Birthday - [Mikaze Ai x Reader]
Part ini tercipta dari keinginan sang aneki CindyClaudia7. Sekadar ngasih tahu, nggak perlu di-stalk akunnya, nggak ada apa-apa juga soalnya. Dia nggak nulis sih x'D
Dan demi apa, ini dikerjakan pas hari H// HAHAHAHA. Biar jadi penyemangat tugas akhir, semoga asupan dedekmu ini bisa menjadi moodbooster yah (?)
Enjoy!
☆☆☆
Ulang tahun.
Demi sosok yang terkasih.
Bertambahnya satu tahun.
Mungkinkah, sang artificial intelligence bisa memahami hari bermakna itu?
Ribuan kartu ucapan memenuhi seisi pintu ruang training yang dibawa dari agensi. Tak hanya itu, setumpuk bunga hydrangea tersemat rapi. Kau mengernyitkan dahi, tidak paham betul ada acara apa. Sebagai manager yang baru dipekerjakan untuk menata segala kegiatan Quartet Night, kau belum terlalu bisa beradaptasi dengan situasi agensi entertainment.
Awalnya, kau sempat tidak peduli dengan papan, bunga, dan segala kartu ucapan yang nyaris menghambat pintu ruangan training tersebut. Namun karena penasaran, kau mengintip sedikit.
"Happy... birthday to...," bacamu mengernyitkan dahi lalu menekap sebagian wajah. "MIKAZE AI? MIKAZE-SAA---"
Staf yang sibuk dengan aktivitas agensi melirikmu bingung sepintas. Usai kau meminta maaf dengan membungkuk 90°, kau membaca kertas itu sekali lagi.
Birthday
Pair: Mikaze Ai x Reader
Uta no Prince-sama (c) Broccoli, Sentai Filmworks
Warning: The main casts on this part are only Quartet Night. Probably OOC.
By agashii-san
.
.
.
"Kotobuki-san... bagaimana ini?" tanyamu panik. "Kalau aku tahu dari awal, kita bisa merayakannya tadi pagi."
Namun, menjadi manager yang menangani aktivitas empat personil tidak semudah yang kau bayangkan. Hanya Reiji yang benar-benar menanggapimu.
"Kalau dia ulang tahun, kenapa?" Kurosaki mengganti senar bass.
"Lagi pula dia tidak bilang begini: 'Hei, aku ulang tahun loh. Mana kadonya?', kan?" ujar Camus menyesap teh merah yang baru diseduhnya.
Kau menggaruk tengkuk. "Tapi... ulang tahun bukan cuma memberi kado, loh."
Reiji mengangguk-angguk beberapa kali sembari menopang dagu. Tampak berpikir sejenak dengan manik terpejam. Setelahnya, ia menjentikkan tangan.
"[Name], ikut denganku sekarang," ajak Reiji bangkit dari kursi.
"Eh? Yang lain?" tanyamu menunjuk Camus dan Kurosaki.
Reiji menggeleng. "Aku hanya perlu kau saja. Yu---"
Kurosaki berdecak. "Apa maksudmu, hanya mengajak sang manager?"
"Memangnya kalian peduli dengan acara merayakan ulang tahun Ai Ai?" Reiji tersenyum penuh percaya diri. "Aku dan [Name] bersepakat membentuk aliansi merayakan ulang tahun Ai."
Camus menghela napas. "Kalian sok heboh seperti itu, tapi sadar tidak kalau subyek yang kalian ucapkan tidak kelihatan dari pagi?"
Kau menganga, tersadar betul eksistensi Ai tidak terlihat sama sekali. Tanganmu langsung refleks mengambil ponsel. Kau menunggu panggilan itu terjawab, tetapi operator yang justru menanggapi.
"Ai... kenapa tidak datang, ya? Omong-omong, kalian kan seapartemen. Kenapa tidak merasa heran Ai tidak bersama kalian?"
Pintu ruang training terbuka dari luar. Subyek yang diributkan tahu-tahu saja menampakkan batang hidungnya. Kalau tidak ada suara pantulan dari sepasang pantofelnya, kau yakin yang membuka pintu bisa saja makhluk halus.
"Ada apa?"
Reiji langsung sigap menghampiri Mikaze. "Ai Ai!"
Kau ikut menyusul Reiji. "Mikaze-san, otanjoubi omedetto!"
Tanganmu terulur kepadanya, tetapi pemuda yang kau salami hanya bergeming. Sepertinya ia gagal paham.
"Untuk apa menyalamiku? Aku kan sudah debut," sahut Ai.
Kau membasahi bibir, menyadari perlunya penjelasan lebih rinci soal ulang tahun.
"Ini bukan menyelamati debutmu. Melainkan menyelamati harimu. Hari kemunculanmu di dunia," katamu menyembunyikan tangan di balik punggung. "Mikaze-san mau kado apa?"
Mikaze menggeleng cepat. "Begitu? Tapi aku tak perlu. Sesuatu yang seperti itu sangat menyusahkan saja."
Reiji menggembungkan pipi. "Ai Ai! Setidaknya hargai usaha [Name]-chan, dong!"
Kau tahu, kau tidak perlu merasa tersinggung. Entah PMS melandamu atau Mikaze memang tidak terlalu peka dengan ucapanmu, kau merasa sedih. Merasa belum cukup kompeten sebagai manager. Semua personel juga jauh mandiri tanpamu--- terkadang segala hal yang mereka lakukan sudah selesai lebih dulu sebelum instruksi yang kau berikan.
Namun, hatimu mengalahkan logika. Buliran bening menetes, meluncur pelan di pipi. Kau menyeka kasar.
"Ternyata... begitu, ya?" ucapmu telah bersuara parau. "Nanti jam empat, kalian diundang sebagai tamu siaran radio. Jangan sampai terlambat, ya."
Tanpa menanggapi respons mereka, kau telah menghilang di balik pintu. Kakimu bergerak cepat. Tidak ingin disusul siapapun. Kau benar-benar menginginkan kesendirian untuk saat ini.
Kenapa ia begitu acuh tak acuh ketika kau peduli kepadanya? Tanpa kau sadari, perasaan yang bertolak belakang ternyata terasa begitu menyakitkan.
• • •
Hendak membiarkan Quartet Night ke kantor siaran radio tanpamu, kau pergi menjelajahi kota Tokyo sendirian. Tidak jauh-jauh, tetapi masih sekitaran kantor agensi.
Ibu kota Jepang yang tidak pernah tidur. Selalu dipenuhi kesibukan. Kau ingat, pernah sekali mendapati poster Quartet Night terpajang di dinding stasiun kereta api. Saat itu, kau belum sedekat itu dengan mereka. Segalanya masih terasa jauh. Tidak pernah merasakan kekecewaan emosional dari interaksi barusan.
Kau mengetuk pelan kepalamu. "Yang tadi itu benar-benar bodoh sekali. Kenapa aku cengeng sekali, sih?"
Kakimu mulai optimis menuju kantor siaran radio, tetapi sebuah toko membuatmu antusias untuk didatangi lebih dulu. Menggapai sebuah benda lalu segera bergegas kembali ke kantor agensi.
Kalau pemuda itu tak mengerti, kaulah yang akan membuat ia mengerti.
• • •
Sang sopir mengatakan bahwa estimasi waktu perjalanan dari kantor agensi ke kantor siaran radio memakan waktu satu setengah jam. Kau khawatir, mereka akan selesai lebih dulu. Sebelumnya, kau juga telah mengirimi pesan akan segera menyusul mereka secepatnya.
Radio dalam mobil van berada dalam posisi menyala. Mendendangkan lagu God's Star. Sepertinya saluran yang diputar kini sesuai dengan milik kantor siaran radio yang kau tuju. Kau mendengar dalam diam.
"Selamat sore pendengar setia Piyo 747 fm. Tamu kali ini bisa ditebak kan? Tentu saja tamu kali ini adalah... Quartet Night!" sapa lawan bicara, sang pewawancara. "Dimulai dari perkenalan dulu, ya."
Satu per satu memperkenalkan diri. Jantungmu sempat mencelos ketika mendengar suara berintonasi tinggi itu.
"Mikaze Ai."
Refleks, kau mengepalkan tangan di depan dada. Harus bagaimana sikapmu kepadanya nanti? Berekspresi seperti apa? Bertanya apa? Kau bingung memulainya dari mana.
Sang pewawancara kembali memimpin acara. "Nah... kali ini, kita mendapatkan banyak sekali e-mail dari penggemar. Akan disebutkan beberapa saja yang beruntung, jadi stay tune, ya!"
Terdapat jeda sejenak dengan lagu Kizuna. Sementara itu, kau memandangi panorama dari jendela mobil. Memandangi matahari yang perlahan-lahan mendarat menuju peraduan.
"Nah, akan dibaca dulu surat yang pertama. Dari e-mail fans bernama piyochankawaiidesu. Mikaze-san, ternyata Anda berulang tahun hari ini, ya?"
Mikaze menatap ke arah personel lain yang disahuti dengan anggukan pelan. "Begitulah."
"Dia tidak peka, mohon dimaklumi, ya," sela Reiji.
Kurosaki menyilangkan tangan. "Selamat ulang tahun, ya."
"Rakyat rendahan sepertimu tidak tahu caranya mengucap salam dengan baik, ya?" ujar Camus memprovokasi, mengulurkan tangan kepada Mikaze.
Terdapat perempatan siku-siku mencuat di dahi Kurosaki. "Hah?! Rendahan? Memangnya kau sultan, apa?"
Mikaze masih sama, tetap bergeming seperti yang dilakukannya kepadamu.
"Kau ini, cepat jabat tanganku!" Camus berdecak.
Mikaze menjabat pelan. Sejujurnya, dia masih belum paham. Akan dirimu yang menangis setelah ia berucap masih menyusupi benaknya.
"Wah, tidak hanya soal bermusik. Kalian ternyata sangat akrab," sela pewawancara. "Boleh saya lanjutkan?"
Keempat personel itu mengangguk.
Pewawancara itu bertanya, "Kalau begitu, apa kau menerima semua hadiah dari fans?"
Mikaze menggeleng. "Aku kira tadi Shining baru saja memenangkan award atau piala Oscar, jadi sampai harus diletakkan di ruang training."
Reiji terkekeh kaku. "Dia memang masih asing soal ulang tahun. Dia hanya terharu dan tidak bisa mendeskripsikan perasaannya dengan baik."
Kau yang mendengar dari kejauhan hanya bisa tersenyum tipis. Selama keempat personel itu masih bisa saling berbicara satu sama lain, tidak masalah. Berada dalam mobil untuk merenung mampu menenangkan kepanikan sejenak. Namun, terjebak macet dalam jangka waktu panjang bukan hal baik bagimu.
"Lalu...," pewawancara itu berdeham, "apa kalian punya pesan bagi fans serta orang terkasih?"
Reiji lebih dulu berucap, "Kepada fans yang setia mendukungku, terima kasih. Kami sayang kalian!"
Disusul oleh Kurosaki. "Sama seperti Reiji. Jangan lupa datang ke konser solo kami."
Mikrofon ditujukan kepada Mikaze. Pemuda itu terdiam sepintas. Maniknya menerawang menuju lembaran kertas yang disediakan sebagai memo yang diperlukan.
"Kepada kalian yang mengucap ulang tahun, maaf dan terima kasih. Aku masih tidak cukup memahami pentingnya ulang tahun. Tapi [Name], kalau kau dengar sekarang, aku tahu sekarang mau apa. Segeralah datang ke sini."
Pewawancara itu menyela. "[Name] itu siapa?"
Camus berdeham. "Manager kami. Dia sedikit terlambat hari ini karena ada urusan lain."
Kau yang mendengar dialog itu menekap sebagian wajahmu. Ada sensasi menggelitik di batinmu. Bahagia... juga bingung bahwa Mikaze bisa-bisanya menyinggungmu secara publik.
"Berarti dia orang yang sangat penting, ya? Fans lain bisa-bisa cemburu, loh?" tanya pewawancara.
Mikaze berucap, "Aku tahu dia salah satu fans kami juga. Tapi dia tetap bersikap layaknya manager yang siap mengerjakan kewajibannya."
Kau ingin membenturkan kepala ke jok mobil--- merasa perasaanmu dijungkirbalikkan seratus delapan puluh derajat--- malu.
Melihat sang sopir tersenyum-senyum mendengar dialog itu, kau hanya bisa berucap, "Pak, tolong percepat sedikit, ya."
"Ingin sekali ketemu dengan empat pendekar tampan, ya? Terutama Mas Ai?"
Wajahmu merona. "Bu-Bukan begitu. Aku hanya harus menjalankan peranku sebagai manager."
Di dalam batinmu yang berdebar tak keruan, entah kau ingin berterima kasih atau lebih dulu merutuki pemuda bermanik biru cerah itu.
• • •
Masih ada lima belas menit lagi hingga siaran dinyatakan usai. Kau langsung bergegas masuk ke dalam kantor siaran. Langit pun mulai meredup--- ditandai semburat jingga yang perlahan membenamkan eksistensi. Dari balik pintu kaca itu, kau bisa melihat keempat pemuda itu berbicara kepada pewawancara.
"Hah, nyaris saja," ucapmu menarik napas lega.
Sambil menunggu, kau membuka benda yang barusan dibeli di sebuah toko aksesoris. Yaitu sebuah kamera polaroid. Tentu saja kertas film sudah disisipkan agar dapat langsung dipakai. Mulai saat ini, kau bertekad ingin menciptakan memori bersama mereka. Tak hanya itu, kau ingin Mikaze menjadi sosok yang lebih peka dengan memahami perasaan.
"[Name] sudah di sini rupanya!" seru Reiji melambaikan tangan dari dalam--- mendapatimu duduk di ruang tunggu.
Kau tersenyum simpul. Ternyata siaran berakhir lebih cepat dari dugaanmu.
"Maaf, aku lama datang," ucapmu menundukkan kepala.
"Habis ini ada jadwal lagi?" tanya Kurosaki.
Kau menggeleng. "Sudah kosong untuk hari ini."
Mikaze ikut keluar, menatapmu lekat-lekat. Bibirmu langsung bungkam seribu bahasa, bingung memulai topik lain. Tanpa pikir lebih lanjut, kau mengambil kamera polaroid dari tas.
"Foto bersama," ucapmu tampak malu-malu.
"Wah, kado yang bagus! Aku malah nggak kepikiran!" puji Reiji.
Camus mendengus. "Manager kita punya otak yang cukup cemerlang ketimbang hanyut dalam linangan air mata."
Mikaze memegang kamera darimu. "Foto bersamaku?"
Kau mengangguk pelan. "Agar hari ini akan selalu bisa kau ingat baik-baik. Bahwa hari ini ada fans yang mengingatmu. Bagaimana?"
Refleks, kau menekap mulut. Bagaimana bila Mikaze akan mengatai segalanya tak penting lagi?
Namun, dugaanmu tidak tepat.
"Boleh."
Tepat saat itu, kau merebut kembali kamera polaroidnya. "Kalian barengan berempat. Sini kufoto."
Mikaze berkata, "Kau juga harus."
"Eh?" kejutmu menyadari kamera polaroid tersebut telah direbut Kurosaki.
"Sang manager yang sangat memerhatikan anggota patut mendapatkan perlakuan yang seharusnya dari kami," ujar Kurosaki memanggil staf dengan lambaian singkat.
Kau dan Mikaze bersebelahan. Reiji terletak di sisi kirimu, sedangkan di sisi Mikaze, Kurosaki dan Camus berbaris secara bersebalahan.
"Satu... dua... tiga!"
OMAKE
Foto pun terbidik dengan manis di kamera polaroid. Kau tersenyum bahagia memandangi foto tersebut. Saat perjalanan pulang, kalian masih berdiam-diaman di dalam mobil. Kebanyakan dari mereka tertidur karena lelah. Namun, kau tak menyangka bahwa Mikaze akan menolehmu lebih dulu.
"[Name], terima kasih."
Kau mengernyitkan dahi. "Untuk apa?"
"Mengingatku dan datang ke sini."
Semburat merah menghiasi pipimu. "I-itu hanya kewajiban yang harus kulakukan sebagai manager."
Mikaze berkata, "Meski begitu, kau akan tetap menjadi manager kami, kan?"
Dengan mantap, kau mengangguk mantap. "Tentu saja! Tapi bisa saja manager lain dapat digantikan, bukan?"
Kau bertanya demikian karena takut berharap.
"Dari semua manager, kau cukup yang paling bisa diandalkan. Oleh karena itu, tetaplah bekerja bersama kami."
Sepertinya mulai sekarang, harimu bersama keempat personel, terutama kepada pemuda itu akan jadi lebih menyenangkan. Dengan butiran kenangan yang tercipta dari kejadian-kejadian manis.
• FIN •
A/N:
Mission accomplished~ //senyum bangga.
Dikasih tantangan baru bisa jalan idenya. Makasih banget loh ya, aneki. Kalau jelek, maaf banget TwT
Once again, Happy birthday Mikaze Ai~ ~ ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top