?"
Kau melirik sinis sedangkan Eiji mengernyitkan dahi.
"Maksud nii-san apa, ya?" tanya Eiji gagal paham.
Eiichi mengusap dagu. "Saling bertukar nomor ponsel. Datang sama-sama ke sini. Sesekali jalan-jalan. Bukankah kalian sudah menjadi sepasang kekasih?"
Pernyataan kontras itu terlalu terang-terangan--- baik kau dan Eiji sama-sama syok--- dan mungkin, kalian memaknainya masing-masing dengan artian yang berbeda.
Eiji berkata, "Nii-san, jangan berkata seperti itu... kau bisa membuat [Name]-san merasa tidak nyaman. Kami hanya teman. Tak lebih."
Tidak. Kau takkan merasa tidak nyaman. Kau justru senang. Alih-alih perasaan bertolak belakang dari bantahan itu hanya kah sebuah perasaan sepihak?
Teman.
Satu kata itu menelankan kegetiran yang melanda batin.
Eiichi menyilangkan tangan. "Teman kah? Bisa juga, sih."
Kau berbalik badan. Kebetulan karyawan lain memanggilmu untuk segera berada di dapur. "Aku... kerja dulu, ya. Soal eclairnya... aku lihat stok dulu."
Eiji tersenyum tipis. "Baiklah. Semangat, ya."
Di lain sisi, situasi di antara kedua bersaudara itu kian terasa memanas.
"Nii-san...," panggil Eiji duduk di hadapan Eiichi, "pertanyaanmu bisa dikondisikan?"
Eiichi menaikkan satu alis. Tidak biasanya, Eiji akan menegur tingkah lakunya dengan suara yang lebih rendah. Sepertinya, pertanyaan itu benar-benar menyusup benak Eiji.
"Loh. Aku salah?"
Eiji mendesah lalu menopang dagu. Memandangi rintik-rintik yang menempel di dinding toko roti. "Aku hanya tidak mau [Name] merasa takut karena nii-san menginterogasinya seperti itu. Dia masih gadis SMA."
Sebenarnya, Eiichi tidak bermaksud bertindak seperti itu. Akan tetapi pemikiran adiknya yang selalu sopan dan terorganisir jauh berbeda. Kesesuaian dan hidup yang tertata melumpuhkan kepekaan nonakademik pemuda itu.
Eiichi mengusap dagu lalu bertanya, "Apa bedanya karena usia? Kalau begitu, aku tanya satu hal kepadamu: Apa kau pernah memikirkan perasaanmu sendiri? Antara dia dan gadis yang menyatakan cinta kepadamu di kampus, apakah dia berbeda?"
Meja yang dipergunakan kedua bersaudara itu ditepuk keras. Subyek pelakunya tak lain adalah kau. Sepiring berisi dua eclair hangat hadir di sana.
"Ini untuk kalian," ucapmu tak berekspresi.
Eiichi tahu betul perasaanmu. Sangat tahu seolah-olah dialah sasaran hatimu, tapi tidak tinggal diam untuk memancing rasa penasarannya. Rasanya kau kesal, ingin merutuki Eiichi, tapi semua ucapan pemuda itu benar.
Dia seolah bisa membaca pikiranmu. Bisa saja, ekspresimu yang terlalu gampang dibaca.
"Kalian... jangan bertengkar, ya. Aku dan Eiji memang hanya teman."
Eiichi menyeringai lalu menarik lenganmu. Ia berbisik, "Maumu begitu setelah kubantu? Ya sudah. Silakan bermain-mainlah dengan situasi 'teman' sesuai yang kau inginkan."
Melihat kejadian barusan, Eiji merasakan ketidaknyaman. Raut wajah [Name] langsung semakin muram. Gadis itu seperti ingin menahan tangis dengan wajah memerah--- lalu kabur sesegera mungkin dari meja mereka.
Entah kejahilan apa yang Eiichi lakukan.
Eiji beranjak dari meja lalu menatap lekat-lekat Eiichi.
"Nii-san, apa yang kau katakan kepada [Name]?"
Eiichi memiringkan kepala. "Ra-ha-sia. Akan kukatakan kalau kau sudah bisa menjawab pertanyaanku."
Eiji mengernyitkan dahi.
Teman... semestinya merupakan hubungan yang tepat untuk mengakrabkan diri dengan siapa saja, bukan?
• • •
**By drawing out a sweet romance and our love
I'll make you my captive
Magic of love - if I could ever use a magic like that
Would it make your heart race?
If I chew one drop of this love
And go flying to where you are
Magic of love, then take this magic
And cast it on me, okay? Forever**
Semenjak kejadian itu, minimnya konsentrasi kerjamu berpengaruh terhadap kinerja. Manager-mu beberapa kali menegur karena kau tertangkap basah melamun. Namun, ucapan itu kau anggap bagai angin lalu meski sudah meminta maaf.
Ketika kau membuka loker ruang ganti, jaket milik Eiji ternyata masih berada di sisimu. Tepatnya, saat kau ingin mengembalikan jaket itu, Eiji tak lagi berada di sana. Selain jaket di loker, kau mengambil kalung berbandul cincin kecubung yang tergantung manis di gantungan baju.
Apa cincin ini berbohong kepadamu?
Kalau Eiji sungguh mencintaimu di dimensi ini, seharusnya dia menyatakan perasaannya.
Namun hingga kini, kalian berinteraksi tak jauh dari 'teman' yang disebut-sebut Eiji.
Kau memeluk jaket itu. Aroma yang menguar masih menempel di sana. Meski berucap teman, yang kini kau lakukan adalah mendustai hati sendiri. Dan itu artinya, kau sedang melukai perasaanmu sendiri.
Ingin, kau ingin kembali ke masa itu--- meski waktu itu, kau menjadi gembel dan Eiji adalah sang raja miskin yang berhasil membangun kerajaannya kembali. Meski sempat merasakan hidup berkesusahan, segalanya terasa lebih menyenangkan. Namun, kesempatan itu tidak muncul dua kali. Keberanianmu di dunia nyata ternyata lebih menyusut ketika tanpa bantuan batu magis ini.
Kalau saja saat itu... kau membantah ucapan Eiji, apa ada yang berubah di antara kalian?
Bayangmu penuh perandaian.
Ponselmu berdering.
Eiji: Sudah selesai? Aku ada di depan :)
Kau menatap ponsel itu nyaris tidak berkedip. Tanpa membalas, kau mendapati pemuda itu bersandar di etalase kaca toko roti yang sudah tutup.
"Ja-jaketmu tertinggal kepadaku!" ucapmu tersengal-sengal. "Maaf."
Eiji menggeleng cepat. "Aku ke sini bukan karena menagih jaketku kembali."
"Kalau bukan jaket ini... kenapa?"
Tuhan, kau hanya ingin satu hal saat ini: tak mau terlalu termakan harapan atas delusimu sendiri.
Meski demikian Eiji tetap mengambil jaket itu. "Aku hanya ingin mengantarmu balik ke stasiun."
"Eiji... nggak perlu," tolakmu cepat. "Mulai sekarang, jangan terlalu sering bertemu denganku."
Kebaikan pemuda ini bisa-bisa merenggut serpihan hatimu yang berusaha lebih kuat.
Eiji memegang kedua bahumu. "Kenapa kau menghindariku, [Name]? Apa ini semua karena pengaruh ucapan dari nii-san?"
Kau berucap, "Berteman... nggak perlu harus sedekat ini."
Eiji mengernyitkan dahi. "Apa kau nggak mau berteman denganku lagi?"
"Nggak. Aku nggak mau lagi." Kau menundukkan kepala.
Hendak bermaksud pergi jauh-jauh dari pemuda itu, tetapi tidak semudah itu kau lakukan. Eiji memegang pergelangan tanganmu.
Eiji menatapmu lekat-lekat. "Kalau nggak mau berteman, apa itu artinya... kau menyukaiku?"
Kau menoleh. "Memang hanya aku saja yang merasa seperti ini kan? Aku bahkan ingin menyusulmu. Menjadi gadis dewasa yang bisa mengimbangimu...."
Persetan malu yang melanda, kau tidak mampu lagi menyimpan segala rasa ini sendirian.
Selebaran promosi brosur universitas sukses membiarkan Eiji tidak bisa berkata-kata.
Eiji menekap wajah. "[Name], kau...."
"Hanya saja... kau nggak merasakan hal yang sama denganku, kan?"
Kedua bersaudara Otori terlalu berbeda, tak hanya penampilan, begitu juga dengan persepsi yang mereka miliki.
Di balik semburat malu, Eiji berucap, "Maafkan aku. Ternyata selama ini aku baru mengerti maksud nii-san."
Tangan Eiji menyentuh pipimu.
Kau berkata panik, "A-Ada bulu mataku yang lepas, ya? Ma---"
"Ini jawabanku."
Namun, kau tidak sempat berkata-kata lagi. Pemuda itu baru saja memberi ciuman di dahi.
Eiji menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri. "Kali ini posisinya sudah satu sama satu, ya? Aku juga menyukaimu, [Name]."
Bukan satu-satu. Sepertinya dua-satu.
Mulai saat ini, seharusnya kau takkan perlu memusingkan pengaruh cincin magis itu lagi, bukan?
.
.
.
**What kind of seasoning
Do you like best in love?
I'm sure I'll have to include
Some sort of magic for it to work**
_______
OMAKE
_______
Meski perasaanmu berbalas, ada sebuah rahasia yang harus kau akui kepada Eiji. Meski merasa berat, tapi kau tidak mau menyimpan rahasia ini terlalu lama lagi.
"Eiji... kau tahu, sebenarnya mungkin kau tidak murni menyukaiku," ungkapmu mempertemukan kedua jari telunjuk.
Eiji mengernyitkan dahi. "Kenapa begitu?"
Kau mengambil cincin kecubung dari saku celanamu. "Dulu seorang wanita paruh baya memberiku cincin. Katanya, perasaanku bisa terbalas kepadamu berkat benda ini."
Katakanlah, kau harus bersiap bahwa Eiji akan menertawaimu karena alasan ilogis seperti ini, tapi... pengalaman yang kau alami benar-benar terasa nyata.
Tahu-tahu, Eiji mengusap dagu--- tampak berpikir.
"Sepertinya familier. Aku pernah bermimpi kita berada di dimensi lain yang berbeda dengan konflik kerajaan di sana. Aku tidak tahu itu ada kaitannya dengan cincin lain... tapi kurasa, aku memang sudah nyaman bersamamu dari awal."
Kau mengerjap bingung. "Kau tidak marah kalau cincin ini seolah-olah memperalatmu?"
Eiji menggeleng mantap lalu mengacak rambutmu. "Kini dan dulu itu berbeda. Namun yang sama hanya satu, saling menyukai, bukan?"
• FIN •
A/N:
Part ini tercipta dari tag sekitar bulan Januari akhir dan baru bisa dilunasi sekarang //hiks. Biasanya daku lebih senang dengar lagu cowok ketimbang cewek, loh. Cuma karena lagu ini unyu dan liriknya ngepas menurutku jadinya gini deh :">
Kenapa fic-nya fluff bin gaje abal begini //ditimpuk pembaca.
Menyusul dengan rikues berikutnya, terima kasih sudah membaca!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top