୨⎯ Lapar ⎯୧

文豪 ストレイドッグス

太宰治

Lapar © ChenanTixki

⋇⋆✦⋆⋇

Setelah beberapa jam dari pagi sampai sore di luar karena ada urusan dengan penerbit novelku, akhirnya aku bisa pulang ke rumah setelah semua energi sosialku tersedot sampai habis. Aku hanya ingin makan dengan tenang di rumahku, di rumah kami.

"Aku pulang!"

"Selamat datang!"

Suara cerianya adalah tempatku untuk berpulang, hanya itu saja. Bahkan kalau dunia di ambang kehancuran dan manusia di ambang kepunahan, aku akan membohongi diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja. Tawanya sangat membuatku kecanduan, perasaan jatuh cinta sama saja seperti mengonsumsi narkoba. Juga aku bersumpah aku tidak pernah menggunakan narkoba. Karena tidak mungkin rumah jadi bersih setelah aku tinggal seharian di tangan suamiku. Apa aku jadi mengkhayal karena terlalu lelah?

"Bersih..."

"Aku membersihkan."

Ini pasti kebohongannya yang seperti biasanya. "Yang benar? Jangan bohong, deh. Kamu memanggil Atsushi, kan?"

"Coba Kamu cium, di rumah ini apa ada aroma kucing?"

"Gak masuk akal sama sekali."

"Nah, jadi Kamu mengakui kalau aku bersih-bersih rumah?"

Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Masih enggak percaya." Siapa yang percaya seorang Dazai Osamu bisa membersihkan seisi rumah dengan benar? Ini pasti ilusi.

"Aku masak."

"..."

Aku pasti mati setelah ini.

Admin-admin Halu Pro dan teman-temanku yang lain, sahabatku, aku sayang kalian segenap hatiku. Jangan lupakan aku. Tolong kenanglah aku sebagai orang yang baik. Buatkan puisi yang didedikasikan untukku, dengan begitu aku tidak akan menjadi hantu gentayangan apalagi menghantui kalian. Ini surat wasiatku, jangan tertawa, tapi anggaplah dengan serius sekali saja. Aku bersungguh-sungguh.

"Jangan melihatku dengan tatapan mengintimidasi begitu..." Nadanya mencibir ketidakpercayaanku, tapi aku menatapnya begitu karena punya alasan sendiri. Semua orang pasti setuju denganku. Semoga tidak ada hujan kodok atau meteorit raksasa yang hendak menghantam bumi seperti di zaman dinosaurus.

Keberadaannya memudar saat ia masuk ke dapur, aku mendengar suara logam dan logam lain saling beradu. Lalu, suara benda keras lain yang berdentingan. Apa ia hendak membunuhku dengan terang-terangan? Harusnya istri berpikiran baik terhadap suaminya, tapi ini sudah di luar batas. Kalau dia ingin belajar masak, aku maklumi, gagal seratus kali pun aku tidak akan melemparnya sampai ke pluto karena gemas. Tidak, ini sungguh-sungguh di luar kendaliku.

Ia kembali dengan dua buah mangkuk dan satu piring persegi panjang. "Ayo, coba masakanku!" Ia meletakkan ketiganya di atas meja.

Aku mencoba untuk menggali kebenaran, supaya tidak bersalah sangka terus dengan suamiku sendiri, lama-lama berpikiran negatif aku jadi merasa tidak enak sendiri padanya. "Kamu masak apa?"

"Sup miso dan ikan goreng~."

Dari penampakannya, tidak ada yang aneh, semuanya normal. Aku hanya merasa harus mempercayai apa kata hatiku.

"Ikan..."

Kecuali...

Kalau harus memutuskan bahan makanan mana yang paling sulit untuk digoreng, maka aku pilih ikan. Minyaknya selalu meletus-letus, kalau ditutup pun akan semakin meletus juga, aku takut minyak yang menempel di tutupnya akan menetes di dekar kompor lalu... Oh, astaga, aku berlebihan sekali. Namun, sudah sepatutnya aku begitu. Punggung tangannya merah, pasti karena kena letusan minyak panas.

Dia sungguh bekerja keras. Aku bisa merasakan ketulusannya. Aku tidak mengada-ada kali ini.

"Mau aku obati?"

"Aku baik-baik saja, hanya terkena sedikit~!" Padahal, tiap hari juga aku yang membantunya mengganti perbannya itu. Kenapa sekarang menolak diobati? Kalau sudah merah begini, tidak cukup cuma dibilas air dingin, harus diolesi salep.

Meski begitu, ia terlihat bersikeras agar aku mencoba masakannya. Aku tidak punya pilihan lain, kalau tidak enak atau isinya aneh-aneh, aku akan berserah kepada yang di atas. Toh, suamiku orang yang berlogika, dia pasti menerima kritik dan saran dengan lapang dada.

"Baiklah, aku akan coba.."

Aku mengambil mangkuk miso dengan kedua tanganku. Kurasakan sup itu hangat, tidak panas, ia tahu betul bahwa aku tidak suka sup yang sangat panas sampai melewati titik didih. Bahkan bukan hanya sup, tapi teh dan kopi juga demikian, aku lebih memilih temperatur hangat daripada panas. Pokoknya, aku bisa segera menikmati semuanya. Aku meminumnya, mendiamkannya untuk beberapa saat di dalam mulutku sebelum aku menelannya dalam satu tegukan.

"... Bagaimana?" Wajahnya penasaran tapi juga gelisah. Apa dengan begini aku harus khawatir bahwa ia akan meracuniku?

"Miso-nya masih ada yang menggumpal, tahunya juga tidak dipotong rapi."

"Aku hanya mengikuti resepmu."

"Nanti aku ajari cara yang benar."

Dasar, padahal sup miso itu paling dasar dan paling mudah untuk dibuat. Dashi yang digunakannya pun dashi kemasan dari supermarket yang tinggal tuang saja, bukan yang dimasak dari awal seperti merebus bonito dengan air mendidih. Nanti saja aku mengomelinya, lagipula dia sudah berusaha, aku harus menghargainya.

"Ikannya?"

"Kamu tahu aku selalu suka ikan." Presentasinya agak payah, sedangkan rasa ikannya masih lumayan mencukupi.

Hanya saja, aroma wangi apa ini? Bukannya ini aroma sabun cuci piring? Lalu, angin yang berhembus dari luar, sudah tidak ada lagi daun-daun kering yang masuk ke dalam rumah dari luar perkarangan.

"Kamu mencuci? Lalu, membersihkan halaman juga?"

"Mengganti sprei, mensortir sampah untuk daur ulang, dan menyetrika kemeja kerja. Apa ada hal lain yang kurang, Sayang?"  Ia menghitung tiga kegiatan yang sudah ia lakukan saat aku sedang tidak di rumah. Kepalanya miring ke kanan saat bertanya padaku.

"Belanja?"

Dia menepuk tangannya sekali setelah aku mengingatkannya. "Oh, belum! Kalau begitu, aku ambil dulu kantung belanjanya." Ia berdiri untuk mengambil kantung belanja yang dikatakannya, tapi saat ia berjalan aku menahannya, mencubit bajunya.

Entah kenapa aku tidak suka melihat punggungnya.

"Kenapa Kamu melakukan ini semua? Ini tugasku sebagai istrimu."

Aku menundukkan kepalaku. Aku tidak berani untuk melihat wajahnya, atau tatapan matanya. Aku tahu bebannya, penderitaannya, kekosongan di hatinya, tapi yang aku takutkan adalah aku akan membebaninya selama ia masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Kemudian, bayangannya semakin pekat hingga ia berlutut di dekatku.

Pelukannya padaku terasa lembut, dan hangat. Aku tahu saat seseorang tulus padaku, aku sangat tahu, lebih daripada siapa pun. "Shaa-chan, ini tugas kita bersama. Kamu harus membaginya padaku, ya?" katanya.

"Tugasku sebagai suamimu untuk membantumu." Pelukannya semakin erat, hingga ia melingkarkan tangannya di pinggangku, sementara tangan yang satu lagi memainkan jari-jemariku, kemudian aku merasakan ciuman yang mendarat di dahiku. "Apa pun yang Kamu butuhkan," katanya.

Meski ini adalah mimpi, tapi perasaannya yang sebenarnya tidak mengandung kebohongan, dia tidak berdusta padaku. Aku bangga pada diriku sendiri karena bisa melelehkan topengnya di tanganku.

Sampai aku mencium bau asap yang masuk sampai ke kamar tidur, penyebabnya gara-gara pintu kamar terbuka, asap dari dapur bisa masuk ke sini, tapi...

Badanku lengket. Apa aku mandi dulu saja? Tapi, kalau tiba-tiba rumah terbakar saat aku sedang lengah, bagaimana? Baru bangun tapi perasaanku sudah kacau. Dia benar-benar tidak bisa menahan diri padaku. Aku harusnya senang, tapi sikapnya agak keras daripada yang sebelum-sebelumnya.

Demikian, aku memilih untuk bangkit dari tempat tidur, mengambil ikat rambutku lalu berjalan keluar dari kamar, aku berjalan dengan arah pasti yakni menuju ke dapur seraya mengikat rambut sepanjang bundakku.

Saat aku berhasil menangkap batang hidungnya, aku memanggil namanya. "Osamu?"

Di saat itulah ia menyembul keluar dari sisi lain tembok, seperti meerkat. "Shaa-chan! Ayo sarapan, hari ini aku yang memasak!!" katanya. Setelah itu, ia masuk kembali ke dapur.

Apa? Suamiku masak?

Aku duduk di meja makan saat ia kembali dengan sepanci makanan yang berkuah sangat merah, merahnya lebih seperti warna bubuk cabai yang merah tua dan gelap. Aromanya sedikit menggelitik hidungku karena banyaknya rempah-rempah di dalam sini, tapi untungnya tidak sampai bersin.

"Apa ini?" Aku menatapnya, untuk meminta penjelasan serinci-rincinya.

"Tahu rebus. Kamu suka pedas, kan? Aku membuatnya jadi sepedas mungkin."

Rasanya aku mau muntah kalau mengingat mimpi tadi dan kenyataan yang sebenarnya. Kebenarannya sangat berbeda satu sama lain. Seolah mimpiku itu sungguhan cuma sekadar angan-angan bahwa suamiku tidak akan bisa setidaknya memasak makanan yang layak dikonsumsi dan lulus BPOM. Bukannya aku meragukannya, tapi dia hanya bayi yang suka merengek, manja, minta perhatian, haus afeksi. Apa yang lebih menghebohkan dari seorang bayi jenius gila?

"Ingatkan aku kalau Sakunosuke-san yang suka pedas pun sampai terbirit-birit ke toilet karena tahu buatanmu. Apalagi Ango-san yang hanya manusia biasa."

"Pada akhirnya, mereka berdua bersemangat untuk satu hari penuh dan baik-baik saja."

"Apa Kamu sudah pernah mencicipi masakanmu sendiri?"

"Apa itu perlu? Bukannya koki restoran tidak akan sempat mencicipi masakannya saat pesanan datang seiring waktu?"

"Memangnya Kau ini koki restoran atau bukan? Sedang menerima pesanan atau tidak?"

Dia segera meringkuk, berlutut di bawah kolong meja, kedua tangannya di atas meja dan matanya ia buat main-main seperti mata seekor kucing. "G-galaknya..."

Aku mengambil apron warna hitam yang tergantung di ambang ruang dapur, lalu menggantungkannya di leherku, memakainya untuk persiapan memasak makanan yang sesungguhnya.

"Jangan sampai membuang-buang makanan, berani berbuat berani bertanggung jawab. Habiskan semua mahakaryamu itu."

Tiba-tiba saja, aku ingin makan ikan. Apa karena mimpi tadi? Kalau begitu, aku akan memasak ikan panggang saja dengan saus lada hitam yang kuat. Ah, membayangkannya saja sudah berkilauan imajinasiku, seperti madu surga saja. Jadi aku mengambil papan penggorengan yang lebar, karena aku akan memasak banyak secara sekaligus. Aku bisa membaginya dengan yang lain.

Aku lalu mengikat tali apron ke belakang pinggangku membentuk simpul kupu-kupu, tak lama setelah itu muncul suara logam berdentingan beberapa kali. Aku membuka kulkas untuk mengambil ikan dan bahan-bahan lain untuk bumbu saus. Aku berpegangan pada pintu kulkas, dari sana ada tangan lain yang perlahan merangkulku hingga seluruh tubuhku.

Tubuhku penuh dengan aromanya.

Aku rasakan tangannya bergerak menjalar semakin ke atas, dari telapak tanganku, lengan, pundak, lalu berhenti di leherku. "Mahakaryaku yang sesungguhnya... adalah ini."

Ini? Ini adalah bekas yang akan tetap bertahan dengan tebal selama seminggu penuh. Kalau kututupi dengan kerah kemeja, syal, atau aku menggerai rambutku pun dia pasti kesal lagi padaku. Lantas, aku harus bagaimana? Mengumbar kemesraan boleh saja, tapi tidak dengan begini, orang-orang akan berpikiran jorok!

"Aku mau masak, jangan mengganggu."

Aku mengambil sebotol kecap asin yang terletak di rak pintu kulkas setelah aku mencari keberadaannya untuk beberapa saat, aku hendak mengambilnya tapi tanganku segera ditariknya sampai tubuhku berputar lalu aku berhadap-hadapan dengannya.

Wajahnya sangat dekat, menurutku ini adalah tingkah kekanakan seorang bayi yang hanya minta diperhatikan. "Aku ini pria yang bertanggung jawab terhadap mahakaryaku." Gerak-geriknya mencurigakan begitu ia menutup matanya, tapi aku segera menghentikan wajahnya untuk tidak maju lebih dekat lagi.

Tangannya yang menyentuh leherku tidak pernah ia lepaskan. Katakanlah ia tahu sekencang apa detak jantungku melalui aliran nadi di leherku, maka aku akan mempercayainya. "..Jangan. Hentikan. Tidak sekarang, aku masih kelelahan, karena Kamu terburu-buru aku sampai melewatkan makan malamku."

"Aku minta maaf," katanya, sambil mencium telapak tanganku.

Tiba-tiba saja suaranya berubah menjadi lembut, tapi aku masih curiga dengannya. Dia tidak suka anjing jadi aku akan mengibaratkannya sebagai seekor kucing, suaranya itu seperti seekor kucing yang habis memecahkan pot bunga lalu berlagak minta maaf sambil memasang wajah memelas dengan matanya yang tiba-tiba membesar seperti boba, tapi pasti entah kenapa bahwa kucing nakal itu tidak akan menyesali perbuatannya sedikit pun dan justru bisa mengulangi hal yang sama kapan saja.

"Tapi..." Sudah kuduga. Tapi, bukankah ini luar biasa? Aku benar-benar memahami suamiku, lebih dari siapa pun. Secara logika mungkin Sakunosuke lebih bisa akrab, tapi aku menggunakan perasaanku dengan sebaik mungkin.

"Wajahmu tadi malam itu berkata, Kamu menikmatinya. Apa Kamu masih kelaparan?"

Yang tadi malam itu memalukan, aku pusing, aku tidak mau membayangkannya! Sudah bagus-bagus bermimpi suamiku memasak makanan yang layak dimakan meski masih belum sempurna, tapi tahu rebusnya itu seolah sudah dikutuk oleh malaikat kematian!

"Lidah kampungku meronta-meronta mau makan nasi. Biarkan aku memasak dulu, Osamu!" Aku coba untuk melepaskan diri, aku juga memukul-mukul dadanya.

Bahkan tatapannya pun seperti gabungan mata burung hantu maupun burung elang. Seakan-akan matanya sampai bisa melihat seberapa tebal minyak di wajahku dan atau seberapa tebal dosa-dosa yang ada di pundak kiriku. "Meronta-ronta?"

Aku bisa rasakan jempolnya agak menekan leherku. Gerakannya lembut, jadi tidak sampai membuatku sakit, hanya saja aku masih terkejut karena tempat jempolnya menekan leherku itu dekat dengan tandanya.

Karena aku tidak tahu harus berkata apa-apa lagi, aku hanya diam saja sambil menatap matanya. Ah, entah mau aku deskripsikan sepanjang apa pun, matanya itu penuh arti. Lebih gelap dari angkasa, tapi berkilau seperti emas. Jempolnya lalu bergerak kembali, sentuhannya sedikit membuatku geli saat berdiam di pipiku. Namun gerakannya kembali turun ke daguku.

Suaranya bergetar, tapi hasratnya kuat. "Aku akan menyuapimu."

Sungguh, tujuan utamaku hanya ingin mengisi perutku dengan makanan sungguhan, dengan damai, tenang, dan tentram. Apakah sesulit itu untuk mengawali hariku? Ya Tuhan, bayi ajaib macam apa yang menjadi suamiku ini?

⋇⋆✦⋆⋇

Yah, begitu(◍•ᴗ•◍)
Kalau mau protes dengan saya, dipersilakan protes di sini, nggih.

Kolom protes »»————>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top