୨⎯Something Different⎯୧

This is different .... ❞

── • 💌 • ───────

Bungou stray dogs © Asagiri & Harukawa

Story © Shaniasukamto

OOC Event © Halu_Project

Note! Budayakan baca sampai akhir uwu(⁠⁠•̀⁠⁠-⁠)⁠

─────── • 💌 • ──

Brak!

Pintu dibuka secara paksa. Menimbulkan suara kencang akibat daun pintu yang menabrak dinding dengan keras.

Sang pelaku tak mempedulikan hal tersebut. Mata dan pikirannya hanya terpaku pada apa yang ada di balik pintu rumahnya. Sebuah pemandangan yang tak pernah ia bayangkan dalam hidupnya, bahkan dalam mimpinya sekalipun.

Bercak merah gelap memenuhi dinding dan barang-barang yang ada di rumahnya, membuatnya lupa dengan warna asli mereka.

Bau anyir yang mengerikan menyeruak masuk ke inderanya. Membuat perutnya terasa mual hingga ingin mengeluarkan semua isi yang ada di dalamnya.

Matanya bergetar hebat atas pemandangan yang begitu mengerikan. Tubuhnya membeku hingga sulit digerakkan. Jantungnya terpacu begitu hebat hingga orang lain mungkin dapat mendengarnya.

"Kenapa ...!"

Lidahnya begitu kelu hingga tak bisa menyelesaikan sebuah pertanyaan yang sederhana. Kedua bibirnya bergetar tiada henti membuat sang pemilik mengigit bibirnya hingga berdarah.

Mata emas itu bergulir, mencari sosok lain di antara warna merah yang mengerikan. Dia terus berbisik pada dirinya sendiri. Membisikan kata-kata penenang palsu untuk menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang mulai menghantui dirinya sendiri.

"Tidak ... tidak ... tidak ada yang perlu dikhawatirkan ... tidak ada ... Kakak pasti selamat ... Kakak pasti akan baik-baik saja ... Kakak itu kuat ... pasti ...."

Tanpa sadar bulir bening telah memburamkan pandangannya sebelum mengalir jatuh ke pipi lalu dagunya hingga berakhir di tanah.

Mata emasnya bergerak menelusuri setiap sudut rumah tanpa melewatkan satu centi yang berharga. Kedua kakinya yang kaku mulai ia paksakan bergerak. Masuk lebih dalam agar bisa lebih cepat menemukan dimana sosok yang ia cari, yaitu Kakaknya.

Ia, ia tak bisa membayangkan hidup jika terjadi sesuatu pada Kakaknya. Anggap saja jika ia terlalu bergantung pada Kakaknya, tapi Kakaknya adalah hal yang terpenting dalam hidupnya.

Kakaknya merupakan sosok yang paling berpengaruh di hidupnya; sosok yang selalu menjadi panutannya; sosoknya terlihat begitu dingin, berbeda dengan sentuhannya yang begitu hangat di kulitnya.

Sejak kecil ia selalu bersama Kakaknya. Tak pernah sekalipun ia memisahkan diri darinya, kecuali Kakaknya menginginkan. Ia tidak apa-apa berpisah sementara dengan Kakaknya.

Tapi selamanya? Tidak tidak tidak tidak tidak! Itu tidak mungkin! Dia hanya akan menjadi gila karena perasaan kehilangan, kesepian dan kerinduan yang menyiksa jika itu terjadi.

Karena itu ia hanya bisa berbisik pada dirinya jika Kakaknya akan baik-baik saja. Kakaknya lebih kuat darinya. Pasti.

Tapi, apa itu mungkin ...?

Kembali ditepisnya pikiran negatif itu dan fokus mencari dimana keberadaan Kakaknya.

Kian ia masuk lebih dalam, semakin berat kakinya untuk digerakkan; semakin cemas pula hatinya untuk melihat apa yang akan dia temukan.

Matanya bisa melihat ada banyak goresan benda tajam di dinding dan hancurnya beberapa barang, tanda adanya sebuah pertukaran antara benda tajam sebelumnya di sini. Ada begitu banyak barang-barang yang hancur tak berbentuk berserakan di lantai.

Kurangnya pencahayaan di rumahnya, membuatnya kesulitan menemukan sosok lain di sini. Setidaknya mayat orang yang berani datang kemari.

Giginya bergemelatuk. Amarah mulai mengisi hatinya. "Akan aku bunuh mereka jika terjadi sesuatu pada Kakak."

Dia mulai menendang semua yang menghalangi jalannya. Memaksakan kakinya untuk segera berlari mencari Kakaknya di penjuru rumah.

Ruang tamu. Kamar utama. Kamar tamu. Dapur. Ruang makan.

Dia sudah berkeliling lantai satu rumahnya, tapi tak kunjung menemukan sang Kakak. Yang ia temukan hanyalah beberapa mayat yang tidak ia kenal.

'Lantai dua.'

Tempat yang belum ia telusuri. Tempat yang kini menjadi satu-satunya harapannya.

Segera ia bergerak lebih cepat. Nafasnya memburu karena lelah berlari ke sana kemari. Rambut pirangnya sudah tak lagi tertata rapi, sangat berantakan hingga beberapa kali menghalangi matanya.

Brak!

Pintu salah satu kamar di lantai dua ia buka dengan cepat. Ruangan yang begitu gelap dan berantakan menjadi kesan pertamanya setelah pintu itu terbuka.

Tapi di tengah kegelapan itu ia bisa melihatnya. Sosok yang ia cari. Sosok itu kini bersandar tak bergerak di dinding kamar. Sosok itu dalam posisi memegang perutnya. Cairan merah merembes begitu deras dari tangan itu.

"KAK RHEA!!"

[Itu bukan namanya yang sekarang, Lui .... Berhati-hatilah, Lucius Alterio.]

Kakinya secara tidak sadar langsung bergerak, berlari ke arah Kakaknya. Tangannya bergetar saat menyentuh tubuh yang mulai kehilangan kehangatannya. Matanya menatap ngeri pada darah yang mengalir dari perut sang Kakak.

Di perutnya juga masih ada pisau yang tertancap dengan baik, seperti dibiarkan agar darah yang keluar tak terlalu banyak. Sayangnya itu sia-sia jika luka tusuknya tak segera diobati.

"Kak? Kak Amaris?! Kakak bisa dengar suaraku, 'kan?? Kak!"

Tidak ada jawaban. Kakaknya sudah tidak sadarkan diri.

Laki-laki itu, Lucius sedikit menggerak-gerakan tubuh Kakaknya, memastikan bahwa Kakaknya masih bisa diselamatkan.

Lucius memegang pergelangan tangan Amaris, dingin. Denyut nadi yang lemah. Napas yang tidak terlalu terdengar. Membuat Lucius segera menggendong tubuh Kakaknya agar bisa mendapatkan pengobatan.

Srak!

Suara asing terdengar. Membuat Lucius segera menoleh dan melihat ada tubuh lain yang masih bergerak, bahkan masih kuat untuk menodongkan pistol ke arahnya.

"Hahh ... tidak akan kubiarkan kalian pergi—!"

Pelatuk siap ditarik, namun kalah cepat dengan tubuh bugar yang dipenuhi amarah Lucius.

Krak!

"AAGGGHHHHH—!!"

Suara tulang yang patah disusul teriakan penuh kesakitan begitu terdengar di ruangan yang sunyi. Tubuh itu kembali terkapar tak berdaya setelah diinjak begitu keras oleh Lucius yang masih membawa Amaris di gendongannya.

"Beraninya bajingan sepertimu ...!" Lucius memandang tubuh itu dengan rendah, sama seperti melihat kotoran yang menganggu jalannya.

Tak lama kemudian Lucius pergi dari sana, segera berlari turun. Kakaknya menjadi prioritasnya sekarang. Untuk mayat-mayat dan rumahnya yang berantakan, ia biarkan begitu saja.

"Haa ... haa ...."

Napas yang begitu lemah hingga dapat dipastikan bisa berhenti kapan saja.

'Bertahanlah sedikit lagi, Kak Amaris ...!'

Tak memperdulikan dirinya sendiri yang beberapa kali hampir terjatuh, Lucius tetap bergerak. Dipikirannya hanya lah cara untuk menyelamatkan Kakaknya. Ia terus berlari dengan secercah harapan itu.

Tapi sayangnya harapan itu harus hancur. Tepat setelah ia keluar dari kediaman mereka, yang dimana ia pikir bisa menjadikan harapannya menjadi kenyataan setelah keluar.

"Tembak mereka sekarang!"

Dorr!

── • 💌 • ──

"MATI KAU DASAR J*LANG!"

Jleb!

"Akh—!!"

Kedua mata senja itu terbuka lebar. Terbangun dari bayangan masa lalu tepat sebelum kematiannya.

Rasa sakit dan nyeri dimana ia ditikam telah hilang, tapi bayang-bayang bagaimana dirinya menderita karena rasa sakit untuk kesekian kalinya tetap ada.

Sudah berapa kali ia merasakan penderitaan ini? Ditikam. Ditembak. Dibakar. Bahkan tengge ...  lam?

Ingatannya lagi-lagi rusak. Tak pernah ia ingat dirinya pernah mati akibat dibakar ataupun tenggelam. Di kedua kehidupannya sebelumnya, ia mati karena ditembak, dan terakhir adalah ditusuk.

[Apa kau yakin hanya 2 kali, hm?]

Benar, tidak mungkin ia pernah dibakar atau tenggelam sebelumnya. Jika iya, maka seharusnya ia masih mengingatnya. Tidak mungkin ia melupakan hal mengerikan seperti itu.

...

...

Dia benar-benar muak dengan lingkaran kutukan ini, tapi tidak banyak yang bisa dia lakukan.

"Yah, aku hidup lagi."

Hidup baru. Tubuh baru. Orang-orang baru. Dan pastinya takdir baru.

Dia menghela napas berat. Matanya dengan malas bergulir menganalisa lingkungan barunya. Mengamati kehidupan seperti apalagi yang akan ia jalani kembali.

Ingatan demi ingatan dari tubuh barunya mulai berdatangan seperti air yang mengalir. Membuat kepalanya sedikit pusing untuk sementara, karena ia sudah terbiasa dengan proses seperti ini. Sama seperti yang sebelumnya.

"Lay, Laylie Abend. Umur 12 tahun. Orang tua lengkap. Keluarga sederhana berjumlah 4 orang." Ia mengangguk paham. "Aku cukup beruntung kali ini."

Kini namanya adalah Lay, Laylie Abend. Bukan lagi Rh—Amaris Alterio, anak yatim piatu yang tak memiliki sesuatu yang spesial kecuali dirinya sendiri.

Bukannya dia terlalu cepat menerima takdir baru, ya, 'kan? Yah, mau bagaimana pun, Amaris Alterio telah mati.

Tidak ada lagi sosok Amaris Alterio di dunia ini. Jadi dia harus melupakan masa lalu, dan berfokus dengan apa yang ada di depan matanya. Lagi.

Lay kini mengamati tubuhnya. Rambut yang panjang, lurus, dan sangat terawat berwarna gelap seperti birunya malam. Sedikit berbeda dengan rambut hitam pekat pendek milik Amaris.

Lay mencari sesuatu yang dimana ia bisa bercermin tanpa bangkit dari tempat tidur. Dan ia bisa menemukan gelas air minum di samping kasurnya, ia bisa melihat matanya yang berwarna seperti senja. Tak berbeda jauh dengan mata emasnya yang dulu.

"Ah, aku lupa."

Lay terdiam sejenak. Sesaat ia telah melupakan sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang tidak akan pernah hilang bahkan jika ia mati dan hidup lagi sebagai orang lain.

"Lui—ah bukan, Lucius, adikku. Keluargaku satu-satunya."

Lay kembali mengingat akhir hidup dari Amaris. Itu cukup mengenaskan. Dia bahkan meninggalkan adiknya lagi tanpa mengatakan apa-apa.

"Luci pasti sangat terkejut saat menemukanku."

Lay memandang kosong gelas besi di genggamannya. Membayangkan bagaimana marahnya dan kecewanya Lucius.

"Tapi yang paling pasti, dia akan segera membunuh dirinya sendiri lagi setelah itu."

Lay meremas gelas di genggamnya. "Pasti ... sudah berkali-kali seperti itu jika aku meninggalkannya sendiri."

["Berkali-kali", ya? Berapa banyak yang kau ingat, Rhea?]

"Dia pasti akan segera menyusulku, tepat setelah membunuh orang-orang itu dan membunuh dirinya sendiri."

Segera ia melupakan hal yang mengerikan itu. Lay mengubah posisinya dan duduk di pinggiran kasur, kembali mengamati kamarnya.

Kamar yang cukup luas untuk anak seusianya tidur sendiri. Cat dinding berwarna coklat dan perabotan kecil yang biasa ada di kamar seorang anak. Benar-benar sederhana.

Drap! Drap! Brak!

Pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Membuat Lay terkejut.

Ia bisa melihat anak laki-laki yang lebih muda 2 tahun darinya. Memiliki warna rambut dan mata yang sama dengannya. Hanya saja, mata senja itu terlihat berair. Seperti bendungan yang tak lama lagi akan tumpah.

"Ka-Kakak ...?!"

Anak itu, Helli Abend. Anak termuda di keluarga ini, yang dimana artinya dia adalah adiknya sekarang.

Helli datang dengan napas memburu tak beraturan. Mata senjanya bercucuran air mata. Bahkan tangan kecilnya begitu jelas bergetar, tidak, seluruh tubuhnya bergetar.

Lay bingung melihat adiknya dan bertanya, "Ada apa, Helli?"

Belum sempat ia menghampiri adiknya itu, Helli telah berlari ke arahnya tanpa menjawab pertanyaannya dan segera memeluknya dengan erat.

Ia menangis sesenggukan di pelukan Lay. Semakin membuat Lay bingung. "Helli?"

Helli tak menjawab dan hanya menangis, namun Lay bisa mendengar gumaman kecil dari adiknya.

"Kakak ... Kak Lay... Kak Lay baik-baik saja ... Kakak baik-baik saja ... Kak Lay masih hidup ... Kakak ada di sini ...."

Mendengar itu Lay bingung sekaligus terkejut. Gumaman itu seakan-akan ....

'Tidak, jangan terlalu cepat menyimpulkan.'

Lay menggeleng. "Kau kenapa tiba-tiba menangis, Helli?"

Lay menatap adiknya yang ada di pelukannya. Bajunya telah basah oleh air mata. Entah berapa banyak air mata yang telah ditumpahkan oleh Helli dalam 2 menit.

Dengan terisak Heli menjawab, "Aku, aku bermimpi buruk ... aku melihat Kakak berdarah ... banyak sekali."

Mata Lay terbuka lebar. Tak menyangka jawaban dari alasan Helli menangis.

'Tidak apa-apa, itu hanya kebetulan saja. Itu hanya mimpi buruknya.'

Sayangnya tidak berhenti di sana, Helli melanjutkan kalimatnya. Membuat Lay semakin tidak menyangka hari seperti ini akan datang.

"Aku melihat sosok yang berdarah itu ... aku sebenarnya tidak ingat pernah mengenal sosok itu, tapi entah bagaimana aku berlari ke arahnya ... dan aku, aku merasa itu adalah Kakak ...."

Mata senja itu bergetar saat menatap Lay dengan wajah yang memerah penuh air mata. Bahkan terlihat kosong karena rasa takut akan hal mengerikan yang menimpa keluarganya walau dalam mimpi.

"Aku, aku ... dalam mimpi itu ... aku bisa merasakan bagaimana sakitnya hatiku saat melihat Kakak... dadaku sangat sakit, Kak Lay ...."

Air mata kembali turun. Semakin deras setelah menceritakan mimpinya. Mimpi yang terlampau kejam untuk anak berusia 10 tahun.

Lay terdiam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya setelah mendengar itu semua. Semua tentang mimpi dari Helli Abend.

'Luci ...?'

Lay langsung memeluk Helli yang menangis. Memeluknya dengan erat sambil mengelus punggung adiknya.

"Tidak apa-apa. Itu hanya mimpi, Helli ... Kakakmu ada di sini ... bersamamu," bisik Lay menenangkan adiknya yang telah kembali.

Adiknya, Lucius Alterio telah kembali sebagai "Helli Abend". Dia kembali dengan sebagian ingatannya melalui mimpi. Dia bahkan kembali terlalu cepat.

'Kali ini berbeda. Ini berbeda dari yang biasanya ....'

Merasa sedih karena adiknya harus mengingat bagian yang mengerikan itu. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya hanya dirinya yang ingat apa yang terjadi di kehidupan sebelumnya. Adiknya tak pantas menderita dengan apa yang terjadi sebelumnya.

"Kakakk ...." Lay memeluknya lagi. "Tenang, Kakak ada di sini sekarang. Kakak tidak akan meninggalkanmu sendiri, Lui."

[Kau tanpa sadar memanggilnya dengan nama itu lagi, ya.]

'Tidak lagi. Aku pastikan itu. Jika kita berpisah, kita pasti akan bersama. Selamanya akan seperti itu.'

Di bawah kutukan yang tidak mereka ketahui, terutama dirinya yang mengetahui jika mereka terus bereinkarnasi jika mereka mati, ia akan menjaga adiknya. Entah dimana dan bagaimana mereka dilahirkan kembali.

Mereka akan selalu bersama, dan akan selalu seperti itu. Selamanya.

Tamat(?)

── • 💌 • ──

"Mereka akan selalu bersama, dan akan selalu seperti itu. Selamanya."

Ia tutup lembaran kertas di tangannya. Dipandanginya lembaran-lembaran tipis itu, memikirkan isi cerita pendek dengan akhir yang bahagia.

Mulutnya terbuka, mengeluarkan pendapatnya tentang cerita yang ia baca.

"Ini bagus dan ini berbeda dari yang lainnya ...." Mata azure itu menoleh kepada sang penulis cerita tersebut.

"Bagaimana akhirnya kau bisa menulis cerita seperti ini, Shan?"

Gadis itu berkedip. "Kenapa? Apakah ada yang salah di sana, Odasaku?"

Remaja berambut coklat kemerahan itu menggeleng. Semakin membuat bingung Shan hingga menghentikan kegiatan menulisnya untuk memperhatikan apa yang dimaksud Odasaku.

Beberapa jam sebelumnya, ia menawarkan pada Odasaku, tahanan yang berada tepat di sebelahnya untuk membaca ceritanya daripada membaca kitab suci yang diberikan oleh petugas di sini.

"Hei, apa mereka memberimu kitab suci juga?"

Tanpa menatap atau berhadapan dengan orang yang ia ajak bicara, Shan tetap bertanya pada tahanan yang ia yakini merupakan remaja yang lebih muda darinya.

Beberapa saat kemudian tidak ada jawaban dari jeruji sebelah, hingga Shan kembali berbicara, "hei, aku bertanya padamu, anak baru."

"... Kenapa kau berbicara denganku? Dan bagaimana bisa kau tahu mereka memberikanku kitab suci? Dan 'juga'? Apa mereka memberikan kepadamu juga?"

Akhirnya pertanyaannya dijawab ... dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Shan terkekeh mendengar jawaban remaja itu. "Waw, jawaban yang begitu panjang dari orang yang pendiam, ya."

Hening. Remaja itu tak membalas candaannya.

"Baiklah, baiklah. Aku berbicara denganmu karena aku penasaran dengan orang lain selain diriku yang diberikan kitab suci, aku yakin orang itu pasti cukup terkenal di dunia kriminal, bukan?"

Tidak ada balasan lagi.

"Aku tahu kau diberikan kitab suci itu dari mulutmu sendiri, kau tahu." Shan tak bisa melihat ekspresi remaja itu, tapi ia yakin remaja itu akan mengerutkan keningnya bingung.

"Tadi ada yang mengunjungi dirimu, 'kan? Kau banyak bicara dengannya. Aku mendengar hampir semuanya, maaf."

"Ah ... aku mengerti." Suaranya begitu pelan, tapi dengan suasana yang sepi di sekitar mereka, membuat suaranya masih bisa terdengar.

"Seperti yang aku bilang sebelumnya, mereka memberikanku kitab suci juga." Ia lanjut menjawab pertanyaan lainnya. "Tapi aku tidak mau, jadi aku meminta mereka untuk lebih baik memberikanku sebuah novel atau alat untuk menulis untukku. Dan ya, mereka memberikanku. Sudah hampir seminggu aku di sini, menulis beberapa cerita cukup untuk menghilangkan rasa bosanku di sini."

"Apa ada pertanyaan lagi?"

Remaja itu membalas, "ada."

"Apa itu?" tanyanya penasaran.

"Kenapa mereka memberikanmu kitab suci juga? Kau mengatakanku sebagai orang yang diyakini terkenal di dunia kriminal karena diberikan kitab suci oleh mereka, dan aku rasa kau benar."

Di jeruji sebelah, Shan terkagum dengan tebakannya yang ternyata memang benar. "Aku yakin kau juga sama. Jadi, kenapa kau bisa di sini juga? Apa yang kau lakukan?"

"Aku? Sama sepertimu? Entahlah, mungkin mereka hanya kasian dengan gadis muda yang sudah bertindak kriminal di usianya yang belum dewasa. Kasian dengan masa mudanya yang begitu suram di mata mereka."

"Tidak mungkin mereka berpikiran sesederhana itu," sangkal remaja itu.

"Sudah kubilang, itu hanya kemungkinan! Aku tidak tahu pasti bagaimana reputasiku di mata mereka!"

Dugh!

Shan dengan kesal memukul dinding yang tepat bersebelahan dengan dinding tahanan sang remaja itu.

"Lalu? Memangnya apa yang kau lakukan hingga berakhir di sini?" tanya remaja itu tanpa memperdulikan suara pukulan itu.

"Apa yang aku lakukan, ya .... Aku hanya memburu beberapa orang dan membunuh mereka karena dendamku sendiri. Dan itu tidak bukan salahku, mereka yang memulainya!" Suaranya terdengar meninggi, terdengar kesal. "Tapi para polisi justru membawaku kemari setelah beberapa kesepakatan di antara kami."

Helaan napas terdengar. Tidak ada yang membuka mulut untuk sementara waktu, hingga remaja itu memulainya terlebih dahulu untuk pertama kalinya.

"Siapa namamu?"

"Oh, kita belum tahu nama masing-masing, ya? Hahah, salahku." Shan tersenyum senang walau tak bisa dilihat oleh tetangganya.

"Namaku Shanie, panggil saja Shan agar lebih singkat. Bagaimana denganmu?"

'Hanya satu kata ... tanpa nama belakang?'

"Oda, Oda Sakunosuke. Salam kenal, Shan."

"Oda ... namamu lebih singkat dariku. Bagaimana dengan Odasaku? Terdengar bagus, bukan?"

"Terserah dirimu."

Shan terkekeh. "Oke, Odasaku!"

Setelah perkenalan singkat itu, Shan mengajak Odasaku untuk melakukan hal lain daripada membaca kitab suci itu.

"Hei Odasaku, apa kau mau membaca cerita aku tulis? Ini tidak lebih baik dari membaca kitab suci itu, tapi ini lebih baik. Aku juga ingin seseorang menemaniku di sini." ajak Shan agak sesat.

"... Bagaimana caranya? Apa kau akan memberikan lembaran ceritamu itu lewat sela-sela jeruji?"

Itu termasuk hal yang mustahil. Jarak sel tahanan mereka cukup jauh untuk mengulurkan tangan ke sel tahanan lainnya.

"Tidak. Aku ingin kau datang kemari, agar aku bisa melihat ekspresimu saat membaca ceritaku, heh."

Sebelum Odasaku bertanya caranya, Shan telah berbicara terlebih dahulu. "Kalau tidak salah kau tadi bilang kepada orang tadi jika kau bisa keluar secara paksa dari sini, bukan? Lakukanlah itu, lalu datanglah ke selku."

Odasaku tidak berkata apa-apa. Orang ini ternyata benar-benar mendengarkan percakapannya dengan pria tua itu.

"Tidak apa-apa, para penjaga tidak akan marah bahkan menambah hukumanmu atau kepadaku. Aku ini tahanan spesial, lho~"

Odasaku tak tahu apa yang dimaksud oleh Shan karena dia baru saja mengenalnya dan belum lama berada di sini. Dari percakapannya yang sebelumnya, ada kata yang cukup aneh.

Adanya "kesepakatan" di antara Shan dan para polisi. Ia tak tahu apa itu.

"Baiklah."

Odasaku akhirnya mengiyakan permintaan Shan dan keluar dari sel dengan paksa, sesuai kata-katanya. Shan bertepuk tangan kagum pada Odasaku yang berhasil keluar secara paksa.

Ia bisa melihat remaja yang lebih tinggi darinya, namun berumur sekitar 1 atau 2 tahun lebih muda darinya—terlihat dari wajahnya. Memiliki rambut coklat kemerahan serta mata azure yang indah. Wajahnya tak banyak berekspresi, terkesan dingin.

Remaja itu berdiri tepat di depan selnya. Berniat melakukan hal yang sama kepada selnya sendiri.

"Hati-hati, Odasaku."

Tepat setelah Shan mengatakan itu, Odasaku mundur dan datang beberapa suntikan terbang ke tempatnya sebelumnya. Itu terjadi setelah ia membuka sel tahanan Shan.

"Ohh, sudah kuduga mereka menaruh seperti ini. Syukurlah aku tidak mencoba keluar secara paksa." Shan memandangi beberapa suntikan bius yang berjatuhan di lantai.

"Maafkan aku, ya, Odasaku. Mereka memasang jebakan ini pasti karena ability-ku yang cukup merepotkan, bahkan untuk diriku sendiri," ucap Shan menyesal. "Untung sekali kau bisa selamat dari jebakan mereka. Kau pasti memiliki ability yang bagus atau kau memang peka, keren."

Odasaku menatap Shan. Mengamati gadis bertubuh kecil dibandingkan dirinya, namun ia beranggapan bahwa gadis ini berumur sekitar 15 atau 16 tahun. Memiliki rambut pirang panjang dikuncir kuda dan mata berwarna senja. Di wajahnya tak terlihat ekspresi menyesal, hanya ada ekspresi yang normal di sana.

'Dia tahu akan ada jebakan di selnya, tapi ia tetap memintaku datang kepadanya .... Dia ternyata menggunakanku untuk memastikan dugaannya.'

Ia biasanya tidak suka digunakan seperti ini. Tapi ia penasaran dengan Shan, yang merupakan tahanan "spesial", kata Shan sendiri. Dan ia sendiri bisa melihatnya, bagaimana para petugas polisi meletakkan jebakan di sel milik Shan.

Setelah kejadian itu semuanya kembali berjalan normal. Sesuai ajakan Shan, Odasaku datang ke selnya dan membaca beberapa cerita pendek yang telah ditulisnya. Shan memperhatikan Odasaku yang sedang membaca sembari menulis cerita lainnya atau hanya corat-coret di atas kertas saja.

Semuanya berjalan normal sampai di masa sekarang. Odasaku mengangkat suaranya dan berkomentar atas cerita yang baru saja ia baca.

"Cerita ini berbeda dari cerita yang kau berikan padaku sebelumnya. Cerita ini terlihat rumit dengan hal-hal seperti reinkarnasi, bahkan nama dan penampilan tokohnya berubah dalam satu cerita saja. Orang yang tidak teliti dalam membaca akan kebingungan."

Odasaku mengangkat lembaran cerita yang baru saja ia baca dengan lembaran cerita yang ia baca sebelumnya dan membandingkannya.

"Dibandingkan dengan ceritamu yang ini, A Painting With A Secret, cerita pendek hanya berisikan beberapa baris tapi cukup banyak tanda tanya di dalamnya. Seperti sebuah teka-teki."

Odasaku mengangkat lembaran satunya. "Sedangkan cerita ini—"

"Something Different. Itu judulnya."

"Iya, terima kasih." Odasaku melanjutkan, "cerita ini tidak terlihat akan berakhir dalam satu bab. Dengan begitu banyak hal yang kau masukan ke dalam cerita ini, akan butuh lebih banyak bab untuk membuat semuanya terlihat jelas."

"Aku tau. Karena itu beberapa kali aku memasukkan clue dan dialog orang ketiga yang sengaja aku masukkan, alias itu dialog dariku, sang penulis. Untukku itu cukup membantu seseorang untuk mengerti, tapi aku tidak tahu dengan orang lain. Bagaimana menurutmu, Odasaku? Apa kau bisa mendapatkan poin ceritaku?"

Odasaku mengangguk. "Aku lumayan mengerti untuk beberapa poin."

"Kau memang pintar untuk mengerti ceritaku ini, ya," puji Shan sambil berpangku tangan dan tersenyum kepada Odasaku.

Odasaku hanya menatapnya sebentar, lalu kembali membaca ulang lembaran di tangannya. Shan juga tidak terlalu peduli, ia kembali menggambar di atas kertas yang tersedia.

"Lalu Shan, aku tak tahu kenapa kau menulis ini? Apa yang kau sampai di cerita ini?"

Shan menoleh. Bingung. "Apa?"

"Kau banyak menulis tentang kematian, pembunuhan dan kehilangan. Semuanya berakhir dengan tragis, tapi terkadang baik. Tapi ini berbeda ... kenapa tulisan "tamat" di akhir diberikan "tanda tanya"? Apa mereka tidak memiliki akhir? Entah itu akhir yang bahagia atau sedih."

Shan terdiam, pegangannya pada pensilnya melemah untuk sementara sebelum kembali menguat dalam beberapa detik.

"A-apakah seperti itu—oh, ya. Memang. Mereka tidak berhenti di cerita itu saja. Mereka tetap bereinkarnasi setelah mereka mati. Dan kembali bersama lagi di kehidupan selanjutnya sebagai kakak dan adik .... Selalu seperti itu. Selamanya," jawab Shan dengan suara yang kian melemah di ujung kalimat.

Seakan tak menyadari nada suara yang berbeda, Odasaku bertanya kembali, "apa tidak ada yang bisa membebaskan atau menyelamatkan mereka dari kutukan itu?"

"Tidak ...! Tidak ada sama sekali!" Suaranya kembali meninggi dengan cara yang aneh. "Siapa yang mau membebaskan orang yang bisa hidup lagi setelah mati? Banyak orang yang menginginkan itu, kau tahu!"

Ekspresi wajah Shan tak lagi biasa, wajahnya telah berubah sedikit memerah, kesal. Genggamannya pada pensil pun mengencang.

Tapi Odasaku tak memperhatikan hal itu, ia sibuk membaca ulang cerita "Something Different" milik Shan. Bahkan ia tak tahu jika Shan sedikit tersinggung dengan pertanyaannya dan tetap bertanya sesuai dengan apa yang ada dipikirannya.

"Bukannya itu akan berbeda bagi keduanya? Itu akan sangat menyedihkan bagi mereka untuk terus hidup walau sudah mati. Mereka tidak bisa mati sesuai keinginan mereka, dan terus hidup setelah kematian itu. Apa kau benar-benar tidak berniat menambahkan tokoh lain untuk membebaskan dan menyelamatkan mereka dari kutukan itu, Shan?"

Krak! Brakk! Srechh!

Suara pensil yang patah terdengar. Disusul dengan suara meja yang digebrak lalu kursi kayu yang didorong ke belakang oleh orang yang mendudukinya.

Odasaku terkejut mendengar suara gaduh itu dan melihat Shan yang telah berdiri dari posisinya sambil menatap penuh amarah ke arahnya.

"KENAPA KAU TIDAK MENGERTI SIH? APA SALAHNYA JIKA ADA KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN? YANG PENTING AKHIRNYA MEREKA AKAN BERSAMA!! TIDAK AKAN ADA YANG HIDUP SENDIRIAN!"

Tiba-tiba saja Shan meledak dan mulai menendangi kursi yang ia duduki tadi hingga terjatuh. Odasaku hanya bingung kenapa Shan tiba-tiba saja marah setelah ia bertanya tentang cerita dan nasib tokoh di ceritanya.

Kursi yang tadi diduduki dengan nyaman kini telah menjadi sasaran amarah Shan. Ditendanginya kursi itu hingga menabrak dinding berkali-kali sampai kursi itu mulai rusak bahkan membuat dirinya terluka karena perbuatannya sendiri. Beberapa bagian yang patah dilempar oleh gadis itu ke sembarang tempat, hampir saja mengenai Odasaku jika ia tidak segera menghindar setelah ability-nya aktif.

Tak tahan dengan ini semua, Odasaku berniat menghentikan paksa Shan. Ia berniat membuat Shan tak sadarkan diri dengan memukul tengkuknya.

Tapi sayangnya itu tidak berjalan sesuai rencana. Saat Odasaku ingin memukul Shan dari belakang, tiba-tiba saja tangannya menembus tubuh Shan. Seakan-akan ia tadi memukul angin.

Karena hal itu, Shan pun menyadari keberadaan Odasaku dan tahu niat Odasaku untuk memukulnya. Ia terlihat marah dan berbalik ke arah Odasaku.

Odasaku menyadari adanya bahaya segera bergerak mundur, tapi di belakangnya hanya ada dinding. Dan Shan ikut bergerak maju untuk mendorong Odasaku dengan lengannya yang menahan bahkan menekan leher Odasaku.

"Kau tahu, Odasaku." Shan menatap sinis, tak seperti dirinya di awal.

"Aku menulis sesuai perasaanku. Sesuai pengalamanku. Dan sesuai keinginanku! Aku bisa menulis sesuka hatiku. Aku bisa menulis sesuatu yang ingin kudapatkan, tapi tak bisa kudapatkan di dunia karena aku tau itu mustahil."

Odasaku tak paham dengan apa yang dikatakan Shan. Dia hanya ingin segera terbebaskan dari posisinya, tapi kenapa ia selalu berakhir seperti tadi. Pukulan atau gerakannya untuk melepas paksa dari Shan selalu berakhir seperti memukul angin. Semuanya tembus.

Seakan-akan ia tidak bisa melukai tubuh Shan sedikitpun.

'Apa ini ability-nya?'

"Tidak ada penyelamat untuk mereka. Tidak ada yang ingin membebaskan mereka. Tidak akan ada! Mereka akan bersama bahkan setelah mereka mati. Jika salah satu dari mereka mati, maka yang satunya akan menyusul. Tidak akan ada yang tersiksa karena harus bertahan hidup sendirian tanpa saudaranya!!"

Lagi. Shan kembali mengatakan hal yang sama. Tentang takdir yang dibawa oleh sang tokoh bersaudara di ceritanya. Ia benar-benar terbawa emosi seakan-akan itu berbeda dengan takdirnya ....

'Ah ... menulis apa yang tidak bisa didapatkan, ya ...'

Odasaku akhirnya mendapatkan poin utama kenapa Shan marah atas pertanyaannya.

"Ma-maafkan aku, Shan. Aku tidak tahu apa-apa tentangmu ... maaf."

Saudara yang telah tiada. Hidup sendiri tanpa seseorang di sisinya. Tidak ada yang menyelamatkan. Tidak ada yang membebaskannya dari takdirnya. Pergi memburu dan membunuh orang-orang yang bersalah atas hidupnya.

Tekanan Shan melemah. Mata yang menatapnya tajam telah memudar. Melembut hingga akhirnya berkilap akibat air mata yang mulai keluar setelah amarahnya menghilang.

Lengannya turun dari leher Odasaku dan berpindah ke wajahnya. Menutupi wajah yang mulai memanas.

Drap! Drap! Drap!

Suara sepatu bot terdengar di sepanjang lorong. Suara itu sangat ramai hingga bisa dipastikan lebih dari satu orang datang kemari setelah mendengar kegaduhan yang dibuat oleh Shan sebelumnya.

"Shan—"

Ia menoleh. Gadis itu mulai goyah kehilangan kekuatannya. Sepertinya energi sang gadis telah habis setelah meledak-ledak tadi. Hanya beberapa menit saja sebelum ia jatuh pingsan.

"Shan, mari keluar bersamaku dari sini," ajak Odasaku.

"Apa? Tapi bagaimana—"

"Aku akan menggendongmu."

"Apa?! Kenapa—"

"Kau tidak punya tenaga lagi, bukan?"

Walau sebenarnya ia ragu untuk kabur dari sini. Bagaimanapun ia telah memiliki kesepakatan dengan para polisi di sini.

"Bekerjasama lah dengan kepolisian dan tidak mencoba untuk kabur, maka kami akan meringankan hukumanmu serta menuruti apa keinginanmu. Selama itu bisa dilakukan."

Seperti itulah kesepakatan di antara mereka berdua. Ia menuruti tawaran mereka, karena merasa dirinya tak bersalah dan tidak akan kabur atau menyerang mereka terlebih dahulu selama mereka menjaga kata-kata mereka.

Tapi, lupakan kesepakatan itu. Bukannya ia sudah ditangkap dan dikurung di sini hampir seminggu lamanya, sesuai keinginan mereka agar dirinya tidak berniat kabur dan tetap di sini, kan? Ia tak salah, bukan?

Shan mengangguk. "Baiklah, tidak apa-apa. Aku akan membawamu keluar dari sini."

Drap! Drap!

Suara langkah kaki itu semakin mendekat. Odasaku dan Shan segera bergegas mempersiapkan diri untuk keluar bersama saat para penjaga itu lengah.

Para penjaga kini melewati sel Odasaku yang kosong. Mereka terkejut karena tidak ada lagi orang di sana. Mereka masuk ke dalam sana untuk memeriksa apa benar-benar tidak ada orang di sana.

Tepat saat mereka masuk ke dalam sel tersebut, Odasaku segera berlari dengan Shan di gendongannya. Mereka dengan cepat melewati dimana para petugas itu berada tanpa mereka sadari. Itu hanya berlangsung dalam beberapa detik saja.

Mereka akan sangat menyesal telah lengah. Mereka kehilangan 2 tahanan muda yang berhasil mereka tangkap susah-susah. Mereka pasti akan mengecap 2 remaja itu sebagai buronan.

Walau begitu, Odasaku dan Shan tidak peduli. Mereka akhirnya keluar bersama setelah melewati semua penjagaan di lapas.

Saat sudah di luar, Odasaku melihat orang yang digendongannya telah tak sadarkan diri. Entah sudah berapa lama gadis ini telah pingsan sebelum ia berhasil keluar.

"Dia sangat ringan ..."

— END

• • •

|| ── 🦋 • Note ── ||

[📍] Shanie's Ability : "Reap What You Reap - Menuai Apa Yang Kamu Tuai"

; Kemampuan yang membuat penggunanya selamat dari serangan apapun dari orang yang menyerang atau melukainya terlebih dahulu. Tubuh pengguna akan berubah menjadi tranparan atau tembus pandang saat kemampuannya aktif, namun masih bisa menyentuh barang dan orang yang menyerangnya.

Dan akan berbeda jika pengguna yang menyerang terlebih dahulu, kemampuannya tidak akan aktif untuk melindunginya karena pengguna yang memulainya. Konsepnya sama seperti hubungan sebab-akibat.

Kemampuan yang menakjubkan, namun cukup merepotkan bahkan bagi penggunanya. Contohnya adalah saat pengobatan, sang dokter tidak akan bisa menyuntik tubuh pengguna jika pengguna tidak berbuat sesuatu terlebih dahulu. Karena menusukan jarum suntik masih bisa melukai tubuh pengguna.

|| ── 🦋 • Note ── ||

• • •

Gimana? Gimana? Random banget, kan? Awokawok gapapa, aku suka uwu. Aku rate 98/100 walau cringe<33

Ini oneshot klo ga salah 4500+ words, tanpa note ini. Bagian pertama dan kedua, itu masing2 sekitar 1K+. Orifict ttg anak2ku atau ocku tersayang(⁠*⁠˘⁠︶⁠˘⁠*⁠)⁠.⁠。⁠*⁠♡

Dan sejujurnya, awalnya aku mau nambahin gambar satu/dua panel pas bagian Lui sama Rhea. Tapi ga sempet huhu, aku juga lupa gambar ver normal ... mungkin nanti art mereka bakal post di IG ku aja hehe

Bagian Yumenya, atau ketiga paling banyak dan aku nyangka itu. Karena di awal aku ga kepikiran harus nulis apa dan ngira bakal pendek. Tapi di beberapa jam sebelum deadline, aku ganti konsep awal yang niatannya aku mau pakai Odasaku ver dewasa dengan aku sebagai anak pungutnya, jadi yang sekarang wkwk

'Aku' di BSD AU itu punya saudara atau tepatnya kembaran, namanya Sahan (buat yg senomor sama aku pasti tau penampakan nih mahkluk). Tapi sayangnya Sahan mati karena dibunuh orang. Tragis ckck

Keliatan unsur OOC-nya, kan? Harus lah, kalian baru baca aja udah keliatan lain daripada yang lainnya kayak judulnya hehe. Ada-ada aja campurin Orifict sama Fanfict, ya

Udahlah, di sini aja. Biar ga kepanjangan lagi.

Di bawah ini beberapa gambar asal2anku, buat ilustrasi kecil oc2ku sama personaku ver chibi simpel(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

[Itu nama yg kutetapin buat buat Lui sama Rhea. Matanya harusnya emas/kuning, tapi aku males ngedit gambar akhir tahun kemarin jadi pakai aja yg ada. Btw, Lay cantik. Aku naksir...]

[Ini, Ini personaku hehehe. Aku gambar lagi daripada pakai yang udah ada, karena aku mau. Diem.]

— Good Bye • 🦋 —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top