Dalliance [Part.1] - [Otori Eiji x Reader]

Requested by HoshiPhantomhive

Note:
Dalliance >> A Brief Love Affair (artinya search sendiri lololol) happy reading! :>

• • •


Dulu, ibu [Name] pernah bercerita bahwa setiap gadis akan menemukan pangerannya sendiri. Seorang pria yang menjemput dengan uluran tangan hangat, membawa dunia yang baru dengan penuh petualangan indah. Gadis itu percaya bahwa suatu hari pangeran yang ibunya maksudkan akan datang.

Namun lambat laun, antusiasme [Name] pun memudar. Dirinya pun mulai mengerti bahwa hidup tidak selalu seindah itu. Berkali-kali hatinya dikejutkan oleh berbagai perasaan, tetapi sebelum ia merekah, ia akan dihancurkan lebih dulu.

Entah sejak kapan, gadis itu tidak lagi percaya soal cinta. Ketika semua jiwa dan raganya memilih melumpuhkan rasa yang paling unik; menutup hatinya dalam-dalam.

Suatu ketika, [Name] menyadari jam kerja paruh waktu sebagai kasir di toko roti telah usai. Kalau sang koki tidak datang, bosnya akan kerap menyuruh gadis itu membantunya membuat roti. Dan, mau tidak mau energi [Name] terkuras lebih banyak karena melakukan kedua pekerjaan itu.

Saat jam kerja [Name] nyaris usai, muncul seorang pemuda berambut lurus kecokelatan yang masuk ke toko roti. Diambilnya piring putih berbentuk persegi dan penjepit roti yang terletak tepat di samping pintu kaca. Awalnya, [Name] hampir ingin melepas apron kerja yang dikenakan, tetapi segera ia urungkan karena kehadiran pemuda itu.

Bukan pertama kalinya, [Name] menemukan sosok pemuda itu. Diam-diam, dia menaruh kekaguman walau tidak pernah melakukan interaksi lebih; jangankan berinisiatif bertukar nomor ponsel, basa-basi pun tidak pernah.

Alasannya? [Name] terlalu malu, jadi dia hanya bisa meratapi pemuda itu dari kejauhan. Ia takut kecewa dan memilih melindungi dirinya dari jauh.

Tatapan lembut dan pembawaan kalem sebagai kesan awal yang menarik bagi [Name]. Sepertinya, pemuda itu juga sangat bersahabat bila diajak berbicara. Tanpa sadar, gadis itu telah merenung.

"Ano, summimasen (maaf)," tegur pemuda itu melambaikan tangan tepat di wajah [Name], tepatnya setelah menaruh piring yang telah terisi sejumlah roti di meja kasir.

[Name] yang menopang dagu pun mengerjap pelan saat manik ungu terang sang pemuda beradu dengan maniknya. Lamunannya buyar seketika, saat itu juga [Name] langsung berdiri tegap.

[Name] mengerjap, terlihat gugup. "Ma-maaf! Hanya ini saja rotinya?"

"Iya."

"Apa Anda punya member card?"

Pemuda itu mengambil dompet di dalam saku celananya lalu memberikan kartu anggota. [Name] pun sibuk sendiri--- mengambil kartu lalu menginput jenis roti yang dipesan pemuda itu. Tanpa sepengetahuan [Name] yang telah sibuk sendiri, pemuda itu telah menarik kedua sudut bibir. Namun, tidak ada yang pernah tahu kapan cinta datang dan pergi.

Ya, cinta adalah sekeping rasa yang begitu misterius.

Dalliance [Part.1]
Pair: Prince!Otori Eiji x Baker!Reader
Uta no Prince-sama (c) Brocolli, Sentai Filmworks, Kuruhana Chinatsu
Genre: Romance, Comedy, Fantasy
Warning: ooc, au, typos
By agashii-san
.
.
.

"Memalukan...." Gadis itu bergumam sambil mengacak rambut usai perjalanan menuju stasiun kereta api.

Kalau besok-besok pemuda itu datang lagi le toko roti, gadis itu tidak tahu akan memasang ekspresi seperti apa.

"Hai, Nona manis!" panggil seorang wanita paruh baya berjubah hitam menarik mantel [Name].

[Name] menoleh lalu mengernyitkan dahi. "Maaf, uang saya hanya cukup untuk ongkos kereta. Belum gajian."

Wanita itu memberenggut kesal. "Hei! Aku bukan pengemis!"

"Ah... begitukah? Maaf. Lalu, kenapa Tante memanggilku?" tanya [Name] menggaruk pipi.

"Tante ingin menawarkan sesuatu," ungkap wanita itu menarik pergelangan tangan [Name] dan duduk bersama-sama di bangku panjang.

"Sungguh, saya tidak punya uang lagi."

"Tenang saja! Bisa kredit dulu untuk sesuatu yang Tante tawarkan, tepatnya setelah kamu terima penawaran ini."

[Name] mengernyitkan dahi.

"Sebenarnya, Tante ingin kamu mencoba produk yang satu ini!"

Sebuah cincin perak berbandul ungu pekat.

"Cincin? Wah, harganya pasti mahal sekali!" kejut [Name] telah berdiri tetapi tetap dicegat sang wanita itu.

"Dengar dulu. Ini bukan sekadar cincin. Kalau kamu percaya, benda ini akan membalas percintaanmu. Kamu belum punya pasangan, 'kan?"

Soal tidak memiliki pasangan membuat [Name] mau tidak mau sedikit merasa tersinggung.

"Jangan bilang... ini akal-akalan dengan modus kejonesan? Dengar, Bu. Saya memang single, tapi saya punya harga diri. Saya nggak bisa menjamin percintaan saya dengan sebuah benda tipu daya seperti ini," tuduh [Name] makin merasa curiga.

Manik wanita itu berkaca-kaca usai [Name] mengutarakan pendapatnya.

[Name] pun kini jadi merasa serba salah.

"Sebenarnya... anak saya harus dioperasi minggu depan. Kalau tidak, dia tidak akan tertolong," ucap wanita itu mengusap air mata yang telah melinangi pipinya.

[Name] menepuk bahu wanita itu. "Tante hanya perlu menjual cincin ini ke toko perhiasan. Saya yakin, benda ini akan laris dengan nilai tinggi!"

"Tidak bisa. Ini benda turun temurun dari Nenek saya. Pokoknya Tante titipkan benda ini ke kamu dulu. Saya yakin kamu pantas mencoba cincin ini. Baca petunjuknya baik-baik, ya!"

Wanita itu telah pergi, tepatnya berlari tanpa sempat [Name] kejar. [Name] pun termenung memandangi cincin yang tersemat indah di dalam kotak bludru merah.

"Yang benar saja? Harus kuapakan benda ini?" bingung gadis itu menghela napas.

• • •

[Name] pun kini dirundung kepanikan.

Di kota besar, modus kejahatan pun sebenarnya sangat beragam. Salah satunya, bisa jadi menitipkan cincin itu. Cepat atau lambat, [Name] mulai memikirkan hal ini; didatangi oleh pihak kepolisian dengan laporan pemerasan barang berharga.

Penyesalan selalu datang belakangan. [Name] telah sampai di rumah. Sudah satu jam berlalu, ia juga sudah mandi dan menikmati makan malam. Sebelum memutuskan untuk menonton televisi, ia mengempaskan bokongnya ke sofa sambil membuka kotak cincin itu sekali lagi.

Mata [Name] bisa dikatakan cukup jeli--- ditariknya secarik kertas dilipat empat yang tersemat di bawah bantalan busa penempat cincin.

Instruksi:
Pikirkan seseorang yang dicintai lalu sematkan cincin itu di jari tengah kanan. Sebelum perasaanmu terbalas, jangan lepaskan. Kalau dilepas, orang yang dicintai akan melupakanmu.

Usai membaca instruksi, [Name] terkekeh.

Ia memilih membaringkan diri secara telentang di sofa. Memegang cincin dengan jari jempol dan telunjuk lalu menyipitkan manik kanan untuk melirik celah cincin itu.

"Tidak ada salahnya kalau dicoba. Kali-kali saja bisa lebih dekat dengan dia yang sering mampir ke toko roti," gumam [Name] tanpa pikir panjang menyelip cincin itu ke jari tengah kanan.

Cincin itu uniknya pas di jari [Name]. Tidak lama kemudian, seberkas cahaya bersinar sangat terang dari biji cincin. [Name] memejamkan mata karena tidak bisa menangkap bias pencahayaan. Tanpa sadar, dirinya telah tersedot dalam cahaya itu.

Sepersekian waktu yang telah berlalu, [Name] perlahan membuka sepasang maniknya.

"Kok... keras, sih?" gerutu gadis itu merasakan sofa yang empuk jadi sekasar karang.

Manik [Name] membola. Tepatnya, ia telah terjaga sepenuhnya berkat lemparan koin recehan di hadapannya. [Name] melirik sang pelempar--- pria paruh baya yang balas menatapnya dengan tatapan meremehkan.

"Apa yang terjadi kepadaku?" [Name] memandangi baju piyamanya berubah menjadi kaus kucel [Favorite Color] dan celana selutut yang ditambal-tambal dengan kain lain.

Berbeda dengan Tokyo, dunia yang ia rasakan begitu terik.

"Antre dulu, ya." Terdengar suara familier di sisi kiri. Hampir sama penampilan pemilik suara itu sepertimu, hanya saja di sisi kirinya terdapat sekantong berisi makanan hangat.

"Ah! Laki-laki yang waktu itu!" kejut [Name] menunjuk pemuda itu; pelanggan yang sering berbelanja di toko roti, tetapi menggaruk tengkuk. "Tapi kok... kumal, ya?"

Cowok yang [Name] temui di toko roti selalu berpenampilan rapi. Meskipun tampil kalem dan sederhana, [Name] bisa menyebut produk bermerek dikenakan di sekujur tubuh pemuda itu. Namun, cowok yang ada di hadapannya sangat berbeda meskipun tetap tampan; alih-alih terlihat seperti berada di kalangan menengah ke bawah karena noda debu yang menempel di wajah.

[Name] segera tersadar bahwa efek cincin itu bekerja sangat instan; berhasil dipertemukan dengan tidak biasa dan situasi yang sangat berbeda pula.

Beberapa anak-anak yang mengantre melirik [Name] dengan sinis.

"Jangan sebut laki-laki itu! Dia itu Eiji-sama!"

"Benar!"

"Bilang saja kau ribut karena mau duluan dapat makanan!"

[Name] menyeringai kaku. "Maaf, tidak bermaksud mengganggu...."

"Kemarilah. Apa kau lapar?" tanya Eiji melambaikan tangan lalu mengeluarkan sekotak plastik di dalam kantong kertas.

"Aku... boleh makan?" [Name] merasa ragu.

"Tentu saja boleh. Anak-anak itu hanya terkejut saat melihat orang asing. Kalau boleh tahu namamu siapa? Aku, Otori Eiji." Pemuda berambut kecokelatan itu mengulurkan tangannya.

"[Full Name]," sahut [Name] memutuskan untuk ikut mengantre bersama anak-anak lainnya.

Gadis itu tersenyum, berhasil menemukan nama dan beinteraksi seperti yang diharapkannya.

• • •

Usai [Name] menghabiskan nasi omelet, ia menghampiri Eiji yang duduk di bawah pohon. Gadis itu memutuskan tidak lagi malu; dengan asumsi bahwa ini dunia lain.

"Eiji-san, sedang apa?" tanya [Name] memilih duduk di sampingnya.

"Berpikir. Apa yang bisa kulakukan, apa yang bisa kuwujudkan...." Manik ungu Eiji mengeruh.

[Name] menyadari bahwa kota ini sangat kering. Sinar mentari juga terik. Pasokan air juga menipis--- disadari ketika selesai pembagian makanan terpaksa harus membagi segelas air untuk bertiga.

"Maaf! Pasti tadi ucapanku terkesan membosankan, 'kan?"

[Name] menggeleng. "Tidak, kok. Mereka bilang bahwa kau itu pangeran... apa itu benar? Eiji-san boleh bercerita kepadaku, kok... kalau tidak keberatan."

Eiji mengangguk. "Dulu aku punya istana, punya keluarga yang lengkap. Namun, mereka semuanya menghilang sejak badai di tengah laut demi membantu penduduk. Sekarang, yang tersisa hanya aku sebagai tumpuan."

Mendengar cerita itu meremukkan hati gadis itu. Ketimbang memikirkan permintaan cincin itu barusan, sekarang [Name] lebih ingin membantunya.

"Lalu soal air barusan?"

Eiji memainkan jari-jarinya sembari menunduk. "Aku dapatkan dari pedagang dari kota lain. Itu juga menjadi salah satu kendala karena cepat atau lambat, aku khawatir tidak bisa membiayai lagi. Kota ini sering mengalami gagal panen."

[Name] mengangguk kecil lalu mengusap dagu. Manik gadis itu telah berkaca-kaca. Ia ingin membantu, meskipun situasi ini bukan terjadi di dunianya.

"Aku mau membantu! Bagaimana pun caranya!" sergah [Name] tanpa sadar telah memegang kedua tangan Eiji.

Eiji tersenyum. "Terima kasih, tapi sepertinya aku tidak bisa membayarmu dalam waktu dekat."

Gadis itu membasahi bibirnya, mulai bingung karena datang secara dadakan ke dunia baru ini, ia tidak tahu akan tinggal di mana.

[Name] menggeleng cepat. "Tidak masalah, tapi selama... selama... aku boleh tinggal bersamamu untuk sementara! Ya, tidak selamanya, tapi hingga masalahmu membaik. Bagaimana?"

Manik ungu Eiji melebar. "Tidak masalah, tapi kau yakin?"

"Eh? Memangnya kenapa?"

"Istanaku cukup banyak ditinggali oleh sejumlah penduduk tunawisma yang telah berkeluarga. Sepertinya kamar satu-satunya yang cukup ditinggali di sana hanya kamarku."

"Hanya kamarku"--- dalam sekali dengar, [Name] sudah bisa menangkap maksudnya--- itu artinya, mereka harus sekamar kalau [Name] sepakat.

"Tapi aku tidak akan berbuat hal buruk. Tenang saja!" Eiji menambahkan.

Di satu sisi, [Name] merasa canggung, tetapi tidak ada pilihan lain. Dia juga tidak punya uang, makanan pun minta-minta karena ini bukan dunianya. Dan, yang gadis itu kini lakukan yaitu membungkukkan badan sedalam-dalamnya.

"Mohon bantuannya."

[Name] berjanji di dalam hatinya, akan secepat mungkin memutarbalikkan situasi yang lebih mirip mimpi buruk yang berkerpanjangan.

• • •

Eiji tentunya memiliki tanggung jawab yang besar.

Kesimpulan itu didapatkan [Name] ketika semalam dirinya masih setengah terjaga, sedangkan Eiji masih duduk menghadap meja belajar yang ditemani oleh sebuah lentera.

Eiji juga dengan baik hati merelakan tempat tidurnya untuk [Name]. Lain halnya, pemuda itu menggunakan tikar untuk mengalas diri.

Pagi-pagi buta, [Name] memutuskan untuk menjelajahi kota. Istana Eiji cukup mudah dituju karena terlihat besar daripada bangunan lainnya. Tentunya, dia telah mengabarkan hal itu dengan sebuah surat di atas meja.

Hendak menyemangati diri, [Name] telah masuk ke dalam hutan. Susah payah ia tiba di sana karena harus melewati bebatuan yang besar-besar. [Name] melihat ke sisi kiri, mendapati bebatuan lainnya yang terkumpul banyak dan terlihat basah.

Saat [Name] mencoba menggeser batu itu dengan ranting, kayu itu justru berakhir terbelah dua karena bebatuan itu sangat berat. Mau tidak mau, [Name] memakai tangan kosong.

Manik [Name] membulat penuh; menemukan air jernih mengalir di dalamnya, tetapi memiliki arus sempit. [Name] pun senang akan penemuannya. Sesegera mungkin ia kembali, mengabari Eiji dan penduduk lainnya tentang hal ini. Selama ada jalan dan keyakinan, semuanya bisa dihadapi.

• • •

Namun, [Name] malah ditertawakan oleh tunawisma lain yang mendengar kabar baiknya.

"Ah, lelucon macam apa itu?"

"Tak bisakah kau memberikan candaan yang lebih menarik?"

Tangan gadis itu terkepal lalu segera meninggalkan penduduk itu.

Kebetulan, Eiji baru saja keluar dari dapur.

"Kemana saja?" tanya Eiji.

"Aku...." ucap [Name] tetapi segera tertahan di tenggorokan.

Gadis itu lebih takut diragukan Eiji ketimbang ditertawakan oleh tunawisma barusan.

"Aku... boleh pinjam ember dan keranjang jerami?" tanya [Name].

Eiji berkata, "Boleh. Ambil saja. Sepertinya kau sudah menemukan kesibukan, ya?"

"Begitulah. Aku sudah tahu rute ke istana kok, jadi tenang saja."

"Syukurlah."

Namun, muncul seorang pria paruh baya.

"Eiji-sama, kau sudah dengar? Gadis itu nekat masuk ke hutan."

Manik ungu Eiji melebar. "Hutan?"

[Name] menyeringai. "Aku hanya ingin membantumu mencari sumber air... ingat, 'kan, janjiku?"

Eiji menunduk. "Tapi...."

Entah mengapa, [Name] merasa dikecewakan karena pemuda itu ternyata benar-benar tidak sependapat dengan idenya.

"Aku... akan pergi sendiri. Aku terpikir untuk memberitahumu, tapi rupanya aku benar-benar salah...."

[Name] pergi membawa ember dan keranjang, berlari meninggalkan Eiji.

• To be Continued •

A/N:
Ini pertama kalinya twoshoot chara HEAVENS--- aaa :">
Kebetulan chara favo HEAVENS saya cuma dua; Eiji dan Kira. Ada yang sudah dengar solo song Eiji? Itu yang judulnya Dreamer :>
Soal fict ini, somehow, kalau kalian pernah baca FTS, setting-nya rada mirip karena bersifat istana sentris. Tapi plotnya tentu saja beda, kok :>

See ya on the next part!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top