📂 ❛ Bilur ༉‧₊˚✧
Vlamiunox x Shanon
YTMCID / YouTuber Minecraft Indonesia
Story © Rinkusuu
Halloween Event © Halu_Project
•••
Dedaunan kering berguguran bagaikan asa yang telah digantung apik di atas sana. Namun, sayang beribu sayang, semilir angin menyusup menggugurkan harapan. Mungkin memang sudah waktunya, pada masa lampau harapan mulai tergantung, datang masanya harapan gugur. Kau salah, apabila berpikir bahwa sang penggantung asa tiada usaha untuk mewujudkan. Hanya saja kehadiran angin merusaknya.
Ia pernah berharap, bahwa 'dia' yang pernah membagi afeksi akan singgah lebih lama di sanubari. Namun nyatanya, semua itu hanya jadi zaman bahari, yang berakhir di senja hari. Hingga pada saatnya ia yang pernah berharap hanya dapat mengalah, menggugurkan semua asa yang pernah ia gantung. Jika tidak seperti itu, lantas apa yang bisa ia harapkan dari 'dia' yang sudah memiliki tali jantung.
Biarlah orang-orang melabelinya sadboy, jomblo, atau julukan lain yang mewakili kesendirian. Itu lebih baik daripada mengorbankan pertemanannya dengan sang kawan. Masih banyak wanita di luar sana yang mau menerima dirinya ketimbang merebut milik orang lain.
Ketimbang merebut milik orang lain.
Adalah kebohongan terbesar yang pernah Miu ungkapkan. Bagaimanapun juga 'dia' adalah cinta pertamanya, tempat pertama kali Miu mengetahui apa itu berkorban untuk yang tercinta, namun kini hanya menyisakan luka yang menoreh di jiwa.
Senja seringkali diibaratkan dengan perpisahan, atau akhir dari sesuatu yang telah dimulai. Entah Miu harus bersyukur karena alam mengerti dirinya, atau malah sebaliknya, yaitu menerima kenyataan bahwa ia benar-benar berpisah dengan 'dia'. Atau yang lebih menyakitkan adalah ia tak lagi memiliki ikatan dengan 'dirinya' yang pernah singgah di palung hati.
Miu meraba kain hitam yang menutupi kedua matanya. Berusaha untuk melepas, namun ia tak sanggup menyaksikan indahnya dunia tanpa sandingan jiwa. Tangan mulus itu tak lagi terjamah, suara lembut dari gadis bermahkota salju tak lagi mengalun mengisi pendengaran, kini semua tinggal kenangan.
Sesekali daun momiji singgah di telapak tangan tanpa permisi, bermaksud baik untuk mengisi ruang pada tangan yang tak lagi memiliki. Walau harus berakhir remuk di tangan itu sendiri, setidaknya dapat menggantikan kehadiran 'dia' walau tak begitu berarti.
Mengulas senyum tipis, sesekali mengacak rambutnya yang secepat itu menjadi sarang berkumpulnya dedaunan kering. Surai yang kontras dengan merahnya pohon maple menambah kesan estetika secara tak langsung, adalah saat terbaik untuk mengagumi keindahan dari seseorang yang mengaku pusung.
Ia bodoh karena menggantung harapan tanpa bisa mewujudkan, bodoh sebab sudah tahu begitu masih saja berharap, seharusnya ia tahu bahwa daun momiji dan salju tidak pada musim yang sama.
Malam nanti anak-anak Sans akan merayakan Halloween, sudah pasti Miu akan bertemu dengan gadis itu lagi. Ini bagus, untuk mengobati kalbu yang terbelenggu rindu. Namun apakah benar begitu? Tidakkah hatinya akan merasakan sakit yang menderu? Apabila mereka membagi kasih di depan hati yang kelabu.
Daripada itu, semburat senja mulai memudar, seiring kepulangan sang raja siang ke peraduan. Artinya, sebentar lagi dewi malam akan menampakkan wujudnya di malam yang mencekam ini. Miu hendak beranjak sebelum panggilan dari belakang sana menginterupsi.
“Miu Miu!”
Kepala dengan mahkota ruby menoleh ke sumber suara. “Haru, ya? Ada apa?”
“Mau berangkat bareng?” Terdengar jelas, nada antusias dari insan berambut putih itu, dengan kedua tangannya yang bertengger pada strap bahu dan alis putihnya yang naik meminta kepastian. Meskipun Harucisan tidak yakin Miu dapat melihatnya, itu sudah menjadi hal lumrah untuk diherankan.
“Loh udah mau mulai? Baru aja aku jadi anak indie, menikmati kesendirian di senja hari,” guraunya. Mulai sudah drama yang diciptakan, meski begitu tak lekang mengangguki ajakan.
Miu membuntuti si surai putih meniti jalan berkerikil, semakin suntuk dari hati yang tak lagi merasa adil. Ia tak akan melongok ke belakang untuk kesekian kalinya, setelah apa yang ia dapat hanya menciptakan rindu yang kian mengudara.
Beberapa meter telah terlewat tanpa adanya celotehan, Harucisan berusaha untuk memahami suasana. Tak biasanya pemuda yang kerap melontarkan candaan ringan dengan suara lembutnya kini bergeming, bagaimanapun suasananya selalu saja ada ide usil dari sosok di belakang Harucisan. Namun, Miu kini hanya membisu.
“Miu kamu kenapa? Aku tau kamu sadboy dari lahir, tapi nggak biasanya lho kamu begini.” Haru bertanya dengan segenap keberanian yang telah terkumpul.
Niat nanyain apa ngejek sih? teriak hati kecil Miu.
“Ih Haru kepo, sok-sokan ngatain aku sadboy pula. Emangnya kamu udah punya gandengan apa?”
Kepala berambut putih dengan kedua tanduk kecil berwarna biru menoleh, lantas melipat kedua tangannya. “Aku emang belum punya gandengan, tapi aku nggak sadboy kayak kamu.”
“Heh kamu nggak boleh gitu, aku nggak sadboy. Kamu yang sadboy.”
“Kamu, Miu.”
“Corazon yang sadboy.”
“Apa ini? Kenapa aku dibawa-bawa?” Corazon, pemuda berambut cokelat itu muncul entah dari mana asalnya. Tampangnya yang konyol dari lahir kini terlihat masam.
“Loh, Corazon kok kamu di sini?” tanya Miu.
Sedang yang ditanya semakin menekuk wajah. “Aku udah mau masuk portal sampe ada yang bilang sadboy, yaudah aku balik, ternyata kalian.”
Mendengar itu membuat pemilik surai merah dengan kain hitam yang menutupi matanya tergelak, sebisa mungkin menahan tawa namun gagal. Corazon tak mengerti apa yang membuat sohibnya itu tertawa, apanya yang lucu? Harucisan pun demikian, ia mengerutkan kening.
“Miu kamu kesambet apaan?” tanya Harucisan.
“Haha, astaga Korajon...,” jeda Miu sejenak untuk menghabiskan sisa tawanya. “Saking sadboy-nya sampe punya naluri alam gitu.”
Corazon tak mengindahkan tawa Miu yang semakin memenuhi pendengaran, namun dalam hati tetap bertanya-tanya apa gerangan yang membuatnya seperti memiliki naluri alam; sama seperti yang Miu katakan. Hanya dengan satu kata 'sadboy', dapat membuatnya seperti terpanggil. Apa benar fakta bahwa dialah anak Sans SMP yang paling sadboy?
Tak ingin larut dalam tawa yang mungkin membuat Corazon tak nyaman, Miu perlahan menetralkan napasnya, ia mengusap pelan kain hitam yang melingkari kepalanya jikalau beberapa tetes air mata tertahan di dalam.
“Eh ngomong-ngomong, emang kita nggak terlalu awal?” Sembari merapikan penampilan, juga membenarkan letak penutup mata miliknya, si surai ruby mengalihkan topik.
“Ih Miu bego ya, ini malah udah lewat dari yang dijanjikan tau.” Corazon menyahut.
“Ya santai dong.” Mengambil jeda sejenak, Miu kembali melanjutkan, “Lagian kurang kerjaan banget sih, pake acara Halloween segala.”
“Miu takut yaaa?” usil Haru.
“Engga lah, aku 'kan pemberani.”
“Kalian banyak bac*t deh, kutinggal lho ini. Bye Haru, bye Miu,” kata Corazon yang jenuh dengan bualan kedua temannya.
“Astaghfirullah Corazon mulutnya, aku laporin Pak Fredd nanti.”
Setelah mengucapkan ancaman yang tak mempan bagi si surai cokelat yang kini telah berpindah dunia, Miu dan Haru menyusul, ada sedikit kejahilan yang biasa Miu lakukan kepada temannya apabila hendak memasuki portal.
“Miu jangan dorong-dorong.”
“Haha, Haru ga usah ikut, kamu 'kan ga diundang.”
•••
Dua portal terhitung telah dimasuki, sampailah Miu dan Haru di depan sekolah Sans SMP. Terlihat teman-temannya yang berkumpul di sana sembari bercengkrama.
Malam semakin mencekam, Miu menyempatkan dirinya untuk memandang pendar cahaya dewi malam. Bertanya pada sang langit, akankah ada secercah asa yang turut tergantung bersama bintang-bintang? Akankah ada harapan untuk dirinya malam ini? Sejujurnya Miu tak ingin menyerah semudah itu, sebab renjana yang tertahan di dalam hati terus mengadu.
Lantas individu dengan tampang sok polosnya membuyarkan lamunan Miu. “Kamu ngapain? Leher kamu patah ya, Miu?”
“Lagi ngeliat jodoh, ganggu aja kamu, Ledib.”
“Wah, jodoh kamu di atas ya? Kalo gitu kamu mau nggak kukirim ke atas biar semakin jelas ngeliat jodohnya?”
“Pak, Ledib mulutnya liar.”
Menghela napas berat, entah harus berbuat apa, bukan karena apa yang baru saja ia utarakan tak mendapat tindakan, masalah sepele seperti kejahilan Ledib sudah biasa didapatkan. Melainkan karena ia malas untuk mengikuti acara-acara seperti ini. Jika bukan karena ia mencari penawar rindu, tak akan ia menyempatkan diri untuk bertemu.
Mengambil langkah guna mengikis jarak dengan teman-temannya, pandangannya jatuh pada dua insan yang saling berdekatan, surai putih yang serasi rasanya mustahil untuk dipisahkan. Andai saja rambutnya masih seperti dulu, Miu pasti lebih pantas bersanding dengan gadis itu.
Tidak, hanya bercanda. Omong-omong, Harucisan tak lagi berada di sampingnya, Haru lelah dengan kejahilan Miu.
“Ciee serasa dunia milik berdua ya.... Tetap kawal Plainatic x Shanon!!”
Siapa yang mengira bahwa kalimat itu terucap oleh hati yang pilu, sembari menahan degup jantung yang kian memburu, melihat kedua insan itu semakin bersemu Miu tak kuasa. Beranjak dari sana, Miu berusaha untuk menetralisasi rasa yang mendongkol di dalam dada.
“Eh Miu mau kemana? Sini kumpul,” cegah gadis bersurai salju itu. Spontan menjaga jarak dengan pemuda bernama Plainatic.
“Nyari Corazon, gatel pengen ngusilin orang. Lagipula aku ga ada temen kalo bareng kalian.”
“Gimana kalo aku temenin?”
“Ogah.”
Terus menunduk, hingga kakinya menendang sebuah labu. Dalam hati menyesali penolakan yang ia berikan pada Shanon. Miu menyapukan tangannya pada kulit labu yang tampak mengerut, mungkin sudah lama terpajang di halaman, terlebih suhu juga cukup dingin.
Tak lama, tepukan tangan dari sang guru BK mengudara, menarik semua pikiran yang melanglang buana. Guru yang masih diragukan spesiesnya itu berdiri pada tangga paling atas teras sekolah. Gulungan kertas diposisikan di depan mulut sebagai pengganti mikrofon.
“Selamat malam dan selamat berkumpul kembali di sekolah Sans kita tercinta─”
“TO THE POINT PAK!!” tukas anak-anak Sans yang kekurangan akhlak itu.
Tidak ingin kericuhan ini berlangsung lebih lama, MoenD─wakil ketua kelas A─menengahi. “Sabar temen-temen, beri waktu buat Pak Fredd kasih salam pembuka dulu.”
Fredd berdeham, mengapresiasi tindakan MoenD yang lebih waras dari kebanyakan murid-muridnya. “Terima kasih, MoenD. Oke karena kalian nggak suka basa-basi, jadi bapak akan jelaskan acara kita kali ini.”
“Kita bakal main game. Game-nya simpel kok, kalian cari pasangan dulu, yang penting masih satu kelas biar nanti kalo absen nggak bingung,” sambungnya mengambil jeda sejenak.
“Yang jomblo gimana pak?” Miu dengan kesadaran diri dan kehendak hati bertanya.
Belum sempat mendapat jawaban dari sang guru, suara Miu lebih dulu mendapat respon dari pemuda bersurai cokelat, yang sedari tadi hanya bisa menatap sang pujaan hati dari jauh.
“Ada calon sadboy baru nich. Tenang aja Miu, 'kan ada aku.” Siapa lagi kalau bukan Corazon.
“Dih ogah, lagian kita beda kelas. Mending sama Shanon.”
“Emang Shanon mau sama kamu?”
Lelah dengan ketidakwarasan anak didiknya, Fredd berucap, “Siapa yang bilang harus cowok cewek? Makanya didengerin dulu bapak bilang. Terserah kalian mau pasangan sama siapa, yang penting jangan sendiri, yang sendiri nanti digandeng setan.”
“Becandanya nggak lucu huuuu!!” seru yang lainnya.
“UDAH UDAH, giliran nistain bapak aja kalian kompak. Oke nanti kalian bakal dikasih keranjang satu-satu, gunanya buat ngumpulin permen yang udah bapak dan ibu guru sebar secara acak. Yang paling banyak dapet jadi pemenangnya.” Penjelasan terakhir dari Fredd tak mendapat protes yang muluk-muluk, 'hanya' curahan hati seorang single yang menduduki kelas A.
“Yaelah pak, kalo cuma ngumpulin permen mah sendiri juga bisa kali. Bapak sengaja ya membuat jiwa single ini meronta-ronta?” curhat salah seorang siswa ber-nickname BeaconCream.
Mengesampingkan hal itu, Fredd memanggil Saddan untuk membagikan keranjang pada semua siswanya.
“Oh iya pak, itu nanti yang dihitung jumlahnya dari pasangan atau individu?” tanya NightD.
“Individu. Bapak suruh berpasangan biar kalian nggak sendirian, soalnya bakal sampe ke hutan-hutan.”
Lama tak bersuara, si surai ruby itu mengutarakan protesnya. “Yang bener aja pak?!”
“Iya nih. Nanti kalo nyasar gimana?”
“Gimana sih pak?”
Dan berbagai macam protes lainnya yang terucap setelah Miu menyelesaikan kalimatnya.
Fredd menghela napas, memang sulit menghadapi siswa-siswinya yang selalu ingin menang sendiri. Meski begitu, mereka bisa sehangat mentari dengan perlakuan semanis buah ceri. Semua yang mereka lakukan atas dasar gimmick.
“Nda usah lebay,” kata Fredd.
•••
Tangan yang tak lagi terjamah, suara lembut yang tak lagi terdengar, juga afeksi yang semakin memudar. Bagaimana jika semua itu berbanding terbalik?
Apakah ia harus bersyukur karena Dewi Aphrodite memihaknya malam ini? Ataukah bertanya mengapa semua tak lagi sama?
Ada banyak kenapa yang tersimpan dalam otaknya, ada banyak jika yang mengawali kemungkinan-kemungkinan yang tak pernah mendatangi.
Lawakan apa yang harus ia siapkan untuk mengiringi langkah mereka? Kala satu hati merasa asing, rasa canggung yang tak pernah menghinggapi kini menyelimuti. Ah, harusnya tak terlalu ia pikirkan, mungkin biarkan saja semua mengalir.
“Miu sini, aku nemu permen!” seru Shanon dengan senyum yang merekah. Dua permen mengisi keranjang kosong milik Shanon, disambut dengan senyuman tipis dari individu lainnya di samping gadis itu.
Senyuman itu pudar sesaat setelah kepala bermahkota ruby miliknya dijatuhi sebuah permen, mendongak ke atas, ia mendapati warna lain dari banyak warna hijau pada daun. Miu meraih dahan yang sedikit tinggi, mengguncangkannya perlahan sampai beberapa permen menghujani mereka.
“Wah, Miu, permennya banyak banget!!”
“Iya, siapa coba yang naruh di atas pohon? Bodoh banget,” ujar Miu.
Bukan lagi angin yang mengisi keranjang labu mereka. Kala Miu memungut satu persatu permen yang berserakan, angin berhembus kencang, membuatnya sesegera mungkin memasukkan semua permen itu ke keranjang mereka berdua.
“Shan buruan, udah aku bantu nih.” Merasa tak ada respon, Miu menelisik sekitar. “Shan kamu dimana? Jangan main-main deh.”
Tanpa pikir panjang, Miu menyambar keranjang milik Shanon yang ditinggalkan empunya. Rambut merahnya semakin acak-acakan seiring kencangnya hembusan angin.
“Shanon! Kamu dimana?”
Tak kunjung mendapat jawaban, sedang kondisi alam semakin tak memungkinkan untuk melanjutkan game mereka. Pada akhirnya Miu melanjutkan langkah tanpa Shanon, harap-harap dapat menemukan gadis itu di tengah perjalanan.
Langkah yang semakin tak menentu, penampilan yang semakin berantakan, Miu tak mempersoalkan hal itu saat sesuatu yang lebih berharga membutuhkan perhatian.
“Shanon!!”
Sesaat itu juga si surai salju memosisikan telunjuknya di depan bibir, memberikan sinyal kepada rekannya untuk tidak menciptakan suara yang keras.
Dikarenakan tumbuhnya pohon yang tak beraturan membuat pandangan Miu tertutupi akan apa yang menanti di depan sana, dengan tingkah Shanon yang seperti mengantisipasi bahaya, Miu menggerakkan kakinya perlahan.
“Ada apa?” bisik Miu bertanya.
Shanon menyingkir tak jauh dari sana, memberikan akses bagi Miu untuk melihat apa yang baru saja ia temukan. “Itu liat deh, kayaknya rumah penyihir, tapi banyak permennya.”
“Eh jangan, gimana kalo itu bukan permen yang disebar Pak Fredd?” cegah Miu. Meski tak menghentikan langkahnya untuk semakin mengakses rumah itu.
“Kamu bilang 'jangan' tapi tetep jalan, gimana sih Miu?”
“Udah ayo, 'kan ada aku.”
Langkah kaki lain mulai menyusul Miu. Shanon seolah terhipnotis untuk terus melihat pernak-pernik menyeramkan yang memenuhi pekarangan, membuatnya tanpa sadar kehilangan jejak Miu.
“MIU!! KAMU DIMANA?” teriak gadis itu panik.
Tarikan pada baju milik Shanon membuat empunya tersentak.
“Hei aku di sini, nggak usah teriak-teriak,” kata Miu menenangkan.
“Ish bikin panik aja. Bukannya kamu tadi di depan?”
“Hehe, ladies first.”
Shanon menghela napas. “Nyenyenyenye, tadi katanya 'Udah ayo, 'kan ada aku'.”
Meski takut, pada akhirnya Shanon yang menjadi tumbal. Mau bagaimanapun ia yang menemukan tempat ini.
“Miu, gimana kalo kita barengan? Aku takut kalo kamu tiba-tiba ninggalin aku,” ujar Shanon meminta penawaran.
“Tau aja aku emang mau ninggalin kamu.”
“TUH 'KAN!!”
“Haha bercanda.”
Berbarengan bukan berarti bergandengan tangan, Miu masih tahu batas untuk tidak terlalu memanfaatkan kondisi, tapi apa yang bisa dilakukan agar mereka dapat berjalan beriringan tanpa bergandengan tangan? Agar ketika salah satu dari mereka berniat untuk pergi dapat diketahui.
Miu memindahtangankan dua keranjang permen kepada Shanon. Lantas melepas ikatan pada penutup mata miliknya.
Kain itu terlepas, saat itu juga Shanon dapat melihat satu hal yang selama ini disembunyikan di balik kain hitam itu.
“Miu....”
Bagi Miu, ini bukanlah hal yang harus dikejutkan, juga tidak untuk mencari atensi. Tujuannya hanya untuk mengikatkan kain itu pada tangannya dan tangan Shanon.
“Dah, ayo jalan!”
Walau pada akhirnya tetap saja Shanon yang berjalan lebih dulu.
•••
Rumah reyot dengan pagarnya yang termakan korosi membuat Miu sedikit ngeri, ingat, sedikit. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain seekor burung gagak yang bertengger di atap. Miu menduga jika penyihir atau siapapun penghuni sebelumnya telah berpindah.
Namun labu yang tertanam tampak tumbuh subur dan telah masak. Lantas siapa yang menanam?
“Miu, kamu masih di belakangku 'kan?” Shanon memastikan. Tak ada pemandangan lain selain banyaknya labu yang tertanam di tepi jalan setapak.
“Iya, tenang aja.”
Semakin mengikis jarak, semakin dekat dengan rumah aneh yang Shanon temukan. Suara derit pintu mengudara tatkala gadis itu membukanya, membuat insan berambut putih tersebut spontan menelan ludah, lantas berhenti sejenak untuk mengumpulkan keberanian. Tidak usah ditanya siapa yang paling jantan di sana.
Tepat setelah Shanon merasa tenang, ia menginjakkan kaki pada lantai kayu yang tampak termakan rayap. Shanon bersisurut perlahan, barangkali rumah itu akan roboh.
“Gimana nih Miu?”
“Yaudah aku aja yang jalan duluan.” Terdengar kepedean yang sangat kuat, meski Miu sendiri masih diselimuti keraguan.
“Kenapa nggak dari tadi?” protes Shanon.
Miu dengan hati-hati menyingkirkan jaring laba-laba yang menghalangi pandangan, semakin membawa langkah ke dalam kegelapan. Kaki jenjang beralaskan sneaker itu dipaksa untuk menapaki lantai kayu yang berderit.
Akses semakin dalam, hingga bau apak memasuki indra penciuman Miu.
“Shan coba kamu ambil lentera yang ada di depan tadi.” Sembari menyipitkan mata guna memfokuskan penglihatan.
“Tangan kita 'kan ke-iket.”
“Astaga, rempong banget sih.”
Rasanya Shanon ingin melempari mahkota ruby itu dengan permen di keranjangnya. “Gimana sih kamu? Kamu yang punya ide juga.”
“Aku aja terus. Tadi siapa yang nemuin rumah jelek ini?”
“Ya aku. Tapi kamu yang masuk duluan.”
“Iya, sekarang─”
PRANG
“M-Miu!!”
Suara nyaring yang memekakkan telinga membuat Shanon reflek bersembunyi di balik punggung Miu. Sedang pemilik surai merah itu spontan membalikkan badan.
“Astaghfirullah, suara apa itu... Shanon kamu jadi tumbal gih.” Miu menarik gadis itu untuk berhenti berlindung di balik punggungnya.
Apa yang bisa diharapkan dari dua penakut yang sama-sama tidak ingin mengalah?
“Ga mau, kamu aja sana, kamu 'kan laki.”
“Aku laki kah?”
Mengabaikan hal itu, Shanon mendorong Miu. Pemuda itu hampir terjungkal jikalau tangannya tidak terikat dengan Shanon. Jangankan membalas perbuatan oknum di belakangnya, untuk sekadar mengangkat kaki saja Miu tak mampu.
“Miu ayo jalan!” kata gadis itu sembari menarik-narik tangannya yang terikat, berharap ada pergerakan dari manusia di depannya.
“Ngga bisa, aku ngga bisa jalan.”
Shanon menyembunyikan raut wajahnya dari helaian rambut yang menjuntai, tersirat maksud lain setelah mendengar pernyataan Miu. Sedang pemuda yang masih membatu di tempat menyadari hal itu.
“Shanon jangan tinggalin aku.” Sementara tangan seputih susu itu mulai berniat untuk melepaskan ikatannya. “Shan sumpah kamu ngapain? Mundur satu langkah aku bunuh kucing yang ada di rumahmu.”
Apapun asalkan jangan kucingnya. Lagipula ia tidak serius akan meninggalkan Miu.
Namun terlambat, kini hanya menyisakan kain hitam yang masih mengikat tangan kiri Miu. Deritan kayu semakin terdengar kala Miu merasa sesuatu di depannya mulai mendekat, jangan jangan jangan terus dirapalkan dalam hatinya. Bagaimanapun posisinya sekarang ia tak bisa bergerak banyak, untuk mencegah Shanon melepaskan ikatannya bahkan tak bisa.
Hal yang tak pasti berada di kegelapan sana, Shanon sedikit merinding membayangkan jika ia berada di posisi Miu. Berdiri tanpa bisa bergerak, sedangkan sesuatu menanti di dalam kegelapan. Apa ini karena ia telah mendorong Miu sebelumnya? Shanon rasa tidak.
Meski niat Shanon untuk meninggalkan Miu sudah berada di ujung tanduk, tapi tak diladeni. Ibaratkan kacang lupa kulitnya. Shanon tak ingin mendengar peribahasa itu terucap untuk dirinya.
Tubuh yang semakin diselimuti hawa dingin, serta isi hatinya semakin tak karuan. Miu tak mau menatap ke depan, yang hanya membuat nyalinya semakin ciut, sebab yang bersembunyi di dalam kegelapan tak kunjung terusut.
Kala sesuatu melompat ke dada Miu, empunya lekas-lekas memejamkan mata, tak ingin melihat wujud yang sedari tadi membuatnya merinding. Cakar-cakar mungil itu ditancapkan pada serat kain miliknya, sangat kuat hingga sedikit menembus ke dalam. Miu merasakan tekstur lembut bercampur lembab pada bulu yang ia raba.
“Kucing?” batinnya.
Mata tak lagi terpejam, Miu menangkup makhluk mungil itu dengan perlahan. Tepat saat itu juga keseimbangannya runtuh, membuat Miu sontak terduduk. “Oh my god!! Shanon sini deh, kamu pasti suka.”
Shanon cepat-cepat menghampiri, tatapan penuh waspada kini melembut bak permen kapas, manik ruby itu berbinar menangkap pemandangan di hadapannya. Melihat Miu memperlakukan kucing itu sedemikian rupa membuat hati Shanon menghangat. Atau sebenarnya yang dilakukan pemuda itu selama ini hanya gimmick? Membuatnya terlihat kejam di mata orang lain.
“Mana, Miu? Sini kasih ke aku!!!” ujarnya antusias. Kucing pun berpindah pada tangan Shanon.
“Shan bentar, itu kucingnya kedinginan.”
Miu dengan acap menanggalkan kemeja hitamnya pada makhluk berbulu putih di gendongan Shanon. Menyisakan dirinya dengan baju putih berlengan pendek, dan dasi oranye yang masih menggantung.
“Gemesnya!! Kasian banget dia kedinginan,” monolog Shanon di kala mereka hendak kembali, beranjak meninggalkan rumah reyot tak berpenghuni tersebut.
“Kamu nggak kasihan sama aku yang kejebak tadi?”
“Enggak.”
Hening melanda, suara angin bahkan terdengar lebih keras dari biasanya. Shanon tak mendapati tingkah usil dari individu ber-nickname Vlamiunox di belakangnya. Mencuri pandang, tampaknya pemuda itu tengah mengikatkan kembali kain hitam tersebut, menutup kembali kedua matanya.
“Apa lirik-lirik?” tanya pemuda itu.
“Idih pede.”
Setelah gadis itu tak lagi memberikan atensi kepadanya, Miu diam-diam memindahkan beberapa permennya ke dalam keranjang milik Shanon.
•••
Kala 'dia' mengatakan alasan mengapa memilih dirinya sebagai pasangan permainan ini, Miu tak bisa mengelak, bahkan jika 'dia' bilang bahwa yang bersanding kini hanya sebagai pengganti. Karena gadis itu tempat sang hati berkontemplasi, meski beberapa kali membuat kepalanya terasa nyeri, memikirkan kemungkinan-kemungkinan mustahil yang selalu membayangi.
Oh, Dewi Aphrodite, apakah kesempatannya sudah berakhir di sini? Di malam mencekam yang menjadi malam mendung bagi sanubari. Puaskah engkau bermain-main dengan hati?
Miu tersenyum, atas kesendiriannya yang telah kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top