‧₊˚ ੈ✩ Weeks of Worry ੈ✩‧₊˚
-------
" Weeks of Worry "
• Pair ; Ithaqua × Nabilah
• Fandom ; Identity V © NetEase Games
• Written by ; NabilahSyi
• Sick Event by ; Halu_Project
- Note ; Seperti biasa, Nanab ngebut because yes
-------
• • •
"Pacarmu sakit."
"Hah? Apa?"
"... Nabilah tiba-tiba sakit."
"Oh."
Siang itu, Ithaqua sang Penjaga Malam baru saja menyelesaikan suatu pertandingan di Moonlit River Park. Namun, begitu ia baru saja tiba di manor sisi pemburu, ia langsung disambut oleh wanita berkursi roda yang tidak lain tidak bukan adalah Galatea Claude sang Pemahat.
"Yang benar saja. Sakit? Kau bercanda, kan?"
"Kau ini kenapa begitu pada pacarmu sendiri? Dia benar-benar sakit. Kalau tidak, aku pasti tidak akan menyambut mu disini setelah kau pulang dari Moonlit River Park."
Ithaqua pun menghela napas, lalu berjalan menuju area kamar pribadi para pemburu, bersama dengan Galatea yang kemudian mengikutinya disampingnya.
"Galatea, memangnya kapan Nabilah sakit mendadak begitu? Terakhir kali aku melihatnya, dia masih sehat-sehat saja."
"Hmm, kalau tidak salah... Ah! Kira-kira sekitar beberapa menit setelah kau pergi."
"Oh, begitu."
Akhirnya tibalah mereka berdua di depan pintu kamar milik Nabilah Auclair, seorang pemburu di manor yang juga dikenal sebagai sang Penyihir.
"Nah, aku pergi dulu, ya. Semoga beruntung menghadapi dia yang sedang sakit itu." ujar Galatea sambil tersenyum dan mengacungkan jempolnya pada Ithaqua.
Ithaqua hanya bisa menghela napas, lalu membalas dengan "ya". Sungguh jawaban yang singkat, padat, dan jelas, menurut Galatea yang kemudian pergi setelah itu.
"Baiklah... Salah satu tantangan terbesar ku dalam hidup ini akhirnya kembali..."
Ithaqua pun membuka pintu kamar itu dengan tenang, lalu meletakkan kapak es nya di samping pintu itu begitu ia masuk ke dalam.
"Aku kembali."
"OH, AKHIRNYA! KAU DARI MANA SAJA!?"
Dengan malas, Ithaqua pun melepas topengnya dan menunjukkan ekspresi datar nya yang khas itu pada sang kekasih. Ya, bagi Ithaqua, menghadapi Nabilah yang sedang sakit adalah salah satu tantangan terbesar nya dalam hidup, karena Nabilah bisa menjadi lebih cerewet daripada biasanya jika ia sedang sakit.
"Kau lupa, ya? Aku ada jadwal pertandingan di Moonlit River Park tadi." balas Ithaqua sambil melepaskan jubah dan kedua penyangga kakinya.
Nabilah memiringkan kepalanya lalu menunjukkan raut wajah penasaran, "Oh, ya? Moonlit River Park? Apa kau menang? Apa kau berhasil membantai semua penyintas yang ada?"
"Ya, aku menang karena berhasil mengeliminasi para penyintas itu. Tapi sejujurnya rasanya aku hanya sedang beruntung, karena mereka sepertinya sedang tidak terlalu serius dalam melaksanakan pertandingan itu, sampai beberapa dari mereka ada yang gagal fokus dan melakukan kesalahan-kesalahan konyol."
Ithaqua pun duduk di tepi tempat tidur menghadap Nabilah, lalu meletakkan telapak tangannya di kening sang penyihir yang sedang terbaring dengan lemas itu.
"Ah, ternyata demam mu tinggi juga."
"Emily sudah memeriksa ku."
"Emily? Maksudmu Dokter Dyer? Penyintas itu?"
"Memangnya ada dokter lain selain dia yang berasal dari manor sisi penyintas itu?"
"Dokter Mesmer?"
"Bukankah dia seorang psikolog?"
"Bukankah seorang psikolog juga seorang dokter?"
"Sebenarnya apa yang sedang kita bicarakan saat ini?"
"... Kau yang memulainya."
"Habisnya kau yang bertanya duluan."
Ithaqua menghela napas malas sambil mengacak-acak rambutnya sendiri, "Cukup kau saja yang sakit, jangan sampai kau buat kepalaku sakit juga karena mu."
Nabilah hanya membalas dengan terkekeh kecil selagi Ithaqua bangkit dari duduknya lalu pergi untuk mengambil sesuatu dari lemari.
"Bukankah aku sudah memberimu selimut yang lebih tebal dari selimut yang sedang kau pakai itu?" tanya Ithaqua sambil membuka lemari lalu mencari-cari selimut yang dimaksudnya itu.
"Ah, iya juga. Aku lupa."
Setelah menemukan selimut yang dicarinya, Ithaqua pun menutup pintu lemari tersebut sambil menyunggingkan senyum kecil.
"Baiklah, ini selimut tambahan untukmu. Aku tahu kau sangat benci kedinginan, apalagi ketika kau sedang sakit." ujar Ithaqua sambil membentangkan selimut itu untuk Nabilah.
"Aw, terima kasih banyak! Tumben sekali kau perhatian begini."
"Aku bisa diledek oleh para tukang gosip di manor ini jika aku tidak memperlakukan mu seperti seseorang yang aku sayangi."
"Jadi apa kau begini hanya karena tidak mau diledek?"
"Tidak, aku serius merawat mu karena aku memang perhatian dan sayang padamu. Bukan karena aku tidak mau dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu manor."
"Ehehe, aku tahu itu."
Ithaqua menyeret kursi dari meja tulis di kamar itu, lalu menggunakannya untuk duduk di samping tempat tidur.
"Sekarang istirahatlah, ya? Cepatlah sembuh. Aku tadinya sedang ingin melaksanakan pertandingan duo pemburu bersamamu lagi." bisik Ithaqua sambil tersenyum lembut dan mengelus-elus kepala Nabilah supaya ia tertidur.
Nabilah tersenyum balik, lalu menutup matanya dan bergumam, "Aku juga ingin melaksanakan pertandingan duo pemburu bersamamu lagi... karena itu selalu menyenangkan."
- - - - -
Besoknya, pada siang hari, Nabilah ternyata masih belum membaik.
"Eh? Suhu tubuhku belum menurun?"
Nabilah memperhatikan termometer yang sedang dipegangnya itu selagi ia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengenai kenapa suhu tubuhnya masih sama seperti sebelumnya dan belum menurun sama sekali. Disaat yang bersamaan, pintu kamar tiba-tiba dibuka, dan tampaklah sosok sang Penjaga Malam dengan darah mengotori topeng dan jubahnya.
"Aku kembali."
"Hei, kenapa kau tidak membersihkan dirimu dulu sebelum kesini?"
Ithaqua tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam kamar itu dan menghampiri tempat tidur, ia bahkan tidak melepas jubah dan topengnya terlebih dahulu.
"Aku baru saja menyelesaikan pertandingan di Lakeside Village, setelah ini aku harus segera bersiap untuk satu pertandingan Tarot di Sacred Heart Hospital."
Ithaqua mengambil termometer yang sebelumnya dipegang oleh Nabilah, lalu ia tampak terkejut begitu memeriksanya.
"Suhu tubuhmu sama sekali belum menurun sejak kemarin?"
"Ya... Sayangnya belum... entah kenapa."
"Akan ku panggilkan Dokter Dyer untuk merawat mu. Aku sudah terlambat untuk pertandingan selanjutnya. Maafkan aku."
"Hei, tunggu!"
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Ithaqua langsung pergi keluar dari kamar itu. Nabilah terdiam di tempat, emosi nya campur aduk. Ia kesal karena Ithaqua langsung pergi begitu saja setelah mengecek suhu tubuhnya sebentar, namun ia sebenarnya mengerti bahwa Ithaqua sepertinya sudah terlambat untuk pertandingan selanjutnya karena jadwalnya hari ini cukup padat. Tapi, disaat yang bersamaan, Nabilah juga merasa cukup sedih karena itu.
"Nona Auclair?"
"Oh, Emily, ya?"
Emily Dyer, seorang penyintas yang juga dikenal sebagai seorang Dokter, memunculkan diri di depan pintu kamar yang masih terbuka.
"Masuk saja. Kau ingin mengecek kondisiku, kan?"
Emily mengangguk sambil tersenyum, lalu masuk ke kamar bersama tas berisi alat-alat medis nya dan duduk di tepi tempat tidur.
"Ithaqua tadi sepertinya sedang sangat terburu-buru, ya? Kebetulan sekali tadi aku berpapasan dengannya. Ternyata aku datang di waktu yang tepat, dia tadi terlihat lega begitu melihatku."
"... Jadwal pertandingannya hari ini cukup padat."
- - - - -
Saat itu tengah malam, dan Nabilah tahu-tahu terbangun dari tidurnya.
"... Jam berapa sekarang?"
Nabilah mencoba sebisa mungkin untuk melihat jam di dinding, namun tidak berhasil karena ia sedang tidak mengenakan kacamatanya, dan juga satu-satunya penerangan yang ada saat itu hanyalah lilin yang ada di atas meja di sebelah tempat tidur.
Tepat di saat ia menoleh kesamping, Nabilah terkejut melihat bahwa ada sosok yang sedang tertidur, dengan posisi sedang duduk di lantai dan kepalanya dibaringkan di tepi tempat tidur dengan kedua lengannya dilipat sebagai bantalnya.
"Ah, sudah sejak kapan dia tertidur disitu?"
Nabilah hanya diam selagi memandangi Ithaqua yang sedang tertidur itu.
"... Maafkan aku... karena tidak bisa menemanimu seharian ini... Nabilah...", Ithaqua tiba-tiba mengigau dalam tidurnya, raut wajahnya pun menunjukkan bahwa ia merasa sangat menyesal.
Nabilah pun tersenyum tipis, lalu dengan pelan ia pun mengangkat satu tangannya untuk meraih kepala Ithaqua dan mengelus-elus nya dengan lembut.
"Tidak apa-apa, Itha. Aku mengerti."
- - - - -
Hari demi hari pun berlalu, namun ternyata Nabilah tidak kunjung sembuh juga.
"... Sudah lebih dari 10 hari. Kenapa kau masih belum sembuh?"
"... Mana aku tahu."
Ithaqua menghela napas. Jujur, dia sudah mulai semakin gelisah akan keadaan Nabilah yang belum juga sembuh. Ia mencoba untuk terus berpikir positif, namun pikiran negatif selalu menang.
Tiba-tiba ketukan pintu pun terdengar, Ithaqua pun menghampiri pintu dan membukakannya.
"Dokter Dyer?"
"Cepat bawa dia ke ruang perawatan!"
"T-Tapi kenapa?"
"Nanti aku jelaskan, ayo cepat!"
- - - - -
"Jadi... kondisinya serius, ya?"
"Sayangnya begitu."
"Oh."
Ithaqua sedang duduk di sofa ruang tamu manor ditemani Galatea. Pada dasarnya, ia sedang curhat kepada Galatea yang merupakan salah satu dari enam orang pemburu yang paling dekat dengannya di manor selain Nabilah sendiri.
"Bukankah Nabilah bisa melakukan sihir penyembuhan? Kalau tidak salah aku pernah melihatnya menggunakan sihir semacam itu padamu." tanya Galatea dengan raut wajah penasaran.
"Ya, dia memang memiliki kemampuan sihir penyembuhan, hanya saja..."
"Hanya saja?" Galatea memiringkan kepalanya.
Ithaqua menghela napas lalu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustasi.
"Dia tidak bisa menggunakan sihir itu pada dirinya sendiri! Itulah kekurangan dari kemampuan sihir penyembuhan nya itu! Seandainya... seandainya... seandainya, dia bisa menggunakannya pada dirinya sendiri..."
"B-Bagaimana dengan ramuan? Bukankah dia juga bisa membuat ramuan?" Galatea mencoba yang terbaik untuk menenangkan Ithaqua.
"Maksudmu ramuan penyembuhan? Sama saja... Dia sebenarnya bisa membuat ramuan penyembuhan, namun tetap saja dia tidak bisa menggunakannya pada dirinya sendiri juga!"
"Astaga... Begitu, ya... I-Ini buruk."
"Aku tahu! Aku tahu! Aku tahu ini buruk! Orang mana yang tidak akan panik dan gelisah jika seseorang yang berharga baginya terkena penyakit yang serius!?"
"Setidaknya kau tenangkan dirimu dulu! Cobalah untuk berpikir dengan jernih untuk sejenak!"
"Bagaimana aku bisa tenang!? Apa kau tahu rasanya-"
"Ithaqua, aku mungkin tidak tahu jelas bagaimana perasaan mu terhadap apa yang sudah terjadi di masa lalu mu, tapi ayolah! Singkirkan pikiran negatif mu untuk sementara, cobalah untuk memikirkan hal yang tidak negatif."
Ithaqua akhirnya terdiam begitu Galatea mengatakan itu padanya selagi memegangi pundaknya.
Ithaqua pun menghela napas, lalu melepas topengnya, "Maaf. Aku... hanya tidak ingin kehilangan seseorang lagi. Dia... sangat..."
"Dia sangat berharga untukmu, kan?"
Ithaqua mengangguk pelan selagi raut wajah gelisah nya perlahan menghilang. Melihat itu, Galatea pun menghela napas lega, berpikir bahwa dia sudah berhasil menenangkan Ithaqua.
Ithaqua benar-benar sangat mengkhawatirkan Nabilah. Dia mulai merindukan Nabilah yang biasanya rewel dan hiperaktif, namun sekarang ia sedang terbaring lemas dan tidak banyak berbicara.
Dia sangat mengkhawatirkannya, karena Nabilah adalah bagian penting dari hidupnya. Tanpa Nabilah, Ithaqua pasti akan selamanya melupakan jati dirinya sendiri dan terus menjadi Malaikat Pencabut Nyawa dari Dataran Tinggi Leng.
Ithaqua tenggelam dalam lamunannya untuk beberapa saat, sebelum kemudian seorang anak kecil dengan kepala berbungkus karung goni berlari menghampiri dia dan Galatea.
"Kakak Itha! Kakak Gala!"
Namanya Robbie White, dan dia dikenal juga sebagai Anak Kapak.
"Lihat apa yang sudah ku buat! Aku membuat ini untuk Kakak Nabil!" seru Robbie sambil menunjukkan selembar kertas berisi gambar buatannya.
Pada kertas itu, Robbie menggambar Nabilah yang sedang tersenyum lebar dengan wujud manusia lidi, dan di atasnya terdapat tulisan "Get well soon!". Ithaqua dan Galatea tersenyum lembut melihat gambar itu.
"Ah, gambar yang sangat bagus, Robbie!" ujar Galatea sambil mengelus-elus kepala Robbie.
"Galatea benar, ini gambar yang sangat bagus, Robbie. Nabilah pasti akan menyukai gambar ini." ujar Ithaqua.
"Kalau begitu, ayo kita ke ruang perawatan! Ayo tunjukkan ini padanya supaya dia bisa segera sembuh!" seru Robbie dengan girang.
- - - - -
"Kakak Nabil! Kakak Nabil, aku membuatkan sesuatu untukmu!"
"Ssstt! Robbie, jangan berisik, ya?"
"Ups! Maaf..."
Ithaqua bersama Galatea dan Robbie pun pergi ke ruang perawatan untuk menjenguk Nabilah. Ruang perawatan itu sepi, suasananya juga tenang, dan Nabilah ditempatkan di ranjang pasien paling ujung karena dia sendiri yang ingin berada di dekat jendela.
"Kakak Nabil? Apa kau tidur?"
"... Nabilah?"
Ithaqua mendekati Nabilah yang sepertinya sedang tertidur, dia pun mencoba untuk memeriksa suhu tubuh sang Penyihir, dan seketika firasatnya menjadi tidak enak.
"... Kenapa... suhu tubuhnya dingin?"
"Ithaqua? Ada apa?"
Ithaqua diam dan tidak menjawab Galatea. Setelah itu, dia pun mencoba untuk memeriksa denyut nadi Nabilah untuk memastikan kecurigaannya, dan alangkah terkejutnya ia begitu diperiksanya denyut nadi itu.
"JANTUNGNYA SUDAH TIDAK BERDETAK LAGI!?"
"APA!?"
Pintu ruang perawatan yang sebelumnya tertutup pun tiba-tiba dibuka oleh seseorang, yang ternyata adalah Emily.
"Kalian semua, beri aku waktu, aku akan mengatasinya!"
"Tapi-"
Emily menepuk pundak Ithaqua dengan ekspresi wajah serius, lalu berkata, "Serahkan semuanya padaku. Jangan khawatir, ya?"
"Ayo keluar. Biarkan Emily melakukan pekerjaannya."
Galatea menarik tangan Ithaqua dan Robbie lalu menyeret mereka berdua keluar dari ruang perawatan, meninggalkan Emily bersama Nabilah yang kondisinya saat ini tidak jelas, namun sepertinya serius.
"Kakak Gala, apa Kakak Nabil baik-baik saja...?" tanya Robbie dengan nada khawatir.
"Emily akan mengatasi kondisinya, jadi jangan begitu mengkhawatirkannya, ya?" balas Galatea pada Robbie.
"Tapi... Tapi... Tapi apakah yang dikatakan Kakak Itha sebelumnya itu benar?"
Galatea menghela napas, lalu mencoba yang terbaik untuk mengalihkan perhatian sang Anak Kapak.
"Robbie, pergilah bermain dengan Yima dan Memory, ya? Selama itu, simpanlah gambar mu itu dengan baik. Aku akan mengabari mu mengenai Kakak Nabil nanti. Mengerti?"
"... Baiklah kalau begitu..."
Robbie pun pergi meninggalkan Galatea dan Ithaqua. Beres dengan Robbie, Galatea pun melihat ke arah Ithaqua yang ternyata sedang terduduk di lantai dengan kedua tangannya memegangi kepalanya.
"D-Dia... Dia tidak... Dia tidak akan meninggalkanku, kan? Dia tidak akan pergi... seperti ibu... kan? Ahaha, tadi itu aku pasti hanya keliru. Mana mungkin tubuhnya sudah sedingin itu? Aku menjenguknya tadi pagi, dan tubuhnya masih hangat... A-Aku tidak begitu tahu banyak tentang hal-hal medis tapi... dugaan ku tadi, bisa saja salah, kan?"
Galatea terdiam selagi Ithaqua terus berbicara pada dirinya sendiri. Siapa yang tidak panik dan gelisah ketika seseorang yang dicintai ternyata sedang sekarat?
Pikirannya mulai berantakan, emosi nya pun mulai tak terkontrol juga, Ithaqua benar-benar merasa sangat kacau.
"Ithaqua."
"... Apa yang harus kulakukan, Galatea?"
"Lampiaskan lah semua emosi mu, menahan semuanya hanya akan membuatmu merasa lebih buruk."
"Maksudmu?"
"... It's alright to cry."
Tepat pada saat itu juga, Ithaqua pun akhirnya meneteskan air matanya dan mulai terisak-isak selagi masih bergumam tentang kegelisahannya akan kondisi Nabilah. Selama itu, Galatea hanya bisa membiarkan Ithaqua mencurahkan seluruh isi pikiran dan hatinya, sambil mengelus-elus pundaknya, karena setidaknya, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat itu hanyalah menemani dan mendengarkan Ithaqua.
"Ini terlalu cepat... Sekarang ini terlalu cepat untuknya pergi... Aku... Aku tidak ingin sendirian lagi... Aku merindukannya. Sangat-sangat merindukannya. Aku ingin memeluknya lagi. Aku ingin mencium keningnya lagi. Aku ingin memainkan rambutnya lagi. Aku ingin mendengarnya tertawa lagi. Aku ingin melihatnya tersenyum lagi. Aku..."
Ithaqua terdiam untuk beberapa detik begitu ia mendapat kilas balik mengenai apa yang pernah Nabilah katakan di hari pertamanya ia jatuh sakit kemarin. Setelah itu, ia pun semakin terisak dan menjambak rambutnya sendiri karena frustasi yang bercampur dengan kesedihan dan kegelisahan yang luar biasa.
"Aku ingin melaksanakan pertandingan duo pemburu bersamanya lagi! Aku ingin bermain-main dengannya di Moonlit River Park lagi. Aku ingin melihatnya memainkan ayunan di Dark Woods lagi. Aku ingin berjalan-jalan di Eversleeping Town dengannya lagi. Aku ingin membuat manusia salju dengannya di Leo's Memory lagi. Aku... Aku juga... Aku juga ingin, melihat bintang di langit malam bersamanya lagi..."
Ithaqua akhirnya diam, meskipun air mata masih membasahi wajahnya. Ia pun teringat akan semua hal-hal menyenangkan dan indah yang pernah ia lakukan bersama sang kekasih tercinta. Oh, betapa rindunya ia akan sang Penyihir yang sudah menjadi cinta pertamanya itu.
"Galatea... Aku harap dia akan segera sembuh."
"... Aku tahu. Aku juga mengharapkan hal yang sama."
- - - - -
Tiga hari telah berlalu sejak itu, selama itu pula Ithaqua mengurung diri di kamarnya. Dia hanya keluar untuk sarapan, makan siang, makan malam, dan melaksanakan jadwal pertandingannya. Begitu menyelesaikan semua kegiatan itu, dia akan langsung kembali ke kamarnya, dan terus mengurung dirinya hingga ia perlu pergi keluar lagi.
Selama jam makan bersama pemburu lainnya, dia terlihat tidak nafsu makan karena dia hanya diam dan memakan makanannya dengan tenang, juga dengan raut wajah yang suram. Sedangkan selama melaksanakan pertandingan, dia menjadi lebih kasar dan brutal daripada biasanya.
Dan hari itu, adalah hari ketujuh untuk Ithaqua yang masih mengurung dirinya.
"Ithaqua? Hei, kau masih hidup, kan?"
Galatea mengetuk-ngetuk pintu kamar Ithaqua.
"Pergi."
"Hah?"
"Pergilah."
Galatea menghela napas malas, lalu mengetuk-ngetuk pintu dengan lebih keras lagi.
"Kubilang pergilah!"
"Cepatlah keluar sebelum aku mengetuk-ngetuk pintu mu lagi dengan menggunakan pahat ku."
Pintu pun akhirnya dibuka, dan tampaklah sosok sang Penjaga Malam beserta kamarnya yang ternyata sama-sama sangat berantakan. Ithaqua tidak mengenakan jubah dan kedua penyangga kakinya, rambutnya terlihat lebih acak-acakan daripada biasanya. Di dalam kamarnya, tampaklah jubah, penyangga kaki, topeng, dan kapak es milik Ithaqua yang terkapar begitu saja ditengah-tengah kamar, tempat tidurnya berantakan, dan tirai jendela dibiarkan tertutup sehingga kamar itupun menjadi cukup gelap.
"Apa mau mu?" Ithaqua menatap tajam Galatea yang hanya menatapnya balik dengan datar.
"Sudah seminggu kau menjadi sangat menyedihkan seperti ini sejak hari itu. Kau bahkan tidak menjenguknya lagi, ya? Ah, aku mengerti tentang perasaan mu yang kacau balau hari itu, tapi apa kau tidak ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dia pasti sudah pergi."
Galatea membelalakkan matanya, dia pun menarik paksa lengan Ithaqua dan menyeretnya keluar dari zona suramnya itu.
"Oh, jadi begitu, ya? Kau benar-benar berpikir dia sudah pergi meskipun kau sudah tidak menjenguknya selama seminggu? Baiklah, akan ku tunjukkan sesuatu padamu."
"Hei, kau mau membawaku kemana!?"
"Sudahlah, ikut saja!"
Ithaqua hanya menghela napas dengan kesal dan membiarkan Galatea menyeretnya entah kemana. Tak lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah ruangan, yang ternyata adalah ruang perawatan khusus pemburu, tempat Nabilah dirawat selama ini.
"Kenapa kau membawaku kesini?"
"Lihat saja sendiri."
Galatea tersenyum lalu membuka pintu, dan...
"Ah, ini gambar yang sangat bagus, Robbie! Aku menyukainya!"
"Benarkah!? Terima kasih, Kakak Nabil!"
"Eh?"
Ithaqua terdiam di tempatnya selagi ia mengobservasi seisi ruang perawatan itu. Beberapa orang pemburu ternyata ada di sana, di antaranya adalah Robbie, Grace, Mary, Michiko, Jack, Joseph, dan Alva. Dan yang paling mengejutkan untuk Ithaqua sendiri, tampaklah Nabilah yang masih terduduk di ranjang pasien, namun dengan keadaannya yang ternyata terlihat sudah lebih baik, atau lebih tepatnya, ia sepertinya sudah kembali sehat.
"Oh? Ah, halo, Itha! Senang melihatmu—"
"KAU MASIH HIDUP!?"
"APA MAKSUDNYA ITU!?"
"KAU BENAR-BENAR MASIH HIDUP!?"
"KAU KIRA AKU SUDAH MATI, YA!?"
"Ya, ya, ya, ini salahnya sendiri karena dia sudah tidak menjenguk mu selama seminggu. Pacarmu ini memang lucu sekali, ya, Nabil?"
Galatea menyeret Ithaqua masuk ke dalam dan menghampiri Nabilah. Begitu Ithaqua mendekat, Nabilah langsung dengan cekatan bangkit dari ranjangnya lalu mencubit kedua pipi Ithaqua dengan keras.
"Aw, aw, hei!?"
"Tega sekali kau mengira aku sudah mati! Kenapa bisa-bisanya kau berpikiran seperti itu!?"
"Tapi, Nona Auclair, bukannya memang wajar kalau saat itu dia mengira kau sudah tiada?" tanya Alva tiba-tiba.
Nabilah melepaskan kedua cubitannya lalu menoleh ke Alva, "Maksudnya?"
"Yah, saat itu dia memeriksa suhu tubuhmu yang ternyata sangat dingin seperti orang mati, dan juga katanya jantungmu sudah tidak berdetak lagi ketika dia memeriksa denyut nadi mu." Jack membantu untuk menjelaskan.
"Oh, begitu, ya? Ahaha, dasar Itha!"
"Sebenarnya apa maksud dari semua ini? Bagaimana kau bisa langsung sehat-sehat begini?"
Nabilah menatap Ithaqua dengan datar sembari berkacak pinggang, lalu menghela napas malas dan mulai menjelaskan.
"Astaga, sebenarnya aku malas untuk menjelaskan ulang soal ini, tapi karena kau begini, yah, apa boleh buat. Jadi begini, ya, apa kau tahu? Ternyata aku sebenarnya bisa menyembuhkan diriku sendiri! Hanya saja, proses nya memang mengkhawatirkan, dan cukup berisiko untuk kelangsungan hidupku."
Ithaqua memiringkan kepalanya, "Prosesnya mengkhawatirkan dan berisiko untuk kelangsungan hidupmu?"
Nabilah mengangguk-angguk, lalu lanjut menjelaskan, "Almarhumah ibuku mendatangiku di alam bawah sadar ku, dia lah yang sudah memberitahukan ku tentang itu. Aku memang tidak bisa menggunakan sihir penyembuhan pada diriku sendiri, tapi sebenarnya ada cara lain yang sebenarnya sangat berisiko, seperti yang aku bilang sebelumnya. Nah, coba tebak cara apakah itu?"
"Kau pikir aku tahu? Kenapa bertanya padaku?"
"Ehehe, baiklah, baiklah, langsung saja aku jelaskan, ya. Jadi, cara penyembuhan berisiko yang dimaksud itu adalah, dengan mati suri untuk beberapa hari! Itu dia! Lalu, bagaimana aku membuat diriku sendiri mati saat itu? Simpel saja, aku menghentikan detak jantungku sendiri."
Ithaqua terdiam, ia mencoba untuk memproses apa yang baru saja Nabilah jelaskan padanya. Menyembuhkan diri dengan mati suri? Apa itu? Ia tahu bahwa kekasihnya itu adalah seorang penyihir, tapi rasanya lama-lama dia bisa gila jika lagi-lagi Nabilah melakukan hal-hal diluar nalar seperti itu lagi.
"... Kau ini benar-benar, ya."
"Kenapa? Aku benar-benar apa?"
"Kenapa kau tidak memberitahukan hal itu padaku dulu!? Kenapa kau bisa-bisanya dengan nekat langsung mencobanya tanpa mengabari ku!?"
"Aku sengaja, hehe. Aku juga sengaja hanya memberitahu Emily supaya dia tidak langsung meminta Aesop dan Andrew untuk menyiapkan pemakaman untukku begitu dia memeriksa ku saat aku sedang mati suri."
Ithaqua menepuk keningnya sendiri, seolah dia benar-benar sudah lelah dengan Nabilah yang memang suka terlalu nekat untuk melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya.
"Astaga, Nabilah, sepertinya kau harus tanggung jawab, ya. Sejak dia memeriksa mu saat kau sedang mati suri saat itu, dia menjadi sangat suram dan mengurung dirinya di kamar sampai hari ini!" Mary menepuk pundak Nabilah lalu tertawa kecil.
"Oh, iya! Hei, hei, Itha, bukannya saat itu kau bilang kau ingin melakukan sesuatu?" tanya Galatea pada Ithaqua.
"Saat itu? Apa?"
"Kau lupa, ya? Ah, diingat-ingat lagi juga sebelumnya, ketika kita tiba di sini, kau malah langsung berdebat kecil dengan Nabilah dan bukannya memeluknya dan mencium keningnya!" seru Galatea.
"Oh? Memangnya Itha ada bilang apa waktu itu, Gala?" tanya Nabilah.
Galatea tertawa, lalu dengan detail langsung menceritakan tentang apa saja yang dikatakan Ithaqua waktu itu.
"Hehehe, dia bilang dia sangaaaat merindukan mu! Dia ingin melakukan banyak hal denganmu! Dia ingin memelukmu lagi, dia ingin mencium keningmu lagi, dia ingin memainkan rambutmu lagi, dia ingin mendengar mu tertawa lagi, dia ingin melihatmu tersenyum lagi, dia juga ingin... Ah! Dia ingin melaksanakan pertandingan duo pemburu bersamamu lagi! Dia ingin bermain-main bersamamu di Moonlit River Park lagi, dia ingin melihatmu memainkan ayunan di Dark Woods lagi, dia ingin berjalan-jalan di Eversleeping Town bersamamu lagi, dia ingin membuat manusia salju di Leo's Memory bersamamu lagi, dan yang terakhir, dia juga ingin melihat bintang di langit malam bersamamu lagi!"
"Galatea! Hentikan! Bagaimana kau bisa ingat semuanya dengan detail!?"
Ithaqua terdiam, wajahnya juga menjadi sangat merah, tampak jelas bahwa dia sepertinya jadi sangat malu karena Galatea. Pemburu yang lain pun akhirnya menertawakan dia sedangkan Nabilah hanya memberinya tatapan yang seolah berkata "Oh, jadi begitu, ya?".
"Nabil..."
"Ahahaha, Itha, ternyata kau memang semanis itu, yaa!"
"H-Hei!"
Nabilah pun memeluk erat Ithaqua, sementara yang dipeluknya itu malah menjadi kewalahan akan apa yang sedang terjadi. Ithaqua pun akhirnya hanya bisa memeluk balik Nabilah selagi ia mencoba untuk menyembunyikan wajahnya.
"Sial, topengku tertinggal di kamar!"
"Sudahlah, Ithaqua. Tidak usah malu, ya?"
Michiko tahu-tahu menepuk pundak Ithaqua, lalu dia pun membisikkan sesuatu pada Ithaqua, "Jadi, kapan kau mau melamarnya?"
"Nyonya Michiko!"
Ithaqua kaget karena tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu, saking kagetnya, ia sampai memeluk Nabilah lebih erat dari sebelumnya.
"Hei, Michiko, kau menanyakan dia hal itu, ya? Aduh, kau ini, mereka itu masih muda, lho!" ujar Mary pada Michiko.
"Ahaha, iya, iya, aku tahu, kok! Tapi aku hanya bercanda, ya. Aku tidak serius, hanya iseng saja ingin mencoba bertanya begitu. Siapa tahu dia sudah punya rencana, kan?" balas Michiko sambil mengedipkan sebelah matanya pada Ithaqua.
"Tidak, tidak, tidak, tidak! Aku sama sekali belum pernah memikirkan hal seperti itu, Nyonya Michiko!" seru Ithaqua.
"Hei, memangnya apa yang dia tanyakan padamu tadi?" tanya Nabilah yang penasaran.
"Tidak, bukan apa-apa. Itu... bukan hal penting." balas Ithaqua sambil menutupi mulutnya dengan tangannya.
"Hei, aku penasaran! Apa yang ditanyakan nya padamu tadi?" seru Nabilah sambil melepaskan diri dari pelukannya.
"Kubilang bukan apa-apa! Sudah! Tidak usah dibahas!" Ithaqua pun akhirnya menyembunyikan seluruh wajahnya dengan kedua tangannya.
"Nyonya Michiko! Apa yang kau tanyakan pada Itha tadi?" Nabilah menghampiri Michiko, ternyata dia memang sangat penasaran akan pertanyaan apa yang dimaksud itu.
"Hei, ayolah, sudah kubilang bukan apa-apa!"
"Ah, bukan apa-apa. Hanya pertanyaan iseng, kok, hehehe." balas Michiko.
Nabilah memiringkan kepalanya, "Kalau hanya iseng, lalu kenapa kalian membicarakannya seperti itu hal yang patut dirahasiakan?"
"Baiklah semuanya, sudah cukup, ya. Sebaiknya topik seperti ini jangan diteruskan. Ada anak kecil di sini." ujar Alva sambil menunjuk kearah Robbie yang sedang berceloteh ria dengan Grace yang hanya bisa mendengarkan dan mengangguk-angguk.
"Ah, sudah jam segini, ya? Aku baru ingat aku ada jadwal pertandingan di Red Church."
"Oh, aku juga. Aku ada jadwal pertandingan Blackjack."
"Aku juga ada jadwal pertandingan."
"Oh, aku juga harus pergi sekarang!"
"Aku ingin beristirahat di kamarku."
"Aaaa, aku mau melanjutkan patung yang sedang ku kerjakan!"
"Robbie dan Kakak Grace ada janji untuk bermain di kebun belakang bersama Yima dan Memory!"
Pada akhirnya, semua pemburu di ruangan itu kecuali Ithaqua dan Nabilah pun pamit pada satu sama lain lalu pergi meninggalkan ruang perawatan.
"Ahaha, semuanya pergi, ya— Eh?"
Nabilah baru saja ingin kembali berbaring di ranjang pasiennya, namun tiba-tiba saja Ithaqua langsung menahannya dengan menariknya ke pelukannya sekali lagi, namun kali ini dengan tambahan yaitu satu ciuman lembut di pipi kanan milik Nabilah.
"... Akhirnya mereka semua pergi." gumam Ithaqua yang kemudian menghela napas lega.
Nabilah terdiam untuk beberapa saat, sebelum kemudian tertawa lalu mengelus-elus kepala Ithaqua.
"Ahahahahahaha! Aww, Itha, kau memang benar-benar pemalu begitu, ya? Kau tahu, itu lucu dan manis sekali! Hehehe!"
"Aku, aku, aku hanya tidak begitu suka melakukannya di depan orang lain! I-Itu memalukan."
"Ya, ya, aku mengerti, kok. Tapi, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa?"
Nabilah pun menatap tepat ke arah kedua mata biru milik Ithaqua, lalu berbisik, "Apa semua yang Galatea katakan sebelumnya memang benar? Apa kau memang benar-benar sangat merindukan ku?"
"... Untuk apa kau menanyakan hal itu? Kau meragukan kekhawatiran ku selama berminggu-minggu ini mengenai kondisimu?"
"Ehehe, kau menyayangiku, kan?"
Selagi wajahnya masih sedikit merona, Ithaqua pun memegang pipi Nabilah yang diciumnya tadi.
"Tentu saja aku menyayangimu. Apa selama ini kau meragukan rasa sayang dan cintaku padamu, Nabilah Auclair?"
Nabilah tersenyum manis lalu memeluk balik sang kekasih dengan erat, "Tidak, tidak sama sekali! Aku tahu sangat akan betapa kau sayang dan cinta padaku. Lagipula, bukankah aku yang dulunya sudah membantumu menemukan siapa dirimu lagi?"
Ithaqua pun akhirnya tersenyum lembut, "Ya, itu benar. Kaulah yang sudah menyelamatkanku saat itu, Nabilah."
"Kau juga yang sudah menyelamatkanku, Itha."
Nabilah kemudian mencium sudut bibir Ithaqua dan tertawa kecil begitu melihat reaksi Ithaqua yang langsung kaget karena itu.
"Oh, you silly girl."
• • •
-------
YEYYYYYYY NABILITHA AKHIRNYA DEBUT AHAHAHA
Waduh ternyata ini wansut paling panjang yang pernah aku tulis buat event
Disini ada yang kangen NabilahPoe nggak? Kalo iya, ayo komen, nanti next event saya nulis mereka lagi .gggg
Kalian nanya penyakitnya Nanab disini tuh apaan? Yah begitulah kawan, saya mau nanya juga sebenernya, nulis nya asal-asalan soalnya /heh
Yak sekian sesi bacotan tak berfaedah dari Nanab, see you next event ges <3
Words: 4323
-------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top