- Empat: Hati dan Ingatan yang Kembali -

Tenn tertegun, lalu terkekeh kaku. "Cemburu? Kenapa aku harus merasa demikian?"

Gadis itu mendadak merasa bingung. Namun, ia tidak ingin mati kutu tanpa menarik kesimpulan. "Karena kau tak suka melihatku bersama Rokuya-san."

"Bukan begitu. Aku tidak suka sikap Rokuya-san yang begitu mudah menggoda orang lain."

Alis [Name] terangkat satu. Segala interaksi yang terjadi di antara ia, Tenn, dan Nagi hari ini menjadi sebuah seuntai kalimat yang bisa ditangkapnya. Walaupun ia agak enggan mengakui pemikiran tersebut, tetapi pemuda itu berhak tahu.

"Jadi 'orang lain' itu maksudnya aku? Baik, aku mengerti sekarang."

Tenn mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"

[Name] mengusap dagu. "Kau menyukai Rokuya-san! Perasaan terlarang yang terlibat di antara dua insan sesama jenis. Sulit untuk bisa diakui banyak pihak, tetapi aku tidak akan melarang kalian."

Kesimpulan konyol yang disampaikan gadis itu sukses menggelengkan kepala Tenn berkali-kali. Karena tidak ingin ketahuan mengira perasaan cemburu, Tenn mengulur alasan dan dianggap gay. [Name] kini malah memberinya tatapan sedih - lebih mengarah tatapan prihatin. Dan Tenn malas untuk mengulur kesimpulan yang telah dibuat sepintas tanpa dasar yang pasti.

"Aku tidak akan menjadi penghalang di antara kalian. Tenang saja," ujar [Name] mempercepat langkah saat bus sebentar lagi tiba di pemberhentian.

Tenn menghela napas saat menyadari [Name] mulai memasang wajah cemberut terhadapnya. "Terserah pemikiranmu saja. Jadi masih ingin tidak ke rumah Riku?"

[Name] menoleh, memberi tatapan sinis. "Itu beda cerita. Apa aku berhak menolak?"

Tenn mengangkat bahu. "Kurasa kau memang tidak punya pilihan lain."

—————————————————

Lost and Found

Empat: Hati dan Ingatan yang Kembali

—————————————————

"Tenn-nii!" Riku tampak terkejut karena kakak kembarnya itu datang lagi, tetapi tidak sendirian. Suatu keberuntungan hakiki karena tanpa bujukan sekali pun, ia menyempatkan waktu untuk mendatangi rumah asal. [Name] melambaikan tangan dan memberi senyuman ramah saat Riku membuka pintu.

"Kau mengundang kami makan bersama lagi, 'kan?" tanya Tenn yang sebenarnya datang tanpa mengadakan janji sama sekali.

Riku terdiam sejenak, tetapi menyetujui pertanyaan dengan anggukan. "Senang sekali karena Tenn-nii masih meluangkan waktu. Apa itu karena pengaruh [Name]-chan datang sejak natal itu?"

Tenn langsung memandang [Name] dari atas hingga bawah - bagai mengobservasi objek. Ditatap demikian, [Name] merasa risi langsung membuang muka. Ia masih jengkel dengan Tenn.

"Jangan melihatku seperti itu."

"Bukan karena dia," elak Tenn ikut membuang muka, "dan omong-omong, ternyata di kepalamu ada ketombe."

[Name] menganga syok, lalu mengusap puncak kepalanya. Padahal ia baru mencuci rambutnya tadi pagi sebelum bekerja. "Haaah?! Ini butiran salju, bukan ketombe! Dasar!"

Riku melempar cengiran kaku. "Jangan bertengkar. Ayo masuk dulu."

Tidak seperti perayaan natal waktu itu, ayah mereka sedang tidak berada di rumah karena sedang bertugas ke luar kota. Namun, ibu kandung saudara kembar itu tetap berada di sana. Menjadi bagian hati keluarga dan menyapa hangat Tenn seakan baru saja pulang dari perjalanan panjang. Padahal Tenn telah lama terlepas bagian dari marga Nanase dalam dokumen negara. Namun, ikatan darah mereka tidak bisa dielakkan demikian.

"Bagaiamana pekerjaanmu?" tanya sang ibu menambah semangkuk nasi.

Tenn mencicipi kuah sup miso. Perutnya terasa hangat, begitu pula dengan hatinya.

"Tetap banyak seperti biasa, tetapi selalu bisa dibereskan."

"Jika tidak bekerja, apa yang kaulakukan?"

Masih tidak ingin menyerah untuk menjadi bagian keluarga, ibu Riku tetap ingin tahu seluk-beluk kehidupan Tenn tanpa mereka. Meski demikian, Tenn tidak tampak keberatan saat ditanya demikian. Ia memaklumi ibunya amat merindukan dirinya. Demi menyelamatkan kehidupan finansial keluarga, ia rela diadopsi Kujo karena kemampuan intelektualnya di atas rata-rata hingga berhasil menyelamatkan nasib perusahaan retail yang kini masih berjaya. Sang ayah menjadi pihak yang paling terpukul dan ibunya hanya bisa menangis saat ia sepenuhnya harus dicoret dari bagian keluarga Nanase.

"Membaca buku nonfiksi, tidur, makan, dan terkadang masih mengerjakan pekerjaan kantor di apartemen jika deadline-nya sangat dekat."

[Name] menopang dagu. "Aktivitasmu membosankan sekali. Apa kau tidak pernah liburan bersama rekan kerja? Ke taman hiburan atau melihat parade, begitu?"

"Urusi saja hidupmu. Soal aku pergi atau tidak ke tempat seperti itu bukan urusanmu," semprot Tenn melempar tatapan sinis.

"Padahal ke sana amat menyenangkan. Bisa naik komidi putar, bianglala, dan masih banyak lagi. Dalam setahun, aku bisa pergi ke sana sampai lima kali," kata [Name], tidak peduli dengan semprotan Tenn barusan.

"Bagaimana jika kita pergi ke sana saat akhir pekan depan?" ajak Riku dengan tatapan antusias. "Okaa-san juga boleh ikut kalau mau!"

Ibu Riku menggeleng. "Tidak perlu. Nikmati saja waktu kalian. Toh, ibu tidak ingin meninggalkan ayah sendirian."

"Aku ikut!" ujar [Name] langsung setuju.

"Tenn-nii bagaimana?" tanya Riku menatap lekat-lekat kakak kembarnya. "Ayo ikutan!"

"Apa aku harus benar-benar ke sana?" tanya Tenn tidak yakin dengan ajakan adik kandungnya yang kelewat bersemangat. "Cuaca masih dingin. Lebih nyaman bersemayam di balik selimut tebal dengan penghangat suhu maksimal."

"Sekali saja," pinta Riku mulai merasakan matanya berkaca-kaca.

Memejamkan mata sejenak, Tenn pun menjawab, "Baiklah, tapi kalau aku tidak nyaman saat berada di sana, maka aku akan segera pulang."

"Tidak akan terjadi. Berarti kita pergi bertiga. Call!" ujar [Name] bersepakat.

Tidak berkutik, Tenn hanya bisa menerima kemauan adik kembar dan gadis itu. Ibu mereka pun tampak riang karena kesepakatan tersebut. [Name] mulai mencari tahu lokasi taman hiburan yang sering didatanginya melalui ponsel pintarnya. Kedua sudut bibir gadis itu tertarik; menahan tawa.

"Riku-kun, lihat gambar ini dan coba bayangkan Tenn dengan itu!"

Riku melihat objek bando yang dilengkapi miniatur tanduk rusa di sisi kanan dan kiri, lalu melihat Tenn. Kakaknya akan tampak imut jika mengenakan bando tersebut ditambah kostum santa yang ditunjukkan oleh tampilan layar berikut. Karena ia berusaha membayangkan, ternyata ia tertawa hingga menangis. Sang kakak seketika mengernyitkan dahi. Menyadari bahwa ia sedang menjadi bahan gunjingan dua orang di depannya.

"Oi. Jangan membicarakan tentangku secara terselubung begitu. Berikan ponselmu," kata Tenn mengulurkan tangan.

[Name] menjulurkan lidah. "Tidak mau. Ini rahasia antara aku dan Riku-kun!"

Tenn berdecak singkat. "Berikan selagi aku masih berbaik hati."

"Ti-dak ma-u. Lupakan saja dan anggap saja kau tidak mendengar pembicaraan kami."

Wanita paruh baya itu menaruh tiga gelas teh hijau hangat di atas meja. "Sepertinya karena kehadiran [Name], suasana rumah menjadi lebih hidup."

[Name] menganga lebar. "Karenaku? Aku merasa tidak berbuat apa-apa."

"Kau berbuat banyak, menurutku," sahut Riku menyadari gadis itu sudah berada di punggungnya. "Tapi lebih baik kau mengalah. Tenn-nii tampak buas ... sepertinya."

Kebetulan, posisi [Name] lebih dekat dengan pintu utama kediaman Nanase. Sampai kucing sanggup bertelur sekali pun, Tenn yang menjadi atasan dan pahlawan idamannya tidak boleh mengetahui hal itu. Ia tidak mau diomel dan menerima sumpah serapah berkepanjangan. Walaupun terasa menyenangkan karena bisa menjaili pemuda itu.

"Aku pamit dulu, ya! Terima kasih atas makan malamnya!" sergah [Name] berhasil keluar lebih dulu karena Riku menopang raganya di depan.

Keluar lebih cepat tidak menjamin jika dirinya tidak akan terkejar. Tepat di belakang, Tenn benar-benar menyusulnya. Salju semakin lebat mendarat dan langkahnya semakin berat untuk berpijak lebih cepat. [Name] memeluk erat-erat ponselnya.

"Berikan!" pinta Tenn hanya berjarak satu meter darinya.

"Itu hanya sesuatu yang ... sepele! Kenapa kau ngotot begitu, sih!" keluh [Name] mengerucutkan bibir.

Situasi kejar-kejaran pun sepertinya harus berakhir dengan sebuah kemenangan dan kekalahan. Ponsel [Name] berdering saat itu. Subjek pemanggil ponselnya ternyata sang teman sekamar, Tsumugi. [Name] tidak ingin membiarkan temannya khawatir karena kini hari bisa dikatakan larut.

"Moshi-mo-"

Jantung [Name] seakan melorot ke tanah. Ia mengira jika ia terpaksa menerima panggilan, maka Tenn akan mengalah dan berada di belakangnya. Namun, Tenn tidak demikian. Pemuda itu menahan raga [Name] agar tidak berpindah dari belakang; memegang kedua lengannya. Tertegun, gadis itu berakhir cegukan karena serangan dadakan barusan.

"Selesaikan panggilanmu dan bersiaplah kuomeli nanti." Tenn berbisik di telinga kiri [Name]. Perlakuan tersebut menyebabkannya tidak sanggup menangkap sebaris kalimat yang diucapkan Tsumugi. Segala pemikirannya menjadi kosong, sebersih lembaran kertas baru. Alhasil, [Name] hanya menjawab "iya" dan mengakhiri panggilan.

"Serahkan fotonya," tagih Tenn masih dengan posisi yang sama; tak segan masih memeluk [Name] dari belakang.

[Name] memberi cengiran kaku. "Apakah itu benar-benar suatu keharusan?"

Pemuda itu menyipitkan manik. "Jangan bertele-tele. Cepat."

Tidak punya pilihan, [Name] seratus persen kalah. Pemuda itu akhirnya mengetahui topik yang sempat dijadikan kedua insan kenalannya sebagai bahan tertawaan. Melihat kostum mencolok itu membuatnya terdiam sejenak.

"Aku akan pakai kostum itu jika kalian mau."

[Name] mengerjap bingung. "H-hah? Yang benar?"

"Dalam mimpi. Aku tidak seaneh itu menuruti kemauan kalian."

Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Pemikiran Tenn benar-benar tidak bisa ditebak. "Berbuat hal aneh sesekali tidak akan menghancurkan dunia, kok. Kau akan menikmati masa bermain bersama kami. Percayalah."

Alih-alih langsung disetujui, Tenn mengacak rambut [Name]. "Kalau begitu, yakinkan aku bahwa hari itu akan berakhir menyenangkan."

Gadis itu memberenggut karena menyadari helaian rambutnya bisa saja berakhir kusut. Sebelum kembali mengomeli Tenn, bus datang menjemput di terminal seperti biasa. Ia membiarkan Tenn masuk lebih dulu, tetapi masih banyak kursi kosong. Alhasil, mereka duduk berseberangan.

"Tapi kau benar-benar gay, ya?" tanya [Name] ingin memastikan sekali lagi topik sebelumnya. "Apa aku harus ajak Rokuya-san juga?"

Terdengar, Tenn melempar tatapan setajam silet.

"Masih saja menduga begitu. Terserah pemikiranmu saja."

***

Kata terserah benar-benar menjadi kenyataan. Nagi, manajer pemasaran yang terkenal bermulut manis bergabung dengan [Name], Riku, dan Tenn. Ia tampak girang saat melihat suasana ramai pengunjung taman hiburan.

"Terima kasih sudah mengajakku! Kebetulan taman hiburan ini memiliki toko spesial barang bertema Magical Cocona!"

[Name] terkekeh. "Santai saja. Semakin ramai, semakin seru."

Riku mengangguk. "Benar sekali. Bagaimana jika kita coba permainan yang itu?"

Sebuah arena berisi enam sampai tujuh cangkir raksasa melingkar manis dengan kecepatan standar. Sejumlah pengunjung juga mengantre untuk menikmati permainan tersebut. Tiada penolakan, mereka berempat tertarik menunggu.

"Kita pisah jadi dua cangkir saja, bagaimana?" ajak Riku menunjuk cangkir raksasa dari kejauhan. "Kalau berempat sepertinya terlalu sempit."

"Kalau begitu, watashi secangkir bersama [Name] desu!" ujar Nagi tampak paling bersemangat.

Tenn menautkan alisnya, lalu menarik pergelangan tangan Nagi. "Tidak. Kau akan secangkir bersamaku."

[Name] melihat Riku yang tampak bingung karena perdebatan Tenn dan Nagi. Mau di kantor atau taman hiburan, tetap saja mereka akan terus berselisih. Gadis itu mengembuskan napas kasar, lalu menepuk bahu Riku. Sedih sekali jika adik kandungnya menginginkan kualitas waktu yang menyenangkan harus berlalu karena perselisihan tidak penting.

"Riku-kun, secangkirlah bersama Tenn. Aku akan bersama Nagi."

Pemuda berambut merah itu menganga kaget. "T-tapi Tenn ingin naik bersama Nagi."

"Tenn! Hentikan debatmu dengan Nagi. Kau naik cangkir bersama Riku-kun saja!"

Tenn menatap [Name] lekat-lekat. Ia menyadari adik kandungnya juga berada di sana. Memenangkan perdebatan dengan Nagi juga tidak akan membuat suasana membaik setelah permainan berlalu. Alhasil, Tenn memutuskan mengantre bersama Riku, berbaris di depan [Name] dan Nagi.

"Tenn-nii, apa tidak masalah?" Riku menatap kakak kembarnya takut-takut.

"Tidak masalah." Tenn memalingkan wajahnya.

Riku menarik lengan baju Tenn seraya berbisik, "Aku tahu Tenn-nii menyukainya. Ceritakan kepadaku saat sudah tiba di cangkir , ya!"

Pipi Tenn merona lalu menjauh beberapa langkah. "Bukan begitu."

[Name] mengernyitkan dahi. "Ada apa?"

Tenn berdeham dan tetap berusaha menjaga ekspresinya senormal mungkin. Ia pun perlahan larut dalam pemikirannya. Apa benar ia melirik gadis itu dalam artian lain? Bukan sekadar mencari tahu masa lalu yang dilupakannya? Tenn beralih memegang perut. Mengingat segaris luka yang takkan pernah pudar seumur hidupnya. Berputar seperti kaset, segala memori berputar dengan singkat. Sakit yang dirasakan, eksistensi gadis yang samar-samar, dan salju yang menusuk tulang.

"[Name]!" seru Tenn berbalik badan saat tiba gilirannya bersama Riku. "Saat cangkir ini berhenti berputar, kita harus bicara."

Nagi mengerucutkan bibir, melihat tingkat atasannya yang ekstentrik. "Kujo-san bicara apa, sih? Kenapa nada bicaranya terburu-buru sekali?"

Tidak ada jawaban, gadis itu hanya meresapi kalimat Tenn barusan.

Dalam diam, ketakutan menghampirinya.

- To be continued -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top