Arise in Our Way - [Hijirikawa Masato x Reader]

Requested by FukuzawaAmanda

Sebuah toko buku cukup ramai diisi sejumlah pengunjung. Baik di antaranya hendak membaca, mengambil setumpuk buku, dan membentuk antrean untuk melakukan transaksi.

Awalnya, pemuda berambut biru laut itu melangkah menuju deretan buku-buku tebal berjudul rumit--- yakni buku sastra klasik Jepang. Namun, ia berkeinginan menghampiri area khusus majalah. Seorang Hijirikawa Masato tahu-tahu mengambil sebuah majalah ber-cover sesosok gadis mungil mengenakan gaun A-Line selutut berwarna pink muda. Sesuai dengan tema pergantian musim semi; yakni saat-saat kelopak sakura merekah dengan indah.

"Ternyata kau juga suka baca beginian, ya?"

Masato langsung berdeham ketika sang penanya--- si teman masa kecil, Jinguji Ren--- ikutan masuk karena terlalu lama menunggu.

Masato meletakkan kembali majalah itu dengan asal. "Nggak. Cuma salah ambil, kok."

Setengah mati, Masato berusaha menghilangkan rona kemerahan di wajah. Kenyataannya, sosok [Full Name] telah menyihirnya dengan segala pesona magis meski bermula dari paras. Hanya saja, Masato butuh waktu untuk menyadarinya.

Arise in Our Way
Pair: Pianist! High Schooler! Hijirikawa Masato x Homeschooler! Model! Reader
Uta no Prince-sama (c) Broccoli, Sentai Filmworks
By agashii-san
.
.
.

Demi reputasi [Name], Masato harus berbohong. Ia kenal betul gadis itu. Teman yang dahulu--- dan kini telah nyaris seumur hidup--- adalah tetangga Masato. Meski rumah mereka bersebelahan, tradisi dan gaya hidup yang dianut jauh berbeda. Masato dibesarkan dari keluarga yang serba kaku dan terorganisir. Jumlah temannya bisa dihitung dengan jari. Bahkan hingga meneruskan pendidikan di sekolah menengah akhir dikhususkan harus berkaum adam. Tak mengherankan, hanya [Name] satu-satunya teman perempuan asal nonakademik yang berani ia ajak berbicara.

Di sisi lain, [Name] dibesarkan dari keluarga yang sangat bebas. Sang ayah biasanya pulang sekali dalam setahun dan ibunya berprofesi reporter harian dari sebuah saluran televisi nasional. [Name] menjadi model berawal dari audisi semasa ciliknya. Meski hingga kini belum mencapai tahap memasuki layar kaca, dalam membincangkan fashion remaja, [Name] termasuk model populer yang kerap disebut di berbagai sosial media alias net model.

"Ma-sa-to-kun!" panggil [Name] melambaikan tangan dari jendela kamarnya.

Masato yang duduk serius sembari membalik halaman karya prosa klasik tersebut menoleh.

"Ada apa?" Ia menarik senyum tipis, meski hanya membentuk cekungan sedikit dari segaris bibirnya.

"Bantuin tugas rumahku, dong?" [Name] menopang dagu. "Aku nggak paham."

Yap, sebagai model yang sibuk dalam menata pembagian waktu, [Name] terpaksa harus homeschooling.

"Kemarikan bukunya," ucap Masato mengulurkan tangan, tetap terfokus dengan bacaan penuh penghayatannya.

Alih-alih seharusnya buku yang hendak ia sambut, justru tangan [Name] yang ia dapati.

"Masato! Tahan tanganku!" sergah [Name] setengah memanjat. Jarak antara jendela kamar mereka cukup rapat, tidak sampai tiga meter.

Masato mengernyitkan dahi. Kursi yang ia duduki pun berputar asal saat ia beranjak menahan beban dari tangan [Name]. Ia berdiri, menahan tubuh [Name]. Akibatnya, mereka berdua sama-sama terjatuh ke lantai dengan bunyi nyaring---dan tentunya tidak sakit karena alas kamarnya--- tatami. Meski Masato gagal menata keseimbangan dengan baik, ia berhasil menahan tubuh [Name] di dekapannya.

Detik pertama, Masato mengerjap bingung. Kedua dari mereka sama-sama berada dalam posisi terbaring secara bersebelahan.

Ketimbang merasa panik, [Name] justru memasang cengiran bersahabat lebih dulu. "Fiuh. Safe!"

'Tidak safe, [Name], tidak.' Masato berbatin.

Tidak perlu waktu lama, pintu kamar Masato terbuka paksa dari luar. Hadir sesosok pria paruh baya mendapati keduanya berada dalam posisi ambigu.  Empat sudut siku-siku muncul di pelipisnya.

"MASATO, [NAME]! A-Apa yang kalian lakukan?!"

• • •

Entah untuk kali kesekian, [Name] telah mengelus lututnya yang terasa nyeri karena dipaksa berlutut oleh kakek Masato.

"Syukur saja Masato kami adalah anak baik-baik! Dasar anak binal!" celoteh Kakek Masato menimpuk pucuk kepala [Name] dengan kipas kertas.

"Huwee! Ojii-san, tadi aku bukan mau berbuat aneh-aneh! Tadi aku cuma mau mampir minta diajarin Masato-kun---" gerutu [Name] sesekali meringis, ditambah memasang cengiran takut-takut.

Sang kakek berkacak pinggang. "Apa gunanya pintu rumah utama kalau masuk dari sana? Saya ragu kamu ini perempuan atau bukan. Kalau Masato sampai terluka, bagaimana?"

Masato mengernyitkan dahi. "Kek, yang penting semuanya baik-baik saja, kan?"

Karena sang kakek sayang kepada Masato, ia berucap, "Haaah. Baiklah. Tetap berlutut lagi sekitar setengah jam lagi. Awas kalau kamu coba-coba kabur dan menyerang Masato lagi."

[Name] mencibir tepat di belakang kakek Masato, tetapi tepat pria paruh baya itu berbalik badan usai beberapa langkah, gadis itu beralih menyunggingkan senyum terpaksa--- antara sebal dan menahan sakit. [Name] bukannya tidak tahu kondisi keluarga Masato yang superkaku. Namun, dia termasuk tipikal yang mengiyakan peraturan-ada-untuk-dilanggar--- bisa dikatakan easy-going.

Ruangan khusus perjamuan minum teh keluarga Masato pun seketika sunyi ketika sang kakek meninggalkan keduanya. Masato langsung mengintip dari sisi celah pintu. Meyakini bahwa lorong tidak lagi didatangi eksistensi siapapun. Ia berbalik badan lalu mengisyaratkan [Name] untuk menunggu.

[Name] hanya bisa mengiyakan. Sesekali ia ingin meluruskan kaki, tetapi seluruh sarafnya terasa kaku dan kesemutan. Tidak butuh waktu lama, Masato membawa sebuah obat oles dengan langkah pelan, nyaris tidak ada suara tapak kaki sedikitpun.

"Luruskan kakimu pelan-pelan," ucap Masato pelan.

"Apa tidak apa-apa? Ini belum setengah jam." [Name] mengernyitkan dahi.

Masato tersenyum tipis. "Tidak apa. Kalau kakek yang tahu, nanti aku siap bertanggung jawab. Sini."

Karena Masato lumayan bisa dipercaya, [Name] dibantu meluruskan kakinya pelan-pelan. Masato membuka obat oles tersebut. Belum apa-apa, [Name] telah menutup rongga hidungnya karena bau menusuk yang menguar dari obat tersebut.

"Obat apaan, sih?" gerutu [Name] bingung.

Jemari Masato dengan pelan mengusap lutut hingga tumit [Name]. "Racikan dari keluarga Hijirikawa. Selain merangkai bunga, kakek suka meracik obat herbal."

[Name] mengangguk paham dan tidak lanjut membantah apapun lagi. Toh, Masato berbuat hal ini demi kebaikannya sebagai teman. Yap, teman yang bertetangga.

"Sebagai model, lain kali kau harus lebih memerhatikan fisikmu. Kalau tadi aku gagal menangkapmu, bagaimana?" tegur Masato menghela napas. "Di luar sana, penggemarmu pasti khawatir kalau kau bertingkah gegabah seperti tadi."

Mendengar ocehan Masato yang lebih ketat ketimbang ayah kandungnya sendiri, [Name] hanya diam sembari mengangguk-angguk. [Name] bisa melihat niat tulus Masato untuk meringankan nyeri di kedua kakinya. Namun, [Name] menyenangkan perhatian sepele seperti itu.

"Aku tahu. Kalau Masato-kun, apa kau khawatir kepadaku juga?" tanya [Name] memeluk lutut yang terasa lebih leluasa.

Gadis itu ingin sedikit jahil, meskipun ia tahu jawabannya.

Samar-samar, pipi Masato merona. "Karena aku temanmu, tentu saja khawatir! Kenapa kau tanyakan hal seperti itu kepadaku?"

Sebuah dugaan yang ternyata benar tersebut disahutinya dengan kekehan ambigu.

"Begitu, ya?" gumam [Name] menyudahi tawa. "Terima kasih, Masato-kun."

• • •

Sejak kejadian itu, [Name] mendapati alunan melodi dari tuts-tuts hitam bercampur putih dari seberang kamarnya. Melodi lembut secara unik dapat membahagiakan sekaligus kadang pula menyayat hati.

[Name] menatap nanar langit biru pekat yang menenangkan. Alunan yang menghangatkan hati. Gadis itu menyukai keduanya.

"Masato... aku akan mengikuti audisi sebagai model. Kalau lolos, aku akan tampil perdana untuk membintangi iklan televisi," ucap [Name] memandangi sepasang kaki telanjangnya yang memijak tatami.

Pemuda berambut biru lurus itu menoleh lalu tersenyum tipis. "Kau pasti bisa lolos."

[Name] mengangguk. "Itu harus. Temani aku beli jimat, ya. Aku takkan mengganggumu belajar, kok! Selain itu... mungkin kita nggak bisa sering ketemu-ketemu kayak gini lagi."

Alis Masato berkerut. Tidak paham maksud gadis itu. Mendengar lirihan [Name] perlahan mencabik-cabik hatinya, meski ia belum tahu sepenuhnya di balik rasa itu.

"Masato... sudah pasti masuk Todai, kan? Kau harus belajar dengan sangaaaat rajin. Kalau tidak, keluargamu akan kecewa," tebak [Name] memilin rambut.

"Jadi habis lulus SMA akan kuliah di mana?" tanya Masato.

[Name] menggeleng. "Nggak di Todai. Kalau lulus audisi, aku akan direkrut agensi. Aku akan pindah dari rumah dan tinggal di asrama agensi. Aku akan fokus karier."

Mendengar perkataan gadis itu, Masato merasa dunia mereka jadi begitu jauh. Seolah masa yang mereka rasakan kini setiap detik jadi begitu berharga. Yang takkan bisa kembali. Masato tahu, [Name] punya masa depan. Kerap kali ia kecewa karena belum menerima tawaran CF (Commercial Film) dan peluang inilah saatnya.

Masato beranjak menuju laci meja belajar. Memberikan dua botol mungil salep buatan keluarganya. Ia memegang pelan pergelangan tangan [Name] lalu meletakkan obat tersebut. [Name] menahan haru, bisa saja menangis kalau di depannya tiada siapapun.

"Audisinya... masih tiga minggu lagi," ucap [Name] dengan susah payah, dengan manik yang masih menggenang.

Masato mengangguk paham. "Cepat atau lambat, kau pasti akan segera membutuhkan ini."

[Name] berterimakasih kepadanya lalu memandangi kalender. Masato yang terorganisir menandai setiap momen-momen penting dengan bolpoin merah. Tak lupa, ia biasa memasang teru teru bozu--- boneka penangkal hujan ketika ada acara penting yang harus dihadirinya. Masato... yang serba teratur, si tetangganya yang paling kaku dari seluruh kenalan [Name].

"Kapan ujian dan tanggal kelulusanmu?" tanya [Name] meraba kalender. "Tandai, aku juga mau pasang di ponselku."

Masato menyusul [Name], membolak-balik halaman kalender lalu menandai tanggal tersebut. [Name] langsung memindahkan informasi itu ke S-Planner.

"Kalau pas ujian aku tidak bisa datang. Namun, aku bisa datang menemuimu pas kelulusan."

Masato mengerjap. "Kau nggak perlu repot-repot kalau nantinya sibuk."

[Name] menggeleng. Seulas senyuman merekah di kedua sudut bibirnya.

"Aku memang mau, tapi ada keinginan juga. Berikan aku kancing kedua dari jasmu dan aku akan memberimu sebuket bunga."

Kancing seragam berwarna keemasan itu umumnya dimintai oleh perempuan kepada laki-laki semasa kelulusan. Sebagai kenang-kenangan, tak luput dari bentuk pernyataan rasa suka. Dan, [Name] baru saja menggencarkan kode. Bisa saja, Masato mulai memahami maksud-maksud petunjuk kecilnya.

"Hm. Tentu. Aku bisa memberikan semua kancingku kepadamu."

[Name] menutup setengah wajahnya sembari terkekeh. "Oh? Kalau begitu, jangan lupa kancing kemejamu juga ya."

Masato menyipitkan mata lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Kau... nggak bermaksud menyuruhku telanjang dada di depan umum, kan?"

[Name] tidak bisa lebih bahagia, mendapati sosok Masato yang begitu nyaman di sisinya.

• • •

OMAKE

• • •

Masato pergi menjelajahi toko buku. Ditemani oleh Ren. Ren lebih tertarik memandangi majalah berkover wanita cantik, sedangkan Masato masih seperti biasa: mencari buku-buku sastra Jepang. Ia juga menyempatkan membeli kuas dan tinta.

"Oi, Masa, kayaknya aku pernah lihat dia, deh," panggil Ren menarik Masato saat memilah kuas yang lembut.

Ren menunjuk layar televisi. Terlihat [Name] yang sedang mengiklankan produk minuman isotonik kemasan. Masih dengan sosok gadis yang ceria.

"Dia yang pernah masuk majalah setengah tahun silam. Dan dia... tadi datang ke gerbang pagi-pagi sekali. Menagih kancingku."

Ren mengerjap bingung. "Wah, kau demam sepertinya. Mentang-mentang hari ini kelulusan, terus kau sangat bersedih hingga seperti ini."

Masato membalik sedikit jas hitam kelulusan, tepat kancing di lubang kedua tidak lagi ada jejaknya di sana. Syukur saja, [Name] tidak memaksanya memberikan seluruh kancing yang melekat di tubuhnya. Yap, mungkin saja gadis itu memang hanya senang menggodanya.

Ponsel Masato berdering, mendapati pesan singkat.

From: [Name]

Sudah lihat iklanku? Aku suka kancingnya!
Oh ya, sampaikan terima kasih kepada kakekmu. Salepnya benar-benar berguna.

Jemari Masato dengan sigap menari-nari di atas layar.

To: [Name]

Tentu. Aku akan segera mengabarinya. Kau ada di mana?

Ren sesekali ingin mengintip, tetapi dilirik sinis oleh Masato. Karena pemuda itu benar-benar serius, Ren pun siap menunggu temannya di depan toko buku.

From: [Name]

Aku sedang dalam perjalanan ke rumahmu. Tapi aku ingin sekali bertemu denganmu! Tapi... Kakekmu nggak akan menyuruhku berlutut agar bisa bertemu denganmu, kan? :(

Masato mengakhiri masa penantian Ren yang telah dalam diam menunggu dengan sebuah pesan balasan.

To: [Name]

Semoga saja tidak. Aku akan segera pulang ke rumah. Aku juga sangat ingin bertemu denganmu. Tunggu di rumah dulu, aku akan membujuk Kakek. Semoga saja dia mau mendengarku.

.
.
.

Omong-omong, kau jadi lebih manis meskipun baru kulihat dari layar kaca. Bukan menggoda, ini sungguhan.

Masato keluar dari toko buku tanpa ada sekantong buku pun di genggamannya. Namun, wajahnya berhiaskan rona merah, yang merupakan pemandangan langka bagi sang sahabat karib.

"Maaf, aku pulang duluan!" Masato bergegas lalu melambaikan tangan. "Aku akan mentraktirmu makanan lain kali."

Ren mengangguk santai lalu turut melambaikan tangan. Ia masih meratapi layar televisi, mendapati [Name] di sana. Masih begitu banyak jalan. Entah lurus atau berbelok dan dipenuhi lika-liku, kehidupan akan terus ada. Hingga sang diri yang memutuskan jalan yang akan ditempuh.

Fin •


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top