✎ᝰ Segelas Kopi ⍜'ˎ-
Netherlands - Nyo!Indonesia / Willem - Kirana
Hetalia © Himayura Hidekaz
Yoake no Kōhi Project © Halu_Project
Written by Tsuyomi29Ai
Warn : Human lokal university AU, OOC, NetherNesia area, agak gaje, absurd, etc.
---
Willem meneguk isi gelas yang ia pegang. Matanya terpejam, seolah menghayati rasa pahit yang khas dari kopi hitam. Asap masih mengepul dari sana, maka tak berlama-lama ia menempelkan bibirnya di mulut gelas.
Ia sedikit mendongak sembari menghembuskan napas. Uap panas keluar dari mulutnya—seperti sedang merokok saja. Karbondioksida juga turut menyertai, hendak keluar dari paru-parunya.
Memang nikmat ketika minum kafein di saat begadang. Rasa kantuk langsung sirna dalam sekejap. Sepertinya tak tidur seharian dapat dengan mudah ia lakukan.
Tidak. Tidak. Walau bagaimanapun, Willem tetap harus tidur. Barang satu-dua jam pun bukan masalah. Yang penting tubuhnya mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Dan rencananya akan ia lakukan selepas mata kuliah pagi di kampusnya.
Pandangannya tertuju pada gelas dalam genggaman tangan. Isinya tersisa setengah. Rupanya ia minum cukup banyak juga.
Tadinya, ia berniat untuk menyesap kembali sang kopi hitam. Namun, terhentikan karena suara seorang gadis memasuki indra pendengaran.
"Hei, kamu ambil dari mana kopi itu?"
Rupanya dia adalah Kirana, salah seorang yang pernah ia lihat di kampusnya—walau hanya dari kejauhan.
Lagipula, dia juga belum pernah melihat Kirana di kos ini. Apakah dia baru saja pindah? Kenapa Willem tidak menyadarinya?
Raut wajah sang gadis tidak terlihat santai sama sekali—mendekati kesal, malah. Willem yang tak tahu menahu apa yang terjadi memutuskan untuk menjawab pertanyaan Kirana.
"Dari toples dekat penanak nasi."
Memang dari luar ekspresinya biasa saja—tenang dan datar seperti biasa. Walau sebenarnya, Willem sudah bergidik ngeri ketika menyaksikan perubahan aura di sekitar Kirana setelah ia memberikan jawaban. 'Apakah aku melakukan kesalahan?' pikirnya.
"Berarti itu kopi punyaku!" sergah sang gadis.
"Mana udah dihabisin setengah, lagi. Parah, ih."
Yang dimarahi jadi terpaku. Seolah pikiran Willem terhenti sejenak setelah mendengar penuturan Kirana.
'Hah? Jadi kopi ini...'
Baiklah. Dia paham sekarang.
Rasanya, sang pemuda ingin sekali menjedukkan kepala ke meja. Bisa-bisanya ia tak mengingat bahwa bungkus kopi terakhir miliknya sudah ia konsumsi dua hari lalu. Lebih parahnya lagi, ia tak sengaja meminum kopi milik orang yang bahkan tak mengenal dirinya.
Daripada itu, sepertinya lebih baik kalau dia mengubur diri di pantai sambil menunggu air laut pasang.
"M - maaf, saya nggak tahu kalau ini punya kamu. Saya juga biasa naruh bungkus kopi di situ juga soalnya."
Ia menundukkan kepala dalam-dalam, amat menyesal atas kejadian ini. Bodo amat soal harga diri. Toh, sejak awal penulis cerita ini juga sudah memandangnya tanpa harga diri.
Kasihan sekali nasibmu, wahai mantan kompeni.
Walau sudah mendengar permintaan maaf Willem, ekspresi kesal masih kelihatan kentara di wajah Kirana. Manik coklat tua menatap isi gelas yang tinggal tersisa satu per duanya, lalu memberikan tatapan tajam kepada netra hijau milik sang pemuda di hadapan.
Beberapa kali melakukannya, akhirnya pun ia menghela napas. Kalau dipikir-pikir, salahnya juga yang meletakkan barang di sembarang tempat.
Lagipula, aku saja masih heran. Orang macam apa yang menyimpan bungkus kopi serencengan di dalam toples berisi kantung beras? Ada-ada saja mereka berdua.
"Ya udah. Siniin gelasnya."
Ia menyodorkan tangan ke arah Willem, sebagai isyarat bahwa ia meminta perpindahan hak milik dari gelas tersebut. Daripada terkena masalah yang lebih jauh, akhirnya sang pemuda menyerahkan gelas beserta isinya kepada Kirana.
Raut wajah yang menerima berubah menjadi sumringah. Baguslah, mungkin kali ini Willem telah membuat keputusan yang tepat.
Kini, tepian gelas yang terbuat dari kaca bersentuhan dengan bibir ranum Kirana. Dengan khidmat, sang gadis meminum sisa satu per dua kopi yang sejak tadi ia dambakan. Sebagai satu-satunya orang yang menyaksikan kejadian itu, wajah Willem perlahan memerah.
Seingatnya, tempat Kirana menaruh bibirnya saat ini sama dengan tempat ia minum tadi.
'I - inderect kiss?'
Baiklah, Willem. Tenangkan dirimu. Kirana pun tak mengetahui hal ini. Selama kamu tidak bertindak mencurigakan, ia tidak akan menyadarinya.
Tandaslah kopi itu sekarang. Kirana menurunkan gelas dan meletakkannya di atas meja makan, lantas bernapas lega. Bebas pula ia dari kantuk yang sejak tadi menyerang. Puas rasanya.
"Oh iya, omong-omong, aku penghuni baru di kos ini. Namaku Kirana, baru pindah kemarin sore. Kamu siapa?"
Ah, ya. Pantas saja Willem belum pernah melihatnya di daerah kos. Kemarin dia berkunjung ke rumah orang tuanya, dan baru pulang ketika malam hari.
Omong-omong, jadi teringat ungkapan 'anak kemarin sore'. Tapi, kurasa rasa itu tidak akan berlaku bagi Kirana—sang singa kebanggaan Indonesia.
Dan yang di atas tadi merupakan sedikit plesetan dari gelar seorang karakter cerita rakyat—Mirah dari Marunda.
"Saya... Willem." Sang pemuda menelan ludah sebelum melanjutkan. "Kita satu kampus, di Universitas W."
"He? Beneran?" Nampaknya Kirana terkejut dengan fakta itu. "Fakultas mana?"
"Bisnis. Kadang saya suka liat kamu jalan-jalan di Teknik, soalnya daerahnya memang saling berdekatan." Secara tak langsung, Willem telah menjelaskan bagaimana cara ia mengetahui bahwa mereka satu kampus.
"Oalah..." Kirana tak bisa berkata apapun lagi.
Sungguh deh, dia masih tak menyangka bahwa dirinya tak menyadari kehadiran sang pemuda selama ini, bahkan tak sadar bahwa selama ini diperhatikan. Seharusnya ia pernah melihatnya barang sekali. Seabai itu kah ia pada lingkungan sekitarnya?
"Sebenernya Teknik itu fakultasku. Terus, sebelum ini kamu tahu namaku siapa?"
Anggukanlah yang menjadi balasan dari pertanyaan sang gadis. "Pernah denger dari obrolan orang."
"Wah, keren." Kirana bertepuk tangan. Kini dia membayangkan Willem yang tengah menjadi mata-mata, menyamar di antara kerumunan sambil mengumpulkan informasi dari percakapan orang-orang. Kerennya~
Namun nampaknya, Willem tak mampu menunjukkan reaksi yang berarti. Akhirnya menghasilkan suasana yang canggung di antara mereka, karena kehabisan bahan pembicaraan.
Merasa tak ada harapan lagi untuk dilanjutkan, Kirana pun memilih untuk mengalihkan topik obrolan.
"Omong-omong, ngapain kamu begadang?"
"Nugas."
"He?"
"Kalau kamu?"
"Sama, nugas juga."
Tipe-tipe mahasiswa sibuk, ya.
"Eh! Tapi aku masih gak terima kamu minum kopiku tahu!"
Mendadak sekali perubahan suasananya.
Yang diteriaki hanya bisa meringis. Ah, rupanya sang gadis masih belum melupakan masalah tadi.
"S - saya bakal ganti—"
"Kamu gak akan bisa. Itu limited edition. Sekarang pasti udah gak ada yang jual." Kirana melipat tangan di dada, membuang muka dengan raut kesal.
Sang pemuda menatapnya pasrah. Jika benar demikian, apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahan pada gadis di hadapannya?
"Terus, saya harus apa biar kamu maafin saya?"
Kirana hendak buka suara, namun terpotong karena suara azan yang berkumandang, menandakan bahwa waktu Subuh telah tiba. Mereka berdua kembali terdiam beberapa saat.
"Nanti kamu berangkat kuliah, kan?"
Willem mengangguk-angguk.
"Pas istirahat, sekitaran jam satu siang, traktir aku kopi susu di kantin Teknik. Tahu, kan? Ya pasti tahu, lah."
Kesannya seperti anda tak peduli saja, Kirana.
"Dan ini berlaku selama seminggu penuh. Gak boleh kabur. Awas aja kalau kamu berani macem-macem."
Tatapan tajam nan mengancam yang dilayangkan membuat sang pemuda menahan napas tanpa sadar. Astaga, sangar sekali gadis ini.
"Ya udah, aku mau sholat dulu. Aku tunggu nanti di kampus, oke?" Setelah menatap netra Willem untuk yang terakhir kalinya, Kirana melambaikan tangan, dan melangkahkan kaki menuju anak tangga di dekat sana.
Meninggalkan sang pemuda yang berdiri sendirian di dapur kosan.
Selang beberapa saat, helaan napas lelah keluar dari mulutnya. 'Aku memang ingin mengenal lebih jauh tentang gadis itu. Tapi gak gini juga caranya.' Kini ia memikirkan nasib uang sakunya yang terancam akan menipis untuk seminggu ke depan.
Tanpa disadari olehnya, perkara segelas kopi itu telah menuntun Willem menuju masa pendekatan dengan Kirana. Akankah takdir mempersatukan mereka nantinya?
Yah, itu sih terserah saya.
-Owari-
Sesungguhnya ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah takdir //ea
Bingung mau nulis catatan apa. Lupa juga caranya nulis estetik di wattpad. Kelamaan main di blog ya gini. Entah kapan Ai bisa unduh wattpad tanpa dihapus lagi. Mana udh sekolah pula.
Kenapa ujung-ujungnya jadi curhat?
Anw, sebenernya ship NetherNesia kebanyakan bakal berujung angst, karena sejarah kedua negara yg.... kayak gitulah. You know what I mean.
Jadi, utk kelanjutannya silakan bayangkan sesuka hati saja. Mau bikin mereka terjebak di friend zone terus akhirnya pisah boleh, mau kawal kapal mereka sampai nikah juga boleh. Sesukanya aja, sih.
Pokoknya, maaf bila ada yg sekiranya kurang berkenan. Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Dan sekian, sampai jumpa lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top