📂 ❛ Qui Sont En Fait ༉‧₊˚✧

Sanzu Haruchiyo × Readers

Tokyo Revengers © Ken Wakui

Story © BadassMochi

Halloween Event © Halu_Project

Lampu mulai padam, pertokoan pun ditutup. Menandai bahwa hari telah usai. Orang-orang memilih untuk pulang dan beristirahat di rumah dari kepenatan seharian ini. Bunyi klakson terdengar tajam dan memekakan telinga. Sesekali si pemilik kendaraan menghela napas lantaran jalan raya yang menunjukan kepadatan.

Ya, seharusnya memang demikian.

Suara desauannya terdengar di dalam gelapnya kamar itu. Sesekali napasnya tercekat kala tangan pria itu mulai menelusuri tubuhnya. Menyentuh bagian-bagian yang cukup sensitif. Hanya menambah keinginan di dalam dirinya untuk terus meneriakan nama pria di atasnya itu.

"Hei."

Dengan wajah sayunya, wanita itu pun membalas tatapannya. "Hm?" gumamnya pelan lantaran tubuhnya terlalu lemas untuk sekedar menanyakan apa yang ingin pria itu tanyakan padanya.

"Kau tidak lupa 'kan?" tanyanya, berniat untuk memastikan.

"Apa?" sahut wanita itu. Tampak tidak mengerti.

Pria dengan surai yang berwarna terang itu mengikis jarak di antara wajah mereka. Ia mendekatkan mulutnya pada telinga wanitanya. Bibirnya mengucapkan beberapa kata yang langsung disambut oleh tatapan terkejut dari wanita itu.

Belum sempat mengatakan apa-apa, bibirnya sudah lebih dahulu dibungkam oleh benda yang sama. Lidah mereka saling beradu. Menukarkan sekitar delapan puluh juta bakteri di dalam sana. Tangan pria itu pun tidak tinggal diam. Sebisa mungkin ia meraba epidermis wanita yang telah menjadi miliknya itu. Menimbulkan suara desahan yang tertahan kala bibir mereka masih saling melumat.

Kini wanita itu tahu, malam yang mereka lalui masih akan sangat panjang.

***

Kertas-kertas yang berserakan di atas meja sudah menjadi pandangan wanita itu sejak tadi. Perempatan imajiner terbentuk pada keningnya. Menandakan jika otaknya sedang bekerja keras sementara wajahnya tampak lelah. Gelas berisi kopi yang sebelumnya masih hangat kini sudah tandas. Tidak hanya satu gelas saja, ada beberapa gelas kertas yang masing-masing telah habis diminum olehnya.

Bibirnya berdecak kala pikirannya sudah semakin runyam. Sudah tidak dapat diajak bekerja sama lagi. Alhasil, (Y/n) memutuskan untuk merapikan kertas-kertas di hadapannya itu. Ia meletakkannya ke tempat semula.

Bokong dihempaskannya ke atas kursi bersandar. Tubuhnya pun disandarkan untuk sekedar menghilangkan rasa pegal. Seketika ia termenung dan larut di dalam pikirannya sendiri. Matanya terpejam. Napasnya mulai dinetralkan seperti biasanya.

Pikirannya sontak melayang ke mana-mana. Tidak tinggal diam di kala suasana sunyi semakin menjerat dirinya. Kelopak matanya kembali terbuka. Ia memajukan tubuhnya untuk meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Merasa bosan, (Y/n) memutuskan untuk menyelam di social media.

Namun, bukannya menghilangkan rasa bosan dan juga kepenatannya, yang ia dapatkan justru cibiran dan cemooh pada sebuah posting di akun Instakilogram-nya. Padahal, foto yang ia post di sana hanya berupa dirinya yang tersenyum lebar di depan kamera bersama Haruchiyo di sebelahnya. Tidak ada maksud lain selain hanya untuk menunjukan bahwa dirinya bahagia saat itu.

Helaan napas pun (Y/n) hembuskan bersamaan dengan layar ponsel yang meredup sebelum padam sedetik kemudian. Ia sendiri tidak terlalu peduli dengan ucapan orang lain terhadap dirinya. Itu memang hak mereka untuk berkomentar. Namun, tidak sepenuhnya benar apabila mereka memanfaatkan hak tersebut untuk berbuat sesuai kehendak mereka sendiri.

Melupakan sejenak tentang hal itu, manik (e/c)nya melirik ke arah meja kayu di sudut ruangan. Setoples kaca menjadi objek yang (Y/n) lihat. Tubuhnya seketika bangkit dari duduknya. Berjalan mendekati meja itu. Lalu, ia meraih toples itu dengan tangannya. Kaca yang transparan melapisi bagian luar toples itu. Sekaligus menampakkan isinya dengan jelas di mata (Y/n).

Suara bel apartemennya yang berbunyi sontak membuah (Y/n) menoleh ke arah luar kamarnya. Kemudian ia beranjak keluar kamar. Dengan toples itu di tangannya.

Pintu dibuka, terpampanglah anak-anak kecil di hadapan (Y/n). Berdiri dengan kostum mereka yang terlihat lebih imut daripada menyeramkan. Oh, melihat kostum yang mereka kenakan, seketika (Y/n) teringat jika hari ini adalah hari halloween. Karena pekerjaannya dan lain hal sehingga ia pun melupakan tentang halloween itu.

"Nee-san!" Salah satu dari anak itu memanggil (Y/n) sehingga membuyarkan lamunan wanita itu. Juga membuatnya menatap ke arah mereka lagi. Tentunya disertai sebuah senyuman hangat.

Dengan serentak, mereka mengatakan kalimat yang sama, "Trick or treat?"

Kekehan keluar dari bibir (Y/n). Ia membuka toples yang sejak tadi dibawa olehnya. Secara tidak sadar wanita itu membawa si toples bersamanya. Namun, pada akhirnya ia tidak menyesali keputusannya itu.

Masing-masing anak menerima beberapa bungkus permen dengan berbagai rasa dari (Y/n). Wanita itu ikut tersenyum lebar kala mereka menatap permen pemberian (Y/n) dengan wajah sumringah. Seolah-olah mendapatkan harta karun yang sangat berharga.

"Kalian menyukainya?"

Pertanyaan (Y/n) itu dijawab oleh anggukan kepala mereka. Dengan senyum yang terpatri pada wajah mereka masing-masing. Ah, rasanya (Y/n) ingin mengadopsi salah satu dari anak-anak di hadapannya ini.

"Arigatou, Nee-san!" Mereka membungkuk hormat kepada (Y/n). Masih disertai dengan senyuman, (Y/n) menepuk-nepuk kepala mereka satu per satu dengan lembut.

Seketika (Y/n) ingin memiliki seorang anak. Yang tentunya mirip dengan dirinya juga suaminya itu.

***

"Tadaima."

Suara bariton itu menyapa dari depan pintu. (Y/n) yang tengah membaca majalah pun menoleh ke sana. Ia beranjak dari tempatnya dan mendekati pintu masuk di mana orang yang ia tunggu sejak tadi berada.

"Okaeri, Haru."

Haruchiyo mendekati (Y/n). Ia melingkarkan tangannya ke balik punggung wanita itu. Yang tentunya dibalas dengan hal yang sama oleh (Y/n).

Namun, pelukan hangat itu tidak berlangsung lama. Pasalnya, (Y/n) mencium sesuatu yang berbeda dari biasanya yang berasal dari Haruchiyo.

"Apakah kau memakai parfum lebih banyak dari yang biasanya?" (Y/n) menengadahkan kepalanya. Menatap lurus ke arah manik biru milik Haruchiyo.

"Um. Apakah itu mengganggumu?" tanya pria itu sambil melepas jas yang ia kenakan.

"Tidak. Aku hanya bingung," sahut (Y/n) jujur. Ia mengambil jas yang sebelumnya dilepaskan oleh Haruchiyo. "Duduklah. Aku sudah membuat makan malam sebelumnya," lanjut wanita itu kala ia melihat Haruchiyo mulai melangkah ke ruang tengah.

"Jarang sekali kau pulang selarut ini," ujar (Y/n) mulai membuka percakapan. Ia sudah menyediakan makan malam untuk dirinya serta Haruchiyo.

Haruchiyo diam sejenak. Memikirkan jawaban yang tepat untuk membalas pernyataan (Y/n). "Meeting tadi malam ternyata lebih lama dari perkiraanku. Itulah penyebabnya," jawabnya kemudian.

(Y/n) mengangguk-angguk paham. Ia mengambil sumpitnya dan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut. "Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini? Apakah berjalan dengan lancar?"

Kepalanya sontak mengangguk. Haruchiyo tersenyum pada (Y/n). Menyiratkan jika dirinya sedang merasa bahagia saat ini. Terlebih ia bersama dengan (Y/n). Seorang wanita yang telah menjadi istrinya selama tiga tahun belakangan ini.

"Syukurlah kalau begitu," sahut (Y/n) seraya membalas senyuman Haruchiyo. Kala ia melihat mangkuk berisi nasi milik suaminya itu masih tersisa setengahnya, sontak (Y/n) bertanya, "Kau tidak menghabiskan makananmu?"

"Tidak. Aku sudah kenyang."

Seketika (Y/n) terdiam. Gerakan tangannya untuk memasukkan ebi tempura ke dalam mulutnya pun terhenti di udara. Wanita itu merasa heran. Heran dengan sikap Haruchiyo hari ini. Semuanya terasa berbeda. Apakah ini hanya sekedar perasaannya semata? Entahlah, ia tidak tahu.

"Ada apa, (Y/n)?" tanyanya tiba-tiba. Yang sontak membuat lamunan (Y/n) pun buyar.

"Bukan apa-apa, Anata." Ia menggeleng, kemudian sebuah senyum terbentuk pada bibirnya.

Hingga detik terakhir makan malam itu usai, (Y/n) tidak mengatakan apa-apa tentang rasa janggal di dalam dirinya.

***

Kekosongan dirasakan olehnya ketika tangannya meraba ke bagian kanan tempat tidur. Tepat di mana Haruchiyo berbaring sebelumnya. Memeluk tubuhnya dari belakang, juga mengucapkan ucapan selamat tidur sebelum (Y/n) terlelap dan menuju alam mimpi.

Namun, bukannya mendapati keberadaan Haruchiyo di sana, kini yang ada hanyalah rasa dingin pada permukaan tempat tidur. Menandakan jika seseorang yang tertidur di atasnya telah meninggalkan tempat itu sejak tadi.

(Y/n) pun bangkit dari pembaringan. Ia mengambil ponselnya yang berada di dalam mode pesawat untuk melihat pukul berapa saat ini. Pukul dua lebih tujuh belas menit. Masih tersisa sekitar empat jam lagi sebelum mentari menampakkan dirinya di ufuk timur.

Keputusannya untuk mencari Haruchiyo telah bulat. Rasa khawatir dan juga heran kembali menyelimuti dirinya. Pasalnya, sejak kepulangan Haruchiyo tadi malam, wanita itu merasakan sesuatu yang berbeda dengan Haruchiyo. Namun, ia berharap itu hanyalah perasaannya belaka. Bukan fakta yang sebenarnya ada.

"Haru? Kau ada di mana?"

Tidak ada sahutan apapun yang (Y/n) dengar. Namun, pemikiran itu pun ia sangkal setelah mendengar suara samar-samar berasal dari halaman belakang rumahnya. Dengan perlahan ia mendekatinya. Sambil meyakinkan diri jika apa yang ia dengar bukan berasal dari makhluk tak kasat mata.

"Hei."

Saat suara milik seseorang yang sangat (Y/n) kenali itu didengar oleh telinganya, seketika perasaan lega menyergap. Nyatanya Haruchiyo masih berada di sana.

(Y/n) hendak menghampiri pria itu. Namun, ia urung melakukannya kala telapak kakinya menginjak sesuatu. Sesuatu yang terasa kental. Kondisi yang gelap karena lampu dimatikan membuat (Y/n) tidak dapat melihat dengan jelas. Namun, bau amis yang menghampiri indra penciumannya membuat wanita itu langsung mengetahui sesuatu-yang-ia-injak itu.

Mulutnya ia tekap dengan erat oleh tangannya. Semakin ingin menjerit kala ia tahu darah itu berceceran di mana-mana. Bersamaan dengan teriakan yang berasal dari halaman belakang rumahnya.

Tubuh (Y/n) merapat pada dinding yang membatasi dirinya dengan halaman belakang rumah. Diselimuti oleh rasa takut juga kebingungan, wanita itu mengintip sekilas. Untuk melihat apa yang terjadi di sana.

Apa yang sedang terjadi di depan matanya sama sekali berbeda dengan apa yang (Y/n) bayangkan. Ia tidak tahu apakah yang ia lihat ini merupakan ilusinya atau mimpi buruk. Namun, Haruchiyo yang tampak tengah menyeret tubuh seorang wanita yang berlumuran darah itu terlihat dengan jelas oleh (Y/n). Terlalu jelas hingga sulit untuk dikatakan sebagai sebuah ilusi.

"Oh? Kau sudah bangun rupanya."

Pernyataan itu berasal dari Haruchiyo. Wajahnya terlihat datar dan dingin. Juga mengeluarkan aura yang mencekam. Tidak ada senyuman hangat yang biasa ia tunjukan pada (Y/n). Juga tidak ada tatapan penuh kasih sayang yang tersorot pada manik birunya.

Haruchiyo... benar-benar terlihat berbeda.

"Jangan berteriak, Bodoh. Jika kau melanggarnya, kau pasti sudah tahu apa akibatnya," ancam pria itu sambil tersenyum. Bukan senyum yang (Y/n) lihat di kala mereka makan malam sebelumnya. Melainkan senyuman yang menyiratkan kenikmatan atas apa yang sedang ia lakukan saat ini.

Haruchiyo menyeret tubuh wanita itu. Ia membawanya menuju sebuah tempat yang tersembunyi di balik semak-semak. Kemudian, suasana kembali sunyi dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Semua kejadian itu disaksikan oleh (Y/n). Wanita itu masih terlalu terkejut bahkan untuk sekedar mengedipkan matanya. Jantungnya berdetak dengan kecepatan yang luar biasa. Tubuhnya merosot ke atas lantai.

Pikirannya tertuju kepada kejadian singkat yang tak pernah (Y/n) sangka itu. Kala ia mengingat kembali wajah wanita yang diseret oleh suaminya, seketika (Y/n) terlonjak kaget. Pasalnya, wajah wanita itu merupakan seseorang yang ia kenal.

Ya, orang yang sama dengan orang yang mencemoohnya di sebuah post terakhir akun social media-nya.

Lantas (Y/n) berdiri tegak. Ia berjalan pelan mengikuti jejak darah yang diakibatkan oleh ulah Haruchiyo tadi. Hingga pada akhirnya jejak darah itu berhenti di depan sebuah pintu yang tampak tertutup. Pintu itu terletak sejajar dengan tanah yang ia pijak. Selama ini, (Y/n) tidak pernah melihat keberadaan pintu itu. Bagaimana bisa ia tidak mengetahuinya sama sekali?

Dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara, (Y/n) pun membuka pintu itu. Sebuah tangga menuju ke bawah terlihat di depannya. Kemudian ia melangkah dengan hati-hati. Mengikuti jejak darah yang sempat terputus sebelumnya.

Di dalam justru tampak terang. Cahaya dari lampu pijar membuat (Y/n) dapat berjalan dengan sedikit tenang tanpa perlu khawatir dirinya tidak membawa senter atau ponselnya untuk dijadikan sebuah penerangan.

"Akhirnya kau datang, (Y/n)."

Jantung wanita itu terasa seperti berhenti berdetak. Pikirannya mendadak kosong. Tubuhnya diliputi oleh rasa takut serta keterkejutan. Dengan perlahan, (Y/n) menoleh ke belakang. Di sana, Haruchiyo berdiri dengan pakaian tidurnya yang berlumuran darah.

"H-Haru..." (Y/n) sontak menyebut nama pria di hadapannya itu. Sebenarnya banyak yang bisa ia katakan. Namun, nyatanya saat ini ia tak bisa berkutik di depan Haruchiyo.

"Kau takut padaku?"

(Y/n) sontak melangkah mundur kala Haruchiyo berjalan mendekat. Reaksi itu terjadi secara refleks tanpa dirinya sadari. Ia hanya merasakan adanya bahaya saat ini.

"Kau takut padaku, (Y/n)," ujar pria bersurai rosy pink itu. Ia berhenti melangkah. "Padahal aku melakukannya untukmu."

"M-Maksudmu?" tanya (Y/n) takut-takut. Tentu saja ia tidak paham dengan pernyataan Haruchiyo. Di bagian mananya jika pria itu melakukan semua itu untuk dirinya? Ketika ia menyiksa wanita tadi? Atau di saat ia mendengar teriakannya?

"Wanita itu adalah salah satu sampah yang harus dibuang ke tempatnya. Bukan untuk dibiarkan berserakan di tempat umum. Bukankah selama ini orang tuamu juga mengajarkan hal yang sama?"

"Aku, aku semakin tidak mengerti, Haru," sahut (Y/n) pelan.

Bukannya menjelaskan lebih lanjut agar (Y/n) paham, Haruchiyo justru berkata, "Aku sudah menunggumu sejak tadi."

Pernyataan Haruchiyo seperti petir yang menggelegar di siang hari. Tanpa angin, tanpa hujan. Dan (Y/n) tidak bodoh untuk memahami apa arti dari ucapan pria itu. Maka dari itu, ia mengutarakannya.

"K-Kau sudah tahu jika aku akan datang ke sini?" tebaknya.

Sebenarnya (Y/n) tidak perlu menunggu jawaban Haruchiyo tentang hal itu. Jika selama ini Haruchiyo sering melakukan hal yang sama, itu artinya pria itu selalu menghapus semua jejak yang ada. Tanpa terkecuali. Namun, saat ini, jejak darah yang terlihat sangat jelas justru dibiarkan olehnya berceceran di mana-mana.

Bukannya (Y/n) ingin berprasangka buruk terhadap suaminya sendiri. Tetapi yang ia inginkan hanyalah penjelasan. Penjelasan tentang semuanya.

"Tidak ada satu pun yang boleh melukai sang Ratu. Itulah aturan permainannya."

(Y/n) terdiam sejenak. Sejak tadi ia hanya menatap ke arah manik biru itu. Berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, nihil. Tidak ada sirat kedustaan yang terpancar.

Belum sempat sadar akan apa yang terjadi, tubuh (Y/n) sudah lebih dahulu dibawa ke dalam dekapan Haruchiyo. Bau amis dari darah masih tercium dengan samar. Dengan tangan yang gemetar, (Y/n) melingkarkan tangannya ke balik punggung pria itu. Ia menutup matanya sejenak. Melupakan segala pikirannya untuk saat ini. Hanya untuk menikmati kehangatan yang sedang ia rasakan sekarang.

Kelopak matanya sontak terbuka lebar. Bukan, bukan karena (Y/n) mendengar teriakan di dekatnya. Lebih tepatnya ialah karena sesuatu yang terasa tajam menusuk permukaan kulit tengkuknya. Menembus epidermisnya, juga pada pembuluh darah venanya yang berlika-liku.

Hingga pada akhirnya, (Y/n) baru saja menyadari suatu hal saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top