‧₊˚ ੈ✩ Sick ੈ✩‧₊˚

N.Chuuya D.Osamu belong to Kafka Asagiri

Plot by EllenNa222




Dazai sakit fisik, Chuuya hampir sakit jiwa dibuatnya.

"Chuu."

"Chuuuu."

"Oy, Chuuyaaaa."

Nakahara Chuuya dengan sepasang manik safir indahnya yang digenangi oleh jengah pekat—tapi tetap estetik tentunya—tidak asing barang sedikit 'pun jua dengan panggilan itu. Nadanya menyebalkan betul, sejak dulu begitu, selalu seperti itu tiada ubahnya.

Si Helaian Brunette yang digulung perban macam lemper—makanan negara asing yang pernah Chuuya cicipi dikala bertugas ke luar negri—dia terus menerus memanggil pakai nada khas bocah. Cah bajingan lebih tepatnya.

Si Kepala Sinoper dengan mullet spektakuler itu masihlah membelakangi pria jangkung dengan piyama lusuh di belakangnya. Jangan fokus pada lusuhnya sebab pasti orang itu memang dasarnya malas mengurus perihal baju. Chuuya sudah kenal orang ini sekitar—ah, Chuuya tidak mau menghitung, pokoknya cukup lama untuk bisa mengidentifikasi tabiat serta motif sialan dibalik tiap-tiap perilakunya.

Panggilan biadab yang ditujukan buatnya tiada usai, jadilah mau tidak mau—leher dan torsonya macam ditahan sebongkah enggan yang memberatkan—tapi pemuda bermarga Nakahara itu tetap menoleh. Sambil emosi tentu, namun ia tahan ekspresinya. Bahaya, nanti mahkluk yang ia klaim beraroma amis ikan campur antibiotik—macam ikan tiren pakai formalin—ini bakal menjadi-jadi. Cah bajingan 'kan dikata.

Napasnya dihela seolah dengan asumsi yang menenangkan hati sekilas berupa "kesalku akan berkurang seiringan napasku yang kuembuskan ini." Tapi asumsi tetap saja asumsi, seperti headcanon yang tentunya ada peluang berbeda dengan canon—eh .. intinya, realita suka sekali menampar Chuuya bolak-balik, sepertinya.

Biar panggilan yang bikin jengkel dengan nada kekanak-kanakan itu berhenti, Chuuya mengalah. Dengan pikiran yang dimuntahkan buat menenangkan diri berupa, "ksabar, yang waras 'sih ngalah aja .." tapi ujung-ujungnya berbuah pahit macam kesemek mentah. Wajah Dazai yang pakai _pyon-pyon_ dibuat-buat begitu tentunya bikin Chuuya mual bukan kepalang. Asam lambung Si Sinoper itu seakan naik sedikit. Faktor stress, mungkin? Siapa coba yang tidak bakal mumet kalau-kalau dihadapkan sama mahkluk bau amis macam makarel tiren yang tingkahnya ajaib dalam konotasi jelek—walau wajahnya jauh dari kata jelek 'sih .. Chuuya enggan menerima fakta itu, tapi.

Biar demikian pula, sekali menyebalkan tetap menyebalkan, sampai kapanpun itu. Lalu, biar ini semua cepat usai dan Nakahara Chuuya bisa lepas dari kebiadaban Dazai Osamu secepat mungkin, pemuda dengan helaian seindah semburat senja berkobar itu bertanya—dengan ketus, tentunya. Chuuya kehilangan santainya. Wajah itu ekspresinya macam tertekuk, walau tetap manis dan cantik (Dazai kadang berpikir kenapa Chuuya tidak sesekali crossdressing saja coba? Kalau bisa ditambah atraksi dikit, kan lumayan bikin dia senang.) "Apa? Mau apa lagi kau bodat?"

"Pijitin dong~ atau nyanyikan aku Twinkle Twinkle Little Star pakai aksen Rusia gituu .. aku bosaaannn banget, Chuuya daritadi kan cuma di situ, jadi biar ada gunanya dikit gitu lakukan sesuatu yang menarik 'gih!" Kan. Uemang kelakuan Dazai ini jancog kabeh.

Kata dia—Chuuya jadi rada enggan menyebut namanya—Chuuya diam dan tidak melakukan apa-apa. Padahal sejak pagi yang menghangatkan air buat mandi itu tentunya dia, bahkan hanya sekedar mengelap tubuh pakai kain besar lembab—pengganti mandi karena Si Ancrit itu demam—juga Chuuya, dalilnya Si Brunette ialah masih lemas, pusing 'lah, malas atau apalah itu. Baju ganti juga Chuuya yang siapkan, kalau dia tidak menyanggah mungkin Si Perban bakal minta dipakaikan juga. Yang memasak sarapan hingga makan siang buat Dazai 'pun Si Sinoper. Kurang ajar betul, katanya Chuuya cuma berpangku tangan.

Tapi, ini masalah loyalitas. Nakahara Chuuya eksekutif mafia yang setia—macam anjing 'sih kalau kata Dazai—jikalau entah untuk alasan apapun Mori Ougai memerintah, maka Chuuya akan menjalankannya tanpa sanggahan. Jika boleh jujur, sesungguhnya ialah Si Helaian Senja itu tidak betul-betul menduga dia akan ditugaskan merawat orang yang bukan lagi bagian dari mafia. Seorang yang Chuuya sendiri cap sebagai "pengkhianat".

Sumpah demi panel jendela rumah Dazai yang dilahap debu, sesungguhnya jika bisa Chuuya inginnya ialah berlindung di balik rasa nyaman dari ketidaktahuan. Tapi dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Sesungguhnya ia tahu alasan untuk tugas sialan ini. Mori Ougai masihlah menginginkan Dazai Osamu kembali jadi anggota Port Mafia. Dalam artian—tidak peduli apapun yang Chuuya lakukan, ia bukanlah favorit. Biar bagaimanapun jua pria paruh baya dengan titel orang paling dihormati diantara Mafia Pelabuhan lebih menginginkan Si Perban Jelek ini. Boleh jadi Mori akan rela menukar Si Manik Safir jika bayarannya ialah Dazai kembali.

Chuuya tahu itu. Dengan kepastian sebegitu kokoh dalam relung hatinya yang sepi—ah, dasarnya saja memang kosong sejak awal. Tapi, tidak mengapa. Nama tengah pemuda Nakahara itu ialah kesetiaan tidak mengenal batas. Biar demi apapun itu, ia akan tetap mengabdi. Mungkin iya, Dazai benar. Chuuya ialah anjing, satu yang bodoh dan buta sebab hanya tahu cara mengabdi seolah menjilat kaki tuannya belaka.

Sebab sejatinya ialah eksistensinya sebatas relung kosong yang ditemani hampa sejak hari awal. Dikala manik safir itu pertama melihat dan menyadari keberadaan itu sendiri, kehancuran dan kejatuhan adalah apa yang menjulang nyalang dan lancang. Sebab Chuuya ialah kebuasan menakutkan, namun tetaplah indah bagi mata yang memandang. Ia seumpama lembayung cantik tapi kopong oleh luka, keberadaannya mudah sirna dan begitu tergantikan. Chuuya yang polos begitu hancur hingga remuk redam saat mengetahui ialah nama dari kehancuran yang ia pijak sebagai langkah pertama dalam mencecap kehidupan.

Jadi, demi keingintahuannya yang masihlah dibumbui naif belaka—ia pikir dirinya begitu dan akan selalu begitu sebab itulah seorang Nakahara Chuuya yang sejati, jadi biarlah—ia akan berusaha menjadi manusia. Melalui jalan yang ia buat dengan caranya sendiri, ia akan mengisi relung kosong yang seringkali seolah membarai dadanya dengan sakit yang ambigu.

"Chuuyaaaa!"

"OYY, CHUUUYYYYAAAA!"

"HEYYY, FEMBOI CHIBIKKO-KUNNNN!"

Panggilan-panggilan mengesalkan itu memecah keheningan melankolisme Si Pria Kecil. Sedikit keterkejutan agak mendobrak benaknya. Lagi-lagi raut wajah pyon-pyon imitasi Si Makarel Sialan bikin mual itu muncul tatkala netra birunya menyorot.

"Chuu kok keliatan sedih begitu?" Belah bibir tipis merah muda Nakahara Chuuya membuka. Jantungnya seolah tercekat, dipaksa lepas dari tempatnya lalu jatuh ke lambung, tidak lupa memantul dan kena dribble sekian kali oleh ginjalnya. Kaget betul cog cog .. apakah ini alamat Dazai sebetulnya tahu perkara melankoli anehnya yang bisa saban kali kambuh tanpa izin lalu dia bakal diejek semakin brutal oleh Dazai?

Pantek betul ini nasib Chuuya. Jadi, selama ini dia menyebut Chuuya anjing demi meledek loyalitas yang ia pahat seindah mungkin? Kurang ajar betul, tapi wajar sih, kan ini anak pun antah berantah pula. Asal usulnya Chuuya sendiri tidak tahu menahu, macam karakter game asal ngespawn gitu.

Tapi 'kan yah .. ini Dazai Osamu dengan mata coklat legam seumpama luka bagi wajahnya. Sebab relung jiwanya hampa dan mata ialah jendela menuju jiwa. Itu rasanya macam lubang hitam kalau semakin diperhatikan, seolah melahap mentah eksistensi Chuuya dan menelaahnya tanpa niatan mengembalikan, lalu tahu-tahu Chuuya hilang begitu saja.

Kan menakutkan, tapi pemuda bersurai jingga itu tidak sampai gemetar 'sih. Toh Dazai cuma tipikal mafia berbakat pada umumnya. Menyerupai bos nya, tapi sejujurnya Dazai lebih daripada ia—soalan darah hitam mafia nanti saja dibahasnya, Chuuya jadi malas.

"Chuu .." coklat gelap itu nanar, menyorot gamang pada Chuuya, kali ini tidak tampak menjengkelkan. Berkurang intensitasnya, tetapi cuma sedikit. Mungkin sejumput seperti dikala ia memakaikan micin pada telur dadar yang jadi sarapan Dazai yang membuat dia merengek kekurangan.

"Sepertinya Chuuya bakal terharu karena perintah budimanku—eh maksudku, aku bercanda .. bercanda 'kok! Serius!" Gak jelas. Bercanda tapi serius itu bercanda yang bagaimana? Tapi kapan sih Dazai kelakuannya jelas dan tidak ambigu serta bikin emosi Chuuya tetap di ambang stabil? Gak pernah 'tuh ..

"Aku .. keterlaluan 'ya ..?" Pakai bertanya pula Si Ikan Busuk Bin Jancog ini ealah. "Aku cuma main-main .." kapan coba Dazai tidak main-main, toh dalam sudut pandang pemuda Nakahara itu bahkan dikala Dazai meninggalkan ia demi bergabung dengan Agensi Detektif, itu cuma main-main.

Walau Chuuya merasa lagi-lagi diremuk redam oleh kehidupan. Dazai adalah partnernya, dikala itu. Sesuatu yang menjadi bagian hidupnya—kenangan. Hal yang dengan egoisnya ia tarik begitu saja buat menambal luka kopong di hatinya bersamaan dengan orang-orang lainnya yang ia sayangi—khusus Dazai 'sih dia tidak sayang, malahan kepalang benci dan jijik, kalau boleh jujur.

"Maksudku, sebetulnya aku cukup berterimakasih Chuuya mau datang dan merawatku .. walau sebatas karena perintah orang itu .. tapi aku bersyukur .. bahkan orang-orang agensi tidak ada yang mau repot-repot sampai mengurus aku .." Dazai merunduk macam padi, tapi buat Chuuya dia tetap kosong. Kata-kata itu sebetulnya angin lalu belaka, pasti. Walaupun dikata jauh dari lubuk hatinya, Chuuya ingin mempercayai Dazai seperti dikala ia percaya akan nyawanya dengan ojoku, kali ini rasanya ia tidak mampu. Instingnya berkata lantang pasti Si Helai Coklat Malam ini menyiapkan sesuatu yang nista brutal. Jadilah sepasang bongkah safir irisnya memincing sinis.

"Tapi bohong 'sih .." lidahnya menjulur nyalang tepat di hadapannya dalam tampilan vulgar yang tidak bagus buat mata indah Chuuya. Minta betul buat dia hajar, tapi bogem mentah itu mustahil, apalagi bazooka atau AK-47 atau mungkin tank, dan satu-satunya pilihan yang tersedia ialah bantal isi bulu angsa yang banyak terkapar di futon Dazai. Request soalnya, rengeknya dia biar tidur lebih nyenyak atau apapun itu. Chuuya muak. Ditambah ia tidak boleh menggunakan kemampuannya, celaka jika Dazai luka dan sebagai hukuman tugasnya buat merawat gulungan lemper ini diperpanjang.

Chuuya cuma menapuk-napuk Dazai seadanya 'pun makarel jancog itu mengeluh dengan hiperbolis. Katanya sakit betul macam tiba-tiba ada invasi alien di bumi lalu ia kena sengat lasernya. Tapi ternyata lasernya itu berisi telur-telur entitas seukuran mikro yang tiap-tiap perkembangannya membuat membran tubuh rasanya macam dibaluri cabai satu ton. Lalu dikala menetas, itu akan membuat permukaan tubuhnya pecah serentak, entitasnya bakal merayap ke luar mencari mangsa dan mencari inang buat memulai siklus baru.

"APCB?! KELAMIN PRIA!!" Pitamnya Chuuya naik sampai keluar batasannya lalu dia memaki. Apakah—apakah pada akhirnya makarel yang sedang penyakitan ini diam? Mustahil sih itu. Dasarnya makarel tiren yang walau sudah diformalin tetap saja terlanjur cacingan. Jadilah pemuda Nakahara dengan sinoper indah itu menghajar Dazai lebih brutal pakai bantal.

"Ucapannya macam tidak berkepunyaan." Si Brunette mencibir, lalu belah mulut itu ia tekuk paksa ke bawah. Lagaknya macam merajuk, setelahnya dia lanjut berkata, "aku 'sih punya .. Chuuya mau? Tapi no homo loh, Chuu! Kalau aja kau perempuan pasti akan aku—"

Buagh

Satu kali lagi pukulan bantal bulu angsa itu mendarat tepat di wajah yang sekarang ini sedang menampakkan senyum usil. Pitam Chuuya kali ini betulan mendidih, tapi dia memilih untuk tidak memperpanjang urusan. Akan makin repot jika diteruskan. "Gak tau lah, malas aku."

Si Helaian Coklat Suram bergeming sepersekian masa di tempatnya kala punggung pemuda kecil itu semakin menjauh. Chuuya betul-betul bakal meninggalkan Dazai, kalau begini. Tampaknya ia akan membereskan semua kepunyaannya yang digeletak di dekat pintu kamar Dazai.

Otak Dazai yang dominan intuisi ekstrover lalu fungsi supportnya adalah logika pribadi itu mengumpulkan data-data yang tercecer implisit. Lalu dia mencoba menarik beberapa kesimpulan—yang pastinya jelek buatnya—ia bantah dengan apa yang dia sendiri sebut sebagai solusi.

"Chuuya .." ia melontarkan sebuah panggil dengan nada pelan.

"Chuuya .." tatkala Chuuya mengacuhkannya ia jadi mengulang panggilan.

".. Nakahara Chuuya-kun .." setelah berpikir sejenak lalu mengeliminasi opsi untuk menyebutnya anjing Chihuahua atau pendek, mungkin juga sebutan meledek seperti "kecil". Dikala seperti ini pemuda berperban itu tahu betul ejekannya tiada menuai respon. Malahan Chuuya akan lebih cepat pergi.

Jadi untuk mencegah skenario merugikan—maksudnya buruk itu—Dazai Osamu yang cemerlang ini memilih menyebut nama lengkap Chuuya dengan seonggok kepastian yang berdiri keras dalam benak bahwasanya identitas pemuda itu akan membuatnya merespon. Biar bagaimanapun jua Nakahara Chuuya tidak lebih daripada wadah kekosongan belaka, iya? Makanya, tatkala nama yang jadi bukti kuat pengakuan eksistensinya itu disebutkan, pasti ia akan tergerak. Atau minimal, menyadari kalau-kalau sebetulnya Dazai sungguh serius kali ini, dan semua asumsi itu menuai buah kebenaran.

"Apa lagi?" Chuuya agak tertunduk, nada yang lepas itu agak kaku, ia betul-betul tidak mau main-main lagi dengan Dazai. Apalagi sampai dipermainkan.

"Tetaplah di sini .." intonasi bicara Dazai agak pelan seperti bocah polos mengutarakan permohonan. Seolah agar Chuuya bisa merasai rembayang dosa yang akan memberatkan langkah dan hatinya sebab rasa bersalah karena membantah permintaan murni itu.

"Kenapa ..?" Si Mata Biru melontarkan tanya. "Kenapa begitu ..?" Ia masih lanjut bertanya, memuntahkan apa-apa yang melintas dalam lautan benaknya yang sempat kalut.

"Apa kesalahanku, Dazai? Apa dosaku .." alis pemuda berhelai seindah hamparan lembayung itu menukik, dan rahangnya agak mengeras. "Kenapa kau melakukan semua ini padaku .. mungkin untukmu, ini semua hanyalah permainan, iya?" Chuuya mendengus kasar.

"Semuanya sebatas permainan bodoh-bodohan khas bocah buatmu .. aku muak, Dazai .. aku lelah .." mata coklat yang seumpama luka indah itu menatap gamang pada Chuuya, lalu berganti sorot pada kedua tapak tangannya yang berperban. Kelopak mata pucatnya menutup, ia mencoba memahami perkataan Chuuya.

"Tidak usah repot-repot, heh .. biar bagaimanapun jua kau mana bisa paham .." Dazai tahu, di balik punggung kecil yang kokoh itu, Chuuya sedang menggurat senyum sinis.

"Chuuya .. setidaknya menghadaplah ke arah sini, lihat aku .." Dazai itu meminta, kali ini intonasi dan wajahnya tidak bermain-main. Satu kali lagi, Chuuya menghadap. Hitung-hitung tahan sedikit lagi sebelum ia angkat kaki. Ia bergeming, safir itu menatap langsung pada manik kokoa Dazai.

"Chuuya .. tidakkah kamu ingin memberi aku gestur seperti yang kita lakukan dulu? Sejak kau berusia lima belas tahun, sejak pertemuan awal kita di mana aku juga suka meledekmu, lalu kau jadi seperti Tuan Putri buat membalasku sambil berseru akan kubalas sepuluh kali lipat, tidak akan ada kesempatan kedua!! .."

Mata kelabu yang indah seumpama luka menganga itu tidaklah menggenang dengan hasrat meledek. Itu ialah sorotan yang begitu jauh, tapi tidak menembus ataupun menusuk jiwa Chuuya—walau entahlah apakah Chuuya pantas mempunyai hal seindah jiwa itu sendiri. Hanya ada nostalgia menghampar dalam genangan coklat kelam sepanjang Chuuya menelaah.

Jadi Chuuya menurutinya. Ia berpose dan berseru demikian, helaian jingganya berkobar indah seumpama senja—walau senja itu sendiri kurang bisa mendeskripsikan keindahan pemuda dengan identitas Nakahara Chuuya. Tapi Chuuya ialah lembayung, eksistensinya hanyalah sekilas saja. Setelah itu ia akan hilang macam tidak pernah ada. Saat ini 'pun, lagi-lagi dia akan pergi tiada menyisa jejak berupa bukti keberadaan, dan Dazai ingin mencegahnya.

Dia benci Chuuya.

Nakahara Chuuya membuatnya merasa sakit hingga ia rasanya akan mati.

Dazai mengulas senyum dengan sorotan pada bongkah obsidiannya yang sedikit lebih memiliki kehidupan. "Chuuya .. aku janji tidak akan mengganggumu lagi, setidaknya untuk hari ini .."

"Karena aku akan tidur .." pemuda kecil itu jadi agak waspada siaga satu, pasti Dazai akan memulai ulahnya lagi walau katanya akan berhenti—setidaknya untuk hari ini. Maklum, pemuda itu jadi punya masalah kepercayaan yang mengakar dan senantiasa bertumbuh karena Dazai Osamu.

"Maka dari itu .. temani aku 'ya?" Sorot mata seumpama sengsara tidak ada ujung itu memohon, mendamba pada satu permintaan yang tampaknya sepele. Itulah dia, Chuuya selesai, persetan dengan itu. Muak betul.

Sorotan sinis dari sepasang bongkahan safir indah itu artinya penolakan dan Dazai Osamu tidak menerima penolakan. Jadi itu penolakan di atas penolakan—ini adalah cara susunan kata yang buruk buat mendeskripsikan keadaan tapi itulah adanya. "Setidaknya Chuuya duduk saja di sampingku .." ia menepuk-nepuk sisi sebelahnya yang di luar futon tentunya.

"Aku—aku janji tidak ganggu Chuuya lagi 'deh!" Apa-apaan makarel tiren berformalin ini tiba-tiba jadi macam anak kecil sok polos, padahal bocah kematian. Dia mengangkat jari kelingkingnya seolah mengajak Chuuya.

"Ga butuh. Maksudku—tidak perlu pakai janji kelingking atau apapun itu. Yang penting tepati saja omonganmu itu." Chuuya sinis, tapi perilakunya kontra. Ia mendekat ke arah Dazai lalu duduk tepat di sisi yang tadi ditepuk Si Makarel.

"Hehe .." Pemuda berhelai coklat kelam itu terkikik polos. "Chuuya .. pat-pat aku dong?" Ia meminta.

"Ngelunjak!" Cibiran adalah jawaban dari permintaan itu. "Minimal usap-usap kepalaku biar aku cepat tidur??"

"Kuusap, tapi pakai TV bututmu itu biar kau cepat tidur selamanya, mau?" Intonasi Chuuya memang malas, tapi Si Brunnete tahu dia tidak main-main dengan ucapannya itu.

"Mamah, aku takut." Dazai cemberut dibuat-buat.

"Sadar diri, kau itu macam yatim piatu." Dazai terperanjat sekilas, sakit sedikit menurutnya. "Kayak Chuuya enggak aja .." kali ini dia cemberut betulan.

"Aku punya keluarga. Mafia keluargaku." Ia mengatakannya dengan kepastian yang tiada nihil dan begitu kokoh. Jauh di dalam, sebetulnya Dazai tahu, aslinya Chuuya 'kan memang bukan yatim piatu. Dia punya keluarga biologis, tapi apakah itu betul-betul keluarga Chuuya? Memangnya Chuuya ini sama dengan Chuuya yang terikat biologis? Sepertinya tidak 'eh .. makanya dia memilih mafia sebagai keluarganya. Lagipula dari presentase kuantitas dan kualitas waktu, tentulah mafia menang.

"Iyain .." nada malas itu membawa rasa lega dalam Chuuya, tandanya entitas di sampingnya itu mengantuk. Tapi ekspektasinya lagi-lagi patah, panggilan dengan nada pelan kembali terlontarkan. "Chuuya .."

"Apa?" Setelah napasnya dihela barulah pertanyaan itu bisa terlontar.

"Aku muak .." harusnya sih Si Sinoper yang bilang begitu, tapi oke lah. "Chuuya .. sebenarnya aku muak sekali denganmu .."

".. aku tahu .." jawaban itu ada setelah jeda sepersekian menit. Pokoknya jangan sampai perkara ini jadi panjang dan Chuuya mesti menunda kembali ke apartemennya yang nyaman dan tenang.

"Sejujurnya berada di dekatmu membuatku merasa sakit, seolah aku membusuk dalam keadaan hidup-hidup .. aku sekarat .. tapi mati itu seakan betulan jauh .." kantuk semakin memeluk, intonasi itu semakin pelan dilahapnya. Chuuya cuma membalas dengan deham seolah paham.

Tapi sesungguhnya biar bagaimanapun jua Nakahara Chuuya memang lebih dari sekedar paham akan apa maksud dari Dazai Osamu. Mereka pernah jadi partner, untuk itu tentunya diperlukan pemahaman luar dalam agar mereka bisa sinkron dan optimal menjalankan misi.

Pada dasarnya rasa muak itu juga dirasai oleh Chuuya sendiri. Mereka begitu dilahap sakit yang mentah dan menajiskan. Berada berdekatan satu sama lain membuat keduanya ingin saling merusak, lalu dengan cara serupa brutalnya mereka akan saling memperbaiki biar bisa saling meninggalkan. Agar bisa bertemu kembali dan saling melampiaskan benci busuk seolah mereka berada dalam sebuah tarian indah di mana mereka ialah tokoh utama dan perusakan abadi adalah tujuan mutlak.

Karena pada dasarnya Chuuya memiliki apa yang begitu diinginkan Dazai, sebuah alasan hidup. Walau sebetulnya eksistensi Chuuya sendiri tidak jelas apakah ia betul-betul manusia. Tapi dengan lancangnya seolah ia merampas mimpi Dazai di siang bolong yang buta, ia begitu menampakkan diri pada keberadaan dengan dirinya yang menonjol. Terlihat agak gila, tapi juga indah. Memuakkan. Dazai ingin merusaknya.

Dazai sendiri, ialah manusia. Itu sudah cukup menjelaskan rasa muak pemuda dengan identitas Nakahara Chuuya eksekutif Port Mafia. Itu sungguh menajiskan bagaimana pemuda brunnete ialah manusia yang asli dan nyata, tapi tidak bisa bertingkah seolah manusia. Ia menderita. Ia dilahap oleh kesengsaraan sebagai manusia yang mutlak. Betapa bernodanya itu! Kesannya begitu kotor hingga pangkal tenggorokan rasanya ditusuk oleh sesuatu yang brutal hingga isi tubuhnya akan ikut keluar sejalan dengan isi perutnya.

Sakit.

Ini betul-betul menyakitkan.

Seolah najis ialah betulan identitas dari relasi yang mereka bangun.

Seumpama lembayung yang hanya sekilas, atau kembang api, keberadaan ikatan mereka hanya akan ada sekilas saja sebelum menghilang tanpa bekas jejak keberadaan apapun.

Tapi mereka tidaklah indah.

Ini memuakkan.

Hingga akhirnya dikala Dazai membuka netra, Chuuya sungguh sudah tidak ada di posisinya. Nakahara Chuuya seumpama lembayung, ia hanya ada sekilas saja. Lalu dia pergi tanpa menyisa jejak, selain rasa muak yang bertambah dalam lubuk Dazai. Dalam hatinya—ia masih punya tapi itu kecil dan kotor betul—pemuda itu sedikit banyak menyumpah Chuuya. Ia percaya, Si Kecil itu 'pun demikian, pasti sedang melontar bervariasi sumpah serapah buatnya. Serasi 'eh? Sama-sama muak dan membuat muak jua.

"Dipikir-pikir .. sebetulnya aku tidak sebenci itu pada Chuuya .. tapi, kenapa 'yah ..tiap lihat wajahnya .. ah siluet wujudnya saja .. sudah bikin aku kesal bukan kepalang .. bodo amatlah .. toh, dia juga begitu ke aku. Kenapa aku ga boleh begitu juga?" Dazai bergumam, sedikit terhanyut dalam monolognya sebelum terdistraksi sebab kandung kemih yang minta dikosongkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top