୨⎯ Nisha ajap Tara⎯୧
Kim Dokja × Annisya
Omniscient Reader © Sing Shong
Oneshot © -ayrraya
OOC Event © Halu_Project
Song;
Mary on cross - Ghost
Treat you better - Shawn Mendes
~✩~
'Sudah berapa tahun, ya?'
Seorang gadis yang akan memasuki kepala dua puluh satu tahun itu sejenak terdiam. Tangannya yang sedaritadi mengetik untuk menyelesaikan bab klimaks dari novelnya juga ikut terhenti. Manik midnight blue miliknya menatap tak minat laptop di pangkuannya.
Kacamata minus bertengger di hidung mungilnya. Merasa mata telah lelah, ia melepaskan kacamata itu dan meletakkannya di atas nakas.
Laptop miliknya menampakkan sebuah halaman di suatu website menulis, dengan judul Malam Menunggu Bintang. Seulas garis tipis yang melengkung terukir begitu ia ingat alasannya menulis buku itu.
Karena dia, adalah malam yang berharap sang bintang kembali.
~☆~
Kaki jenjang terbalut jeans biru menapak keluar dari kawasan bandara. Tubuhnya terbalut sweater putih oversize hingga menutupi paha, dengan tas kecil berbentuk kucing berwarna cream yang lucu.
Surai putihnya membuat ia terlihat lebih mencolok, disertai manik midnight blue juga kacamata minus yang bertengger di hidung. Kulitnya berwarna sawo matang namun lebih terang, gadis itu berasal dari Indonesia.
Annisya, kembali menapakkan kakinya di Korea, Seoul.
"Huftt~ hahh!" Bibirnya terukir senyum lebar, berapa lama ia tidak menghirup udara negara ini?
"Udah lama nggak ke sini. Hm~ tujuh tahun lebih?" ujarnya mengira-ngira. "Yah, lumayan sih. Balik kemarin pun buat ngejar urusan kerja Ayah yang mendadak disuruh pulang." Ia meregangkan tubuh setelah meletakkan koper miliknya, kini ia hanya tinggal menunggu taksi agar setelah itu, ia bisa beristirahat dengan tenang.
"Ah.. apa kabarnya sekarang, ya?"
Ia hampir lupa, bahwa sebelumnya.. mungkin sampai sekarang. Ada seseorang yang menunggu kedatangannya.
~☆~
"Dokja-ssi, kau mau makan siang denganku?"
Seorang wanita bersurai cokelat bertanya dengan malu-malu, kedua pipinya juga bersemu merah tipis. Wanita itu memainkan kedua jarinya dengan gelisah, takut-takut pria yang ia panggil Dokja itu menolaknya.
Kegelisahannya terjadi. Dokja tersenyum canggung, pria itu mengenakan kemeja hitam panjang yang sedikit ia gulung. "Maaf, Yoo Sangah-ssi. Aku akan makan siang sendiri, nanti." tolaknya halus. Berusaha agar lawan bicaranya ini tidak tersinggung.
Tetapi, terlihat jelas raut wajah Sangah berubah kecewa. Namun itu hanya sekejap, detik selanjutnya wanita itu mengulas senyum maklum. "Begitu, baiklah. Aku deluan ya, Dokja-ssi."
Dokja menanggapi dengan senyum dan anggukan kepala. Sejenak, sebelum benar-benar beranjak dari meja kerja Dokja. Sangah berucap, "Gadis kecil itu sangat cantik dengan mata yang menenangkan." Kemudian pergi setelah melihat respon sang pria yang tertegun.
Pria itu dengan perlahan menoleh pada meja kerjanya, terdapat figura berisi seorang anak laki-laki bersurai hitam dengan tubuh penuh luka, juga gadis kecil bersurai seputih salju dengan manik midnight blue bagaikan langit malam yang menenangkan.
Itu dirinya, bersama dengan seseorang yang ia kagumi.
Seseorang yang selalu ia tunggu.
"Aya.. kapan kamu pulang?"
~✩~
"Aku baru aja pulang dari minimarket, Ibu. Tenang, semua barang udah aku beresin."
Gadis itu berbicara menggunakan bahasa kenegaraan asalnya, tentu karena ia sedang berbincang dengan keluarganya yang ada disana.
"Iya~ aku usahain nggak begadang." ujarnya canggung. Terlihat keringat dingin yang turun akibat mendengar ocehan sang Ibu sambung, "A-ah! Aku baru inget harus ngasih beberapa cokelat ke tetangga! Udah dulu ya, Bu. Aku sayang kalian!" Dengan segera ia menutup telepon dengan alasan yang ia buat.
'Fyuh~ maafin tindakan kurang ajarku..'
Annisya tidak berbohong bila ia akan membagikan cokelat untuk para tetangga barunya, setidaknya ia harus ramah di negara orang. Tetapi, tetap saja tindakannya tadi itu kurang ajar.
Manik midnight blue miliknya melirik jam yang tergantung di dinding. "Masih jam 3, ya.." gumamnya mengangguk pelan.
Gadis itu masuk ke kamarnya, menyambar sebuah sweater berwarna putih dengan gambar kucing. Ia segera memakai sweater itu untuk menutupi baju putih oblong lengan pendek yang ia pakai. Annisya juga memakai celana olahraga sedikit di bawah lutut berwarna hitam. Ia keluar dari kamarnya lalu menyambar beberapa paper bag berwarna biru dengan motif kucing putih, tak lupa tas kecil kucing berwarna cream miliknya yang lucu.
Ia membuka pintu, mengambil kunci dan segera keluar dari apartemen yang ia tinggali. Tak lupa menguncinya agar tak ada orang yang menyelinap masuk.
Dengan sneakers putih, Annisya melangkah dengan riang. Menyusuri koridor apartemen tersebut sembari menghampiri dan memberikan paper bag berisi cokelat sebagai tanda keramahannya. Disambut dengan ramah oleh para tetangganya
Hingga pada pintu terakhir, tak ada orang yang menyahut. Menyisakan satu paper bag yang belum dibagikan, gadis itu berasumsi bahwa pemiliknya sedang bekerja. Ia akan mengunjungi lagi kelak. Annisya hanya membagikan cokelat pada para tetangga yang berada satu lantai dengannya, tidak mungkin dia pergi ke atas tetapi tinggalnya di bawah. Itu pikirnya.
Sesaat berbalik dari pintu apartemen tetangganya, perut gadis itu meronta. Membuatnya bersweatdrop, "Perasaan, tadi siang udah ngemil banyak.." Manik midnight blue miliknya melirik ke arah lift yang berada beberapa langkah dari apartemen tetangganya, membuat gadis itu menghela nafas pelan. "Yah, cari makan dulu deh di luar."
Ia tidak menyangka dengan membagikan cokelat saja sudah menghabiskan waktu lebih dari satu jam.
~✩~
Wow.
Annisya tidak menyangka bahwa ada kedai yang menjual makanan Indonesia di negara ini, di dekat taman pula. Senyum gadis itu melebar begitu dirinya berencana untuk makan pop mie di taman itu.
Gadis itu memasuki rak dimana pop mie itu berada. Sumpah, banyak sekali pilihan rasa yang menggoda. Tetapi Annisya hanya ingin memakan pop mie kuah rasa kari, padahal baru dia minggu yang lalu ia memakannya. Saat masih di Indonesia tentunya, dan itupun karena dilarang untuk memakan mie sebelum seminggu berlalu. Tak apa deh, sekarang ia bisa bebas!
Ia tersenyum geli dengan sendirinya. Enaknya juga, apartemen tempatnya tinggal tidak terlalu jauh.
"Totalnya, 13.675 won." ujar kasir itu dengan sopan.
Annisya tersenyum ramah, lalu menyerahkan uang dengan mata uang resmi negara itu. Ia juga meminta izin untuk menyeduh pop mie miliknya dan dipersilakan dengan ramah oleh pemilik kedai.
Sekarang ia di sini 'lah ia. Berada di bangku taman yang kini menyorot matahari jingga, menandakan sang penguasa siang telah memutuskan undur diri. Gadis itu memilih untuk menikmati udara sore dan langit senja, menghabiskan waktunya dan menunggu langit malam yang akan ditemani bintang-bintang.
~✩~
"Huahhh!" Annisya meregangkan tubuhnya dan mendongakkan kepala, bulan sudah hadir dengan langit malam yang memukau. Manik midnight blue miliknya melirik dua bungkus pop mie yang telah tandas. Di sampingnya juga terdapat satu dus pop mie utuh yang tadi ia beli. Tak lupa, satu paper bag berisi cokelat yang ia akan berikan pada tetangga satu lantainya.
"Makannya minggu depan lagi." ujarnya, mengingat ia memiliki penyakit maag, gadis itu tidak mau penyakitnya kambuh hanya karena makan mie terlalu banyak.
Sejenak ia terdiam, menikmati semilir angin malam yang bertiup sepoi-sepoi. Suara jangkrik mengisi merdu indera pendengarannya. Annisya menyingkap lengan sweater putihnya, terdapat jam tangan yang menunjukkan pukul 07.02.
Gadis itu menghela nafas pelan, kemudian menatap tak percaya sekelilingnya. "Sial! Aku baru ngeh kalo ini udah malam." rutuknya. Kebiasaan buruknya yang sering loading beberapa saat nampaknya masih bertahan hingga dewasa.
Ia berjengit kala mendengar suara decakan. Gadis itu dengan cepat menoleh ke belakang bangku taman yang ia duduki, menemukan seorang pria yang tengah memaki-maki di tengah trotoar yang sepi.
Tunggu.. kenapa ia merasakan perasaan yang bergejolak?
Manik midnight blue miliknya tersipit, Annisya.. merasakan perasaan yang tak biasa di dadanya.
Pria itu mendongak dari tundukan kepalanya. Hingga mata mereka bertemu, manik hitam kelam milik sang pria dan manik midnight blue miliknya.
Gadis itu dapat melihat, mata pria itu melebar dengan raut wajah tak percaya menatapnya. Annisya hanya dapat mengernyitkan dahi tipis, sorot matanya menampakkan kebingungan.
Pria tak dikenal itu berlari ke arahnya, kembali membuat gadis itu berjengit kaget. Pria itu berhenti di hadapannya, tinggi mereka jelas terlihat berbanding jauh hanya dengan posisi duduk dari Annisya.
Pria itu memegangi kedua bahu sang gadis, sedangkan Annisya hanya bisa diam tak berkutik. Pria itu sejenak memegangi wajahnya membuat sang gadis reflek memegangi tangan pria itu.
"A-aya..?"
Gadis itu tertegun.
"Aya! Ini benar kamu??!"
Annisya hanya bisa membeku begitu mendengar kembali nama kecil yang hanya diberikan oleh satu orang, padanya.
~✩~
"Hoo~ jadi kita tetanggaan, ya Aya?"
Jangan tanyakan pada Annisya apa yang terjadi padanya kini, ia saja tidak menyangka apa yang terjadi tadi.
"Dokja, kamu udah makan?"
Dokja tersenyum lebar, setelah lama membuka topik walaupun didiamkan saja, akhirnya gadis itu berbicara. Pria itu menanggapi dengan gelengan lucu, "Belum. Aku tidak sempat makan siang juga, tadi.." Ia menjawab, namun bercerita dengan suara kecil membuat Annisya mau tidak mau menajamkan telinganya.
Gadis itu berdiri, membuat Dokja sedikit berjengit. Annisya lalu menoleh pada pria itu, tinggi mereka sedikit sama karena sekarang posisinya Dokja yang duduk, dan dirinya berdiri.
"Kamu mau mampir ke kedai itu sebentar? Ayo seduh mie dulu, setidaknya perut kamu diisi." tawar Annisya dengan canggung. Sudah lama tidak bertemu dengan teman masa kecilnya, membuat dirinya susah untuk mencari topik.
Dokja tidak menjawab dan malah menengadahkan tangan kanannya pada sang gadis, tentu membuat gadis itu sedikit loading. Kemudian Annisya memiringkan kepalanya bingung, membuat sang pria tersenyum gemas.
"Aku kedinginan, lho. Tolong gandeng aku."
Oh, astaga. Wajahnya serasa memanas, udara dingin malam hari tidak terasa lagi. Annisya dengan kikuk menerima uluran tangan dari Dokja menggunakan tangan kanan dan merasakan tangan dingin juga besar milik pria itu. Membuatnya sedikit iri, kok bisa orang-orang mempunyai tangan yang besar? Tubuh tinggi pula!
"Kecil sekali."
Apa ini? Annisya merasa tersinggung, lho!
"Maksud kamu apa, yah? Aku pukul baru tahu rasa!" kesalnya, tak mengindahkan canggungnya dirinya tadi. Dengan tangan kirinya yang bersikap layaknya hendak memukul. Membuat Dokja tertawa renyah.
"Maaf, tapi lucu kok."
Ya Tuhan, tolong selamatkan jiwa Annisya agar bisa bertahan dengan pria satu ini.
Gadis itu mendengus, lalu tangan kirinya dengan gesit membuka kardus dan mengambil dia pop mie. Walaupun ia sudah makan tadi, setidaknya ia menemani sang pria untuk makan. Dan kalau tidak habis, mudah saja! Tinggal berikan miliknya dan suruh pria itu untuk menghabiskannya.
Annisya tersenyum, rencana yang bagus. Ia kemudian memberikan satu pop mie kuah rasa soto, dan dirinya sendiri mengambil rasa kari. Gadis itu harus meracuni sang pria dengan makanan khas rakyat Indonesia. Dirinya terkekeh halus tanpa ia sadari, membuat Dokja yang tak tahu apa yang gadis itu pikirkan tertegun. Sudah berapa lama ia tidak melihat senyum dan tawa itu?
Dengan lembut, Annisya menarik Dokja agar mengikutinya ke kedai yang ia hampiri tadi untuk numpang nyeduh. Lagipula pemiliknya ramah, sesama orang Indonesia pula. Gadis itu sempat berbincang sebelum akhirnya kembali keluar dari kedai bersama Dokja. Masing-masing membawa pop mie yang sudah terseduh air panas dengan tangan yang saling bertautan.
"Makan di sana saja, yah." Dokja menurut, sungguh ajaib.
Mereka duduk berdampingan, dengan tautan yang terlepas dan pop mie di genggaman masing-masing. Annisya membuka tutup pop mie tersebut dan mencium aroma khas kari, Dokja mengikuti dan dirinya langsung disambut aroma soto yang menggoda.
"Pasti enak."
Gadis itu terkekeh geli mendengar gumaman itu, kenapa pria ini bisa sangat menggemaskan?
~✩~
"Kamu yang menggemaskan, Aya."
Annisya menggeleng tegas, "Kamu!" sergahnya. "Kamu yang menggemaskan, tahu! Lucu banget.. apalagi waktu masih kecil ini!" Tangan gadis itu menunjuk pada seorang anak laki-laki dengan tubuh penuh luka yang tersenyum pada kamera.
Dokja hanya bisa pasrah, dompetnya yang menyimpan foto-foto kecil mereka dijajah oleh Annisya. Tetapi tak urung ia merasa senang.
Hingga jarinya menunjuk pada seorang gadis kecil bermanik midnight blue di sana, "Ini ingat? Waktu itu kamu ulang tahun, tapi aku lupa. Akhirnya aku buat mahkota dari bunga di dekat rumah kamu, dan kamu pakai sampai selesai acara." Cerita Dokja dengan manik hitamnya yang menyorot rindu, tetapi dalam sekejap berubah dan maniknya kembali bersinar.
Annisya menyadari perubahan itu, ia melirik sejenak dan menutup dengan pelan dompet sang pria. Gadis itu merentangkan tangannya dengan senyum lebar, "Dokja~ ayo pelukan?" ajaknya. Manik hitam Dokja sekejap melebar, namun tak urung ia langsung menerjang sang gadis dengan pelukan.
Gadis itu tersenyum kecil, mengusap pelan punggung tegap namun rapuh milik sang pria. Entah kenapa, Annisya merasa beban besar dipikul sendiri oleh seorang Kim Dokja.
"Kamu tahu, Dokja?" Dokja menjawab pertanyaan itu dengan gumaman, suaranya terendam akibat menenggelamkan wajah pada cekuk leher Annisya.
Gadis itu terkekeh geli, tangannya yang lain mengusap penuh sayang surai hitam legam sang pria.
"Aku membuat novel. Sudah banyak pembacanya, lho."
"Oh, benarkah?" Nada antusias terdengar kala Dokja bertanya, "Apa judul novel kamu?"
Bukannya menjawab, Annisya malah kembali melemparkan pertanyaan. "Kamu tahu apa yang ditunggu oleh Malam?"
Tanpa melepaskan pelukannya, Dokja menjawab, "Bulan?"
Annisya menganggukkan kepalanya membenarkan. "Tapi, ada lagi yang lebih dan lebih! Ditunggu oleh Malam."
Sang pria sedikit menampakkan wajahnya, "Hmm~ apa itu?"
"Bintang." Ia tersenyum merasakan kepala Dokja yang memiring bingung.
"Kamu tahu? Biasanya, awan di perkotaan itu bisa menutupi langit yang luas." Pria itu menganggukkan kepala, pertanda ia masih mendengarkan. "Bulan masih terlihat walaupun awan itu menutupi, masih terlihat sinarnya di balik awan yang menghalangi."
Kedua tangan kecilnya berhenti mengusap dan kini saling bertautan, memeluk erat lelaki di dekapannya dengan mata yang terpejam.
"Tapi beda jauh sama Bintang. Walaupun mereka hadir, awan menutupi mereka. Dan Malam merasakan kesepian karena nggak ada Bintang. Karena itu, Malam menunggu Bintang."
Annisya dapat merasakan tubuh Dokja menegang, gadis itu hanya diam dan kembali mengusap punggung juga surai hitam sang pria.
"Kamu seorang Pembaca." Ia tersenyum tipis, "Jadi kamu pasti mengerti apa yang aku maksud, Dokja."
Dokja melepaskan pelukannya, Annisya dengan senang hati melepaskan. Pria itu menatap manik midnight blue milik sang gadis dengan sorot tak percaya.
Gadis itu tetap mempertahankan senyum tipisnya, dengan sorot mata yang sendu. "Tebakan kamu benar. Aku; Malam, menunggu kamu; sang Bintang."
"Yang mana, aku udah menemukan kamu Kim Dokja di dalam Bintang yang bersinar."
Annisya tersenyum lebar dengan mata yang kini menyorot tegas, "Dokja, dari dulu kamu tetap dirimu. Seburuk apapun masa lalu yang kamu hadapi, kamu tetap yang terbaik. Nggak usah merasa kalau kamu adalah manusia terburuk,"
"Karena aku akan selalu melihat kamu sebagai Bintang yang paling terang, dan akan memperlakukan kamu dengan sangat baik dibandingkan bintang-bintang yang lainnya. Memastikan kamu nggak akan kesepian di saat kamu yang paling bersinar."
Seusai ucapan itu tersampaikan, detik itu juga sebuah liquid bening jatuh dari pelupuk mata seorang Kim Dokja.
— END —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top