‧₊˚ ੈ✩ Singgung ੈ✩‧₊˚
𓆩ꨄ︎𓆪
"Sudah kuperingatkan berkali-kali. Hati-hati saat memegang pisau, Sharon!"
"Aku sudah berhati-hati. Tapi, tetap saja, pisaunya melayang dan mengenai tanganku."
Ia tepuk pelan kepala Sharon. "Untung tidak mendarat di kaki atau kepalamu."
Sang pria menarik tangannya setelah memastikan plaster sudah menutup penuh luka di jemari istrinya. Ia raih kembali tangan kanan Sharon yang terluka. Lantas ia cium dengan lembut punggung tangan Sharon.
"Ingat, berhati-hatilah."
"Karena Chuuya menciumnya, sakitnya langsung hilang."
Chuuya mendengkus seraya tersenyum kecil. "Ada saja mulutmu itu."
⋮
✧
Halu_Project's event • Sick
Singgung || A Yumeship
Nakahara Chuuya, Ozaki Kouyou, Mori Ougai © Kafka Asagiri 'n Sango Harukawa
Plot © DeadChuu
Total words : 2306
Enjoy~
[16 Mei 2023,
Shana]
⋮
✧
Pada akhirnya, kertas tetaplah kertas. Jika terkena air, bagaimanapun akhirnya, kertas akan tetap hancur. Terburai, tak beraturan, tak berbentuk lagi. Mirisnya, seorang Nakahara Chuuya tengah diperbudak beberapa tumpuk besar kertas.
Tangan kanan—yang menggenggam erat bolpoin—hanya melayang asal di atas salah satu kertas penting (beberapa kali meninggalkan bekas tinta, tetapi Chuuya tak menyadarinya). Ia tak dapat fokus. Pikirannya tak ada di sana. Mungkin, tertinggal di rumah, atau dibawa pergi oleh istri tercintanya.
Chuuya meletakkan bolpoin ke tempat asalnya. Ia menghela napas sesaat, kemudian mengambil topi kesayangannya—yang kedudukannya hampir terancam. Pria seindah mentari bersandar pada tubuh kursi, mencoba untuk merelaksasikan otot-ototnya.
Benaknya kembali pada kejadian dua minggu lalu. Di mana Sharon terus-terusan mengeluh-eluhkan perutnya yang kram. Akhirnya, Chuuya melarangnya untuk beraktivitas selama minggu itu.
"Tak apa. Mungkin, efek samping dari suka menunda jam makan, hehe. Maaf, Chuuya."
Begitu, pembelaannya.
Si Eksekutif Mafia itu menghela napas, lagi. Ia pijat kedua pelipisnya pelan seraya memejamkan matanya. Mana kala benaknya menggambar seribu satu kemungkinan buruk, ponselnya berdering. Ia angkat panggilan tersebut tanpa melihat nama kontak yang meneleponnya di jam-jam sibuk.
"Halo, Chuuya?"
Senyum perlahan mengembang. "Ada apa, sayang?"
"Sedang sibuk, ya?"
"Tidak."
"Makan siang bareng, yuk."
"Wah .... Jarang sekali ajakan ini ke luar darimu."
"Aku lupa membawa dompetku, hehe."
Chuuya mendengkus. "Dasar .... Baiklah, baiklah, aku akan menjemputmu."
"Tapi, Chuuya."
"Apa?"
"Kalau kau sibuk, sebaiknya jangan. Fokus saja pada pekerjaanmu."
"Dan meninggalkan istriku, yang kemungkinan besar—bukan, yang pastinya akan menunda jam makannya hanya karena lupa membawa dompet?"
"Maaf, Chuuya~!"
"Hm .... Kirimkan saja lokasinya. Aku akan segera ke sana."
"Jadi tidak enak, deh."
"Aku 'kan suamimu."
"Ah, benar juga. Ngomong-ngomong, Chuuya, aku sudah di depan gedung Port Mafia. Di dalamnya malahan."
Chuuya tersentak. Ia bangkit dari kursinya dengan tergesa-gesa, dan langsung meninggalkan ruangannya.
"Di mana kau?"
"Coba tebak."
"Serius, Sharon ...!"
"Aku juga serius. Kalau begitu, kututup panggilannya, ya~! Good luck."
Panggilan pun ditutup secara sepihak. Chuuya percepat langkahnya. Ini bukan kali pertama Sharon berkunjung ke tempat kerjanya. Sebenarnya, tak ada seorang pun yang mengeluh perihal ini. Tetapi, Chuuya tetaplah Chuuya.
Setelah mencari ke tiap penjuru Port Mafia, Chuuya akhirnya sampai pada ruangan dengan potensi paling besar. Ruang kerja Ozaki Kouyou. Ia ketuk pintu beberapa kali, sebelum membukanya dan masuk ke dalam ruangan.
"Ara~ Chuuya?"
"Dia sudah datang, ane-san?"
"Sudah." Kouyou menepuk pelan pundak Sharon.
Wanita itu menyesap teh untuk terakhir kalinya, sebelum bangkit dari kursinya dan berpamitan dengan Kouyou.
"Perhatikan jalanmu. Jangan sampai terjatuh." Kouyou memberi pesan.
"Aku akan mengingatnya. Terima kasih, ane-san."
Setelah Chuuya berpamitan pada wanita yang ia hormati, mereka pun pergi dari gedung tersebut. Sepanjang jalan, tak ada hentinya Chuuya menceramahi Sharon.
"Seharusnya, kau mengabariku dulu sebelum datang ke markas Port Mafia! Juga, jangan terus-terusan melupakan dompetmu! Itu kebiasaan burukmu. Dan, jangan selalu merepotkan ane-san!" Chuuya menghela napas. "Kau ini seperti anak kecil yang keras kepala."
Sharon terdiam. Ia tak merespon melalui kalimat, maupun bahasa tubuh. Setelah Chuuya berjalan sejauh tiga langkahan kaki darinya, ia menangis. Dan lagi, Chuuya dibuat panik juga khawatir oleh perilaku mendadak itu. Pasalnya, Sharon yang ia kenal akan membalas omelan tersebut dengan gelak, juga kata maaf, dan tak akan menangis hanya karena hal ini.
"Apa aku terlalu keras padamu?" tanyanya. Air mukanya penuh cemas dan bersalah. Ia tempatkan tangan kanan yang dilapisi sarung tangan hitam di pipi istrinya, juga tangan kiri merangkul pinggang Sharon. "Maaf."
"Padahal, aku hanya merindukan Chuuya."
Banyak perasaan aneh yang seharusnya tak pernah dimasukkan ke dalam kuali yang sama, dan dicampur bersamaan, muncul dalam dada Chuuya. Membuatnya sesak, tetapi menimbulkan rasa nyaman. Ia masih marah dan khawatir akan sikap istrinya yang sembrono belakang ini, tetapi ia senang, juga heran akan pernyataan istrinya.
"Begitu, ya." Chuuya tertawa. Untunglah jalan Yokohama saat ini sedang sepi. Jika tidak, mereka pasti akan jadi tontonan massa. "Istriku, sangat lucu, ternyata."
"Jangan tertawa! Ini tidak lucu, tahu!"
Sayangnya, Chuuya tak menghiraukan keluhan itu. Ia lanjut gelaknya seraya melepas kedua sarung tangannya, dan kembali menempatkan tangannya di pipi Sharon. Dapat Chuuya rasakan hangat tubuh Sharon—yang terkesan di atas rata-rata.
"Memang tidak lucu. Hanya saja, terdengar aneh."
"Kenapa aneh?"
"Seingatku, istriku yang satu ini tak pernah mau mengakui bahwa dia merindukanku."
Chuuya kecup kening Sharon, lembut. Tak lupa ia belai pipi Sharon guna menenangkan wanita itu.
"Yang satu ini? Memangnya, Chuuya punya berapa istri?"
"Hanya kau seorang, kok."
"Serius?"
"Serius."
"Kalau kutemui fakta bahwa kau punya istri lain, Chuuya, aku tak akan segan-segan untuk memotong kejantananmu."
Bulu kuduk Chuuya berdiri. Ia lupa bahwa Sharon sangat ekstrem, apalagi jika dia merasa cemburu.
"Aku tidak punya istri lain, Sharon. Jangankan itu, aku bahkan tak pernah menatap wanita lain selain dirimu."
"Pokoknya, kalau kuselidiki, dan kutemui fakta bahwa kau menyimpan wanita lain, kau lenyap hari itu juga."
Kembali Sharon taruh perasaan baru ke dalam diri Chuuya. Takut. Bukannya Chuuya tak dapat mempertahankan dirinya sendiri, atau, bukannya Sharon lebih kuat dari Chuuya. Hanya saja, Sharon pasti akan selalu menepati perkataannya, terutama jika dilandasi rasa cemburu dan amarah.
"Iya, sayang. Tidak ada, kok. Aku serius."
Ia tarik pelan tubuh Sharon mendekatinya. Lantas ia cium bibir Sharon cukup lama guna membungkam wanita itu.
"Ya sudah. Ayo, makan."
"Jadi, mau makan siang apa?"
"Chuuya maunya apa?"
"Tonkatsu, kedengarannya bagus."
"Gak mau."
"Kalau begitu, bagaimana dengan karaage?"
"Skip."
"Nikujaga?"
"No."
Chuuya menghela napas. "Begini saja. Sharon ingin makan apa hari ini?"
"Um .... Sesuatu yang manis, asam, dan gurih. Tapi, aku ingin rasa manisnya lebih mendominasi."
"Apa itu?"
"Tidak tahu."
"Kalau begitu, dimasak asam manis? Tapi, manisnya lebih mendominasi? Diberi es krim?" Chuuya berceloteh sendiri.
"Diberi es krim? Memangnya, enak?"
"Coba saja."
"Kalau perutku sakit, itu salahmu."
"Kalau kau sakit, aku akan langsung memanggil dokter ke rumah."
Sharon tergelak kecil. "Ya sudah. Ayo!"
"Ngomong-ngomong, apa kau baik-baik saja?" tanya Chuuya tiba-tiba.
"Aku baik-baik saja, kok."
Pria itu tempatkan tangannya di dahi Sharon. "Panas ...."
"Benarkah? Memangnya, lidahku panas, tadi?"
"Sedikit."
Sharon tergelak kecil. Ia naikkan kedua bahunya. "Yah, kalau kusakit, Chuuya dapat meluangkan waktunya lebih banyak, bukan?"
"Waktuku hanya untukmu, Ron."
"Dan pekerjaanmu."
Chuuya tak dapat menghindar dari pernyataan tersebut. Yang bisa ia lakukan hanyalah menghela napas serta menggenggam erat tangan Sharon, agar wanita itu tak menghilang dari sampingnya.
𓆩ꨄ︎𓆪
Kekhawatiran Chuuya menjadi nyata. Kala Chuuya terbangun, tepat tengah malam, ia menemukan sang istri dalam kondisi yang jauh dari kata sehat. Napasnya tersengal-sengal, suhu tubuhnya naik—teramat panas, juga ia dipenuhi keringat.
Chuuya membelai lembut pucuk kepala Sharon. "Dokter akan datang sebentar lagi. Bersabarlah."
Sharon mengangguk. Ia raih tangan Chuuya dan menggenggamnya erat. "Jangan tinggalkan aku."
"Aku akan tetap menemanimu, di sini."
Setelah menunggu cukup lama, dokter yang sengaja Chuuya kontrak semenjak ia menikahi Sharon (tentu saja, Sharon tidak mengetahui hal ini), akhirnya sampai. Tanpa berbasa-basi, sang dokter memeriksa kondisi Sharon.
"Suhu tubuhnya di atas 38˚C. Jika suhu tubuhnya tak kunjung turun sampai besok, saya sarankan Anda untuk membawa istri Anda ke dokter kandungan."
"Dokter kandungan?"
"Anda tidak mengetahuinya? Apakah istri Anda tidak memberi tahunya?"
Chuuya hanya dapat menggeleng. Sang dokter menghela napas panjang.
"Kesimpulannya, Nakahara-san, jika suhunya tak kunjung turun, Anda harus membawanya ke dokter kandungan. Ingat, dokter kandungan."
"Ah, iya ...." Chuuya masih memproses penjelasan sang dokter.
"Kalau begitu, saya pamit."
Setelah dokter tersebut pergi, Chuuya kembali ke dalam kamar. Ia duduk di pinggir ranjang. Kedua netra senantiasa memperhatikan Sharon yang terlelap setelah diberi obat.
Chuuya menghela napas. "Kejutan, ya?"
Pria itu terkekeh. Ia belai penuh kasih sayang kepala Sharon. Pelan-pelan ia ambil tangan kanan Sharon, menciuminya berkali-kali. Senyum senang tak pernah lepas dari wajahnya. Ia rasa, ia dapat menangis saat itu juga.
𓆩ꨄ︎𓆪
Jam kecil di atas nakas menunjukkan angka 04.55. Chuuya terbangun karena tak merasakan kehadiran Sharon di sampingnya. Ia bangun dari ranjang, dan ke luar kamar dengan tujuan mencari Sharon.
Ia sampai di lantai satu kediamannya. Kedua netra biru segera mendapati Sharon yang tengah terlelap sambil memeluk boneka berbentuk paus di sofa ruang tamu. Perlahan, Chuuya mendekatinya, berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat suara. Ia duduk di lantai, dan bersandar ke kaki sofa.
Perlahan tapi pasti, Sharon terbangun. Wanita itu tempatkan tangannya di atas kepala Chuuya, dan mulai mengusapnya pelan.
"Apa aku membangunkanmu?"
"Tidak, kok."
Mereka terdiam. Tak ada suara sama sekali. Chuuya tampak menikmati waktu itu. Ia suka waktu di mana Sharon membanjirinya dengan sentuhan-sentuhan kecil, seperti saat ini. Sayangnya, belaian lembut itu harus berakhir.
Sharon bangun, dan duduk di samping Chuuya. Ia mengernyitkan dahinya, membuat Chuuya khawatir.
"Kau baik-baik saja?"
Sharon menggeleng. "Perutku ... mual."
Ia tatap lawan bicaranya penuh cemas. "Tidak mau dimuntahkan saja?"
"Tidak bisa."
"Bagaimana kalau tidur lagi saja? Lagi pula, ini masih terlalu pagi untukmu."
"Tidak bisa juga."
"Bersabarlah, Sharon." Ia dekap tubuh Sharon. "Tolong jangan salahkan bayinya, ya."
"Bayi? Chuuya tahu?"
"Tentu saja. Kau payah dalam berbohong."
"Benarkah? Padahal, aku sudah memakai baju yang satu nomor lebih besar dari biasanya."
Chuuya tertawa kecil. Ia kecup pipi Sharon, kemudian mengelus pelan perut istrinya.
"Pertanyaanku, kenapa Ron merahasiakannya dariku?"
"Aku bukannya bermaksud untuk merahasikannya. Hanya saja ...." Ia menggantung kalimatnya.
"Hanya saja?"
"Ane-san bilang, aku harus memberikanmu kejutan yang tak akan bisa kau lupakan," jawab Sharon dengan nada serta ekspresi polos.
"Ron pagi ini jujur sekali."
"Hm ... mungkin, karena aku masih mengantuk?"
"Jadi, kalau kau sudah tidak mengantuk, kau akan menyangkal pernyataanku?"
"Tidak." Sharon menggeleng pelan.
Tawa kembali tergelincir dari bibir Chuuya. "Ngomong-ngomong, umur kandungannya sudah berapa bulan?"
"Kata dokter, sudah sepuluh minggu."
"Oh .... Pantas saja, kau selalu melarangku untuk menyentuh perutmu."
"Bukan begitu, Chuuya ...! Aku bukannya melarangmu, hanya saja—"
Chuuya benar-benar gemas akan tingkah istrinya. Dalam kondisi normal, Sharon pasti akan menyangkal semua hal itu, bahkan berbohong (yang pastinya akan ia akui satu jam setelahnya). Tetapi, pagi ini, dia bersikap sangat jujur dan berperilaku manis layaknya bocah lima tahun.
Kedua tangan ia tempatkan di pipi wanita di sampingnya. Ia mendekatkan wajahnya dengan niat membanjiri wajah istrinya dengan ciuman.
"Jangan dicium! Aku masih mual!"
Niat Chuuya terputus. "Memangnya, bersinggungan?"
"Tidak juga, sih. Tapi, aku tidak mau dicium."
"Setiap kali kau berbohong, telingamu memerah, Sharon."
Sharon cemberut. "Ya sudahlah. Cium saja. Tapi, jangan berlebihan."
Sharon sendiri pun menyadari bahwa ia tak dapat melarang atau sekadar membatasi Chuuya, dalam hal ini. Tenggelamlah kedua pasutri itu dalam relung ciuman.
𓆩ꨄ︎𓆪
Bonus~!
"Oh, ya, Chuuya. Jangan pakai parfum yang minggu lalu kaubeli."
"Kenapa?"
"Wanginya membuat kepalaku pusing dan mual."
"Baiklah."
"Lalu, jangan merokok!"
Chuuya tertawa. "Aku jarang merokok, sayang."
"Pakaian serta topimu bau rokok!"
"Itu ... bawahanku."
"Pokoknya, aku tidak mau mencium bau rokok!"
Berakhirlah semua bawahan Chuuya kehilangan jatah merokok mereka.
❁
Sharon terbangun pada pukul dua subuh. Ia nyalakan lampu tidur yang berada di atas nakas. Pula, ia bangunkan sang suami yang berada di sisi kanan ranjang.
"Chuuya, Chuuya, bangun ...."
"Hm ...."
"Bangun, Chuuya ...!"
Chuuya—yang baru pulang dari markas Port Mafia satu jam yang lalu—terbangun dengan wajah yang teramat lelah.
"Chuuya, aku mau makan es krim berbentuk anjing."
"Iya. Besok, ya, sayang?"
"Maunya sekarang."
"Gak bisa besok?"
Sharon memajukan bibirnya. "Bayinya gak bisa sabar."
"Tidurin aja, ya?"
"Gimana kalau, cariin aku anak anjing aja?"
Mendengarnya membuat Chuuya seratus persen terbangun dari tidurnya. "Hah?"
"Anak anjing, loh!"
"Iya, iya. Itu lebih mudah dicari. Tunggu sebentar, ya, sayangku."
"Hati-hati, Chuu!"
Akhirnya, mereka mengadopsi anak anjing, pada pukul dua dini hari. Ada-ada saja.
❁
Keseharian Chuuya dan Sharon, sebulan setelah kehamilan Sharon terungkap.
Minggu pertama.
"Chuuya."
"Hm?"
"Cium."
Tanpa ragu, Chuuya mencium singkat bibir istrinya.
"Lagi."
Chuuya lagi-lagi mengecup bibir Sharon.
"Lagi?" tanya Chuuya, yang hanya dibalas anggukan oleh Sharon.
Lantas, tingkah ini terjadi secara berulang selama satu jam ke depan.
Minggu kedua.
"Kau tidak perlu repot-repot memasak, Sharon."
"Kenapa? Chuuya bosan dengan masakkanku?"
"Bukan begitu. Kau harus lebih banyak beristirahat, mengerti?"
Sharon mengangguk. "Mengerti."
"Kalau begitu, akan kusewa koki untuk satu tahun ke depan, okay?"
"Tidak perlu serepot itu, Chuuya ...."
"Tidak ada tapi-tapian!"
Minggu ketiga.
"Bosan!"
Chuuya mengambil kunci mobil secepat mungkin. "Mau jalan-jalan?"
"Mau!"
"Ke mana?"
"Aku mau naik helikopter!"
"Hah?"
Akhirnya, mereka berlibur ke Rusia selama tiga hari. Setelah ini, Mori langsung memberikan Chuuya misi yang mengharuskannya pergi jauh dari Sharon.
Minggu keempat.
Sharon menelepon Chuuya pada jam sibuknya. Mau tak mau, Chuuya harus mengangkatnya.
"Ada apa, sayangku?"
"Ane-san mana?"
Chuuya terdiam sesaat. "Mungkin, di ruangannya atau bersama dengan bos?"
"Okay."
"Tunggu, tunggu! Kau tidak akan menanyai keadaan suamimu?"
"Untuk apa? Aku percaya, Chuuya baik-baik saja. Chuuya 'kan sangat kuat."
"Bukan itu maksudku."
"Tahu, kok. Ngomong-ngomong, aku kangen."
Chuuya tertawa. "Benarkah?"
"Sudah dulu, ya! Aku ingin mencari ane-san. Dadah, Chuuya."
"Jangan ditutup dulu! Kita belum mengobrol selama seminggu penuh!"
Panggilan ditutup tanpa balasan dari Sharon. Hal ini membuat mood Chuuya hancur berantakkan hari itu. Untungnya, ketika Chuuya pulang ke rumah di malam hari, Sharon segera membanjirinya dengan kata-kata juga perilaku penuh kasih sayang.
"Maaf, Chuuya. Aku hanya ingin menjahilimu."
"Tidak lucu."
Sharon berjinjit kecil untuk menanggalkan topi Chuuya. Ia kecup singkat pipi Chuuya.
"Maaf ...."
Chuuya menghela napas singkat. Ia tak dapat marah pada istrinya, apalagi wanita itu memasang raut memelas khasnya
"Aku tidak marah, sayang."
"Benarkah? Ya sudah, ayo makan!"
"Kau yang memasaknya?"
"Iya."
"Bukankah sudah kularang untuk ke dapur atau sekadar memegang pisau?"
"Hehe."
𓆩ꨄ︎𓆪
End~!
Pojok berbagi
• Singgung — bersentuhan, bersenggolan, antuk-mengantuk; bersangkut-paut, ada hubungannya.
God, please, cowok kayak Chuuya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top