Dalliance [Part.2] - [Otori Eiji x Reader]
Note: Ini last part twoshoot Eiji x Reader~
Happy reading!
Meskipun Eiji ragu akan ide itu, [Name] tetap berusaha. Ia berusaha menggali bebatuan. Ia mengelap peluh keringat yang membanjiri sekitar pelipisnya. Langit telah berangsur-angsur mengalami perubahan; sore berganti malam. Target [Name] hari ini adalah membereskan bebatuan hingga setengah bagian sehingga arus air bisa semakin lebar.
Saat [Name] hendak memindahkan batu ke tempat yang lebih jauh, terdengar suara desisan. Sengaja tidak menghiraukan, ia tetap melanjutkan aktivitasnya. Namun, ketidakpeduliannya justru mengancam dirinya.
Seekor ular telah melata mendekati dirinya.
"[Name]-san! Menyingkir!"
Gadis itu menoleh, segera sadar bahwa ular itu justru menghampirinya--- hendak ingin mematuk sang mangsa sasaran. Eiji berusaha menyelamatkan [Name]; menancapkan tombak terhadap ular tersebut. Setelah itu, Eiji segera melempar ular itu jauh-jauh dari mereka.
[Name] merasakan sekujur tubuhnya mati rasa sesaat. Jika Eiji tidak ada di sisinya, ia pasti telah terkena patukan bisa ular, dan berakhir tidak tertolong. Dan intinya, gadis itu terlalu meremehkan dunia lain tanpa persiapan.
"Apa kau baik-baik saja?" Eiji menoleh lalu berjongkok menghadap [Name] yang telah terduduk.
[Name] mengangguk. "Y-ya. Maaf, Eiji-san!"
Eiji menggeleng. "Sebenarnya aku yang salah. Aku lupa memperingatimu karena hutan di sini sudah jarang didatangi penduduk karena banyak hewan buas."
"Tapi... Eiji-san, aku benar-benar telah menemukan sumber air...." [Name] menunduk lalu menunjuk arah sumber air yang telah terlihat sebagian.
Manik Eiji membulat penuh. Tangan Eiji langsung sigap memegang tangan kanan [Name]. Kuku gadis itu kini kotor, sekaligus sedikit berantakan; pangkal kukunya menjadi kasar dan retak karena gesekan bebatuan. Melihat kegigihan gadis itu menyebabkan hati Eiji tersentuh.
Ia mendekap [Name]. Mendapat perlakuan hangat itu, [Name] membatu karena salah tingkah.
"Terima kasih karena telah serius membantuku, tapi kumohon... jangan membebani semuanya seorang diri," ungkap Eiji terdengar khawatir.
"Eiji-san...."
Eiji memegang bahu [Name]. Kepalanya tertunduk; menampilkan rambut kecokelatannya yang pucat karena terkena sinar rembulan.
"Bagaimana pun juga, kau itu perempuan. Aku takkan tahu bagaimana caranya membalas budi usahamu."
[Name] menggeleng cepat. "Kenapa Eiji-san harus berbalas budi? Aku menerima makanan dan tempat tinggal gratis berkat orang sebaik Eiji-san. Oleh karena itu, yang kulakukan ini wajar. Tapi mungkin karena caraku salah, jadinya aku menyusahkanmu."
"Jadi ini sebabnya juga kau meminjam ember dan keranjang?" Eiji mengusap dagu. Ember itu telah terisi air dan keranjang jerami yang terisi penuh dengan buah-buahan.
[Name] mengangguk pelan.
Eiji berdiri lebih dulu, hendak mengambil seember air dengan tangan kiri. Lain halnya, tangan kanannya terulur kepada [Name].
"Ayo pulang."
Kedua pipi [Name] pun terasa panas. Hatinya perlahan merasa lebih hangat. [Name] mengaitkan jemarinya dengan milik Eiji.
Suasana hatinya kini jauh lebih baik; siapapun pasti senang menerima penghargaan dan pengakuan. Dan, ia tidak menyesal membantu pemuda ini sejak awal.
• • •
Lambat laun, usaha [Name] telah diakui oleh banyak penduduk lainnya berkat Eiji. Mereka mulai berusaha melawan perubahan ketimbang hanya berpangku tangan. Awalnya, masih ada yang antipati dengan gerakan perubahan untuk kehidupan rakyat yang lebih baik.
Ide [Name] pun berangsur-angsur diterima banyak pihak; sumber air yang awalnya diambil dengan ember pun dapat tersalurkan lebih lancar dengan pipa.
[Name] pun mulai bisa beradaptasi dengan wilayah itu. Satu demi satu tunawisma di lingkungan Eiji mulai berkurang karena memiliki kelangsungan hidup yang lebih stagnan.
"Eiji-san," panggil [Name]. "Aku... ingin bicara."
Eiji selalu senang menghabiskan waktunya di atas menara istana. Ia bisa mendengarkan dentangan waktu yang tidak pernah berhenti bergerak, menjadi saksi kehidupan sehidup seperjalanan. Namun, tidak hanya pemuda itu sendiri yang tahu tempat spesialnya. Ia mempersilakan gadis lain mengetahui menara ini dan sering menikmati pemandangan sunset bersama.
"Omong-omong, aku sangat senang menemukanmu."
[Name] terdiam. Degup jantung gadis itu mungkin bisa berhenti kalau Eiji mengulangi ucapannya barusan.
Karena tidak ada respons, Eiji jadi canggung pun berkata, "Ma-maaf menyelamu! Kau mau bicara apa?"
Name] memilin rambut, terlihat gugup. "Bolehkah kita berkumpul lagi di sini sekitar pukul empat sore?"
Eiji tersenyum tipis. "Tidak bisa sekarang? Aku tidak masalah, tapi kenapa nanti?"
Gadis itu menggeleng cepat. "Ti-tidak bisa sekarang! A-aku akan tepat waktu!" ucap [Name] pelan.
Tepatnya, gadis itu hanya ingin persiapan untuk menyatakan perasaannya. Takut perasaannya ketahuan, [Name] segera berbalik badan.
"Kalau begitu nanti kita ketemu lagi, ya. Jaa!" ucap [Name] melambaikan tangan dan meninggalkan Eiji di sana.
• • •
[Name] memutuskan untuk berkeliling seisi kota selama waktu yang dijanjikan. Masih ada satu jam lagi. Saat gadis itu mencoba melewati gang sempit, ia menemukan kejadian buruk.
"Serahkan anakmu!" seru pemeras itu menarik anak dari pria itu.
"Tidak! Cukup ambil saja hasil pangan kami," bantah sang pria paruh baya bersikeras menggendong anaknya.
"Kami tidak membutuhkan umbi-umbian payah itu! Anakmu bisa dijual mahal dan dia lebih bernilai. Dengar, kalau kalian coba-coba menghentikan kami, kalian yang akan mati!" ancam pemeras itu menjentikkan tangan lalu memunculkan sederet preman yang membawa beragam senjata api.
Kaki [Name] berhenti melangkah. Dia mendengar semuanya. Semua orang di sekitar pemeras itu ketakutan dan tidak bisa berkutik karena ancaman itu. Jika gadis itu nekat melawan, sama saja dengan mencari mati.
Namun, ada seonggok benda yang bisa menolong pria malang itu; cincin yang tersemat di jari tengah kanan [Name].
Sebelum perasaanmu terbalas, jangan lepaskan. Kalau dilepas, orang yang dicintai akan melupakanmu.
Gadis itu meragu. Antara janji dan kesepakatan cincin magis itu. Di satu sisi, ia belum menyelesaikan misinya dan seseorang yang terancam hidupnya.
'Maafkan aku, Eiji-san.'
[Name] mendekati kerumunan itu berkata, "Bebaskan mereka dan terima saja benda ini!"
Ya, dia memutuskan untuk melepas cincin itu.
Cincin putih itu bersinar, menampilkan butir amethyst yang indah.
"Ini bukan imitasi, ini terbuat dari emas putih!" kata preman itu mengecek setiap lingkar cincin itu.
Pemeras dan kawan-kawannya pun tidak lagi menuntut banyak, segera pergi usai mendapatkan cincin itu.
Namun, cincin itu bersinar lagi. Penduduk sekitar dan pemeras itu tidak menyadarinya; seolah sinar itu hanya bisa disadari [Name].
Kejadian itu persis ketika [Name] awal menyematkan cincin itu.
Segala yang gadis itu lihat pun memudar seketika.
"Mungkinkah ini akhirnya? Eiji-san, gomen ne...." [Name] menoleh nanar ke arah bangunan istana yang menjulang.
Ketika cincin itu dilepas, eksistensi dirinya pun perlahan menghilang.
Dan, bagi [Name], tidak semua kisah cinta memiliki akhir yang indah di dunia ini. Tidak selalu berakhir memiliki.
Sebelum dirinya memutuskan untuk membuka hatinya, ia tidak pernah bisa menyangka perasaanya telah hadir untuk waktu yang tidak pernah ditentukan.
• • •
"Irraishaimase (selamat datang)!" sapa [Name] membawa keluar roti yang baru saja terpanggang sembari munculnya pelanggan lain di toko roti.
Sejak insiden itu, [Name] berusaha terlihat normal. Cincin itu ada pada [Name], tetapi berkali-kali pun ia berusaha menyematkannya, tidak akan terjadi apa-apa.
Dua hari sudah berlalu sejak hari itu, tetapi kini pemuda itu--- Otori Eiji--- telah menampakkan diri di dalam toko roti. [Name] membeku sejenak ketika Eiji menghampirinya. Dia juga tidak bisa langsung kabur karena belum meletakkan roti.
"Wah. Akhirnya roti ini ada juga," ucap Eiji mengambil eclair dari piring [Name] ke piringnya.
"Be-begitukah. Baguslah," sahut [Name] menundukkan kepala.
Meskipun Eiji yang dilihatnya adalah orang yang sama, perbedaan dunia saat itu pasti juga mengubah situasi di antara mereka.
"Pasti kau yang membuat ini, 'kan?"
Manik [Name] membelalak. "Ke-kenapa bisa tahu?"
Hari ini, lagi-lagi koki tidak datang, dan ia harus menggantikan pekerjaannya.
Eiji mengusap dagu. "Kenapa ya? Kurasa karena mungkin rasanya yang paling unik daripada semua roti lainnya."
"Ehm. Eiji, mentang-mentang kau kelihatan kalem, ternyata bisa modusin anak orang juga," singgung seorang pemuda berambut senada meski menggunakan bingkai manik.
"Eiichi nii-san, bukan begitu... tapi," kata Eiji tetap memilih menatap [Name], "apakah... sebelumnya kita pernah bertemu?
Sebelum cincin itu tersemat, [Name] yakin mereka tidak pernah bertegur sapa.
Sama sekali tidak. [Name] yakin.
"Soal tadi bisa dikesampingkan dulu. Ano, kalau berkenan, maukah kau bertukar nomor denganku?" tanya Eiji mengeluarkan ponselnya.
[Name] melongo. "A-Anda meminta no-nomorku?"
Eiji mengangguk. "Tentu. Aku ingin mengenalmu lebih dalam, boleh?"
"Kulaporin ke otou-san, loh~" ledek Eiichi pun menyeringai, setengah mengancam adiknya itu.
Eiji tersenyum kalem ke arah Eiichi. "Tidak masalah."
Sebuah awal yang baru, bukan karena sebuah benda. Melainkan titik yang mempertemukan. Sebuah jalinan yang mengalir di antara mereka.
OMAKE
"Tanteeee!" seru [Name] akhirnya bisa bertemu dengan sang empu pemberi cincin. Di stasiun kereta api, seperti kejadian waktu itu.
"Bagaimana? Efek cincin itu manjur, 'kan?" Wanita itu tersenyum berseri-seri.
[Name] menggaruk tengkuk. "E-entahlah. Maksudku sebenarnya memanggil Tante ke sini untuk mengembalikan cincin ini. Benda ini pasti sangat berharga, jadi jangan sampai diberikan kepada sembarang orang."
"Kamu bukan sembarang orang. Tante yakin, kamu sudah melalui banyak hal dengan cincin itu. Lagi pula, soal cincin itu Tante serahkan sepenuhnya ke kamu."
"Tapi... bagaimana soal biaya operasi anak Tante?"
Wanita itu mengangguk pelan. "Sudah beres sejak dua hari silam. Syukurlah ada donator yang bersedia mendanai operasi anak Tante."
"Wah, syukurlah! Soal cincin ini... bukankah kalau dilepas sebelum terbalas, maka si dia akan melupakan, 'kan?"
Terlintas kebingungan di benak [Name] saat Eiji bisa bertanya soal saling mengenal, apalagi mengajaknya bicara di luar transaksi.
"Benar, tapi ada sebuah kondisi...."
"Kondisi?"
"Lirik saja di balik kertas instruksi i---" Ponsel wanita itu berdering. Dirinya mohon undur diri untuk menerima panggilan.
[Name] membuka kotak itu, mengambil kertas yang terletak di bawah bantalan busa penyemat cincin. Ia membalik kertas itu.
Menekap wajah yang telah memanas.
Jika orang yang dicintai telah menaruh hati kepadamu sebelum cincinnya dilepas, maka tidak sepenuhnya dia akan melupakan. Begitupun dengan perasaannya ♡
• Fin •
A/N:
Panjang ya. HAHAHAHA.
Saya serahkan imajinasi sisanya bagaimana Eiji kepada kalian setelah ini! Kebablasan abis nulis part ini dah xD
Untuk skenario HEAVENS masih pending sampai tahun depan, ya!
Entah kenapa, bayangan saya soal citra Eiji adalah cowok sopan, baik hati, yang duh--- ortu pasti senang kalo jadiin cowo se-innocent ini sebagai menantu//HAHA.
Dia gak nyata, iya tahu kok/sob :"D
Namun, hati saya tetap untuk Tokiya ko--- //dihajar fans.
Dah, ah. Segitu aja (?)
Thank you for reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top