✎ᝰ Before the Coffee Gets Cold ⍜'ˎ-

❝Kopi akan terasa lebih nikmat jika suhunya tetap hangat, bukan?❞

▭▬▭▬▭▬▭▬

➶ Sho x You જ

WEE!!! © AmoebaUwU

Story © BadassMochi

▭▬▭▬▭▬▭▬

Cahaya yang temaram menandakan bahwa langit telah berubah menjadi gelap. Malam telah tiba, diikuti oleh kumpulan bintang dan datangnya sang rembulan. Keduanya bersinggungan dan saling bersua. Tanpa mengatakan apa-apa, hanya diam di kanvas yang sama.

Suara langkah sepatu sneakers putihnya tidak begitu menggema setiap kali dirinya melangkah. Sekalipun suasana cukup sunyi saat ini. Yang ada hanyalah hembusan angin yang terasa tatkala ia berjalan di bawah gelapnya malam. Semudah itu untuk digambarkan.

Wanita itu sedang dalam perjalanan pulang dari kantornya. Jam lembur membuat dirinya harus menetap di kantor lebih lama daripada biasanya. Menambah rasa lelah serta keinginan untuk segera pulang. Namun, apa daya, ia tidak bekerja di bawah perintahnya sendiri.

Di kala ia hendak berbelok di ujung jalan, matanya tak sengaja menangkap sebuah bangunan yang terlihat begitu terang di tengah kegelapan malam. Sejenak wanita itu menatapnya dari kejauhan. Mengagumi bentuk bangunan tersebut yang meskipun mungil, namun dapat memancarkan estetikanya dengan unik.

Tidak perlu berpikir dua kali, wanita itu berjalan menuju bangunan mungil tersebut. Setelah menyeberangi jalan yang sepi melalui zebra cross, ia pun tiba di depannya. Dari dekat, rupanya bangunan itu merupakan sebuah cafe.

Bukan nuansa vintage atau desain yang biasa ia lihat di cafe-cafe lain yang ada di sini, melainkan sebuah bangunan yang dicat dengan warna-warna hangat. Menurut teori warna, warna itu disebut dengan warm color. Merupakan kumpulan warna yang cerah dan membuat siapapun berhenti sejenak untuk menatapnya. Mungkin inilah penyebab mengapa kini dirinya sudah melangkah masuk ke dalam cafe itu.

Di bagian dalam cafe, semua furnitur didominasi oleh warna putih, mustard, neon fuchsia, dan yang terakhir adalah turqouise. Tampak begitu kontras meskipun warna-warna tersebut merupakan warna yang berani.

Dengan perlahan, wanita itu mendekati salah satu kursi di sana. Yang kemudian, kursi tersebut pun berubah menjadi tempatnya bersanggah. Salah seorang pelayan menghampiri dirinya. Menanyakan hal umum yang biasa ditanyakan.

"Apa menu terbaik di cafe ini?" tanyanya.

Karena merasa tidak tahu-menahu pasal menu di cafe ini, ia pun bertanya demikian. Mendengar pertanyaan itu, si pelayan mulai menjelaskan beberapa minuman yang cukup laris dibeli di sana. Bahkan sampai memiliki stok paling banyak di bagian dapur.

Wanita itu pun mulai mengangguk-angguk. Pada akhirnya, ia memesan segelas hot americano. Segelas kopi hitam itu akan sangat membantunya untuk kembali lembur di rumahnya. Pulang larut malam bukan berarti karena dirinya telah menyelesaikan pekerjaan di kantor. Lebih tepatnya, membawa beban itu pulang ke rumah dan berniat untuk membereskan di sana. Padahal esok adalah hari Minggu. Meskipun, mungkin, satu gelas saja tidak akan cukup baginya.

Pesanannya itu pun telah tiba. Diantarkan oleh pelayan yang sama, sebelum kemudian diletakkan di atas meja. Ia pun membungkuk hormat setelah berucap beberapa patah kata yang sudah sangat normal dan sering dilontarkan oleh para pelayan cafe.

Sesapan pertama terasa begitu nikmat. Rasa hangat mulai menjalar dari dalam rongga mulut hingga ke kerongkongannya. Yang seketika membuat dirinya lupa akan pekerjaan lembur yang harus ia kerjakan sepulang dari sini.

"Selamat malam."

Sontak sang wanita menoleh ke sumber suara. Mendapati ada seseorang yang berdiri di sana, ia pun menatapnya sejenak.

"Ah, selamat malam. Ada perlu apa?" tembaknya.

Lelaki itu pun tersenyum. Harus ia akui, wajahnya cukup tampan. Surai hitamnya tampak cocok bagi dirinya. Serta dengan senyuman menawan di wajahnya itu. Sempurna.

"Apakah aku boleh duduk di hadapanmu?" Ia bertanya, membuat sang wanita mengernyit.

Pasalnya, ada begitu banyak kursi kosong yang tersedia di sana. Bahkan jumlahnya tak bisa dihitung oleh jari. Yang menandakan bahwa jumlahnya lebih dari jumlah jari di tangan ataupun dengan jari kaki. Lantas, mengapa lelaki ini memilih untuk duduk di hadapannya?

Memutuskan untuk mengabaikan keheranannya itu, sang wanita pun menjawab  "Boleh. Silakan."

Tanpa menunggu apa-apa lagi, lelaki itu pun duduk di hadapannya. Tubuhnya duduk dengan tegap, sementara jari-jemarinya ditautkan dan diletakkan di atas meja. Netranya menatap lurus ke arah sang lawan bicara.

"Namamu?"

Ditanya demikian membuat sang wanita mengangkat sebelah alisnya. Ia tak menyangka akan mendapat pertanyaan singkat dari lelaki itu secepat ini. Secepat pertemuan mereka tiba.

"(Y/n), (F/n) (Y/n)."

Ia pun tersenyum. Lagi-lagi dengan senyum menawan itu. "Nama yang bagus," pujinya.

"Oh, terima kasih."

Tidak ingin hanya dirinya saja yang memperkenalkan diri, (Y/n) pun melontarkan sebuah pertanyaan. Entah akan dijawab atau tidak olehnya. "Bagaimana denganmu, Tuan? Siapa namamu?"

"Sho, itu namaku. Atau kau boleh memanggilku demikian."

Namanya cukup singkat. Hanya satu suku kata saja. Di dunia yang sudah modern ini, nama hanya dengan satu kata saja dianggap aneh. Bagaimana jika hanya berupa satu suku kata? Ekstra aneh?

"Jangan terlalu banyak berpikir, Nona (Y/n)," ujar Sho tiba-tiba. Membuat (Y/n) sontak mengalihkan tatapannya kembali pada lelaki itu.

"Ah, maaf," sahutnya spontan. Pikirannya memang sering bertindak demikian. Yang pada akhirnya berujung menjadi sebuah lamunan panjang.

Ia menggeleng. "Tidak perlu meminta maaf. Akan lebih baik jika kau segera menghabiskan kopimu itu sebelum ia berubah menjadi dingin. Karena senja tak selamanya akan terbentang di cakrawala," katanya.

Kata-kata yang terdengar aneh. Apakah menjadi seseorang yang puitis adalah keahlian lelaki di hadapannya itu? Pandai mengujarkan untaian kata indah yang terkadang tidak dipahami oleh orang awam.

Tanpa bertanya apapun, (Y/n) menuruti perkataan Sho. Ia menghabiskan kopi di dalam gelas itu. Cairan hitam di dalamnya telah tandas kala (Y/n) meletakkan gelasnya ke atas meja.

"Kalau begitu, aku pamit dahulu. Senang untuk bertemu denganmu, Nona (Y/n)."

***

Esoknya, (Y/n) kembali ke cafe yang sama. Dengan tujuan agar dirinya bisa bertemu dengan lelaki berjenama Sho itu lagi. Jangan berkata aneh. Wanita itu merasa bahwa pertemuan mereka tidak akan menjadi pertemuan yang pertama dan terakhir. Melainkan akan mendatangkan pertemuan selanjutnya.

Kebetulan, hari ini adalah hari Minggu. (Y/n) pun bisa mampir ke cafe itu tanpa perlu menunggu malam tiba atau sepulang dari kantornya. Merupakan benar-benar kebetulan yang sempurna. Sebuah serendipity yang mungkin tak akan terjadi untuk kedua kalinya.

"Oh?"

Ucapan spontan itu terlontar kala (Y/n) menginjakkan kakinya di depan cafe tersebut. Lebih tepatnya, kini berubah menjadi sebuah bangunan mungil. Bukan cafe yang ia lihat kemarin malam. Apakah ia salah lihat?

Tidak, (Y/n) tidak salah lihat. Dapat ia ingat dengan jelas kala dirinya masuk ke dalam cafe dan memesan segelas hot americano. Lantas, mengapa cafe itu kini telah berubah menjadi sebuah bangunan yang tak ia kenali hanya dalam satu malam?

"Ke arah mana kau sedang melihat, Nona?"

(Y/n) terlonjak tatkala ia mendengar suara itu tepat di telinganya. Membuat dirinya menoleh super cepat ke sisinya. Di mana orang yang ia cari sedang berdiri di sana. Dengan kedua tangannya di dalam saku.

"Ah, Sho. Apakah kau melihat bangunan cafe tempat kita berjumpa kemarin malam di sekitar sini?" (Y/n) sontak bertanya pada Sho. Barangkali lelaki itu mengetahuinya.

"Ada di depanmu, Nona."

Benar saja apa yang dikatakan oleh Sho. Cafe itu berdiri kokoh di hadapan (Y/n). Dengan nuansa dan desain yang sama seperti yang ia lihat kemarin malam. Apa yang sedang terjadi saat ini? Mengapa bangunan cafe itu mendadak muncul di hadapannya? Apakah matanya kelilipan atau semacamnya?

"Kau tidak sedang berhalusinasi, Nona (Y/n). Ini hanyalah permainan antara senja dan cakrawalanya. Sementara, kita adalah manusia yang kebetulan mengetahui hal itu."

Wajah tidak mengerti, tidak paham, tidak habis pikir pun ditunjukkan oleh (Y/n). Seolah-olah keberadaan cafe di hadapannya itu secara tiba-tiba belum cukup membingungkan, kini Sho menambahinya dengan kata-kata yang justru membuat wanita itu semakin mengernyit heran. Tak paham.

"Apa maksudmu, Sho?" tanya (Y/n) masih dengan raut wajah herannya. Wajar jika dirinya merasa demikian.

Sebuah seringaian terbentuk pada wajah lelaki itu. Setelahnya, Sho terkekeh pelan. Ia kembali menatap (Y/n) yang tengah memandangnya heran dan bingung. Sungguh dua kombinasi yang cocok.

"Biarkanlah kopimu menjadi dingin. Setelahnya minumlah hingga habis. Di sanalah, kau akan bertemu dengan sahutan para awan dan langit yang terus berganti tanpa senja," ujarnya yang diakhiri dengan senyum samar.

Alih-alih merasa mengerti, (Y/n) justru semakin dibingungkan oleh perkataan Sho. Tetapi, hanya ada satu cara untuk menemukan jawabannya. Sebuah cara yang mungkin akan berakibat fatal nantinya. Mungkin.

Lelaki itu kembali berbicara. Beberapa patah kata yang bisa saja membuatnya bimbang. Pun bingung, serta heran.

"Namun, kopi akan terasa lebih nikmat jika suhunya tetap hangat, bukan?"

***

Mampus bingung—

Semua ini salah kopi.

Mksh, tdk sm-sm.

Aku mau lanjut nguli di jenshin impek. Dadah.

I luv ya!
Wina🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top