Fighting!
_____
[A/N]: Chapter ini dipublikasi ulang karena ada kesalahan saat publikasi pertama. Terima kasih atas perhatiannya. Enjoy reading!
_____
Memejamkan mata dengan dasar dan alasan yang selalu ia bungkam. Sesekali mengeluh? Boleh. Makna dari sebuah ungkapan, "Kesempatan emas hanya datang satu kali," menjadikan stigma klasiknya terhimpit oleh jarak personal dan waktu yang terus berputar.
Ya, benar. Trimester terakhir pada tahun ajaran lalu dan yang baru, perbedaanya terpampang dengan jelas. Rapsodi kaum terpelajar seolah dibisukan kala musim berganti, tentu. Musim panas tak hanya menghantarkan terpaan pada kulit, tetapi mental, pemikian, daya fisik--yang sudah tak diragukan lagi akan terus bertambah korbannya.
"Memangnya kalau sekolah tinggi, kamu mau jadi apa?"
Pertanyaan sederhana yang dapat mengguncangkan tegangan adrenalin. Ah, mulai lagi. Retorik dengan segala kecaman yang menggelitik. Tujuan pendidikan, prestasi, serta karir mulai dipertanyakan. Bulir yang menetes silih waktunya seolah tak cukup menepis sekelumit kerisauan dari cobaan dan titipan yang datang dari sang Kuasa.
_____
.
.
.
'Saat ini Dunia digegerkan oleh wabah Virus Corona atau Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah kebijakan untuk memutus rantai penularan Covid-19. Kebijakan utamanya adalah memprioritaskan kesehatan dan keselamatan rakyat. Bekerja, beribadah dan belajar dari rumah.'
'UNESCO menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 mengancam 577.305.660 pelajar dari pendidikan pra-sekolah dasar hingga menengah atas dan 86.034.287 pelajar dari pendidikan tinggi di seluruh dunia. Seperti kebijakan yang diambil berbagai negara yang terdampak penyakit covid-19, Indonesia meliburkan seluruh aktivitas pendidikan. Hal tersebut membuat pemerintah dan lembaga terkait menghadirkan alternatif proses pendidikan bagi peserta didik dengan belajar mengajar jarak jauh, belajar online atau belajar dari rumah dengan dampingan orang tua.'
.
.
.
_____
Layar elektronik berukuran besar dimatikan. Bukan karena tombol pada remot maupun TV yang ditekan, bukan juga karena kabel listrik yang dicabut atau dimatikan. Tetapi karena sebuah bola futsal yang sengaja ditendang keras ke arahnya. Menyebabkan layar TV mati dan dipastikan tidak bisa dinyalakan kembali. Hancur total.
Tunggu, dimatikan katanya?
Begitulah.
Seorang lelaki paruh baya menatap nyalang pada orang yang memiliki proporsi tubuh serupa, namun, lebih muda darinya. "Kau tidak seharusnya turun ke dalam kerumunan bodoh yang mengatas namakan demokrasi ini."
Sungguh pagi yang indah. Fiat merematkan pegangan pada ujung bajunya setelah meletakkan kembali bola yang sempat ia tendang tadi. "Ayah, aku berjanji, tidak akan turut dalam aksi yang berujung anarkis," ia mengukirkan kurva pada bibir, berusaha untuk menjanjikan kalimatnya pada orang tua, meski ia tahu betul bahwa kekangnya berkedok sandiwara. "Kau tahu ini tidak benar, kan? Jadi, aku-- dan juga teman-temanku, berniat untuk menyampaikan aspirasi. Itu saja--"
"Sama saja." Asap nikotin berhamburan di udara. "Walau kau menjanjikan tujuanmu dengan baik, orang-orang pasti tidak akan selalu satu pemikiran denganmu."
"Aku tahu."
Lalu di detik berikutnya keheningan menyelimuti mereka, sebelum akhirnya lelaki tua itu menghela nafas, menyerah, dan beranjak dari posisinya. "Tidak ada yang tahu bagaimana semua ini akan berakhir. Biarlah musibah berlalu dengan sendirinya," ia menepuk pelan bahu sang putra. Kemudian menghilang dari balik pintu sana.
_____
.
.
.
'Hari ini, Selasa (20/10/2020), sejumlah elemen akan kembali menggelar aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta.'
'Salah satu elemen yang telah mengonfirmasi kehadiran dalam aksi hari ini adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).'
'Pembahasannya yang dianggap cacat prosedur karena tidak transparan hingga pengesahannya, ditambah muatan pasal yang dinilai pro-pengusaha, membuat UU Cipta Kerja jadi bulan-bulanan kaum buruh, mahasiswa, hingga kalangan akademisi dan koalisi sipil.'
'Selama 2 pekan gelombang protes, demonstrasi beberapa kali berakhir bentrok dengan aparat, tanpa mengubah sikap pemerintah maupun dewan.'
'Ratusan orang ditahan oleh polisi dan ada 131 di antaranya dijadikan tersangka. Di luar itu, kekerasan aparat menjadi salah satu sorotan dari beberapa episode aksi demonstrasi tolak UU Cipta Kerja di Jakarta dan berbagai daerah.'
.
.
.
Menghela nafas samar, lelaki itu mengusap wajahnya dengan gusar.
Ah, dirinya terkantuk dalam diam. Kelopak matanya begitu memberat kala ia mengetahui tugasnya akan berakhir dengan cepat.
"Kenapa baru dikerjakan sekarang? Bukannya kau ikut dengan anak FISIP lainnya untuk merayakan tahun baru?"
Wah, kamar kostnya kedatangan adik tingkat bermata bulat nan sayu. Fiat tersenyum dengan riang, "Bukan urusanku."
Yang kemudian dihadiahi pukulan ringan dari sang kawan.
"Kudengar tahun ini mereka melakukan kegiatan itu lagi."
"Itu?"
"Iya, itu." Aun meletakkan kantong plastik berwarna putih di atas meja Fiat, kemudian memperlihatkan isinya. "Lihat, nanas muda ada di mana-mana. Kau mau mencobanya juga?"
"Hey!" Fiat memukul bahu lelaki itu dengan rasa marah sekaligus malu.
"Memangnya kau kira apa?!" yang kemudian dibalas dengan alis yang terajut. Padahal, dalam hatinya ia tertawa menyahut.
Suara riuh bunga api yang mewarnai langit Jakarta membuat dirinya tersadar dan segera memfokuskan pikirannya kembali. Oh, Fiat tak suka dikejar deadline. Jangan salahkan dirinya yang sengaja bermalas-malasan dan menunda pekerjaan. Tetapi salahkanlah para Dosen FISIP--Fakultas Ilmu Sosial dan Politik--yang memberikan tugas penelitian tambahan di hari libur mereka.
"Ini," Aun leluar dari bilik dapur dengan sepiring nanas yang sudah dipotong kecil-kecil. "Aku tahu kau masih kesal dengan kejadian waktu itu. Tapi tolong, jangan melampiaskannya dengan cara lembur seperti ini."
Fiat meraih sepotong buah nanas dari piring. "Oke, oke," kemudian ia memakannya.
"Jadi, kapan kau akan mengirimkan tugas ini?" tanya Aun, bertepatan dengan riuh petasan di luar sana. Tanpa sadar ia menoleh ke arah jendela, menatap langit malam yang kian dipenuhi dengan warna. "Wah, sudah berganti tahun!" pekiknya. Kemudian membalikkan atensi pada Fiat dengan wajah yang sumringah. "Happy new year, bro!"
"Ya, ya, ya. Happy silly new year." Ia mematikan laptop, "Nanti saja, deh."
_____
.
.
.
'Dunia masih menghadapi pandemi virus Corona atau COVID-19 saat tahun baru 2021. Beberapa atau sebagian besar kota dunia memilih merayakan tahun baru dalam suasana sepi, tetapi ada juga kota-kota yang berkerumun menyambut suasana tersebut.'
'Di Indonesia, perayaan tahun baru dilarang oleh pemerintah untuk menekan penyebaran virus Corona. Larangan perayaan Tahun Baru itu berawal dari keputusan pemerintah pusat melalui Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.'
'Pemerintah pusat memutuskan untuk melarang perayaan Tahun Baru 2021. Khususnya, untuk daerah dengan kasus COVID-19 yang tinggi.'
.
.
.
_____
Langit kini tampak sedikit kelabu. Padahal, waktu baru menunjukan pukul setengah sembilan pagi. Fiat termenung dalam diam. Ia berjongkok, memeluk lutut dengan sebelah tangan seraya menyesap rokok di depan gedung fakultas. Kepalanya terlalu berat untuk mendongak, menatap kerumunan rekan organisasinya walau hanya mengucapkan sebuah salam sekejab.
Seminggu sudah berlalu di tahun yang baru. Namun, tetap saja hatinya mengerangkan rasa semu. Sendu. Entah mengapa ia tampak tak bersemangat seperti di hari-hari yang lalu.
"Kau tampak lesu," ucap adik tingkatnya yang datang terlambat. "Sudahlah, kak. Ayo masuk. Hari ini Pak Gun bilang, Badan Eksekutif Mahasiswa harus segera memulai rapat."
Fiat mematikan rokoknya, ia mengekor, memasuki ruang semi-ramai itu dengan bahu tegap penuh wibawa. Namun, otaknya sudah terlalu mati untuk menerapkannya seperti pada kegiatan sehari-hari. Bahkan, Fiat sampai lupa ingin mengajukan aspirasi, dan membiarkan rapat berlalu begitu saja.
Ah, sudahlah.
Ia berjalan menuju parkiran motor, langkahnya gontai. Benaknya bertanya-tanya, apa semua ini akan terus berlanjut, ya? Padahal ia tahu betul bahwa tak akan ada perubahan sedikitpun jika ia terus bersikap putus asa seperti ini.
"Kerisauan yang sia-sia," putusnya.
Fiat menengadahkan kepala. Bertabrakan dengan langit yang kini tengah menyembunyikan surya dibalik derita yang tak perlu lagi ditanya. Nestapa. Lantas ia bergegas mengemudikan motornya menuju rumah kost sebab hujan akan segera melanda.
Sepanjang perjalanan ia terbawa oleh lamunan, ia berharap menemukan keajaiban yang bisa mengubah--tidak, minimal mengulang waktu, agar ia dapat membenahi tatanan dunia juga hidupnya. Berharap seorang peri datang memberikannya sihir, dan kemudian semua orang memiliki kehidupan yang bahagia, sehat, serta sejahtera setelahnya.
Namun, sayangnya itu hanyalah sebuah pemikiran konyol. Jelas-jelas hal seperti itu hanya ada di dunia penuh ilusi, fiksi. Sebab hujan turun menyadarkannya pada realita, membuatnya harus berhenti di pinggir jalan sesaat, mampir untuk berteduh sampai cuaca membaik seperti semula.
Tepat jam makan siang.
Fiat mendekap tasnya dan berlari menuju warung kopi yang tak jauh dari posisinya berada. Ia mengaduh lemah, lantaran kursi panjang di dalam sudah terisi oleh beberapa pengunjung. Memang, tak sepenuhnya terisi, hanya saja... ia gengsi. Akan tetapi jika dirinya terus mematung di depan pintu seperti ini, pasti akan membuat orang lain terganggu, atau mencari tempat lain saja? Ia mendengus, kenapa akhir-akhir ini ia jadi seperti pengecut? Mempermasalahkan hal sepele hingga merasa takut.
Tak ada pilihan lain, ia memilih untuk duduk di kursi panjang depan warung. Dari sini, ia bisa merasakan hembusan angin dan rintik hujan yang kencang, membuat suhu udara semakin dingin. Untung saja ia memakai jaket.
Sambil menunggu hujan mereda, Fiat memesan kopi dan gorengan. Kedua tangannya yang mulai dingin ia atupkan dan digosok-gosok secara cepat hingga menimbulkan rasa hangat.
"Halo, tuan penyendiri!"
Fiat menoleh, pergerakannya lantas terhenti. Seorang gadis dengan setelan jas dokter berlengan pendek menghampirinya. Bajunya basah kuyup, ia mungkin terlihat kedinginan, tetapi senyumnya yang lebar justru memancarkan kehangatan.
"Om, kopinya buat satu lagi, ya!" Fiat berseru seraya menongolkan kepala dari balik pintu. Kemudian kembali menoleh kepada sang gadis. "Puim, kenapa masih berdiri di situ? Sini, sini," ujarnya seraya menggeser duduk lalu menepuk sisi sebelahnya yang kosong.
Gadis itu menurut, ia mendudukan diri kemudian bersua, "Padahal tadi itu tidak hujan, lho."
Fiat mengerling. Lelaki itu memilih acuh dan masuk ke dalam warung, kemudian kembali lagi dengan nampan berisi pesanannya.
"Kopi hitam dengan gorengan, tidak mau beli mie instan?" Puimek berucap dengan sedikit keraguan.
"Kau tidak suka?" Fiat yang hendak memakan gorengannya lantas terurung sejenak. Namun, hening yang ia dapat. "Yasudah, biar aku--"
"Tidak, tidak," gadis itu menyela. Ia tersenyum samar. "Hanya saja, itu tidak tampak seperti Fiat yang kukenal."
"Terserah."
Puimek terkekeh ringan, dan Fiat memilih untuk mengabaikan.
Tangan lelaki itu kembali mendekatkan ubi goreng yang masih panas, meniupnya perlahan-lahan, kemudian membawa satu gigitan untuk dikunyah dan ditelan melalui tenggorokan. Begitu pun seterusnya.
Ah, rasanya damai sekali, pikirnya yang juga disetujui oleh sang hawa. Terbukti kala Fiat menoleh gadis itu tengah asik menyesap kopinya seraya bersenandung ria. Dan entah kebetulan, hujan beserta angin yang tadinya lumayan kencang, kini perlahan mulai mereda.
"Bagaimana bisa kau ada di sini? Bukannya sekarang masih libur, ya? Program magang ditunda sampai keadaan mulai membaik, 'kan?" Fiat membuka percakapan. Rasa segannya biarlah mengalah untuk beberapa saat. Sebab saat ini kepalanya dipenuhi dengan tanya tentang bagaimana gadis yang dulu pernah ia puja, berada tepat di sisinya.
Puimek, mengangguk riang. "Iya, libur. Tapi tidak betul-betul libur yang membuatku menganggur. Kemudian melepaskan diri dari lelahnya tanggung jawab juga cita-cita. Karena itu, aku memutuskan untuk membantu istri pamanku bekerja di klinik hewannya. Lihat, di sana," gadis yang memiliki selisih usia satu tahun lebih muda dari Fiat itu menunjuk sebuah bangunan berwarna putih yang letaknya tak begitu jauh dari seberang. "Di sana aku membantu bibiku. Dan tepat saat istirahat jam makan siang, aku melihatmu di sini. Jadi, aku memutuskan menerjang hujan untuk menghampiri."
Fiat membulatkan mulutnya begitu saja, tanpa ada niat untuk membalas.
"Kudengar, hari ini kalian ada rapat pertemuan, ya?" tanya Puimek yang kemudian dibalas dengan sebuah anggukan. "Wah, aktif sekali organisasinya. Tapi, entah perasaanku saja atau memang betul sejak bulan November lalu kau tidak pernah lagi membawa mobil, sampai-sampai menerjang hujan dan mampir di warkop seperti ini. Memangnya mobilmu ke mana?"
Lelaki itu mengernyit samar. Tampak ia tak suka dengan apa yang dituturkan si gadis.
"Ah, aku terlalu banyak bicara, ya? Maaf."
"Tak apa. Aku bertengkar dengan ayahku saat ia mengetahui aku akan turut serta dalam aksi demo," keluhnya tak terduga. "Saat itu, aku baru saja pulang dari pertanding futsal, ia sudah ada di sana, di apartementku. Kemudian menyampaikan pendapatnya--yang entah bagaimana ia bisa tahu--tentangku yang akan turun ke jalan bersama teman-teman. Mengatakan ini, itu, dan sejenisnya, hingga aku merasa muak. Dan refleks menjatuhkan bola yang saat itu kupegang, menendangnya dengan kuat dan asal-asalan hingga tanpa sadar mengenai TV hingga hancur total."
"Kau gila?!"
"Iya, iya, aku gila. Aku gila karena terlalu mendewakan ideologiku, terlalu memusatkan pikiranku pada pemerintahan, yang tanpa sadar aku pun turut melakukan hal yang sama. Sama-sama mengingkari janji. Bedanya para dewan itu ingkar kepada massa, sedangkan aku ingkar kepada orang tua. Aku mengingkari janji untuk tidak menciptakan kontra di jalan. Hingga ada beberapa adik tingkat kita yang menghilang."
Angin berhebus menerpa kulit wajahnya yang kering. Tampak nyata. Ya, lagipula Fiat tak pernah berbohong padanya. "Itu, bukan salahmu'kan..."
"Kau benar," putusnya.
Insan jelita mungkin tak tahu apa yang terjadi. Namun, baginya yang berstatus seorang teman, ia ingin menjukan bahwa dirinya peduli. "Hey, kenapa kau jadi mudah sekali menyerah? Ini'kan perkara yang sederhana, tinggal meminta maaf. Itu saja. Aku yakin ayahmu juga pasti mengerti."
"Minta maaf, ya?" Fiat bergumam. "Aku tahu itu memang mudah untuk diucapkan-- tapi bukan berarti itu sulit untuk kulakukan, ya. Hanya saja, apa setelah aku kembali seperti dulu, semua akan tampak baik-baik saja?"
Puimek memiringkan kepala, alisnya terajut, tanda ia tertarik ingin mendengarkan lebih lanjut. "Maksudmu?"
"Entahlah," Fiat menghela nafas panjang, kepalanya mendongak ke atas, menerawang dengan lekat rintik yang berjatuhan dari langit. "Ini terus menghantui pikiranku. Perasaanku selalu tidak enak, setiap kali memikirkannya aku mendadak stagnan, menjadi takut."
"Tentang apa?"
"Kejadian. Kira-kira apa, ya? Yang akan menimpa kita di tahun 2021 ini?"
"Jangan berbicara seperti itu!" Puimek menepis dengan cepat. "Ayo, berpikirlah dengan jernih. Kebaikan akan selalu datang jika kita tidak terus berpikir negatif. Ucapanmu bisa saja menjadi doa, bodoh!"
Alih-alih tersadar akan sisi primitifnya, Fiat justru menoleh, melemparkan kekehan dengan singkat. "Kau... mengerti apa yang kumaksud?"
"Ya, tentu bukan hanya kau yang takut dengan ini. Apa menurutmu ini tidak aneh? Tahun lalu, saudara-saudari kita yang berada di kota Palu dan sekitarnya ditimpa musibah berupa bencana alam. Tempat-tempat lain juga, itu membuat heboh hingga ke manca negara. Lalu, setelah semuanya mereda, datang sebuah penyakit yang melumpuhkan hampir sebagian negara, termasuk kita, Indonesia. Semuanya jadi kacau dan berantakan. Belum lagi kontra antara rakyat dan pemetintah," gadis itu tertawa sumbang. "Padahal'kan, hal seperti ini dapat kita jumpai dengan mudah sehari-harinya. Tapi, entah mengapa jadi kacau seperti ini--itu'kan yang selama ini kau khawatirkan?"
"Iya, benar," Fiat mencicit.
"Tuhan punya rencana dari balik ini semua. Mari kita petik hikmahnya. Sabar, dan tetap terus melangkah ke depan. Jangan terlalu memikirkan masalah apa yang nanti akan menghadang, apa lagi berpikir 'semua ini akan sia-sia' lalu kemudian menjadi orang emosional yang mudah putus asa. Jangan, jangan begitu. Tetap fokus, kita adalah pelajar yang akan mewakili dan memperbaiki ini untuk generasi selanjutnya. Jangan tumbang dengan mudah hanya karena kau takut dengan apa yang akan terjadi nantinya."
"Ya, ya, aku tahu," selanya. "Kau benar, mungkin akhir-akhir ini aku menjadi lebih penakut hingga tanpa sadar bersikap seperti pengecut. Ya, memang. Maaf saja jika aku bersikap seperti ini, nyatanya aku benar-benar takut dan khawatir. Takut mengenai 'tentang bagaimana ini akan berakhir'. Masa krisis seperti ini, masa yang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya ini, pasti akan berubah, entah cepat maupun lambat, entah semakin baik atau--semoga saja tidak terjadi--buruk. Andai saja, andai saja semua orang bisa diajak bekerja sama, satu pemikiran, pasti tidak akan ada lagi kontra yang semakin memperparah keadaan negara, atau bahkan dunia. Hanya saja, sayang sekali itu hanya sebuah gambaran semata."
Keduanya saling diam sejenak, mencoba menarik kesimpulan dari apa yang telah mereka diskusikan.
Ah, keduanya saling sibuk dengan pembicaraan, sampai tak sadar bahwa hujan teĺah berhenti, matahari pun tak terhalangi awan lagi. Para pelanggan yang di dalam berangsur keluar satu-persatu. Menyisakan kedua insan yang terikat oleh perasaan malu dan ragu.
Untuk memulai pembicaraan lagi tentunya.
"Kalau semua konflik yang ada di dunia musnah, kira-kira apa yang terjadi, ya?" Fiat menggumamkannya dengan nada rendah, akan tetapi masih dapat didengar oleh orang sebelah.
"Ya... semua orang akan mati. Cepat atau lambat, semuanya akan berlalu pergi, menuju kehidupan baru sebab dunia tidaklah abadi."
Fiat mendecakkan lidahnya, "Melankolis."
"Terserah," Puimek membalasnya dengan memutarkan bola mata, malas. Yang mengundang cekikikan bagi keduanya. "Tapi itu nyata, lho. Kita hidup di dunia dengan tektek bengek yang tak berarti, sebab tujuan terbesar dan akhir yang kita miliki adalah kematian. Semua orang akan mengalaminya. Karena itu, persiapkanlah hal yang terbaik dari selagi kau masih hidup."
"Ya, baiklah," Fiat mangangguk perlahan. "Kau, apa kau percaya dengan kehidupan pasca kematian?"
"Aku menyebutnya Surga. Tempat di mana orang-orang baik berkumpul di sana." Gadis itu bangkit dari duduknya, kemudian merogoh saku bajunya untuk mengambil beberapa lembar uang.
"Hey, tidak usah, biar aku saja," Fiat menahan lengan gadis itu, namun lisannya mendadak kelu, kala melihat sejumput kurva tipis muncul di bibir ranum sang gadis.
"Tidak apa-apa. Simpan uangmu untuk membeli bensin, aku tahu kau sedang miskin," ucapnya yang diakhiri dengan kekehan.
Fiat menyentuh dadanya dengan dramatis. Kemudian terdengar kalimat, "Wow, you hurting my heart," yang lantas membuat tawa keduanya saling pecah, menggema di udara.
"Kau tampak lebih ceria," Puimek kembali bersua sebelum mereka berpisah.
"Ya, terima kasih telah menerjang hujan, kau sangat baik," Fiat tersenyum. "Berkatmu, aku merasa lebih lega. Jadi, bisakah nanti kita bertemu di Surga."
Gadis itu melirik jam tangannya, masih menyunggingkan senyum. "Ya, ya, ya, sampai bertemu di Surga," ia menoleh, menatap wajah Fiat dengan lekat. "Aku tahu kita pasti bisa melakukan yang terbaik." Puimek mengepalkan tangannya ke atas, kemudian ditarik kebawah seraya berucap, "Fighting!"
Lelaki itu lantas melakukan hal yang serupa sebelum keduanya kembali pada tujuannya masing-masing. "Ya, fighting!"
.
.
.
_____
'Kekhawatiran seseorang akan berakhir dengan cepat jika ia bercerita dengan orang yang tepat.'
— Nurhasan S.Sos.I
_____
.
.
.
Fin.
Omake:
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top