Blue Lie - [Hijirikawa Masato x Reader]

Requested by runasaki

BUTIRAN salju berguguran menyelimuti bumi. Dingin menusuk tulang. Perih perlahan mematikan rasa. Pemuda berambut biru itu percaya bahwa mendatangi dunia manusia hanyalah mimpi buruk. Terlahir dari istri selir, ia hidup dalam persaingan gelar kerajaan.

"Masato, percayalah kepada ibu. Segalanya akan baik-baik saja bila kau berada di sini," ujar sang ibu memegang erat bahu anak sulungnya.

"Ibu... mau ke mana?" Masato mengernyitkan dahi. "Tetap di sini bersamaku, Bu. Iya kan?"

Seukir senyuman menghiasi wajah sang bunda, dilinangi manik yang berkaca-kaca. "Semuanya akan baik-baik saja selama kau di sini. Keluarga [Last Name] akan menampungmu."

Sang bunda perlahan menghilang. Masato menatap nanar penuh pengharapan. Ia hanyalah dhampir malang yang tidak tahu apa-apa.

Namun, awal keberadaan di depan kediaman [Full Name] adalah kenangan terakhirnya. Yakni sebuah kenangan pelik akan identitasnya sebagai makhluk setengah vampir--- dhampir.

Blue Lie
Pair: Dhampire! Hijirikawa Masato x Human! Reader
Genre: family, romance, angst
Uta no prince-sama © Brocolli
By agashii-san
.
.
.

Dua hari pun berlalu sejak insiden itu terjadi.

Masato sadar ia masih punya taring di sisi kanan dan kiri giginya. Ia masih harus mengisap darah untuk hidup--- dari hewan tentunya. Hidup di dunia manusia tidak begitu berbeda dari dunia vampir. Alasan keluarga [Full Name] bersedia memberi tumpangan yakni bentuk balas budi terhadap ibu Masato di masa lalu.

"Sebaiknya aku mati saja," gumam Masato memeluk lutut.

Tidak tahu arah kembali ke dunia vampir, Masato hanya bisa mengurung diri. Sang bunda satu-satunya yang memberi jalan itu. Namun, seingatnya sang ibu adalah manusia biasa.

Ibu [Name] membuka pintu kamar Masato dari luar.

"[Name], dia bernama Hijirikawa Masato. Dia akan jadi tetangga di sebelah kamarmu," ujar ibu [Name] mengarahkan putri semata wayangnya.

[Name] tertegun sejenak kemudian perlahan menghampiri Masato. Tangannya terulur.

"[Full Name]."

Masato melihat uluran tangan [Name], tetapi tidak berminat disanggahnya. Karena kelamaan tidak ditanggapi, [Name] menyimpan kembali tangannya ke dalam saku celana. Terlihat raut kekesalan yang tertahan di dalam batinnya.

"Ah, sudahlah. Pokoknya aku sudah kenal dirinya. Sombong sekali," sergah [Name] membuang muka.

Ibu [Name] berusaha mencegat, tetapi gadis itu sudah terlanjur keluar dengan membanting pintu. Masato masih duduk termenung, tanpa merasa bersalah sedikitpun. Kesedihan akan ibunya masih jauh membekas di hati dibanding menerima omelan barusan.

"Maafkan anakku, ya. Kalau butuh darah, katakan saja," kata ibu [Name] tersenyum lemah.

"Tante tidak takut kepadaku? Kalau takut, lebih baik sekarang bunuh aku saja." Masato menghela napas.

Tanpa ekspresi, sepasang manik biru keruhnya dipenuhi kegelapan. Ibu [Name] menggeleng. Mendekap Masato dengan kehangatan.

"Bukan pilihanmu untuk hidup sebagai dhampir. Aku sudah berjanji kepada ibumu agar kau bisa hidup baik-baik di sini." Ibu [Name] menepuk pelan punggung Masato.

Masato tidak mengerti sosok manusia. Ketika sesamanya berjuang saling menyakiti. Sekalipun tidak pernah memikirkan perasaan. Demi takhta maupun harta, hati mereka seakan digelapkan.

"Kenapa... kenapa?" Masato bertanya, tetapi larut oleh tangis.

Tanpa jawaban, Masato hanya bisa terus berpikir. Kenapa ia harus diantar ke dunia manusia? Akankah dunia ini ada untuk menghangatkan kembali hidupnya yang telah membeku?

× × ×

"Gadis yang kemarin tidak di sini?" Masato muncul ke ruang makan.

Ibu [Name] menggiring piring berisi roti tawar.

"Dia sedang keluar sebentar. Masa-kun mau selai apa? Cokelat? Kacang?"

Masato menunjuk selai cokelat. Saat ia menerima roti tersebut, manik birunya mendapati pigura rapi yang terpajang di ruang makan. Berfoto lengkap dengan ayah dan ibunya. Sepintas, wajah ceria [Name] di foto itu seolah mengejek hidupnya yang miris. Jangankan momen foto bersama, bisa bertemu ayahnya secara langsung sangatlah sulit.

"Kapan-kapan, Masa-kun ingin foto bersama juga?" tanya Ibu [Name].

Masato menoleh bingung. "Apa saya boleh foto bersama dia?"

"Tentu saja! Tidak lama lagi [Name] akan mengikuti kompetisi piano. Masa-kun harus nonton, ya!" ajak ibu [Name]. "Masih mau roti?"

Disahuti dengan anggukan, Masato hanya kembali bergeming. Sebenarnya, ia sudah mulai memahami wilayah di dunia manusia. Hanya berdiam tidak akan membawa pengaruh apa-apa, maka ia memutuskan keluar sejenak. Tentu dengan seizin ibu [Name].

Manik biru Masato mendapati jalanan ramai. Berbondong-bondong orang dengan kesibukan. Rambu yang selalu berganti. Tatapan kosong. Sebenarnya, ia hanya memastikan tempat yang cocok. Cocok untuk mengakhiri nyawa.

Namun, di mana pun ia mengakhiri, tempat ini asing baginya. Ia hanya "ditempatkan", ia hanya berada ditampung. Pikirnya, mungkin ada masanya sang bunda akan menjemput ke alam baka.


Kaki berjalan asal, tanpa memikirkan rambu. Bertimpa-timpa bunyi klakson memekakkan telinga. Cacian melontar, tetapi tidak ia pedulikan. Tatapan menusuk penuh kekesalan hanyalah angin lalu.

"MASATO! AWAS!"

Tubuh pemuda itu terdorong ke depan. Menubruk trotoar. Sekali lagi, Masato kembali sadar dari lamunan kelamnya. Namun, tidak dengan sosok yang menyelamatinya. Gadis yang kesal kepadanya semalam. Ia meringkuk akibat tabrakan sedan yang melaju begitu saja.

Darah berceceran di sekitar pelipis gadis itu. Tangan gadis itu terkulai, menyentuh sekitaran yang basah oleh cairan merah kental. Terbaring tak berdaya.

Masato menoleh. Menghampiri [Name] dengan tangan bergetar. Puluhan pasang mata mengerubunginya. Saat itu, Masato seperti melihat kematian kedua. Kematian yang mengiris hatinya.

Sebelum pemuda itu tahu betul akan kesalahannya, bunyi sirene ambulans datang. Membopong gadis itu ke rumah sakit terdekat. Turut mengangkat hatinya yang rapuh.

×××

[Name] dirawat dalam kondisi kritis, maka ia membutuhkan istirahat penuh. Masato meminta maaf, bahkan dogeza (bersujud) di depan kedua orangtua [Name]. Masato siap diusir, tapi mereka justru meminta pemuda itu tenang dan berdoa yang terbaik.

"Dulu Ibumu menyelamatkanku. Namun, aku yakin, anakku tidak semudah itu pergi. Ia anak yang kuat." Ibu [Name] menitikkan air mata.

Sang suami memeluknya. Masato duduk di sebelahnya. Ibunya di surga pasti akan murka. Malah ia akan lebih memilih dimarahi secara langsung. Dipukul akan membuat dirinya merasa lebih baik daripada didiamkan tanpa kepastian.

Dua belas jam usai kejadian, dokter keluar dari ruang UGD. Beliau mengatakan [Name] sukses menjalani operasi. Orangtua [Name] tidak bisa lebih bahagia mendengar berita itu. Begitupun Masato, meskipun ia tidak pantas merasakan perlakuan yang sama.

Ia yang menyebabkan kejadian maut itu.

Dua jam kemudian, putri tunggal mereka siuman.

Ibu dan ayah [Name] memergoki putri tunggal mereka. Mengajak Masato, tetapi pemuda itu berkata akan segera menyusul. Pintu UGD tertutup secara otomatis. Seolah membungkam hatinya dalam-dalam. Seolah tidak mengizinkan ia melihat terang dunia.

Masato bernapas lega. Ia bangkit dari kursi tunggu. Memutuskan akan pergi meninggalkan keluarga [Name]. Seharusnya gadis itu membiarkannya mati, bukannya masih bernapas layak seperti ini.

"Masato mana?" tanya [Name] dari dalam ruangan. Cukup nyaring hingga langkah Masato terhenti.

Ibu [Name] membuka pintu, mendapati Masato sudah beranjak meninggalkan rumah sakit.

"Mau ke mana?" tanya Ibu [Name]. "Kemarilah."

Masato menggeleng. "Aku tak pantas bersama kalian setelah apa yang kuperbuat."

Dari kejauhan, [Name] berseru, "Masato, aku tidak akan memaafkanmu kalau kau meninggalkanku. Keluargaku."

Berputar arah. Membiarkan suara tapak pantofel bertemu lantai putih rumah sakit yang sunyi. Masato menunduk. Pipinya terlinang air mata.

"Maaf. Maafkan aku. Maaf," Masato berucap berulang kali.

Meski gadis itu masih berada di atas tempat tidur, dekapan dari kedua orangtua [Name] terhadap Masato seolah mewakili perasaannya. Meluapkan haru yang mendalam. Membungkus segala dingin yang menjalar. Tergantikan oleh rasa hangat yang melipuri batin.

× × ×

Semenjak kejadian itu, Masato bersumpah kepada dirinya sendiri. Ia memutuskan tidak lagi terbayang-bayang malangnya hidup sebagai dhampir di dunia manusia. Ia bersumpah akan hidup dan mati demi [Full Name], gadis yang memberi kehidupan kedua setelah ibunya.

"Masato, tunggu!"

Musim semi, ditandai guguran sakura. Musim panas menunjukkan teriknya mentari. Musim gugur bertambahnya daun momiji. Dan musim dingin oleh putih salju, membekukan hati.

Gadis itu semakin berkembang usai tiga tahun silam sejak kejadian silam. Tinggi tubuh yang meningkat. Paras yang semakin jelita. Lain halnya, Masato yang tidak pernah berubah sejak awal bertemu. Mereka pun pergi ke SMA yang sama.

Masato berhenti sejenak. Meratapi [Name] yang tertatih-tatih menyusulnya. Langkah gadis itu pendek-pendek, dibandingkan kaki panjang Masato yang bisa menyita tiga langkahnya dalam sekali jalan.

"Aku tidak pernah meninggalkanmu," ucap Masato tanpa rasa bersalah.

[Name] memberenggut, "Kalau begitu jalannya jangan cepat-cepat! Roti selai cokelat Ibu bahkan tidak sempat kumakan!"

Masato hanya mengangguk patuh lalu menghampiri [Name]. Melambatkan langkah yang sama dengannya. Masato tidak pernah suka dengan matahari yang terlalu terik. Ia menunduk, melintasi bayangan diri.

Selalu tahu kondisi Masato sebagai dhampir, [Name] membuka payung. Meneduhkan diri mereka. Karena tinggi badan [Name] yang tidak mampu menjangkau kepala Masato, pemuda itu beralih memegang tangkai payung. [Name] tersenyum hangat.

Awal bertemu, ia mengira Masato adalah anak dingin yang tidak pernah peduli dengan siapapun. Sejak menyelamatkan nyawa pemuda itu, pemikirannya akan Masato berubah begitu saja. Masato hanyalah pemuda pendiam, penuh rahasia di dalam hatinya, tetapi ia punya hati yang besar.

"Mau makan es krim sepulang sekolah? Aku yang traktir," ajak [Name] menggandeng lengan pemuda itu tanpa merasa canggung.

Masato bergumam, "Kalau kau mau, tidak masalah."

[Name] menautkan alis. "Jangan aku saja yang mau. Yang penting itu kau, Masa!"

Tersenyum tipis, Masato berkata, "Aku mau."

Puas mendengar jawaban dua kata barusan, [Name] tetap tidak melepas gandengan mereka hingga tiba di stasiun kereta api terdekat.

× × ×

Di sekolah, [Name] adalah gadis supel. Tidak jarang, banyak lelaki memasang mata untuk menjadikannya kekasih. Masato di sekolah tetap saja sama. Bicara seadanya. Buku selalu menghiasi raganya di dalam kelas. Namun, [Name] tidak lupa diri. Ia selalu berusaha mengajak Masato berinteraksi.

Masato mengira-ngira saat memandangi cakrawala cerah: apa gadis itu tidak pernah jatuh cinta? Tidak ingin berpacaran seperti gadis remaja pada umumnya?

Apa dirinya membebani dirinya?

Membatasi kehidupan manusia yang dijalani [Name].

Menjadi dinding yang menyusahkan kehidupan gadis itu.

Ah, Masato sadar ia sok tahu akan [Name] hanya karena mereka seatap.

[Name] bersenda gurau lalu malu-malu bersama pemuda lain. Pemuda berambut gondrong pirang yang punya sejuta pesona. Seisi sekolah kenal dia--- Jinguji Ren--- tidak ragu memberikan sebuket mawar kepada [Name]. Masato mendengus. Ia bukan pemuda yang seperti itu.

Ia sadar akan posisinya yang tidak seberapa. Dicurangi keadaan karena bisa bersama [Name]. Sisanya? Ia merasa tidak punya apapun yang bisa dibanggakan.

"Oi? Kau sadar?" tanya [Name] ternyata telah duduk di hadapan Masato.

Masato mengerjap. Di jendela yang bisa memandangi lorong sekolah sudah sepi tanpa siapapun yang melintas. Sepertinya Jinguji sudah pergi, membawa mawar-mawar berikut kepada gadis lain.

"Kau... sejak kapan?" tanya Masato lalu mengemasi buku ke dalam tas.

[Name] memandangi arloji sepintas. "Baru saja. Kau tahu, aku kurang suka mawar. Tapi Jinguji memaksaku harus menerimanya. Aku khawatir ibu akan berpikir yang macam-macam."

Masato menatap nanar buket mawar yang terkemas rapi. "Buang saja mawar itu. Nanti juga akan layu termakan ulat dan waktu."

Tidak disangka, [Name] justru mendelik sinis Masato. "Kenapa kau berkata seperti itu? Pemberian apapun selalu berharga. Tega. Tega sekali!"

Gadis itu meninggalkan kursi kosong yang dihuni kembali oleh pemilik seharusnya. Masato hanya menautkan alis. Bukan maksudnya membiarkan gadis itu kecewa. Hanya saja ia kesal tanpa tahu artinya. Tanpa ditegur untuk menyusulnya seperti tadi pagi, gadis itu telah lenyap dari kelas.

Kekesalan itu sudah jelas. Tentu saja tiada es krim semangka baginya hari itu.

× × ×

Sejak kejadian itu, Masato dan [Name] masih tetap bersama di sekolah. Namun, mereka tidak berbicara banyak. Bicara pun irit. Masato seringkali mendapati gadis itu meliriknya, tetapi begitu disadari langsung segera membuang muka.

Pelajaran olahraga.

Siswa berlatih dribble dan shooting. [Name] kerap dipuji karena bolanya sering masuk tepat sasaran ke dalam ring. Masing-masing diuji dan diberi nilai. Sesudahnya, mereka boleh beristirahat. Masato hanya menatap situasi itu dari kejauhan, memastikan gadis itu baik-baik saja.

"Yo," tegur pemuda berambut jingga. Jinguji Ren.

Masato menoleh tanpa berkata apa-apa. Ia tetap melanjutkan aktivitas--- mengelap peluh keringat dengan handuk.

"Hei, aku sedang berbicara kepadamu. Dengar tidak, sih?" cerocos Ren, disertai dengusan. "Ini penting."

Alis Masato bertaut. "Apa maksudmu?"

Ren menaruh dasi merahnya di dalam saku kemeja putih yang dibuka tiga butir kancing dari atas.

"Tentang [Full Name]. Kau pasti tidak bisa menolak hal ini, kan?"

Masato mengenggam erat handuk putih yang mengalungi tengkuknya. Ia tidak bisa menolak ajakan itu. Dan benar saja, ia bergegas meninggalkan lapangan basket indoor.

× × ×

"Kau dhampir, kan?" Ren menyilang lengan. Mereka berbicara di tepi halaman sekolah.

Masato terkejut, tetapi menahan diri dengan mengusap dagu. "Katanya membahas [Full Name]?"

"Oke, oke. Tapi ini memang ada kaitan dengannya. Kalian tidak pacaran, kan?" tanya Ren sambil memberi salam dengan kiss-wink dari kejauhan kepada gadis yang lewat.

Tangan Masato terselip di dalam saku celana. Ia dan [Name] bukan apa-apa. Teman juga bukan. Ia hanya dhampir yang dititipkan oleh keluarga [Name]. Dan mereka yang hadir dalam hidupnya, merajut hidup yang awalnya pecah dalam kepingan perih kehilangan.

"Dengar, aku adalah grim reaper. Istilah kasarnya adalah malaikat pencabut nyawa," kata Ren mengernyitkan dahi. "Kau tahu kan, dhampir tidak boleh mencintai manusia? Kaum kalian hanya bisa menyakiti mereka. Ibumu, salah satunya korban dari perasaan cinta."

Ucapan Ren seolah tinju yang menohok dirinya.

Masato berkata, "Apa maumu kalau begitu?"

Ren menggeleng, "Karena aku sahabatnya, aku tidak mau dia mati. Tapi ini tuntutan seleksi alam. Ia akan mati dalam seminggu ke depan."

Masato meneguk ludah. "Tidak, dia tidak boleh mati secepat itu! Katakan, katakan solusinya!"

Ren berdecak. "Tidak. Itu sudah ditetapkan."

Tangan Masato yang awalnya terkepal pun mencengkram erat kerah baju Ren. Ia tidak akan melihat gadis itu mengalami kematian berikut sebelum dirinya.

"Tolong. Apa yang harus kulakukan? Apa?!"

Iris biru cerah Ren hanya bisa menatap iba Masato.

"Yang bisa kaulakukan...."

× × ×

Ucapan Ren benar. Menjelang seminggu berikut, [Name] didera marabahaya. Mulai dari pot bunga keramik dari lantai dua yang nyaris menimpa kepalanya. Terpeleset dari tangga. Namun, Masato semakin merasa tidak tenang.

Hubungan mereka masih belum membaik.

Sepulang sekolah, [Name] berjalan di depan sedangkan Masato berada di belakang.

Hiruk pikuk keadaan kota yang penuh kegiatan. Entah apa lagi musibah yang menimpa. Masato ingin gadis itu tertawa kembali kepadanya seperti dulu. Gandengan di lengan yang membiarkan dirinya merasa nyaman.

Manik biru Masato terbelalak mendapati tangga yang dipakai tukang listrik bergoyang-goyang. Tidak jauh dari sisi [Name] yang santai memainkan ponsel. Sekadar membalas komentar dari foto yang baru dipublikasikan di instokrom.

"[NAME]! AWAS!"

Masato berlari secepat membelah badai. Menjauhkan gadis itu sebisanya dari tangga yang perlahan goyah dari posisi tegak. Dengan dorongan sepenuh tenaga, [Name] terlempar sekitar beberapa meter.

"Masa, ponselku kan ja---" desis [Name] mengusap lututnya yang lecet.

Masato terkapar dalam kondisi telentang. Tangga baja menimpa punggungnya. Akibat dari tertimpa, Masato terbatuk-batuk. Memuntahkan darah.

[Name] terbelalak, mengungsikan tangga lalu membopong Masato.

"[Name]... kau tidak apa-apa, kan?"

Gadis itu menangis di tengah petangnya malam. Menangis sekeras-kerasnya. Ia tidak peka dengan sekitar. Marah tanpa solusi. Pemuda itu sebenarnya masih tetaplah Masato sebanyak apapun hal yang telah terjadi.

"Masa...to. Kau harus baik-baik saja! Kumohon. Aku tidak apa!"

Di lubuk hatinya, gadis itu tidak mengingini kehilangan. Termasuk Masato yang datang ke hidupnya.

× × ×

Ibu [Name] mengobati Masato dengan pertolongan pertama. Didatangi dokter ke rumah oleh ayah [Name], Masato hanya mengalami memar ringan. Meskipun sudah dikatakan baik-baik saja, [Name] masih tidak beranjak dari sisi Masato.

Masato membukakan mata. [Name] berhenti terisak.

"Kau tahu aku? Ini berapa jumlahnya? Umurmu berapa?" tanya [Name] cepat bagaikan rapper, mengangkat jari telunjuk dan tengah.

Menarik napas, Masato menjawab, "[Full Name]. Dua. Usiaku delapan belas kalau di dunia manusia."

Mengelus dada, [Name] berkata, "Syukurlah."

Gadis itu duduk berlutut lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tidak peduli estetika sebagai gadis remaja pada umumnya. Air matanya rela saja ia dihabiskan demi menginginkan Masato kembali.

Masato mengusap pipi [Name] yang basah, "Jangan menangis. Jangan."

[Name] memegang kedua tangan Masato. "Maafkan aku, Masato. Aku tidak marah lagi kepadamu soal waktu itu. Jangan tinggalkan aku."

Pemuda itu mengangguk. "Tidak, itu salahku. Sudah, matamu bahkan sampai sembap."

Mereka menghabiskan malam itu dengan berbicara banyak hal. Mengenang masa-masa yang sudah berlalu. Malam yang memulai kantuk agar penghuni memejamkan mata sejenak. Dan gadis itu, berakhir tidur terduduk di sebelah tempat tidur Masato.

Masato segera bangun. Mengangkat tubuh gadis itu berpindah ke tempatnya. Tidak lupa, membungkus tubuhnya dengan selimut tebal yang siap menghangatkan tubuh. Tangan Masato beralih menuju jendela kamar. Angin darat menerpa diri.

"Tetap bahagia meski tanpaku [Name]. Selamat tinggal. Aku mencintaimu," ungkap Masato.

Terhitung malam itu, selama-lamanya, Masato hilang dalam sejarah hidup [Name]. Menyisakan perih berbalut kebohongan. Kepergian sesosok dhampir yang membawa sebuah janji.

×××

O m a k e

×××

Iris biru cerah Ren hanya bisa menatap iba Masato.

"Yang bisa kaulakukan...."

Masato menunggu-nunggu ucapan dari malaikat pencabut nyawa itu. Demi apapun, ia tidak ingin [Name] mati.

"Menukar nyawamu sebagai gantinya."

Bersiap dengan konsekuensi itu, ia harus siap pergi dari hidup [Name]. Begitu pun sebaliknya. Ada pertemuan, ada perpisahan. Demikian gambaran siklus kehidupan.

"Hanya itu satu-satunya yang bisa kulakukan?" tanya Masato terkekeh getir. "Ironi sekali. Pantas saja ibuku menderita sebagai manusia."

Ren menatap sendu. "Begitulah. Apa kau siap untuk mati?"

Tangan Masato terulur. "Lakukanlah. Dia harus selamat. Tidak karenaku untuk kedua kali. Dia punya keluarga dan teman yang mencintainya."

Ren menghela napas. "Aku kira kau akan segera gentar bila kuusulkan hal itu. Dan, omong-omong, termasuk kau pula, kan?"

Demi kebahagiaan yang dicintai, seseorang akan berjuang deminya. Meskipun ia harus terluka, tersakiti, bahkan kehilangan tanpa memiliki apapun. Berakhir menyedihkan, tapi tidak ada pilihan lain.

"Aku akan menyusul Ibu. Dia akan bahagia tanpaku. Dia... memberiku kebahagiaan dan kini akan kulakukan sebaliknya."

Berawal dari utang budi menuju perasaan, sesederhana itu.

Fin

A/N:
Akhirnya saya bisa apdet buku ini setelah ditelantarkan berbulan-bulan. Maaf yah :(

Saya ga jamin tulisan ini bikin baper heuheuheu :'3

Terima kasih sudah membaca~~~

With love,
Agachii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top