‧₊˚ ੈ✩ Nuraga ੈ✩‧₊˚
(n). Empati dan berbagi rasa.
“ 文豪ストレイドッグス ”
© 朝霧カフカ & 春川 3 5
“ Nuraga ”
© ChenanTixki
Yumeship:
太宰 治 × 者楢
⋇⋆✦⋆⋇
Langit pada pukul satu siang masih berwarna lazuli. Langit pada pukul empat lima berubah menjadi kirmizi nan cantik beserta awan-awan putih. Namun satu jam kemudian seketika berubah menjadi pertanda buruk. Keindahan lazuli dan kirmizi itu lenyap ditelan awan badai yang suram pun memancing perasaan gelisah di dalam lubuk hatiku.
Bukan apa-apa, hanya saja belakangan ini Osamu pulang lebih terlambat daripada biasanya. Mungkin saja itu bawaan dari kebiasaannya saat masih lajang. Dia tinggal sendiri, jadi tidak ada yang menunggunya, sampai dia bersikap abai untuk pulang ke rumahnya tanpa mengerti waktu mau itu dini hari atau saat fajar subuh sudah menyingsing dan menyinari langit yang hitam gulita sampai bentangan ufuk pun berganti ke warna nila.
Dengan hujan yang sederas ini dan bertepatan dengan jam pulang kerjanya yang sudah Osamu bicarakan padaku, mudah untuk mengasumsikan bahwa Osamu sedang terjebak hujan, jadi dia meneduh di suatu tempat untuk menunggu hujan turun. Osamu tidak bisa menyetir, maka dia akan pulang menggunakan transportasi umum atau berjalan kaki. Kalau Osamu sudah tidak jauh dari rumah, dia bisa berteduh di bawah atap yang aman daripada di bawah pohon.
Maka dari itu aku punya pilihan untuk menghubunginya demi memastikan kabarnya saat ini. Biasanya Osamu yang akan mengabari terlebih dahulu, tapi sudah sedari tadi aku memantau perkembangan di layar handphone tetapi hanya notifikasi tidak penting saja yang berbunyi. Aku selalu memberi notifikasi khusus untuk orang-orang tertentu agar aku bisa merespon dengan cepat dan tak membuat mereka menunggu. Jadi aku akan segera menyadari jika akhirnya Osamu menghubungiku, tapi kenyataannya dia tidak mengabariku apa-apa sama sekali.
Apakah dia sedang kesulitan di Agensi? Kalau iya, pasti ada yang bisa aku bantu sebab akupun punya kemampuan supernatural yang pasti akan berguna untuk mereka. Aku bisa bantu apapun. Namun sepertinya toleransi mereka cukup tinggi karena mengetahui aku mengurus anak di rumah, dan tidak berniat untuk lebih merepotkanku. Justru aku lebih repot kalau Osamu terus pulang terlambat.
Aku menekan sebuah ikon kotak berwarna hijau muda pada layar. Seketika menampilkan urutan kontak dari banyak orang berdasarkan waktu komunikasi terakhir kali. Kontak Osamu berada di atas sendiri karena kusematkan agar tidak tenggelam oleh kontak yang lainnya. Agar aku mudah untuk menemukannya. Agar aku senantiasa ingat padanya. Kemudian aku menekan kontaknya hingga kembali menekan kolom untuk mengetik pesan. Namun, hatiku seketika gelisah saat melihat waktu terakhir kali ia mengabariku bahwa ia akan sibuk sampai jam pulang yakni pada pukul 11 siang.
Aku akan tahu kapan dia sedang malas-malasan di Agensi. Dia akan mengirim chat yang tidak jelas dan tidak penting. Seperti aku kangen makan jamur beracun lagi dan hanyut di sungai saat musim panas itu punya sensasi menyenangkan atau yang lebih konyolnya lagi kira-kira apakah di suatu tempat di dunia ada kolam raksasa yang berisi air sake? Sungguh, entah kenapa dia suka sekali membuat orang-orang di sekitarnya kesal.
Akan tetapi hari ini dia tidak aneh-aneh seperti itu lagi. Melihatnya tidak seceria itu membuatku merasa aneh. Aku sampai gemetar kalau membayangkan hal-hal buruk di kepalaku yang sangat berisik ini. Aku mengerti kenapa hatiku ragu-ragu. Mungkin aku hanya ketakutan saja karena Osamu tidak kunjung memberi kabar ... Buang pikiran burukmu, dasar bodoh!
Mau tidak mau aku harus memulainya lalu menunggu balasannya, sembari berharap untuk mendapatkan respon cepat yang baik. Jadi aku mulai menekan huruf demi huruf pada keyboard, kemudian ... statusnya berubah menjadi online. Ah, pasti dia melihatku sedang mengetik, lalu selanjutnya adalah panggilan darinya. Dan benar saja, seketika handphone-ku berdering. Dengan begini aku bisa bernapas lega bahwa Osamu baik-baik saja setelah seharian tidak mengabari apa-apa.
"Shaa-chan~! Di rumah hujan, ya?" Suara yang ceria inilah Osamu yang aku kenal.
"Iya, hujannya deras sekali. Kamu sudah sampai mana?"
"Aku meneduh dulu di halte bis, tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda hujan akan segera reda."
Sekitar seratus meter dari rumah, ada sebuah halte bis. Beberapa ratus meter kemudian ada stasiun kereta. Lalu minimarket di mana-mana, jadi Osamu sudah perjalanan pulang dari tadi.
"Oh, sudah dekat ternyata. Tadi berangkat bawa payung, kan?"
"Ah... Payungnya jatuh ke jurang, hehe."
"Jurang?! Osamu—"
"Aku dan Kunikida-kun dikeroyok, jadi aku mencoba membela diri dengan barang seadanya. Kumohon jangan marah."
Aku yakin dia pulang dengan membawa luka. Walau kecendrungan bunuh dirinya itu sudah tidak sebesar dahulu, tapi dia masih suka membahayakan dirinya sendiri di dalam pertempuran. Seperti sengaja memaksakan diri melawan musuh yang sanggup untuk membuatnya babak belur hanya dengan satu pukulan saja. Atau sengaja mengalah sampai diculik demi mengetahui markas musuhnya supaya mereka bisa menangkap pelaku kejahatan. Rasa-rasanya hampir setiap hari aku mengompres lebam-lebam biru dan mengusapkan alkohol ke setiap luka barunya. Untuk ukuran orang dewasa, Osamu terlalu sembrono.
"Iya iya, di dekat sana ada konbini jadi belilah payung dulu lalu langsung pulang."
"Siap, Belladonna. Mau titip sesuatu?"
"Oh, karena Kamu menawarkannya... Bawa karaage saja."
"Oke~"
"Hati-hati di jalan, jangan keluyuran."
Kalau aku tidak mengatakan kata-kata seperti 'hati-hati di jalan' dan 'jagalah dirimu' maka dia tidak akan segan-segan untuk melukai dirinya sendiri dengan sengaja. Osamu membuat orang lain mengotori tangannya untuk melukai dirinya. Tidak lagi memaksa akal sehatnya untuk melukai tubuh ringkihnya padahal dirinya sendiri bilang saat dia benci merasa sakit. Entah dia sedang membuat antibodi menggunakan tubuhnya sendiri atau kenyataan bahwa aku memang sudah menikahi orang dengan gangguan jiwa.
"Mama, main hujan, yuk? Sama papa juga."
Tahu-tahu sudah berjalan enam tahun hubungan sakral sehidup semati ini. Tidak disangka-sangka kami sudah dikaruniai anak di tahun kedua pernikahan. Sekarang anak kecil ini sudah berusia empat tahun. Lalu, dia adalah anak yang pintar daripada anak-anak seusianya. Seorang anak laki-laki yang sangat mirip dengan sang ayah, rambutnya—tebal—seperti rambut Osamu lalu warna mata dan rambutnya sangat senada dengan milikku yang seindah daun mahkota bunga mawar hitam. Ia bernama 太宰 日出 Dazai Hide.
"Tidak boleh, Hide. Ini hujan pertama di musim panas, nanti Kamu sakit!"
"Kenapa tidak boleh?"
"Karena hujan pertama saat musim panas itu membawa debu-debu kotor yang terbang ke awan. Karena itu nanti Hide bisa sakit."
"Hujan-hujanan!"
Hide itu seperti Osamu versi mini. Dia suka bermain-main dan memiliki sifat yang tenang. Pada waktu ketika hujan yang dingin diterjangnya dengan gelak tawa. Guntur berwarna ungu di atas kepalanya bergemuruh kuat, akan tetapi itu tidak membuatnya lari terbirit-birit melainkan ia pun menengadahkan kepalanya lalu menyaksikan kilat yang berkilau putih menjalar seperti akar pohon dari balik awan yang menjatuhkan jutaan butir air hujan ke wajah lembutnya.
Kemudian pada saat kami di kebun binatang, dia sangat memperhatikan hewan-hewan buas lebih daripada takut seperti anak-anak pada umumnya. Harimau yang mengaum akan membuat matanya berbinar, telapak tangan kecilnya ia letakkan pada kaca akuarium transparan seakan ia hendak menggapai helai-helai tentakel tipis ubur-ubur yang beracun, ia duduk manis di depan kaca akuarium raksasa saat seekor hiu melintas di depannya dengan gigi-gigi tajam yang membuat anak-anak seusianya berlari ketakutan ingin berlindung di pangkuan orang tuanya.
Hide sangat berbeda dan aku bangga padanya. Dia begitu spesial seperti ayahnya, itu membuatku semakin menyayanginya. Namun, sebagaimana aku adalah ibunya maka aku harus membimbingnya dan memberikannya pelajaran.
"Mandi shower saja di kamar mandi, ya?"
"Mau mandi di luar! Huwaaa! Hujan-hujan, Ma!"
"Air hujan kan dingin, tapi air shower bisa dibuat hangat loh, Hide."
"Maunya di luar! Huwaaaaaa!!"
Sebagaimana anak-anak, wajar kalau mereka tantrum saat keinginannya tidak dipenuhi orang tuanya. Aku pernah membacanya kalau tantrum adalah bentuk manipulasi anak kepada orang tuanya. Ah, sejujurnya itu membuatku khawatir karena Osamu di mafia dijuluki sebagai Demon Prodigy ... bisa saja Hide mewarisi sisi manipulatif ayahnya lalu membuatku terperdaya tanpa aku sadari. Namun sepertinya tantrum Hide masih seperti anak-anak biasa, di mana dia akan menangis atau berguling-guling di lantai. Cukup untuk validasi emosi yang sedang seorang anak kecil luapkan, jangan menyuruhnya diam. Barulah setelah tenang, orang tua bisa menyampaikan apa yang harus dikatakannya kepada sang anak.
"Maafkan mama, Hide Sayang. Kalau mau main air bisa di kamar mandi saja, ya?"
Aku selalu membebaskan Hide untuk bermain apapun yang dia mau. Main di taman, menyusul ayahnya, tidur siang bersama, main hujan sampai beberapa kali dalam seminggu, aku akan amati keadaannya terlebih dahulu. Jika memang apa yang Hide inginkan tidak bisa dia dapatkan, aku akan selalu memberikannya alternatif lain supaya Hide paham bahwa jalan keluar dari suatu masalah selalu bisa dicari apabila dia memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan baik. Aku percaya Hide akan menjadi seseorang yang sanggup melakukan keajaiban dengan menjadi seorang anak yang penuh pemahaman dan berintuisi tajam.
Akan tetapi demikian aku tahu aku adalah manusia berkekurangan. Sebab sejatinya manusia sempurna adalah manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan dengan setara. Potensi minat dan bakat seseorang bisa ditemukan apabila ia memperhatikan dirinya sendiri benar-benar, jika tidak maka selamanya ia akan terjebak dalam ketidaksempurnaan dirinya tanpa mengakui bahwa setiap orang memiliki kelebihan. Sebab itulah aku ingin Hide memahaminya bahwa aku dan dirinya sama-sama manusia, jadi jika salah satu dari kami membuat kesalahan maka tidak boleh ada rasa gengsi untuk meminta maaf. Aku ingin Hide menjadi mahkluk sosial yang sesungguhnya seperti Osamu, bukan sepertiku yang terkungkung mencari jalan aman. Yah, aku tetap ingin Hide bisa seimbang dalam mengambil jalannya nanti.
"Kucing, Ma. Kucing... Hiks."
Kucing?
"Mau peluk? Kemari... Mama minta maaf ya?"
Aku jadi teringat saat Osamu menarikku ke dalam pelukannya. Suaranya sangat lembut, seakan aku seperti sedang dilindungi oleh sesosok malaikat pelindung yang perkasa. Akan tetapi hatiku merasa tidak enak karena aku begitu lemah di hadapannya. Padahal aku yang harusnya melindungi Osamu saat ia bertujuan untuk menyelamatkan nyawa orang lain sesuai dengan wasiat dari teman sejawatnya. Akhirnya ketika waktunya tiba aku bisa membalas hutang budiku. Namun dia berkata aku tidak berhutang apa-apa padanya, aku bingung apa maksud perkataannya?
Melihat Hide yang menangis begini seakan aku sedang melihat diriku sendiri. Apakah memang seorang anak itu benar-benar semirip ini dengan orang tua kandungnya? Ada terlalu banyak kemiripan yang diwarisi Hide dari aku atau Osamu. Akan tetapi itulah yang membuat Hide menjadi dirinya. Jemari mungil, sesenggukan yang lucu, tubuh kecilnya yang menginginkan kehangatan cinta kasih demi menyembuhkan sakit pada relung hatinya yang belum bisa dia jelaskan dengan kata-kata.
"Papa."
"Iya, sebentar lagi Papa datang—"
"Aku pulang..."
Suara kenop pintu yang dibuka dan suara seseorang yang familiar itu memancing perhatian kami berdua sehingga membuat kalimatku terpotong. Betapa kebetulan sekali saat Hide menginginkan ayahnya, Osamu pun sudah tiba di depan pintu. Hide beranjak menarik diri dari pelukanku kemudian berjalan menuju lorong pintu, aku pun membuntutinya dari belakang sampai sepasang kaki kecil itu berhenti melangkah begitu ia sampai tepat di depan hadapan ayahnya.
Aku yakin, mata kami berdua sama-sama membesar karena terkejut melihat Osamu. Sebab pakaiannya basah kuyup dan entah kenapa mantel berwarna pasir yang begitu lekat dengan bayangan awam orang-orang padanya itu terbelit-belit menjadi sebuah gulungan besar. Tampak dari bahasa tubuhnya bahwa Osamu mendekap mantel basahnya itu dengan kedua tangannya dengan begitu berhati-hati dan lemah lembut. Entah kenapa aku bisa merasakan energi protektif darinya.
"Oh Hide, anakku yang tampan— oya, apa Kamu baru saja menangis?" Osamu lalu berjongkok untuk menyamakan tingginya yang tidak ngotak dengan Hide.
"Selamat datang."
Osamu segera menatap mataku setelah ia mendengar sambutan dariku. Iris berwarna cokelat tua yang berkilau bagai sepotong cokelat hitam murni. Tidak ada kebohongan pada mata ini, sejatinya karena dia belum mengatakan apa-apa mengenai harinya dan perasaan apa yang ia rasakan. Jika tiba waktunya ia akan bercerita pun masih akan ada cerita-cerita lain yang dia sembunyikan rapat-rapat. Namun jejak dari dusta indahnya akan tertinggal pada jendela jiwanya.
Oh, dia sedang mencoba untuk menghipnotisku?
"Meong! Meong!"
"Oh, dia terus-terusan menggigil. Tidak perlu khawatir lagi, Kau aman di sini."
Dari balik gulungan mantel basah milik Osamu muncul sebuah kepala kecil dengan telinga tajam yang runcing ke samping sebagai tandanya mengekspresikan ketakutan. Seekor kucing berwarna oranye, dari ukuran tubuhnya bisa kuperkirakan kucing ini sudah berusia lebih dari dua atau tiga tahun. Osamu tidak suka anjing maka dari itu ia menyukai kucing. Aku bisa memahami preferensi tiap orang karena menjadi cat person atau dog person, aku bahkan bisa mengetahui dengan jelas kenapa Osamu tidak suka anjing tapi begitu lembut pada kucing. Dan itu tidak akan selesai dalam waktu singkat kalau dijelaskan sekarang.
"Kucing? Papa bawa kucing?"
"Tidak jadi beli payung?"
Aku harus mengintervensi. Bisa-bisa dia akan lebih seenak jidatnya lagi pulang dengan pakaian basah kuyup seperti itu. Bahkan dari rambutnya itu masih menetes air saking tebalnya rambutnya yang bagaikan akar pohon itu sanggup menangkap banyak air. Bayangkan betapa beratnya rambutnya itu.
"Hehe, iya. Aku basah kuyup begini juga karena terjun ke sungai demi menyelamatkan kucing ini."
"H-hujan badai begini sembarangan terjun ke sungai begitu saja, arusnya pasti sangat deras!"
"Sungainya tidak terlalu dalam, kok. Lalu, kenapa anakku ini menangis?"
Apa ini? Apa dia tidak berani jujur padaku? Mungkinkah kucing hanyut ini hanya kamuflasenya saja?
"Aku mau main hujan."
"Tapi tidak diperbolehkan sama Mama? Mama melarang Hide pasti karena ada alasannya, kan?"
"Katanya Mama, air hujan kotor..."
"Iya, Mama benar kok. Nah, bagaimana kalau Hide mandi air hangat bersama dengan Papa dan membersihkan kucing ini?"
"Mau!"
Aku rasa aku paham. Osamu tahu kelemahanku dan Hide yang suka hewan berbulu. Jadi dia membujuk kami untuk tidak memarahinya karena pulang dengan basah kuyup di saat aku harus tega melarang Hide hujan-hujan sampai dia menangis tidak rela. Hide pasti akan merasa tidak adil. Maka seperti itulah alasan dia menyelamatkan kucing ini, ya?
"Ah, Mama... Bolehkah kucing ini tinggal di sini? Di luar masih hujan, nanti sakit, kasihan."
"Boleh, tapi nanti Hide dan Papa yang temani kucingnya main, ya?"
Dasar iblis manipulatif.
"Hore! Papa, ayo ke kamar mandi!" Hide menggunakan kedua tangan kecilnya itu untuk menggendong seekor kucing yang pasti membuatnya kepayahan karena tidak sanggup menahan beban.
Mengejutkannya dia bisa membawa kucing itu. Untungnya kucing yang tampak lemah sebab kedinginan itu tidak memberi perlawanan. Yah, Hide begitu hangat seperti Osamu, sesuai dengan nama yang kami berikan saat ia lahir. Aku mengharapkannya menjadi sang mentari seperti ayahnya.
Gelak tawa Hide begitu ramah di telinga. Betapa girangnya ia mendapat teman baru. Like father like son. Hide benar-benar anaknya seorang Dazai Osamu. Caranya tersenyum, bagaimana matanya berbinar, Hide menirukan ayahnya dengan sangat baik. Bersyukurnya aku dia masih belum sadar dengan sifat penyendiriku.
Aku ingin membicarakan tentang anak itu pada Osamu, akan tetapi pikiranku terdistraksi terhadap perban di leher dan lengan bajunya yang berwarna merah. Oh, aku tahu betul noda apa itu. Selain karena menjadi noda yang paling aku benci karena susah dihilangkan, tapi juga tanda bahwa Osamu teramat serampangan dengan keselamatan dirinya sendiri. Jadi ketika Dazai hendak menyusul Hide, aku segera menahannya tetap di tempatnya—menautkan jari-jariku pada sela-sela telapak tangannya dengan kuat sehingga dia meringis kesakitan disertai senyuman tengilnya yang seperti biasa.
Senyum seorang pendusta ulung. Walau dibohongi atau dimanipulasi pun aku tetap mencintainya segenap hatiku.
Tanganku yang tadinya kering menjadi basah, tanganku menyerap hawa dingin yang masih tersisa pada telapak tangannya. Tidakkah hawa dingin ini membuat tubuhnya merinding karena kedinginan?
"Mama mau bicara dulu sama Papa, jadi masuklah ke kamar mandi duluan."
"Oke!"
Aku menghela napas yang mengandung rasa jengkel karena sejujurnya aku tidak tahu mau berkata apa. Yang jelas aku tidak suka kalau melihatnya terluka. Mungkin aku sudah gila karena kesal melihatnya terluka begini saat pekerjaannya mengharuskannya untuk menyelamatkan orang dengan segala cara yang mereka bisa. Aku sangat posesif, bahkan diriku sendiri tidak menyukainya.
"Ada apa?" tanyanya.
Tidakkah hujan deras dan air sungai membuat luka-lukanya terasa perih?
"Kamu tahu aku tidak menyukainya saat melihatmu pulang membawa luka. Ah, jarimu pun sangat dingin."
"Ini sudah resiko."
"Kamu tidak di mafia lagi! Kamu punya keluarga, ada istri dan anak yang menunggumu pulang. Tolong jaga dirimu saat aku tidak berada di sisimu!"
Harusnya aku tidak terkejut saat mendengar kata-katanya. Namun, berbagai kilas balik muncul dari dalam kegelapan kala mataku terpejam menahan emosi yang terus bergejolak ini. Ketika aku menyaksikan sendiri bagaimana Osamu babak belur lalu nyawanya yang tak pernah ia anggap berharga itu berdiri di atas benang tipis yang terbentang di atas jurang kematian. Seakan tidak ada harapan bahwa nyawanya akan selamat, tapi takdir begitu adil pada segala kehidupan fana di dunia ini.
Aku hanya ingin menjaga apa yang berharga bagiku. Aku selalu memperjuangkannya dengan keringat dan air mata. Persetan pada kenyataan bahwa tidak semua hal bisa selalu aku pertahankan, biarlah itu terjadi nanti sementara aku memperjuangkan apa yang berada di telapak tanganku ini. Tidak akan pernah kulepaskan, akan kugenggam erat-erat, bahkan jika nyawaku taruhannya. Dikarenakan aku tidak akan sanggup jika ditinggal mati olehnya. Aku tidak sanggup membayangkannya.
"Saat nyawaku di ujung tanduk, aku selalu memikirkan apakah seseorang akan datang menyelamatkanku. Seringkali itu Kunikida-kun dan Atsushi-kun, tapi sekarang tidak begitu lagi. Setiap nyawaku berada dalam bahaya, aku memikirkan kalian, aku harus pulang dalam keadaan bernyawa bagaimanapun caranya."
Dia mengangkat tangannya yang kugenggam sampai punggung tanganku terhenti tepat di depan wajahnya. Aku pun menyadarinya saat aku melihat ekspresi wajahnya. Tersentuh, terkejut, terpana, penyesalan, dan was-was. Aku pangling untuk beberapa saat—aku merasa tidak mengenali suamiku sendiri—wajahnya yang melankolis saat ini bagaikan semenanjung antara dataran topeng kedua ke lautan yang menyimpan topeng ketiga yang dijaganya rapat-rapat.
Namun, aku pernah menyaksikan sendiri sedalam apa palung yang menyimpan relung-relung berisi akal pikiran serta hati nurani yang sebenarnya. Semakin aku menyelam, semakin cahaya dari permukaan tak sanggup menembus topeng nan tebal ini. Akan tetapi kemudian dari kedalaman yang tidak sempat kujelajahi relung-relung itu satu persatu, ada tekanan dari balik kegelapan yang memaksaku untuk kembali ke permukaan hangat.
Kemudian dikecupnya punggung tanganku dan disertai dengan tangannya yang sebelah lagi untuk menangkup satu tanganku yang masih erat menggenggam tangannya. Kali ini aku sedikit mengendurkan cengkramanku, disertai dengan rasa sakit di dada yang menjalar ke tangan kiriku. Hanya Osamu yang bisa membuatku merasa seperti ini.
Akan tetapi seterbuka apapun manusia, seseorang tetaplah memiliki rahasia yang hanya bisa dimiliki oleh dirinya sendiri saja. Ah, apakah aku berhak untuk mengetahui rahasia yang Osamu tidak ingin katakan? Aku tidak bisa memaksanya memang, niatku hanya untuk menjadi partner yang baik supaya beban di hatinya bisa sedikit terangkat. Jika dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri, ada aku yang selalu di sisinya. Itu hanya jika Osamu mau untuk bergantung padaku. Tanpa sadar pula Osamu condong bersikap people pleasure setelah menikah.
Aku ... mencintainya apa adanya.
"Lagipula hanya luka gores di kulit saja, tidak sampai mengoyak daging."
Dengan cepat Osamu merubah ekspresi melankolisnya kembali pada ekspresi sanguinitis yang biasa. Aku menyadarinya—lagi—atas apa yang kuperbuat agaknya aku terlalu menekannya untuk mengutarakan perasaannya yang sebenarnya ketika ia sedang tidak siap untuk mengutarakannya. Tapi, kalau tidak begitu nanti dia tidak akan pernah mau mengatakannya dengan inisiatifnya sendiri. Dia selalu saja bicara dengan maksud tersirat, sedangkan aku menginginkannya untuk berterus terang supaya kami bisa mencari jalan keluar bersama-sama.
"Apakah karena pisau?"
"Ya karena itulah aku pakai payung untuk membela diri."
"Bagaimana kalau ada racun?"
"Mungkin besok aku akan demam karena belatinya kotor."
"Tahu darimana belatinya kotor?"
"Karena aku lihat sendiri belati itu digunakan untuk membersihkan kotoran kuku."
Ya Tuhan, aku lelah.
"Ew, cepatlah bersihkan dirimu kalau begitu! Aku mau ambilkan P3K dan pakaian Hide."
Aku segera menarik tanganku dari dekapan kedua tangan Osamu sambil memutar tubuh menuju arah ke kamar Hide. Baru saja aku hendak melangkahkan kaki demi menjauh darinya, telapak tangannya yang masih dingin kemudian kembali mencengkram pergelangan tanganku. Dengan sengaja ia membuatku jatuh kembali ke dekapan kulit dingin yang berbalut pakaian basah kuyup, air yang masih melekat kuat pada pakaiannya pun menyebar ke pakaianku yang kering sampai punggungku merinding karena hawa dinginnya terasa bagai bersentuhan dengan mayat.
"Belladonna, ambilkan bajuku juga," katanya
Aahh, bajuku jadi ikutan basah!
"Memangnya Kamu anak kecil?!"
Dari arah kamar mandi Hide berseru, "Papa, kapan kita mandikan kucingnya?"
"Tuh, anak kecilnya sudah menunggu. Cepatlah!"
Seketika Osamu membuat raut wajah yang menjengkelkan seperti godaan di hati nuraniku ini berbisik untuk menampar wajahnya. Kemudian, satu kecupan terakhir ia layangkan pada leherku. Anehnya rasa merinding kali ini bisa lebih besar dari hawa dingin yang merambat pada punggungku, sampai kakiku pun merinding dibuatnya. Senjata terkuat Osamu dan titik lemahku adalah kombinasi yang tidak terpisahkan. Beginilah jadinya ketika dia menemukan cara untuk membuatku diam dan mengacaukan pikiranku.
Kemudian Osamu melepaskanku dari rangkulannya lalu berlari kecil menuju kamar mandi menyusul Hide yang sudah menunggunya. "Hehe, dia mirip sekali denganmu."
"Ah, padahal dari bayi lebih betah bersama denganmu."
"Aha~ Shaa-chan cemburu, yaa?"
Suara tengil yang biasanya dibenci oleh rekan kerjanya di Agensi itu adalah suara yang menenangkan bagi orang lain—aku. Mentari yang menyinari hari-hariku yang berwarna biru sendu. Warna kuning yang ceria. Akan tetapi untuk Osamu sedikit lebih spesial, dia adalah golden retriever. Aku tidak peduli jikalau dia tidak suka aku samakan dengan suatu ras anjing, nyatanya dia benar-benar mirip seperti anjing.
Omong-omong soal emas...
"Tidak ada karaage untukku, dong?"
»»—⍟—««
"Hacuh! Hacuh! Hacuh!"
Bersin sebanyak tiga kali bukanlah kabar bagus. Aku pernah paling banyak bersin sekitar lima kali, kondisiku waktu itu begitu parah. Telinga dan hidung tersumbat cairan, segala makanan yang masuk terasa pahit, punggung pun meriang tanpa henti, pusing di kepala amatlah memuakkan. Dan aku tidak mau Osamu menanggung sakit yang sebanyak itu, sementara itu penyakit hatinya belumlah tersembuhkan sampai batas aman. Osamu akan merasa sangat buruk, sebagai seorang manusia, suami, dan sebagainya.
Panas.
Meski biasanya ia memang terasa hangat, tetapi ini sudah berlebihan. Dahi, pipi, bahkan lehernya panas. Seperti kuah mi instan yang biasanya aku seruput, sekiranya berada di tengah-tengah antara hangat dan panas. Seperti itulah kulit yang tadinya dingin itu naik suhunya tanpa aku sadari.
"Kamu bersin tiga kali, lho. Mau minum obat?"
"Langsung tidur saja."
"Sudah minum?"
"... Iya iya."
Sungguh, aku tidak mengerti kenapa orang-orang tidak suka atau justru sering lupa minum air putih? Padahal aku selalu menyediakan air minum di kamar, aku pun selalu memastikan untuk mengisi ulang teko air supaya tidak perlu bolak-balik ke dapur. Kusaksikan sendiri pemandangan dari tulang punggung keluarga ini diterpa oleh sinar bulan yang menembus jendela berkorden tipis. Perawakannya megah seperti pangeran berkuda di cerita dongeng. Dari balik pakaiannya ia menyimpan bekas luka. Dari dalam hatinya ia menyimpan luka dan trauma yang tidak mau ia bagi.
Di atas kasur ini kami tidur bersama selama enam tahun. Di sini juga aku memberikan segalanya padanya. Kepercayaan, cinta, dan penghargaan tertinggi untuk sang raja yang menduduki takhta di istana hatiku.
"Tidurlah." Osamu bersikeras menarikku untuk merebahkan diri di dalam selimut bersamanya.
Wajah indah yang kini mutlak adalah milikku ini pernah disentuh oleh wanita lain sebelumnya. Yah, aku tidak peduli. Kalaupun andaikata ada masa lalunya yang datang kembali dengan sikap yang agresif maka aku berkewajiban untuk menengahinya. Osamu pun sudah pastikan dia tak pernah berhubungan tanpa mengenakan pengaman, tetapi tidak jarang dia menyakiti hati banyak wanita. Osamu pada waktu itu berjalan tanpa arah, dia orang yang buta petunjuk.
Aku bisa mengampuni kriminalitas tanpa ampunnya di masa lalu, asalkan dia berusaha untuk menjadi orang baik menurut versinya.
"Apakah Agensi semakin sibuk?"
"E-ekhem... Begitulah. Kunikida-kun bahkan lembur beberapa kali dalam sebulan ini."
"Itu mah dia saja yang terlalu giat."
"Kalau aku sih tidak, karena aku ingin bersama dengan keluargaku."
"Kamu selalu menghindar dari pekerjaanmu."
"Aku jadi giat setelah kamu menjadi istriku, karena aku ingin membahagiakanmu."
Namun, pernahkah kamu membahagiakan dirimu sendiri, Osamu?
"Kebahagiaan kalian adalah kebahagiaanku juga."
"Kalau Kamu ingin membahagiakanku... Tolong perhatikan dirimu sendiri, Osamu. Bagaimana Kamu akan menolong orang lain kalau dirimu sendiri terluka?"
Kutatap lekat-lekat perban baru yang halus itu membelit leher jenjangnya, menutupi luka atas dasar buah dari kesembronoannya. Obat merah yang tadi aku teteskan pada lukanya itu membuat perban menyerap warna merah keoranyean dari obat. Besok pagi juga aku harus mengganti perbannya dengan yang baru. Hal-hal kecil seperti itu perlu aku lakukan untuk Osamu. Aku ingin membuatnya merasa berharga dan tanda aku menganggap keberadaanya sebagai belahan jiwaku memiliki arti.
"Begini... Seorang ibu rumah tangga bisa terluka saat sedang memasak, seorang anak pun selalu bisa menemukan caranya untuk terluka ketika bermain, apalagi aku yang kerjanya lari ke sana-sini mengejar orang jahat dan berbahaya di sudut-sudut terpencil kota."
"Dan melindungi orang-orang."
"Benar~ Luka ini sebagai pengingat bahwa aku berjuang menyelamatkan orang-orang."
"Tidak perlu luka untuk mengingatkanmu pada tindakan baikmu sendiri. Sebagai belahan jiwamu, aku merekam segala kebajikanmu dengan hatiku. Aku sanggup untuk angkat bicara selama sang surya di ufuk timur masih bersinar di atas kepalaku."
Ekspresi itu lagi, ekspresi yang sama saat dia pulang dengan keadaan basah kuyup tadi. Tersentuh, terkejut, terpana, penyesalan, dan was-was. Hanya saja kali ini kekejutan di wajahnya lebih mendominasi. Bahkan setelah enam tahun pernikahan, Osamu masih belum terbiasa dengan kata-kata baik yang terdengar murni dari hati. Sejatinya hanya Oda-san, Atsushi, dan aku yang sanggup membuat wajahnya menjadi lebih konyol dari biasanya.
"Tentu saja, Kamu selalu ada di hatiku."
Setelah kutatapi segala sudut serta kemiringan wajahnya yang proporsional, tibalah pada satu bagian yang istimewa. Namun, karena aku tidak mau tertular juga jadi kecupan secepat kilat cukup untuk ciuman selamat tidur. Mataku sudah berat setelah menjalani hari yang normal sepanjang 23 jam terakhir. Kini aku menutup mata dengan damai sampai nanti pagi membuka mata di hari yang baru. Selalu kudoakan dalam tidurku bahwa esok hari adalah hari yang bisa menjadi lebih baik dari kemarin. Hari baru yang kugunakan untuk belajar sebagai ibu dan juga istri.
"Oyasumi, anata. (Selamat malam, Sayang)."
"Ya. Mari lanjutkan perbincangannya di alam mimpi."
»»—⍟—««
Padahal aku selalu menekankan dalam diriku bahwa Osamu adalah seorang manusia biasa, tapi aku kerap keteteran sendiri begitu melihatnya pulang dengan luka. Terutama Osamu adalah orang yang jarang sakit, tapi sekalinya sakit sudah parah. Maka dari itu aku enggan meninggalkan Osamu sendirian sebelum kondisinya stabil kembali.
"Panas sekali, pasti lebih dari 39 derajat."
"Uhuk, uhuk, uhuk!"
"Izin absen kerja saja daripada pingsan di Agensi. Jangan merepotkan teman-temanmu. Lagipula salahmu bilang Kamu akan demam nanti. Ucapan adalah doa, lho."
"... Aku baik-baik saja— UHUK! UHUK!"
"Ke rumah sakit, ya?! Ayo bangun."
Berani-beraninya berkata begitu di hadapanku, padahal badannya gemetaran setengah mati. Aku masih tidak habis pikir. Dia menahan diri dan sekaligus memaksakan dirinya sampai jauh melewati batas. Sebenarnya maunya apa, sih?
"Mau dibuktikan? Tarik napas lewat mulut lalu biarkan lidahmu terkena udara yang masuk. Kalau pahit atau tidak berasa apa-apa, itu berarti Kamu sakit."
"S-sekarang hari Rabu, kan? Hide harus siap-siap ke PAUD."
Tuh kan, tidak bisa menjawab. Sudahlah, aku fokus saja merawatnya daripada memusingkan menebak-nebak isi pikiran gilanya yang sulit dipahami itu. Lagipula nalar dan logikaku berbeda level dengannya. Kemudian kuperiksa jam dinding yang tergantung di samping pintu kamar.
"Hide masuk jam setengah sembilan, tapi sekarang masih jam enam lebih. Lalu Kamu harus makan, mau apa?"
"Hacuh! ... Aku mau tidur saja~"
Aku kembali menghela napas lagi. Dengan wajah berminyak dan kelopak mata yang masih berat, aku menguatkan diriku untuk bangkit dari kasur seraya mengikat rambutku. Telapak kakiku merasakan hawa dingin pagi hari di lantai nan licin, seketika membuat mataku terbuka begitu lebar. Aku bangkit dari kasur, dengan segera melangkahkan kaki menuju pintu ketika tanganku sudah menghinggap di kenop pintu.
Aku berhenti untuk beberapa saat seraya menolehkan wajah ke arah Osamu, memberinya pertanyaan, "bubur atau sup telur?"
"Uhuk! Bubur hangat seperti senyumnya Shaa-chan."
Wajahnya pucat, tapi Osamu masih sempat-sempatnya memasang senyum di wajahnya meski harus bersusah payah. Ah, aku begitu khawatir kalau-kalau keadaannya lebih parah dari yang aku saksikan sekarang apabila Osamu menahan dirinya atas dasar tak mau merepotkanku. Tunggu, tunggu, berhenti memikirkan apa yang ada di kepala pria itu! Ingat, harus memasak sarapan dan jangan sampai gosong karena kelamaan melamun. Setelah membuka pintu kamar, aku harus langsung berjalan menuju dapur.
"Baiklah, tidak apa-apa kalau mau lanjut tidur. Tapi nanti aku bangunkan lagi—"
"Ohayou, Mama!"
"UWAH! Hide, sejak kapan Kamu di situ?"
Matahari kecil satu ini tidak ada bedanya dengan ayahnya. Suka sekali membuatku terkejut meski mereka tahu aku tidak menyukainya. Apakah asyik membuat orang terkejut begini? Aku tidak suka dikejutkan... Yah, yang penting mereka bahagia-bahagia saja.
"Mama, aku mau sama Papa."
"Uhuk, uhuk! Ohayou, Hide. Maaf ya, Papa sakit."
"Are? Papa sakit karena hujan-hujan, kan?"
"Iya..~"
Percakapan antara ayah dan anak ini akan selalu terpatri di dalam memoriku. Aku senang mereka bisa akrab sementara di luar sana banyak orang tua dan anaknya yang tampak seperti orang asing. Sama sekali tidak ada ikatan yang tampak di antara orang tua dan anak yang enggan bersuara untuk pertama kali. Tidak bisa kusalahkan antara orang tua atau anak yang memiliki hubungan seperti itu. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Apa yang ada pada di dunia ini memiliki alasan, semuanya bisa terjadi karena memiliki sebab dan akibat. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam perkara seperti itu.
"Kalau begitu, Papa harus makan satu juta jeruk!"
"Oh tidak! Satu juta terlalu banyak, bagaimana kalau Hide bantu Papa memakan semua jeruknya?"
"Aku sehat, jadi tidak perlu makan jeruk." Ya ampun, anakku menggemaskan sekali. Sangat sulit menahan diri ini untuk tidak melukai pipi tembam yang seakan menggodaku untuk mengigitnya. Jadi, aku gendong saja anak imut ini di pelukanku.
"Hide Sayang, Mama mau masak bubur untuk Papa. Mungkin Hide mau makan sesuatu yang lain?"
"Makan karaage lagi."
"Wah, pasti enak kalau dimakan bersama bubur!"
"Meong~"
"Shayou sudah bangun!"
Seekor kucing berwarna oranye yang diselamatkan oleh Osamu berlari kecil menghampiriku. Dia berjalan melingkar mengelilingi sela-sela kakiku sambil mengusap-usap kepalanya dengan manja sembari terus mengeong dengan suara nyaring. Hide yang berada dalam gendonganku tak bisa menahan antusiasnya dengan teman baru yang dia punya sekarang. Maka dari itu aku menurunkannya, bahkan setelah itu kucing tersebut tampak ingin mengajak Hide bermain lalu Hide pun mengejarnya ke ruang tengah.
Shayou, ya?
"Kalian sudah beri kucingnya nama?"
"Aku berikan nama Shayou— hacuh! Karena aku menemukannya saat sore hari." Nama yang lucu. Osamu juga menggemaskan, seseor seperti dirinya punya sisi lembut tersendiri bahkan untuk menyayangi seekor kucing.
"Ya sudah, aku buatkan bubur. Nanti kubawakan obat, plester kompres, dan termometer juga. Kamu tidurlah di situ dan jangan paksakan diri. Kalau tidak, aku kutuk Kamu akan pingsan di langkah pertamamu keluar dari pintu ini. Mengerti?" ucapku. Aku menggapai kembali kenop pintu untuk menutup pintu kamar.
Di sela-sela aku menutup pintu tersebut dengan perlahan, Osamu berkata, "Kamu mengutukku seperti aku sudah membuat dosa besar saja."
Ya, kata-katanya menghentikan gerakanku secara paksa. Seakan seperti mantra sihir yang membekukan gerakan tubuhku, merampas kemampuanku untuk bergerak atas kehendakku sendiri, dan menghilangkan kodratku sebagai mahkluk hidup yang senantiasa bergerak untuk bertumbuh lebih jauh. Hati dan pikiranku yang sangat berisik ini terhenti untuk beberapa saat yang berarti.
Permukaan kulit telapak tangan yang bersentuhan dengan kenop pintu berbahan logam ini semakin mengkerut sebab terjebak dalam sengkalut hati nurani dan akal pikiran sendiri. Akhirnya decitan yang muncul dari kenop pintu pun mengisi kekosongan pikiranku sehingga menarikku kembali pada kenyataan yang ada. Ingat-ingat kembali, aku harus memasak sarapan. Jangan coba-coba terdistraksi dan sibukkan dirimu.
"Ya, terserah apa menurutmu, mantan eksekutif termuda Port Mafia."
»»——⍟——««
Menyuapi Hide, sudah. Memberi makan Shayou, sudah. Sarapan juga masih cukup sampai makan siang, jadi tidak perlu ribet memasak lagi. Lalu tidak ada urusan apa-apa yang mengharuskanku pergi ke luar rumah kecuali mengantarkan Hide ke PAUD. Jadi aku bisa fokus beres-beres di rumah sambil menemani Osamu. Setelah menyuapi Osamu, aku akan langsung mandi dengan Hide lalu bersiap-siap seperlunya.
Semangkuk bubur dengan porsi yang cukup, segelas air kelapa, termometer, plester kompres, obat-obatan, dan vitamin. Semuanya berada di satu nampan yang aku seimbangkan menggunakan kedua tanganku. Begitu banyak benda di atas nampan sehingga aku harus berhati-hati ketika membuka kenop pintu kamar. Akan tetapi, pintu tersebut tidak tertutup seperti terakhir kali aku melihatnya. Pintunya sudah terbuka saat aku kembali. Jadi aku hanya perlu mendorongnya pelan dengan tubuhku sampai aku bisa membawa masuk nampan dengan aman.
Mungkin Osamu yang membukakan pintunya, ya.
Begitu aku berhasil memasuki kamar, kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Osamu tidur dengan begitu lelap, wajahnya sangat amat santai. Aku bisa mengerti ia begitu lelah, maka dari itu untuk sekarang dia tidak pura-pura tertidur. Kepalanya pusing dan tubuhnya lemas, apa masih bisa untuk berpura-pura?Namun, aku senang melihatnya tidur dengan wajah yang damai seperti ini. Meski begitu pula entah mengapa, ada rasa bersalah di hatiku yang mendorongku untuk terus mengasihani dirinya. Ah, perasaan seperti ini terlarang untuk bisa aku rasakan.
Asap putih dari bubur pada mangkuk masih mengepul begitu tebal. Aku letakkan pelan-pelan nampan itu di atas meja agar tidak menimbulkan suara yang mengganggu tidur Osamu. Aku duduk perlahan-lahan di samping kasur untuk meminimalisir pula suara dan gerakan yang tak berarti. Tanganku menggapai permukaan kulit pipinya yang terasa begitu panas bagai sinar mentari. Aku tepuk-tepuk pelan pipinya itu seraya membelainya, mulai dari pucuk kepala sampai ke dagunya.
"Osamu, bangun. Ayo sarapan."
Osamu sulit tertidur tapi mudah terbangun. Orang yang memiliki kebiasaan tidur seperti itu pasti sulit mendapatkan tidur yang berkualitas karena tidak bisa tidur dengan lelap. Hanya ketika benar-benar lelah saja, barulah bisa tidur dengan puas.
Maka dari itu banyak luka yang terukir abadi di tubuhnya. Rasa sakit fisik bisa mengalihkannya dari isi pikirannya yang berisik. Setelah beberapa lama menyakiti dirinya sendiri, tubuhnya pun akan lemas, lalu takluk untuk memaksakan diri mendapatkan istirahat.
Sebagai seseorang yang mudah sekali mengantuk, aku harusnya lebih bersyukur di saat banyak orang yang kesulitan mengatasi insomnianya, tapi aku yang baik-baik saja malah memaksakan diri untuk begadang. Yang menderita insomnia pun ingin tidur sebaik diriku. Aku manusia yang egois dan aku kurang bersyukur. Aku ini tidak punya malu.
"Hm..." Osamu berusaha keras untuk mengangkat kelopak matanya yang berat.
"Sarapan."
"... suapi."
"Ya bagaimana mau disuapi kalau Kamu masih tidur?"
Osamu mengerjapkan matanya, ia menguap, kemudian mengusap-usap matanya yang berair. Lalu ia menyingkap selimut saat ia hendak bangun untuk duduk, maka aku membantunya untuk bisa duduk bersandar ke dinding. Setelah itu kuperbaiki lagi selimut yang tadi dia singkap untuk kubantu menutupi sampai menutupi seluruh bagian tubuh dari pinggang sampai ke ujung kakinya.
Osamu tidak sanggup bangun sendiri, dia begitu susah payah hanya supaya bisa bersandar saja. Tubuhnya pun panas sekali. Begitu kupastikan dia sudah menemukan posisi nyamannya, aku segera mengambil termometer lalu memasukkannya ke dalam bajunya. Aku memintanya untuk menjepit termometer itu di ketiaknya untuk beberapa saat, biasanya butuh waktu semenit sampai termometernya berbunyi.
"Oh ya, Hide bagaimana?"
"Hide sudah aku suapi dari tadi. Malah, dia minta makan bareng sama Shayou. Lalu setelah makan kembali tidur."
Osamu dalam momen apapun tetap indah bagiku. Poninya berantakan, jadi aku merapikan rambutnya supaya tidak ada helaian rambutnya yang tidak sengaja ikut tergigit apalagi sampai tertelan. Kuselipkan rambut tebalnya ke belakang telinga supaya tidak mengganggu jalannya sendok saat aku sedang menyuapinya. Lalu aku ambil beberapa tisu dari laci meja, kugunakan untuk mengusap keringat dingin yang mengucur pada pelipis serta dahinya. Di saat-saat itu Osamu meraih tanganku yang masih membersihkan keringat dari wajahnya, kurasakan tangannya amat gemetaran.
Meriang begini apa tidak ke rumah sakit saja...
"Shaa-chan, percayalah padaku. Aku baik-baik saja."
"Tapi—"
"Aaaa~ Kalau buburnya tidak dimakan sekarang, nanti jadi dingin, lho."
"Oh, benar juga." Mendengar ucapanku tadi, Osamu tersenyum sambil memiringkan kepalanya.
Jadi aku mengambil semangkuk bubur dan sendoknya. Aku mengaduk-aduk bubur tersebut untuk beberapa saat lalu mengambil bubur sebanyak setengah sendok. Aku ingin Osamu mengatakan dulu apa yang dia rasakan setelah mencicipi bubur ini. Apakah aku sudah benar memasak bubur atau memang lidahnya saja yang pahit, aku ingin tahu.
"... Terasa sesuatu?"
"Jahe. Walau samar-samar." Benar, memang ada jahe di dalamnya.
"Telan saja. Masih lebih baik daripada bubur rumah sakit."
"Lebih enak karena istriku yang suapi. Aaa~" Osamu kembali membuka mulutnya, kali ini aku mengantarkan sesendok penuh bubur masuk ke dalam mulutnya.
Mulai, deh.
"Siapa sih yang tidak mau disuapi oleh bidadari surga? Kalau Kamu suapi aku padi mentah saja pun tetap akan aku makan."
"Orang sakit memang suka melantur, ya?"
"Aaa~" Lagi, aku suapi Osamu dengan bubur yang masih mengepulkan asap ini. Sungguh, apakah mulutnya tidak terbakar?
"Bahkan Hide tidak pernah seperti ini ketika disuapi."
Di tengah-tengah sarapan yang dihiasi dengan sifat jaim Osamu padaku, sebuah suara yang nyaring. Itu adalah suara termometer yang masih terapit di ketiak Osamu. Aku meletakkan semangkuk bubur tersebut kembali di atas nampan, aku menelusupkan tanganku ke dalam baju Osamu lalu Osamu membuka ketiaknya. Aku tarik kembali tanganku keluar dari bajunya, saat aku kulihat hasil akhir suhu tubuhnya...
"Berapa?"
"39,3 derajat. Memangnya tidak ada pusing atau mual? Setelah aku mengantar Hide ke PAUD, lebih baik kita ke rumah sakit."
"My pain tolerance's kinda different than ordinary people."
"Kiss my ass. You're still a human, not a Superman."
Kenapa jadi mendadak bicara bahasa Inggris, sih? Saat sehat sudah banyak tingkah, saat sakit pun masih sama saja walau energinya tidak sebesar saat ia sehat.
Osamu menggembungkan pipinya sembari mencibir diriku. "Setidaknya coba puji aku~ Aku tahu Kamu peka, tapi sengaja tidak melakukannya."
Aku tatap lurus termometer digital berwarna putih tersebut. Lalu aku putar badanku lagi untuk meletakkan termometer dan mengambil kembali mangkuk berisi bubur yang masih tersisa lebih dari setengah ukuran mangkuk. Aku aduk lagi bubur itu dan mengambil lagi satu sendok penuh. Kuulangi lagi kegiatan itu dalam kesunyian sampai tiga kali banyaknya. Tampaknya Osamu tahu aku sedang berpikir dalam diamku, maka dari itu ia tengah menunggu sebuah jawaban dariku atas ucapannya tadi.
Memuji... Kalau itu maunya.
"Setidaknya mantan eksekutif termuda Port Mafia juga seorang manusia. Yang bisa sakit, bisa merasakan bahagia dan sedih, lalu yang pasti selalu mengeluh saat kesulitan melanda. Dan itu tidak apa-apa. Aku senang saat Kamu menjadi dirimu sendiri."
"U-uhuk, uhuk— ... Tidak perlu bicara begitu."
Dasar Osamu.
Aku pernah lihat di internet. Katanya, batuk dengan sengaja itu bisa untuk menghilangkan rasa gugup. Osamu suka salting sendiri ketika ia diperlakukan dengan baik oleh Atsushi. Karena Agensi semakin sibuk, maka gaji para staf pun dinaikkan. Kenaikan gaji yang signifikan pun sangat sebanding dengan pekerjaan yang semakin padat. Oleh Fukuzawa-san pun jatah cuti lebih diperbanyak.
Saat ini Atsushi sudah berusia 24 tahun, jadi dia lebih dari cukup usia legal minum minuman beralkohol. Dahulu, Atsushi memberikan sebuket bunga krisan putih untuk Osamu. Ketika berjalannya waktu pun bentuk rasa terima kasih Atsushi pada Osamu semakin naik level. Pada suatu waktu, Atsushi pernah mentraktir Osamu dan Kunikida-san makan sashimi dan yukhoe berkualitas cukup tinggi sembari minum sake bersama-sama. Begitu Osamu pulang ke rumah dengan mulut penuh bau alkohol dan wajah mabuknya yang lebih menjengkelkan dari biasanya, Osamu memberikan sebuah kotak berisi cheesecake kepadaku lalu berkata itu hadiah dari Atsushi.
"Kawaii."
"UHUK! UHUK! UHUK!"
"E-eh? Daijoubu? Nee, Osamu!"
"Aku tersedak— uhuk! ... tersedak ludahku sendiri."
Ah... Masa sih? Dipuji oleh juniornya sendiri saja sudah K.O bukan kepalang.
Aku letakkan mangkuk yang masih berisi bubur panas di atas pahaku—rasanya seperti diolesi balsem. Aku ambilkan Osamu segelas air kelapa dan ia menerimanya dengan kedua tangannya sembari meminum air tersebut dengan susah payah. Aku tepuk-tepuk dan usap punggungnya, berharap dia bisa merasa baikan meskipun aku tahu bahwa batuknya itu hanya akting belaka. Lagi, aku masih tidak paham bagaimana aku bisa membedakan kepura-puraan dan kejujuran seseorang. Walaupun terlihat seperti tahu segalanya, kadangkala aku justru ingin tidak tahu apa-apa.
"Sudah enakan? Bisa bernapas?"
"... Aku kenyang."
"Aku sudah pastikan porsinya bisa cukup dimakan orang sakit, jadi tidak akan meninggalkan sisa. Ayo, lanjutkan makannya."
"Aaa~"
Tidak butuh banyak suapan untuk menghabiskan semangkuk bubur ini hingga bersih, lantas kuletakkan mangkuk kosong kembali ke atas nampan. Osamu pun menghabiskan lagi air kelapa yang masih tersisa, ia memberikan gelas yang sudah kosong itu padaku. Gelas kosong itu kemudian aku isi dengan air putih. Aku memberikannya lagi gelas tersebut pada Osamu beserta tiga buah obat pil. Di antaranya paracetamol berwarna biru, probiotik berwarna merah, serta vitamin berwarna kuning lemon.
"Bisa minum obatnya? Mau digerus dulu atau makan dengan pisang?"
"Aku sangat mencintaimu yang teramat keibuan dan perhatian lebih dari apapun, tapi aku rasa kali ini agak berlebihan."
"Karena aku harus mengurus dua orang Dazai sekaligus. Hide butuh perhatian khusus karena masih kecil, Kamu butuh perhatian khusus karena sedang sakit."
"Jangan lupa mengurus dirimu sendiri."
"Karena itu Kamu harus sehat supaya bisa membantuku."
Osamu melempar tiga buah pil tersebut ke dalam mulutnya, bersamaan dengan segelas air yang ia minum beberapa teguk untuk mendorong ketiga buah pil tersebut secara sekaligus. Ini bukan pertama kalinya aku menyaksikannya meminum lebih dari dua biji obat pil secara bersamaan. Sebelumnya aku sudah pernah merawat Osamu saat dia sakit, bahkan ketika aku dengannya masih berpacaran. Aku masih saja terkejut melihatnya, entah mungkin menurutnya lebih praktis untuk meminum obat sebanyak itu.
Gelas itu tadinya penuh berisi air. Sekarang sudah tidak lagi ketika semuanya sudah meluncur turun ke lambung Osamu. Akan tetapi, ada yang lebih tidak beres lagi dengan gerak-geriknya. Mengapa dia memelototi telapak tangannya sendiri?
Perasaanku saja atau sorot matanya berubah jadi gelap? Apa yang baru saja dia lihat?
Ini tidak bisa dibiarkan. Nostalgia tentang memori dan kenangan yang buruk di masa lalu itu lebih baik diletakkan pada posisi nomor sekian. Nostalgia bahkan punya waktunya sendiri. Selama diri kita terus bertambah tua maka yang bisa dilakukan hanya berjalan ke depan. Hidup tidak akan menunggu bagi kita untuk berhenti dan meratapi apa yang ada di belakang sana. Jika demikian maka hukum kehidupan ini akan berbicara. Nostalgia diperlukan sebagai bentuk acuan demi menentukan langkah selanjutnya, untuk berimprovisasi demi memiliki masa depan yang baik.
Apapun yang sedang dia lihat sekarang pada telapak tangannya, maka telapak tanganku akan selalu berada di bawahnya untuk senantiasa menopangnya kapanpun ia jatuh, maka kapanpun ia akan bisa bangkit. Pun aku memiliki dua tangan, tanganku yang satu lagi bisa lengkap untuk melindungi kedua sisi tangannya. Setiap abdi istana harus melindungi sang pemilik takhta, demikianlah itu merupakan tugasku untuk melindungi ia yang menghuni takhta istana absolut di hatiku.
"Butuh sesuatu lagi? Aku mau memandikan Hide."
"Aku ngantuk."
Ah, pengalihan. Apa yang tengah menghantuinya? Apa yang dia sembunyikan?
Aku menghela napas jengkel, tapi kubuat sesamar mungkin. Aku raih gagang laci meja kemudian menariknya. Di dalam terdapat tisu wajah, jadi aku ambil beberapa lembar untuk mengusap keringat dingin di dahi dan pelipis Osamu yang mulai muncul lagi. Rambut tebal yang tadi kuselipkan ke belakang telinga telah keluar dari posisinya, tapi aku selipkan lagi, karena Osamu lebih tampan kalau begini. Poni rambutnya pun aku tahan sampai mendekati ke tengah kepalanya agar aku bisa membersihkan keringat dingin di seluruh wajahnya sampai bersih.
Ada dorongan kuat untuk mencium wajah tampan ini. Sayangnya, aku tidak bisa menahannya. Aku cium dahinya, pipinya, di bawah matanya, tapi kuhindari di bagian yang krusial karena lagipula aku tak mau tertular. Aku kepal-kepal tisu bekas tadi lalu kuambil selembar plester kompres dan kubuka pelapis plastik yang menutupinya. Setelah itu aku tempelkan kompresnya ke dahi lebar pria ini sambil memastikan kompresnya bisa melekat dengan sempurna tanpa ada celah-celah yang memungkinkan udara bisa masuk.
"Jangan langsung tiduran. Tunggulah sepuluh menit dulu, setelah itu tidurlah lagi sepuasmu. Mengerti?" ucapku. Pandanganku lurus pada wajahnya yang tak henti-henti mengeluarkan keringat, Osamu memejamkan matanya kemudian mengangguk.
Apapun yang dia pikirkan, semoga bukan sesuatu hal yang negatif.
Sampah plastik dan tisu serta alat-alat makan lainnya aku letakkan di atas nampan untuk kubawa ke dapur untuk dibersihkan. Aku turun dari kasur lalu kurapikan kembali selimut atau sprei yang kusut. Nampan ini sudah lebih ringan daripada sebelumnya jadi aku bisa memegangnya dengan satu tangan, sementara tangan lainku menarik kenop pintu. Dari ambang pintu yang masih tersisa celah, anehnya adalah kulihat wajah Osamu terlihat kabur dan buram. Aku memang punya masalah dengan mata, tapi yang ini lain. Seperti mata hatiku tidak bisa melihat wajahnya ... Yah, absurd memang. Aku sendiri tidak paham dengan apa yang sedang kupikirkan.
Bahkan ketika pintu kamar berhasil kututup, aku masih membayangkan betapa wajah Osamu terlihat begitu keruh, seakan dia tidak memiliki mata, hidung, atau mulut, seperti slenderman. Ya ampun, aku harus merelakan pikiran buruk seperti ini untuk tenggelam ke dasar ingatanku. Aku tidak punya waktu untuk berpikiran aneh-aneh, aku terlalu sibuk untukmu memikirkan hal sepele yang tidak jelas. Hanya jika Osamu lebih berhati-hati, aku tidak akan paranoid begini. Dan karena inilah aku tidak suka film horror. Betapa buruknya aku sampai membayangkan suamiku sendiri sebagai mahkluk tanpa wajah.
Fokus, Shaa. Fokus.
Nampan dan seisinya masih ada di tangaku, ketika aku sudah sampai pun kuletakkan nampan itu di samping tempat cuci piring. Aku panaskan dahulu air untuk Hide dan aku mandi, barulah aku mencuci piring dan membersihkan lain-lainnya sambil menunggu air panasnya siap. Tisu dan plastik aku buang ke tempat sampah terpisah sesuai dengan sumber sampahnya, apakah bisa terurai atau tidak. Kemudian aku mencuci gelas, mangkuk, sendok, sampai nampan pun aku ikut bersihkan pula karena ini adalah bekas dari digunakan oleh orang sakit selain itu ada anak kecil di rumah jadi harus teliti membersihkan.
Setelah bersih, aku letakkan semua benda yang sudah aku cuci di rak sampai kering, sebelum nanti aku bisa kembalikan lagi ke tempatnya semula. Aku segera memeriksa air panas di kamar mandi dan airnya sudah sangat pas. Jadi, sekarang tinggal bangunkan Hide saja. Hide sedang tidur di sofa ruang keluarga bersama dengan Shayou. Mereka begitu menggemaskan dan sangat dekat. Hide punya teman yang sedia 24 jam dan Shayou pun punya rumah.
Rambutnya agak acak-acakan, ada air liur yang menetes mencari celah keluar dari mulutnya, pipi yang tembam, wajah damai saat tidur, napas yang teratur dan tenang. Anak ini adalah anugerah dari yang di atas. Aku toel-toel hidungnya lalu kubelai pipinya, aku hapus partikel-partikel debu yang sekiranya menempel di kulitnya yang halus.
"Hide~ Bangun yuk, Kamu harus sekolah."
Hide mengerang, kelopak matanya ia angkat dengan susah payah. "Jeruk..." Lalu, matanya terpejam lagi.
"Nanti saat pulang kita beli jeruk, ya? Ayo, sekarang Kamu harus mandi."
"Gendong aku."
"Utututu, anakku sayang~!"
Aku selipkan kedua tanganku ke ketiak Hide, ketika aku angkat dia aku segera menahan tubuh bagian bawahnya. Hide selalu aku berikan bekal dari rumah dan mainan seperlunya, tapi aku sudah siapkan itu kemarin malam, jadi sekarang hanya perlu memandikannya lalu memakaikannya seragam. Setelah itu mengantarkannya ke PAUD, kemudian pulang untuk merawat Osamu dan bersih-bersih rumah. Saat siang menjelang sore, waktunya menjemput Hide.
Sibuk memang, tapi inilah kenyataan. Aku tidak bisa menyerah dari berbagai motivasi yang telah mendorongku sejauh ini.
»»—⍟—««
"Mainan, bekal makan, air minum... Sudah semua, kan? Semoga tidak ada yang tertinggal."
Sekali lagi aku tegaskan, aku ini ceroboh. Bisa saja ada yang tidak sengaja kulupakan. Aku pun berulang kali melihat riwayat chat grup wali murid sampai ke tiga hari yang lalu dan syukurlah tidak ada suatu pengumuman apa-apa. Saat aku sedang memeriksa keperluan Hide, aku mendengar suara sesuatu yang diketuk tiga kali. Jadi aku menghampiri asal suara itu dan aku mendapati Hide tengah berusaha membuka pintu kamarku dan Osamu sampai akhirnya terbuka. Begitu pintu dibuka justru keluar suara bersin yang keras. Hide terkejut, tapi dia lanjut membentuk lengkungan senyum di wajah imutnya.
"HACUH!"
"Papa, aku berangkat dulu! Akan kubawakan jeruk dari sekolah!"
"A-ah, hati-hati di jalan," ucap Osamu yang terbaring di kasur sambil melambai-lambaikan tangannya.
Aku mendorong pintu sehingga terbuka lebih lebar, aku tersenyum dengan maksud izin berpamitan. "Ittekima—"
"Shaa-chan." Dia membuatku memotong ucapanku sendiri. Lagaknya tersenyum dengan wajah tengil dan mengedipkan sebelah matanya, sementara isyarat jari telunjuknya menepuk-nepuk bibirnya bersamaan dengan nada usil yang dia gumamkan.
"... Wajib?"
"Ini kebutuhan primer."
Saat aku seumuran Hide, kedua orang tuaku berciuman singkat saat ayahku hendak pergi bekerja. Mereka dengan biasa saja melakukannya di depan anak mereka langsung. Ada suatu ketika aku menegur mereka, ibuku bilang gapapa, toh suami istri jadi sah-sah saja. Karena masih kecil, jadi aku hanya jawab ooh saja setelah mendengar jawaban dari ibuku. Namun, aku tidak mau anakku melihat itu dari kami, tidak sebelum dia bisa memahami makna dari berciuman. Akan tetapi untuk saling mengasihi seperti mencium pipi, bergandengan tangan, tetap aku tunjukan kepada Hide juga.
Aku sudah paham dengan apa yang aku lakukan. Maka aku melangkahkan kakiku mantap ke dalam kamar. Osamu bangun dari tidurnya, ia menopang tubuhnya dengan kedua tangannya di atas kasur. Mau tidak mau aku harus ikut melangkahkan satu kakiku di atas kasur juga agar bisa menjangkaunya. Jujur saja, aku agak malu kalau harus mencium Osamu di hadapan Hide, soalnya tak jarang dia suka meledek.
"Di pipi saja..."
Cup
"Fufu~ Ciuman dari Dewi Bulan akan menyembuhkanku, ah senangnya~"
"Istirahatlah."
"Tentu sa— HACUH!"
Aku mendoakan kesehatanmu kapanpun kamu sehat serta kesembuhanmu di setiap kali kamu sakit, Osamu.
Aku beranjak dari kasur dan menghampiri Hide yang cekikikan sendiri. "Mama to Papa kawaii ne! Sore jaa ittekimasu, Papa!" Tuh, kan...
"E-ekhem! ... Itterashai."
Kami berjalan bersama ke lorong rumah, bersiap-siap memakai sepatu. Aku suka gemas sekali melihat sepatu Hide yang sangat mungil. Aku bantu dia memakaikan sepatunya sampai dia merasa nyaman. Jika sudah, aku memasukkan tanganku ke dalam lengan mantel kemudian mengeluarkan sepeda dan stroller yang bisa dikaitkan ke sepeda sebagai transportasi menuju PAUD. Hide bilang sendiri kalau dia suka berjalan-jalan sambil diterpa angin, udara sejuk membuatnya tenang.
Terutama ketika awan-awan putih di langit biru bisa seindah ini. Entah apa aku terlalu sering di rumah jadi tidak begitu memperhatikan langit belakangan ini. Padahal kemarin hujan sangat deras, sekarang langit berubah jadi begitu cerah. Setelah badai datanglah pelangi, tapi dnegan begitu harus tetap waspada bahwa badai bisa muncul kembali kapan saja. Semilir angin yang menerpa rambutku dan suara dedaunan bergoyang saat melintasi taman inilah yang aku suka. Semoga setelah Osamu sembuh, Osamu bisa mengambil cuti dan kami bisa piknik di sini.
Cuaca yang bagus untuk jalan-jalan, tapi aku harus langsung pulang.
Aku masih terus mengkayuh sepeda dengan kekuatan sedang. Di kepalaku terpatri jalur menuju PAUD, jadi mau aku berjalan sambil melamun pun rasanya seperti ada sistem otomatis yang bisa mengarahkan tanganku untuk memutar stang sepeda dengan benar sampai tiba-tiba saja sudah tiba di tujuan. Namun, orang melamun pun akan tersadar dengan suara keras, sedangkan aku merasa ada yang janggal kesekitaranku yang terlalu tenang, maka aku menoleh ke belakang tempat Hide duduk.
Dia masih membuka matanya, dia tidak tertidur. Hide selalu tenang saat dalam perjalanan. Entah dia akan tidur atau sangat terfokus melihat pemandangan di sekitarnya. Hide itu benar-benar gabungan antara aku dan Osamu. Saat bersama Osamu, dia menjadi sangat aktif. Namun saat bersama denganku, dia begitu penurut dan agak pendiam. Apakah Hide tidak nyaman saat bersamaku?
"Hide, Mama mau bertanya. Boleh?"
"Boleh."
"Papa lebih banyak waktu di luar karena bekerja daripada waktu di rumah saat sedang libur, jadi Hide lebih sering bersama dengan Mama. Nah, Hide suka tidak saat bersama dengan Mama?"
Aku agak cemburu ... tetapi asalkan Hide bahagia. Asalkan Osamu dan Hide bahagia.
"..."
Mungkin aku terlalu berlebihan. Ahh, aku terlalu banyak berpikir sampai menjurus ke hal yang tidak-tidak. Aku membebani pikiran sederhana Hide dengan pertanyaan yang berat dan ambigu.
"A-ah, apa pertanyaan Mama terlalu sulit? Tidak apa-apa kalau Hide tidak menjawab. Mama tidak marah kok, hanya penasaran saja. Mama ingin memastikan jikalau ada perlakuan Mama yang membuat Hide sakit hati. Contohnya saat Mama melarang Hide hujan-hujan. Tapi, Hide anak yang pintar, Hide tahu alasan Mama melarang. Mama pasti akan izinkan Hide main hujan, nanti kita main hujannya saat pertengahan musim panas saja. Oke?"
Dasar ceroboh. Dasar bodoh! Bisa-bisanya aku menanyakan pertanyaan seperti itu ke anakku sendiri? Hide itu mirip sepertiku, dia pengamat yang sangat perasa, bagaimana kalau aku membuatnya tersinggung? Bagaimana kalau aku menyakiti hatinya?
"A..."
"A, Hide?"
"Aishiteru, Mama."
Di saat-saat begini aku teringat masa lalu. Empat tahun yang lalu tepatnya di bulan Maret, aku melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dengan tangis yang sangat keras. Aku dan bayi tampan ini sama-sama selamat. Syukurlah, aku bisa melahirkannya dengan selamat. Bayi ini akan menjadi bintang yang diperhatikan daripada ibunya, itu sudah pasti. Akan tetapi Osamu justru terlebih dahulu mendekatiku, dia mencium dahiku sebanyak mungkin tanpa memperdulikan peluh keringat yang ada di momen setelah aku mempertaruhkan nyawaku.
Arigatou, aishiteru, yoku ganbatte ne.
Suaranya terngiang-ngiang dengan lembut di telingaku. Beberapa kali aku memimpikan suaranya pada hari itu ketika Hide masih harus minum ASI. Seolah kata-katanya itu menjadi penyemangat untukku, dan benar saja, Osamu membantuku dalam hal hampir segalanya dalam mengurus Hide. Di mana aku menatap Hide, di situ refleksi samar-samar ayahnya mengikuti. Baik pohon atau buahnya, aku akan rawat keduanya sekaligus.
"Begitu, ya? Mama juga sangat sayang sama Hide! Terima kasih."
Hari ini begitu ceria. Aku sangat senang sekali. Yah, walau Osamu sedang sakit, sih. Tidak ada salahnya untuk merasa bahagia, kan? Osamu sendiri yang bilang, aku bisa bahagia dengan kehendakku sendiri dengan tanpa memperhatikan kesedihan orang lain. Kalau urusannya terkait dengan diri sendiri, aku tidak boleh naif. Osamu juga bilang aku harus mengurus diriku sendiri. Osamu sebagai kepala keluarga memang memiliki kewajiban untuk memenuhi istrinya, tapi kebahagiaanku adalah tanggung jawabku sendiri.
"Mama."
"Ya?"
"Papa sakit banget ya?"
"Iya, Papa demam. Nanti pulang kita belikan Papa buah, mau?"
"Mau! Daripada Papa minum obat banyak-banyak, Papa makan buah aja!"
Huh?
"... Minum obat banyak?"
"Obat warna putih besar-besar ada lima di tangannya Papa itu diminum semuanya... Papa kasihan..."
Warna putih berukuran besar ... Maksudnya pil painkiller?!
"K-kapan Kamu melihat Papa minum obat-obat itu?"
"Baru saja."
"Baru saja?"
"Dari tadi aku memperhatikan Papa."
Apa aku salah dengar? Atau aku masih dalam lamunan? Tidak, tidak. Walau sering melamun pun aku masih bisa membedakan kenyataan dan halusinasi dengan benar. Tenang, aku harus tenang di hadapan Hide. Hide bisa ketakutan kalau melihatku panik, dia bisa trauma. Masalah ini hanya antara aku dan Osamu, Hide tidak ada hubungan apa-apa sama sekali. Ah, Osamu ... Kenapa kamu berbohong padaku tentang keadaanmu? Apakah aku sebegitunya tidak bisa diandalkan untuk ikut menanggung deritamu? Harusnya aku paksa saja dia untuk buka mulut. Ini salahku.
Untuk sekarang pikirkanlah Hide. Dia punya kemampuan supernatural juga.
Namun, seberapa keras aku coba menyembunyikan kekhawatiranku, emosiku ini mudah untuk mencuat tanpa aku sadari. Aku bisa agresif, atau menjadi orang yang lebih menjengkelkan. Aku harus sopan di hadapan orang lain. Aku harus lembut di hadapan Hide. Masalah masa lalu, trauma masa kecil, itu tidak ada kaitannya dengan anakku. Hide yang kelak akan memilih jalannya sendiri tidak akan aku ikut campurkan dengan masalahku. Kecuali jika Hide sendiri yang ingin tahu, pasti akan kujelaskan dengan bahasa yang paling halus.
Sadar-sadar saja sudah sampai di depan gerbang PAUD. Dari luar gerbang ada dua orang sensei yang sudah berjaga untuk menyapa anak dan orang tua yang mengantar. Seperti biasanya, aku terus saja mengkayuh sepeda langsung masuk ke dalam wilayah PAUD. Seperti biasanya pula aku akan mengantar Hide sampai ke depan pintu yang juga ada guru lain yang tengah berjaga di sana menyambut anak-anak dengan memberikan bingkisan. Bingkisan kali ini adalah jeruk.
Kalau begitu, Papa harus makan satu juta jeruk!
"Selamat datang, Hide-kun!" sapa si guru.
Hide segera berlari menghampiri gurunya. "Sensei, apa aku boleh mendapatkan jeruk?"
"Eh, tahu dari mana kalau sensei menyiapkan jeruk?"
"Aku melihat sensei mengeluarkan jeruk besar-besar dari kotak!"
"Apakah Kamu memimpikan jeruk di dalam tidurmu? Ini, sensei berikan satu."
Sejak kapan kemampuan Hide muncul? Bagaimana bisa ... ? Mungkin munculnya baru akhir-akhir ini, tetapi apa yang membuatnya kemampuan aktif? Apa berhubungan dengan tingkah laku Hide yang tenang dan pendiam? Kalau seperti itu, bisa saja kemampuannya sudah muncul bahkan sejak Hide belajar berjalan untuk pertama kalinya. Tidak ada yang tidak mungkin ketika berhubungan dengan kemampuan supernatural.
Sepertinya aku tahu kenapa Hide lebih ceria saat bersama dengan Osamu.
"Boleh aku minta satu lagi? Karena Papaku sedang sakit, sensei."
"Benarkah? Kalau begitu sensei berikan jeruknya ke Mamamu."
"A-apakah boleh?"
"Tentu saja boleh, silakan."
Bu guru memberikan sebuah jeruk berjenis dekopon padaku, lalu aku menerimanya dengan kedua tangan sebagai bentuk rasa terima kasih dan sopan santun, tidak baik menolak pemberian baik dari orang. Jeruk satu ini punya kulit tebal, rasanya manis, dan tidak memiliki biji, jadi tidak perlu takut anak-anak akan tersedak biji. Jeruk ini adalah salah satu dari sekian jeruk termahal di dunia, padahal satu pack cuma terisi enam saja. Alasan mereka berani untuk memberi buah ini adalah karena anak-anak yang ada di PAUD ini tidak banyak jumlahnya, mereka memanfaatkan anggaran yang masih tersisa untuk dimanfaatkan dengan maksimal demi anak murid.
"Terima kasih... Saya mohon bantuannya untuk menjaga Hide." Aku membungkukkan tubuhku sempurna 90 derajat.
Aku merasa sangat membutuhkan bantuan dari gurunya Hide untuk menjaganya hari ini, sebab aku yakin aku tidak akan bisa menahan diriku sesampainya di rumah. Sebelumnya Hide tidak pernah membuat masalah atau keributan di PAUD. Tidak pernah rewel atau nakal, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku meninggalkan stroller di PAUD, agar saat perjalanan pulang tidak begitu menyulitkanku karena tidak tidak adanya penumpang.
Tepat sebelum aku melenggang melewati pagar, aku menyimpan jeruk yang tadi diberikan oleh guru PAUD dan menyaksikan Hide yang melambaikan tangannya dengan senyum yang cerah. "Bye bye, Mama!"
Sekarang aku harus mengurus Osamu.
»»—⍟—««
Begitu sampai di rumah, meletakkan sepeda ke tempatnya semula pun aku tidak sanggup. Jantungku sudah berdebar-debar bukan main, rasanya seperti mau pingsan. Telapak tanganku terus basah karena keringat, saat di jalan aku bersepeda agak mengebut sampai membuatku sedikit panik karena genggamanku pada stang sepeda berulang kali tergelincir. Aku beberapa kali nyaris mati di jalan, tapi itu tidak lebih berarti daripada kondisi Osamu sekarang.
Tidak ada waktu untuk duduk. Aku segera berjalan ke dapur kemudian membuka kulkas dan meraih sebotol air dingin. Aku meneguknya sampai tersisa sedikit sekali, membuatku kenyang dengan air putih saja. Aku cuci mukaku yang berkeringat di wastafel, pula aku basahi tengkukku. Di sebelahku ada beberapa alat makan yang tadi sudah aku cuci kini telah kering, aku mengembalikan barang-barang itu ke tempatnya semula dengan dada yang masih berdegup kencang.
Sebenarnya ini salah siapa?
Tanganku bergetar tak bisa kuhentikan. "Tenanglah, tenanglah. Osamu selalu menemukan cara untuk menyelamatkan dirinya."
Tapi dia juga selalu menemukan cara untuk membahayakan dirinya. Sialan, justru dia yang seperti anak kecil.
Aku yakin Osamu sudah menyadarinya kalau aku sudah tiba di rumah. Ah, aku begitu gugup sampai hanya bisa berdiri mematung di depan pintu ini. Aku tak mau mengetuk atau mengeluarkan suara apapun. Aku ingin masuk, tidak hanya ke dalam kamar ini tapi ke dalam hatinya juga. Jika memang semenyakitkan itu maka aku akan membelahnya menjadi dua lalu aku ambil sebagian rasa sakitnya. Aku tahu cara menguraikan rasa sakit, aku bisa membantunya.
Akhirnya kumantapkan tekad untuk langsung masuk saja ke dalam kamar. "Aku pulang."
Osamu terbaring memunggungi arahnya pintu kamar. Oh, tentunya, aku bisa bedakan mana tidur sungguhan dan tidur pura-pura saja. Aku memang tidak pandai mengungkap kebenaran karena aku bukan detektif, tapi bahkan seorang Dazai Osamu tidak akan bisa berakting di hadapanku.
"Tidak usah pura-pura tidur."
Segera setelah aku berbicara, pundaknya naik lalu turun dengan signifikan, Osamu menghela napasnya kasar. "Aku berusaha untuk tidur, seperti yang Kamu mau."
"Kamu tahu kalau ternyata Hide punya kemampuan?" Aku lepas ikat rambutku kemudian kuletakkan di atas meja.
Osamu berbalik dengan ekspresi wajah yang mengungkapkan ketidakpercayaannya. Setelah itu ia bangun dari posisi berbaringnya sembari tetap mempertahankan ekspresi tak tahu apa-apanya. Namun bisa kukatakan yang kali ini adalah sungguhan, atau aku sudah malas saia menganalisis jujur atau tidaknya ekspresi pria itu.
"Apa?"
"Saat di perjalanan, dia bilang dia selalu memperhatikanmu."
"Benarkah?"
"Iya. Dia bilang Kamu meminum lima buah obat warna putih berukuran besar sekaligus. Dia sangat khawatir pada keadaanmu."
"..."
Lucu rasanya melihatnya kehabisan kata-kata. Aku ingin tertawa melihatnya yang tidak bisa menjawab. Bisanya hanya diam saja sambil menundukkan kepalanya, dia tampak seperti lelucon. Mungkin Kunikida-san akan tertawa kalau melihatnya sekarang. Ah, apakah aku marah? Tentunya aku marah besar. Untungnya aku bukan tipe orang yang destruktif melalui kata-kata dan tindakan. Aku akan menjadi lebih jujur, aku menghilangkan topeng-topengku sehingga yang tersisa adalah rasa jengkel yang terus membuncah tanpa henti di hatiku.
"Kenapa Kamu melakukannya?"
"Rasa sakitnya membuatku teringat saat aku di mafia. Aku hanya mencoba untuk meredakannya sampai di titik di mana aku bisa mengabaikannya."
"Hahahaha... Tuh, kan... Apa karena demam Kau jadi kehilangan akal, ya?! Kau itu sangat bego dan sangat tolol!"
"Shaa—"
Aku tidak tahu apa yang merasukiku, sungguh. Tubuhku seperti dikendalikan oleh adrenalin yang sudah tidak bisa tertahan lagi. Begitu meletus akan membakar semua yang berada di jalurnya. Namun, aku ini sangat objektif. Aku tahu siapa dan bagaimana sasaranku serta batasanku bertindak. Aku tidak segegabah dirinya yang dengan sengaja terjun ke situasi berbahaya ketika dia sedang bosan.
Aku mendorongnya yang dalam posisi duduk kembali jadi berbaring. Aku menekan pundaknya dengan telapak tanganku sampai wajahnya meringis dan merintih kesakitan. Anehnya tangannya hanya diam saja di sana, ia tak punya perlawanan untuk menyingkirkan tanganku yang tengah menyakiti dirinya. Aku ini, ya, tidak bisa marah dengan benar. Ada rasa takut dan sedih yang bercampur dengan perasaan dongkol. Tanganku akan terus bergetar, air mataku pun akan terus mengalir sebelum masalah bisa selesai.
Aku tumbuh dengan sentimen yang begitu besar, kadang aku merasa ingin menjadi orang yang bodo amat, tapi tetap saja tidak bisa.
"Ada sebuah kalimat yang orang jenius sepertimu bisa pahami dengan sangat mudah. Apa Kau tidak memikirkan kalau KAU bisa saja OVERDOSIS dan membuat dirimu sendiri di masa depan lebih menderita daripada yang sekarang!!!"
Aku ingin memarahi orang dengan cara yang benar.
"Kau tahu, Hide selalu ceria saat bersama denganmu dan itu membuatku cemburu. Hah, aku cemburu pada suamiku sendiri karena anakku lebih nyaman padamu. Konyol, kan? Tapi Kau pun tidak boleh egois, Osamu."
Aku mau orang-orang mengerti dengan ceruk yang melukai dinding kalbuku.
"Pikirkanlah Hide. Kalau bukan Papanya yang membuat Hide tertawa, lantas siapa lagi yang akan melakukannya?! Mungkin aku juga egois, tapi aku mohon... Kau punya tanggung jawab sebagai orang tua, jadi jangan lalaikan tugasmu."
Satu-satunya ceruk yang tidak akan bisa ditambal, bagaimanapun caranya.
"Kalau Kau mau minta maaf padaku pun percuma. Aku tidak akan memaafkan orang yang dengan sengaja membahayakan dirinya sendiri."
Bagaimana bisa hanya aku satu-satunya yang memiliki pendapat berbeda? Dari dulu aku selalu sendiri. Kupikir, jika aku menyelamatkan orang lain, mungkin akan ada yang bisa ganti menyelamatkanku suatu saat nanti.
"Kita akan melakukan segalanya untuk Hide. Daripada Hide trauma gara-gara melihatmu tergeletak di lantai dengan mulut menganga yang mengeluarkan busa, lebih baik aku menghajarmu secara langsung. Tenang saja, wanita zaman sekarang pun bisa lakukan apa saja yang biasanya menjadi tugas pria. Namun, mari kita bekerja sama menjadi orang tua yang baik untuk anak kita. Bagaimana menurutmu?"
Rupanya hanya aku yang bisa menyelamatkan diriku sendiri. Namun, aku yang memutuskan untuk menanggung beban seberat ini. Aku tidak berhak untuk menyesali keputusan yang sudah kupilih sendiri.
(Aku nangis beneran ngetik bagian ini)
Aku tidak bisa melihat wajah Osamu dengan jelas karena air mata yang deras ini membuat pandanganku jadi buram. Semakin basah wajahku, semakin tangisku semakin keras. Wajahku terasa sangat hangat. Aku hanya ingin Osamu mendengarkanku.
Aku sangat memohon pada-Nya. Aku membaringkan tubuhku di atas tubuhnya yang masih panas, aku menggumamkan doa dan harapan tepat di depan hati suamiku yang keras di luar tapi lembut di dalam. Aku merangkul pundaknya dengan kedua tanganku supaya isak tangisku yang hanyalah sebuah bisikan ini bisa tersampaikan langsung ke lubuk hatinya yang terdalam.
Akhirnya doaku pun terjawab.
Osamu balas merangkulku erat, membuatku semakin menempel padanya. Ia berbisik tepat di sebelah telingaku, "a-aku tahu apa yang kulakukan itu berbahaya, tapi hanya obat itu yang bisa meredakan rasa sakitku. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu tertekan. Maafkan aku."
"Aku tidak bisa menerimanya sebagai alasan yang masuk akal."
"Kamu benar. Aku tidak punya alasan yang tepat untuk melakukan itu, Belladonna. Aku tahu itu tidak benar." Salah satu tangannya mulai membelai rambut panjangku sambil mempertahankan kekuatan rangkulan tangannya.
"Aku tidak tahu apakah aku berhak marah. Yang jelas, aku tidak akan mengampuni tindakanmu ini. Bahkan, aku masih belum memaafkan berbagai percobaan bunuh diri dan tindakan bodohmu yang lainnya. Maaf, aku orang yang pendendam."
"Iya, tidak apa-apa. Tapi—"
Handphone seseorang berdering, rupanya milikku. Lebih tepatnya itu merupakan nada dering khusus yang aku pasang pada kontak guru PAUD Hide. Aku berusaha melepaskan diri dari rangkulan Osamu, tidak perlu usaha lebih untuk menarik diri keluar dari rangkulannya. Kalau bukan karena panggilan dari gurunya Hide, Osamu tak sudi untuk melepaskanku.
Aku menggeser tubuhku ke pinggiran kasur, kugapai handphone itu lalu menekan tombol hijau di layar. "Halo?"
"HUWAAA! MAMAAA! PAPAAA!"
"H-Hide? Hide kenapa?!"
"M-maafkan saya! Beberapa menit lalu, awalnya Hide tenang saja saat dia sedang main sendirian di taman. Namun kemudian dia mendadak menangis histeris sampai sesenggukan bahkan berguling-guling di tanah dan meminta pulang, katanya dia khawatir pada orang tuanya. Saya sudah coba tenangkan dengan segala cara, tapi Hide semakin mengamuk. Saya juga sudah periksa tubuh Hide jikalau dia terluka, tetapi dia baik-baik saja. Saya khawatir ada sesuatu yang lebih serius, jadi bisakah Anda datang kemari untuk menjemput Hide?" jelas guru Hide panjang lebar dengan suara penuh kekhawatiran yang diiringi oleh suara serak Hide yang menangis sangat keras.
Belum pernah kudengar Hide menangis sekeras ini sejak hari dia pertama kali berjalan. Tangisannya terdengar seperti ia sedang kesakitan. Oh Tuhan, siapa yang berani untuk menyakiti anakku? Aku ... Tunggu..
"MAMA! PAPA! AKU MAU PULANG!!!"
Ah, benar... Hide, kan, bisa mengawasi kami. Dia pasti melihatku memarahi Osamu. Aku harus bagaimana? Akulah membuatnya takut.
"Bisakah sensei berikan telponnya pada Hide? Saya akan oper ke Ayahnya agar bisa membuatnya tenang untuk sementara waktu."
"Saya mengerti!"
Aku menekan ikon silent. Aku buang napas kasar demi bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi. Aku berikan handphone milikku pada Osamu yang masih terdiam karena kebingungan, tapi seperti biasanya, dia sudah menduga dengan apa yang telah terjadi di seberang panggilan.
"Ini. Kalau Kamu mau meminta maaf, minta maaflah kepada Hide."
Aku tidak sanggup bicara padanya. Hide pasti akan membenciku. Dia tidak akan mau pulang kalau aku yang menjemputnya. Padahal, di sisi lain Osamu sedang sakit.
"HACUH! ... Baiklah."
Osamu mengambil handphone ku yang masih terhubung dengan panggilan. Ia matikan mode silent kemudian menekan ikon speaker. Sejujurnya aku agak terkejut saat dia mengaktifkan speaker, terutama ketika dia menatapku dengan tatapan yang bisa kurasakan penuh ambisi. Akan tetapi bukan ambisi yang negatif, melainkan ambisi yang positif. Aku sudah menganalisisnya, ini adalah topengnya saat ia berhadapan denganku hanya empat mata saja.
"Huhu... Papa?" Suara Hide dari panggilan mengalihkan perhatianku dari Osamu, aku memfokuskan perhatianku pada suara anakku saja.
"Ada apakah gerangan anakku yang paling tampan dan imut sedunia ini bisa menangis sesenggukan? Kamu membuat sensei dan Mamamu ketakutan."
"Papa, apa Papa akan baik-baik saja?"
Rasanya seperti dunia sedang runtuh. Dadaku sangat ... sangat ... sangat sakit sampai rasa sakitnya menjalar tegas ke tangan kiriku. Tidak peduli seberapa keras aku meremas dadaku atau mencengkram lengan kiriku sendiri, rasa sakitnya tidak bisa hilang semudah itu. Napasku jadi pendek, menyebabkanku bernapas dengan terengah-engah. Aku tidak sanggup begini terus, aku kelelahan. Aku memejamkan mataku karena kepalaku mulai terasa pusing, refleksnya punggungku terus meringkuk. Akhirnya, ada tangan seseorang yang menggenggam tangan kiriku.
Saat kubuka mataku, muncul tangannya Osamu yang perlahan-lahan memijat tangan kiriku dengan lembut. Sentuhannya menenangkan otot-ototku yang tegang dan membuat rileks, entah cara apa yang digunakannya tetapi napasku pun bisa kembali jadi normal lagi. Aku sungguh tidak mengerti. Tadinya terasa sakit tetapi sekarang rasanya hanya kehangatan yang menghuni lubuk hatiku.
"Di tanganmu ada jeruk, kan? Minta bantuan sensei untuk mengupasnya, lalu makan satu buah sambil tenangkan diri dahulu. Bernapaslah dengan tenang dan teratur, baru bicara. Tidak perlu terburu-buru, Papa tidak akan kemana-mana."
Dia bilang begitu ke Hide atau padaku, ya?
Oh, tadi aku masukkan jeruknya ke saku mantelku, tapi jeruknya sudah tidak ada di sakuku lagi. Apa terjatuh saat tadi aku memarahi Osamu?
Saat aku sedang mencari-cari keberadaan jerukku, Osamu melepaskan genggaman tangannya dariku. Dia tersenyum, wajahnya yang penuh hasrat tadi itu sudah ia buang entah kemana. Kemudian tangannya menjulur ke pucuk kepalaku, ia membelaiku pelan-pelan sampai dia menarik tangannya kembali, jeruk dekopon itu sudah ada di tangannya. Lucunya, dia mencoba untuk menghiburku dengan sulap. Karena aku ini memang suka bermain-main dengan kebohongan. Rasanya menyenangkan menikmati celoteh omong kosong saat keadaan sebenarnya aku telah mengetahui kebenaran sesungguhnya dari kepalsuan yang sudah diucapkan.
Osamu menyodorkan jeruk itu padaku, lantas aku menerimanya dan tanpa pikir panjang mengupas jeruk tersebut. Aku belah di tengah-tengahnya lalu aku ambil satu bagian dari jeruk, setelah itu kumasukkan ke dalam mulut. Di gigitan pertama sudah membuatku terpukau. Rasanya sangat manis dan menyegarkan, ah, buah mahal memang beda levelnya. Ini jeruk yang tidak membuatku mengkedip-kedipkan mata tidak jelas karena rasa asam, tapi memang jeruk dekopon ini semanis itu. Aku kehilangan kata-kata, aku terpukau.
"Sudah tenang? Boleh Papa bicara sekarang?"
Padahal mulutnya sedang berbicara pada Hide, tapi kenapa aku bisa memahaminya, ya?
"Pertanyaanmu itu, ya ... Papa sangat kelelahan, itu yang jadi penyebab demam ini. Papa sangat menyesal karena sudah membuat Mama dan Hide khawatir. Papa minta maaf, ya? Tapi, Hide tahu tidak? Karena kalian mengkhawatirkan Papa, Papa jadi tidak enak mau berlama-lama sakit begini. Jadi, Papa bertekad untuk sembuh sesegera mungkin. Supaya Hide dan Mama tidak sedih saat melihat Papa. Papa janji tidak akan membuat kalian ketakutan lagi. Papa sangat menyesal, bisakah Hide memaafkan Papa?"
"I-iya... Hiks. Aku mau pulang."
Hide memang tidak tahu apa-apa, tapi dia bisa memaafkan orang semudah itu. Yah, tentu saja ini salahku. Seharusnya aku tidak menuruti emosiku yang sedang menggebu-gebu, akhirnya malah begini jadinya.
"Kamu tunggulah di sana bersama sensei dengan tenang. Papa dan Mama akan menjemputmu. Mengerti?"
"O-oke... Hiks.
"Oh ya, kembalikan lagi telponnya ke sensei."
"B-baiklah."
Aku tarik tangan Osamu yang memegang handphone ku lalu aku cepat-cepat tekan ikon silent. Aku ini memang tidak bisa mengendalikan diri, aku ingin semuanya selesai dalam sekali jalan supaya nantinya tidak perlu memperpanjang masalah ini karena akan membuat dongkol hati. Mungkin hanya aku yang merasa kesal, tapi apa Osamu tidak muak?
"Tidak, aku bilang tidak! Kamu bisa pingsan."
"Aah, Kamu sudah mensumpahi aku akan pingsan jika keluar dari kamar, ya. Bagaimana jika Kamu tarik kata-katamu? Ini demi Hide."
"Osamu, tolong—"
"Aku mohon. Aku tidak akan pingsan, aku akan menahan diri."
Tanganku gatal ingin menyetel ulang otaknya.
"Sumpah, Kau ini orang yang paling gila yang aku kenal di hidupku."
Jawabannya adalah, iya. Ya, aku akan makin merepotkan diriku sendiri dengan membawa orang yang sedang sakit untuk menenangkan seorang anak kecil yang tengah panik sebab takut sambil menangis sesenggukan. Hari ini, dua orang Dazai ini sedang butuh perhatian yang khusus. Hide butuh tempat bersandar, Osamu butuh pengobatan, aku bisa merawat Osamu sampai sembuh itu jika Osamu menginginkannya.
Pusing. Kepalaku panas dan gatal. Menggaruk-garuk kepala sampai rambut kusut bukan main pun malah tak ada gunanya, yang ada membuat kepalaku semakin terasa pusing. Osamu benar, ini demi Hide. Aku takut jika Hide malah akan memberontak karena dia tidak mau pulang denganku. Jadi, supaya dia tenang, mau tidak mau harus kubawa pawangnya agar hatinya bisa tenang lagi. Dan, itu terbukti berhasil.
Aku matikan mode silent dan kembali berbicara. "Halo. Kami akan segera ke sana. Maaf karena Hide sudah membuatmu repot."
"Tidak, tidak apa-apa. Tidak masalah, Bu. Kalau begitu, Kami akan menunggu kalian di sini."
"Sekali lagi terima kasih banyak."
"Sama-sama."
Aku tekan ikon berwarna merah untuk mengakhiri panggilan. Akhirnya hembusan napas penuh kelegaan keluar, rasanya sedikit damai ketika akhirnya Hide bisa tenang untuk sementara waktu. Sekarang aku harus menyiapkan Osamu. Osamu belum mandi dan penuh keringat, belum lagi kalau ada virus dan lain-lain yang menempel di pakaian dan kulitnya. Akan tetapi apakah Osamu bisa berjalan sampai ke kamar mandi? Tidak, aku memilih untuk tidak main aman saja.
"Kamu yakin?" tanyaku.
"Aku harus mandi dulu, kan?"
Jika aku tidak mempercayai Osamu, itu berarti aku tidak mempercayai diriku sendiri. Hah, aku harus memandikannya di sini. Selain itu kalau mandi di kamar mandi pasti akan memakan waktu lama, padahal Hide sekarang sedang menunggu kedatangan kami untuk menjemputnya pulang. Tentu saja aku tidak mau membuat Hide menunggu lama, tapi kenyamanan Osamu pun tetap jadi prioritas. Yah, kalau Osamu terus memaksaku begini, aku bisa apa? Dia sudah sepakat untuk lakukan yang semaksimal mungkin untuk Hide, aku anggap dia hanya berusaha untuk menepati kesepakatan.
Aku beranjak dengan secepat kilat dari kasur, meraih ikat rambutku dengan gaya ponytail asal-asalan. "Tetaplah di sini." Sejujurnya aku malas sekali untuk masak air, ambil handuk kecil, malas berjalan, dan sebagainya. Aku hanya ingin tidur.
"Apa yang mau Kamu lakukan?"
Abaikan saja. Abaikan monyet itu. Kalau didengarkan, celotehannya akan jadi berkepanjangan dan urusan kali ini tidak bisa selesai-selesai. Sudahlah, biarkan saja dia tantrum seperti anak kecil. Kalau didiamkan saja pasti nanti akan diam sendiri juga. Lanjutkan saja berjalan ke luar kamar, anggap saja angin badai yang cerewet sedang berlalu.
"Hei, Shaa-chan!! Jangan abai—"
Aku tutup pintu kamar sebelum dia sempat mengoceh lebih banyak lagi. Kepalaku masih sakit dan berdenyut, semoga saja bukan vertigo, aku tidak mau ikut-ikutan sakit pula. Sehidup sehat apapun aku, pastinya akan sakit juga. Dan ketika aku sakit, Osamu bersedia untuk mengambil alih pekerjaan rumah sampai aku sembuh. Rasanya menyenangkan bisa dirawat tapi tubuh meriang dan lain sebagainya itu enggan kurasakan lagi. Pastinya Osamu tengah menderita.
Hanya dia yang bisa membuat hatiku terasa sakit seperti ini. Kata-katanya, sorot matanya, punggung tegap yang sangat gelap, senyuman yang ambigu, suara yang halus tapi bisa mendadak bergetar menahan getir dari hati yang berdarah. Oh, terlalu banyak bagian dari dirinya untuk aku tafsirkan. Walau kunci hatinya berada dalam genggamanku, Osamu melarangku untuk mengeksplorasi hatinya terlalu jauh. Meski dia melarang, dia menegaskan dengan serius bahwa hatinya hanya jadi milikku. Wanita mana yang tidak jatuh hati dengan kata-kata manis seperti itu?
Asap mengepul dari air panas di baskom yang sudah aku siapkan, meski sudah kutambahkan dengan air dingin. Tidak masalah, air dengan temperatur seperti ini mirip seperti air di pemandian air panas. Kalau Osamu sanggup berlama-lama hanyut di sungai yang dingin, pasti dia sanggup berendam di onsen sampai pingsan. Air di baskom dengan jumlah sangat kecil ini tentunya tidak ada apa-apanya. Aku berhati-hati menjaga air agar tidak tumpah ke lantai, aku bersusah payah menjaga baskom berisi penuh air ini dengan satu tangan. Aku harus meletakkannya di lantai dulu kemudian membuka pintu. Baru saja aku hendak membungkuk, pintu sudah terbuka dari dalam dengan lebar.
Osamu berdiri di hadapanku dengan dahi yang berkilau memantulkan cahaya keringat. "Ambil kursi lalu duduklah."
Osamu mengangguk. Dia mundur beberapa langkah untuk membiarkanku masuk untuk meletakkan air hangat di atas meja, kemudian ia mengambil kursi lalu duduk di sana. Osamu langsung mengerti tanpa aku suruh, dia melepas bajunya lalu melepas perban yang mengelilingi tubuhnya dalam sekali tarikan saja. Semua perban-perban itu seketika luluh jatuh ke bawah. Aku langsung saja menyingkirkan lilitan perban yang terlepas itu, pastinya ini sudah kotor.
Tentunya, dari balik perban ini ada rahasia yang dia tutupi rapat-rapat dari orang awam. Di sekujur tubuhnya penuh bekas lebam, bekas tembakan, bekas sayatan berbagai bentuk, bekas bilur di dadanya yang sangat nyata, kemudian 'barcode' di pergelangan tangan di atas nadinya sampai kulit lehernya yang bertekstur. Aku tidak punya alasan untuk takut. Semua bekas luka selalu memiliki arti, entah ada yang mengingatkannya pada kejahatan masa lalu atau pengorbanannya demi Agensi dan Yokohama. Jika Osamu berkeinginan untuk menceritakan semuanya satu persatu, akan aku simak dengan senang hati.
Aku mulai rendam handuk kecil ke dalam air, kuperas sampai memastikan tidak ada air yang menetes berlebihan. Cepat-cepat aku taruh handuk basah itu ke atas pundak kirinya kemudian aku bersihkan seluruh bagian lengan—termasuk ketiaknya—perlahan-lahan. Setelah kupastikan bersih, aku rendam lagi handuk kecilnya ke dalam air dan memerasnya lagi. Kini adalah bagian punggungnya yang akan kubersihkan, akan tetapi setiap kali aku tidak sengaja melihat punggungnya ini, aku selalu termenung. Karena ada luka tembak yang nyaris merenggut nyawanya walaupun katanya tidak kena bagian vital.
Walau begitu, tetap saja aku takut.
"Aku sudah mengatakan padamu untuk menegurku sekeras mungkin saat aku membuat kesalahan. Aku senang Kamu melakukannya dengan baik."
Bagian punggungnya sudah, sekarang berganti ke tengkuk dan lehernya. Ah, aku ingat lehernya ini sensitif. Maka dari itu aku harus lebih halus lagi untuk membersihkan. Lalu, leher itu salah satu bagian yang mudah menumpuk daki, bagaimana aku membersihkannya?
"Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi."
Aku harus rendam lagi handuknya ke air hangat, peras kembali tapi jangan sampai terlalu kering, setelah itu ... Buku puisi lamaku. Sejak kapan dia membacanya?
"Kalau disuruh memilih antara buku bunuh diriku atau buku puisi ini, aku tidak akan bisa memutuskan~"
"Kamu bisa egois kalau Kamu mau."
"Egois?"
"Kalau bisa dua, kenapa harus satu?"
"Itu ya, senjatamu setiap kali minta dibelikan cemilan."
Rendam, peras, rendam, peras. Permukaan air di baskom sudah tampak ditutupi oleh kilau minyak. Aku rasa bagian atas tubuhnya sudah bersih semua, yah, yang penting dibersihkan adalah badannya. Untuk kakinya kuyakin akan aman-aman saja. Lagipula aku sedang tidak mood untuk melihatnya bugil bulat. Setelah ini aku perlu persiapkan pakaian yang nyaman dan sopan untuk dipakai Osamu. Lalu, apakah plester kompres ini harus dilepas karena akan pergi ke luar?
Sementara Osamu melilitkan perban yang baru di tubuhnya, aku hanya bisa termenung Aku tahu dia sedang memaksakan diri dan menahan keluhan di dalam hatinya, tapi...
"Bis atau taksi?" tanyaku
"Dengan bis saja pun tidak apa-apa." Itu berarti kami harus berjalan dulu dari rumah menuju halte bis dan atau berjalan dari halte bis menuju PAUD. Jarak keduanya tidak begitu jauh memang, tapi bagaimana jika akhirnya Osamu tidak kuat berjalan?
"Kamu tidak pusing?"
"Tidak."
"Yang benar?"
"Kenapa Kamu seperti tidak punya kepercayaan padaku?"
Pakai tanya. Dasar.
Entah bagaimana Osamu bisa melilitkan perban di sekujur tubuhnya dengan secepat itu ketika aku sedang membuang air kotor ke wastafel. Aku bahkan sempat bersih-bersih rumah sedikit. Begitu aku buka pintu kamar, kudapati dia tengah merapikan pakaian yang tadi telah aku siapkan. Melihatnya sudah hampir siap, aku menunggunya di ambang pintu, memberinya isyarat untuk menunggunya segera bersiap memakai sepatu di luar.
Tidak butuh waktu lama sampai Osamu ikut menyusulku. Dari derap langkahnya terdengar seperti langkah seorang anak kecil yang tidak sabar untuk memakai sepatunya sebelum pergi bersama keluarganya ke taman bermain. Lalu Osamu duduk di sebelahku, ia ikut memasukkan kakinya ke dalam sepatu, setelah dia selesai pun tak kubiarkan dia bicara dahulu. Aku berikan masker medis untuk dia kenakan.
"Shaa-chan."
"Hm."
"Shaayang."
"Cepatlah. Hide sedang menunggu." Aku berdiri sambil berusaha menyesuaikan kakiku dengan lekuk sepatu. Aku ulurkan tanganku pada Osamu, untuk membantunya bangun. "Bisa berjalan? Kalau Kamu pingsan di jalan, aku tidak kuat membopongmu, lho."
"Belladonna, Kamu memberikanku kekuatan untuk menapaki neraka dunia ini." Osamu masih dengan nada cerianya dengan senang meraih uluran tanganku. Kami saling menarik satu sama lain sampai ia bisa berdiri dengan sempurna.
»»—⍟—««
Langit masih berwarna biru, bedanya awan-awan putih lebih banyak muncul kali ini. Sekiranya cuaca masih cerah, kami pasti akan sempat tiba di PAUD kalau-kalau nanti turun hujan. Kami bisa meneduh di sana terlebih dahulu sebelum pulang jadi Osamu tidak akan kehujanan lagi. Aku pun tak akan melepaskannya, begitu pula ia tak melepaskanku sepanjang langkah dari pintu rumah mendekati sebuah jembatan yang membelah sungai berair jernih.
"Di sinilah aku menemukan Shayou yang hanyut."
"Begitu, ya."
Osamu benar, sungai ini memang dangkal. Aku pernah menyaksikannya sendiri ketika pihak kebersihan kota menceburkan dirinya ke sungai ini untuk membersihkan sepanjang sungai dari ujung-ujung, mereka mencari sampah apapun yang mereka temui terjerembab di dedaunan lumut air yang lebat pada dasar sungai. Tinggi airnya hanya sekitar pinggang orang dewasa saja, terlebih Osamu cukup tinggi. Namun, pada waktu itu ia menceburkan dirinya saat cuaca sedang buruk, maka tentunya arus di sungai akan begitu deras.
Tepat setelah melewati jembatan ini terhubung keluar ke jalan raya. Hanya perlu berbelok sedikit kemudian sampai ke halte bis. Betapa kebetulannya bis yang menuju halte terdekat dengan PAUD baru saja datang. Aku segera mempercepat langkah seraya menarik tangan Osamu agar ia berjalan lebih cepat lagi juga. Aku lihat bis dari jendela kacanya, untungnya tidak ada banyak orang di dalam jadi Osamu dan aku bisa duduk bersama.
Kami mengantri di barisan terakhir, begitu aku dan Osamu membayar tiket bis secara elektronik, pintu di masuk pun seketika ditutup. Saat naik bis begini aku suka bersandar di sebelah jendela, tapi kali ini Osamu kubiarkan duduk di sana. Bahkan ketika sudah duduk pun genggaman tangannya pada tanganku tidak pernah dia lepaskan. Entah tangan siapa yang berkeringat di sini, yang jelas aku tidak merasa terganggu, aku sangat memakluminya. Semoga saja dia tidak mendadak mabuk perjalanan.
"Jika ada jalan lain untuk melarikan diri dari rasa sakit ini, maka aku akan mengambil jalan itu." Oh, apa aku terlalu memperhatikannya, makanya dia mulai berbicara?
"Aku istrimu, Kamu bisa berbagi rasa sakitmu padaku. Jika tidak, itu artinya Kamu tidak membutuhkanku. Maka itu juga berarti bahwa aku ini istri yang tidak becus."
"Inilah diriku yang sebenarnya. Aku melihat diriku sebagai monster. Sebuah kekejian. Menyia-nyiakan hidup yang tidak menghasilkan apa-apa selain menyebarkan kesengsaraan dan rasa sakit."
Walau besaran rasa sakit kami masing-masing berbeda. Namun aku bisa mengerti apa yang Osamu rasakan, karena rasa sakit yang satu tidak bisa dibandingkan dengan rasa sakit yang lainnya. Rasa sakit sekecil apapun tetap akan membuat orang menderita, bahkan jika itu seperti rasa sakit ditusuk jarum infus dan rasa sakit ditusuk pisau, keduanya sama-sama berarti ada luka yang muncul di atas permukaan kulit. Dan hanya orang yang sama-sama menderita saja yang bisa mengerti perasaan satu sama lain. Sakit tetaplah sakit, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Orang yang pengertian tidak akan menghakimi di tempat, melainkan mempertimbangkan pikirannya dengan benar.
"Aku membenci diriku sendiri."
Jadi, merasa bersalah, ya?
"Belladonna... Bagaimana mungkin Kamu bisa mentolerir seseorang yang begitu keji sepertiku? Aku menyakiti orang tanpa berpikir dua kali. Aku tidak menyesali apapun ..."
Kepalanya dengan pasrah dipaksakan bersandar pada jendela bis entah nyaman atau tidak. Helai-helai poni rambut cokelat tuanya yang tebal menutupi kedua matanya. Kuperhatikan baik-baik, sepertinya sudah saatnya untuk potong rambut. Poni yang dekat dengan telinga kuselipkan ke belakang telinga, sementara jendela jiwa yang tersembunyi dari balik poni tengahnya sukses membuat mataku membulat sempurna.
Osamu ... menangis?
"... Aku adalah monster."
Bahkan monster sekalipun memiliki perasaan.
"Aku tidak pantas untuk dicintai."
Orang yang berkata seperti itu sangat berharap untuk dicintai, atau dia tidak sadar seberapa ia dicintai oleh orang lain. Jika demikian, aku harus menonjolkan afeksiku lebih daripada sebelumnya.
"Bagaimana Kamu bisa mencintai seseorang yang mengerikan sepertiku?!" Kata 'mengerikan' membuat napasku tercekat, aku tutup mulutnya yang suka bicara sembarangan dengan tanganku.
Bagaimana aku bisa mencintaimu? Panjang ceritanya, tapi alasan utamanya aku ingin menyaksikan iris matamu yang gelap itu bisa bersinar dengan tulus tanpa adanya dusta ceriamu yang menyertai.
"Saat itu, Kamu bersedia melakukan apa saja untuk menemukan alasan hidup. Setiap hal buruk yang Kamu lakukan di masa lalumu mungkin tidak dapat dimaafkan, tapi... Aku sendiri ingin menyaksikan momen di mana Kamu akhirnya menemukan alasan hidupmu."
Salahkan diriku yang sangat naif. Namun, aku pun berterima kasih pada diriku sendiri. Hatiku tidak pernah salah berintuisi.
"Aku memiliki keyakinan bahwa jika aku memberikan kesempatan kepada orang lain, aku mungkin akan mendapat kesempatan untuk berubah juga. Aku pun membenci diriku sendiri, tapi Kamu membuatku akhirnya menemukan bahwa aku berharga bagi siapapun. Akulah yang memutuskan aku akan jadi apa. Jika aku mempercayaimu, maka aku mempercayai akan ada hal yang baik yang datang padamu."
Laki-laki berpikir menggunakan logikanya. Apalagi Osamu seorang yang jenius. Bukan tidak mungkin kata-kataku yang penuh dengan emosi akan sulit untuk tersampaikan ke akal sehatnya. Akan tetapi, orang selalu berubah. Aku bersyukur bahwa akulah yang memberi cahaya ke sepasang mata indahnya itu. Aku yang membimbingnya merangkul fakta bahwa dunia tidak selamanya buruk. Selama dia mau mencari kebaikan maka keindahan akan pasti ia dapatkan.
Napasnya bergetar lagi, apakah rasa sakit yang dia rasakan lebih sakit dariku? Jika begitu, aku ingin dia membaginya padaku. "Kamu adalah orang yang cantik luar dan dalam, Kamu tahu itu?" Osamu mengangkat tanganku yang tidak pernah ia lepaskan itu dan lalu mencium tanganku—meski terhalang masker. "Sekali lagi, aku minta maaf. Aku menyesal. Aku mohon, cobalah untuk mempercayaiku sekali lagi."
Dia tipe yang tidak peduli untuk unjuk afeksi di hadapan orang-orang, aku sudah terbiasa setelah bertahun-tahun bersamanya. Untungnya tidak ada penumpang ibu-ibu di bis ini.
"Berjanjilah Kamu akan berubah menjadi lebih baik. Kamu bisa mengendalikan kecanduanmu terhadap alkohol, harusnya yang kali ini bisa Kamu lakukan juga, Zaicchan."
Ada janji, maka akan ada imbalan. Ada janji, maka konsekuensi yang akan menanti.
"Dan jika aku mengingkari janji yang baru saja kubuat... Maka Kamu memiliki kuasa penuh untuk membuatku jera kembali."
"Aku tidak butuh untuk melakukan apapun. Aku yakin Kamu bisa menepati janjimu."
Satu-satunya hukuman untuk Osamu adalah melihatku menangis, sih.
"Tetapi jika aku kembali ke diriku yang lama. Jika aku menjadi seseorang yang tidak pantas untuk dibanggakan lagi... Apakah Kamu dapat meninggalkanku jika itu yang terjadi? Jika aku melangkah terlalu jauh dan kehilangan diriku lagi... Bisakah Kamu meninggalkanku?"
Ada beberapa kali aku terbangun saat dini hari karena perutku sangat berisik—sakit perut. Saat aku membuka mataku, Osamu tidak tidur melainkan hanya berbaring sambil menatapku dengan mata yang mengisyaratkan sendu. Saat aku tanya kenapa tidak tidur, dia hanya menepuk-nepuk kepalaku saja. Osamu memikirkan keresahannya tentang diriku, sebab manusia pasti akan meninggal suatu saat nanti. Yang jelas, aku tidak akan meninggalkannya dengan sengaja.
"Jika seperti itu jadinya maka akulah yang ingkar janji karena meninggalkanmu saat keadaanmu berada di titik terendah. Apa gunanya setelah aku bersumpah untuk terus bersamamu sehidup semati?"
"Ah... Betapa beruntungnya aku karena memiliki seseorang yang akan tetap berada di sisiku dalam suka maupun duka, apa pun yang terjadi." Akhirnya sebulir air mata mengalir dari ekor matanya. Aku tidak akan membiarkan emosi paling murni itu terjatuh sia-sia ke tanah, aku tangkap air mata Osamu dengan jari telunjukku.
"Maka dari itu, jangan lupa untuk bergantung padaku."
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Aku akan berada di sisimu selama Kamu membutuhkanku."
Aku ... sangat membutuhkan keberadaannya. Tidak ada satu hari pun aku bisa berhenti memikirkannya.
Sepuluh menit kemudian, bis sampai di halte terdekat dengan PAUD. Aku dan Osamu segera turun dari bis, kami langsung berjalan sesegera mungkin untuk tidak membuat Hide menunggu terlalu lama. Akan tetapi itulah yang aku khawatirkan. Bagaimana aku akan menghadapi Hide? Apakah Osamu bisa mengatasinya meski ia sedang sakit? Aku sebisa mungkin tidak ingin melukai hati kecil Hide.
"Aku ingin minta tolong."
"Tentu, katakan saja."
"Aku merasa tidak sanggup untuk menghadapi Hide. Bisakah Kamu saja yang melakukannya?"
"Baiklah, aku mengerti. Tapi, Shaa-chan, aku tidak merasa bahwa Hide menangis itu karena dia takut padamu."
"Apa maksudmu?"
"Uhuk, uhuk! Ah... Butuh pembuktian langsung untuk menjelaskannya, tapi Kamu harus percaya padaku bahwa Hide itu lebih mirip seperti ibunya."
"... Maksudnya?"
"Hide adalah anak dengan kemampuan perasa tinggi—dengan kata lain sensitif. Dia sama sepertimu. Lalu sepertinya aku tahu penyebab dari bagaimana kemampuan supernaturalnya bisa terpicu."
"Kenapa?"
"Karena Hide suka melamun. Sudah kubilang, anak itu lebih mirip dirimu daripada aku."
Orang benar adanya, anak adalah peniru ulung.
Hide terkesan lebih nyaman dan lepas bersama Osamu karena kemampuan yang sebelumnya tidak kami ketahui ini bisa dinetralkan oleh sentuhan Osamu. Usianya tidak menutup kemungkinan ia sadar bahwa kemampuan yang boleh jadi tidak bisa ia kendalikan itu 'menghilang' ketika dia bersama dengan ayahnya, maka dari itu ia lebih antusias kalau diajak bermain oleh Osamu dibanding saat bersamaku. Kalau begini alasan yang benar, aku tidak punya alasan untuk cemburu, toh Hide peka dia lebih nyaman bersama ayahnya. Ah, aku memalukan sekali.
"Lihat, anak tampan satu-satunya tidak sabar untuk pulang. Bagaimana kalah besok kita bawakan bingkisan sebagai permintaan maaf?"
Sedalam apa aku melamun lagi? Tiba-tiba saja sudah masuk wilayah lapangan PAUD. Seperti yang dikatakan Osamu, dari pintu PAUD yang terbuat dari kaca itu kami bisa melihat Hide duduk menunggu di kursi seraya menggoyang-goyangkan kakinya kala ia didampingi oleh salah satu gurunya. Osamu juga ada benarnya, kami akan bawakan bingkisan sebagai permintaan maaf untuk guru PAUD itu.
"Hm... Kita berikan bersama-sama. Artinya tunggu Kamu sembuh dulu."
Goyangan kakinya berhenti, kepalanya menoleh ke arah kami. Suaranya teredam oleh pintu kaca tapi aku bisa tahu Hide menyerukan apa. "Papa! Mama!"
Guru PAUD itu menyadari kedatangan kami dengan cepat. Dia segera membuka pintu kaca, bersamaan dengan Hide yang berlari sekencang mungkin mengarah kepada ayahnya, lalu melompat sembarangan ke pelukan Osamu. Hampir saja mereka berdua terjatuh ke tanah, untungnya Osamu bisa menjaga keseimbangannya dengan baik. Sementara ayah dan anak itu saling berpelukan, aku menghampiri guru PAUD yang tampak panik karena Hide berlari tanpa sempat ia hentikan. Aku jadi tidak enak padanya.
Menjadi guru itu sangat sulit, ya...
"Terima kasih banyak sudah menjaga Hide," kataku. Aku membungkukkan tubuhku 90 derajat, sama seperti saat tadi aku mengantar Hide.
"Tidak masalah. Segera setelah panggilan berakhir tadi, Hide langsung tenang. Maaf jika saya lancang, apakah tadi Anda baik-baik saja?" Tadi tidak, sekarang sudah terkendali.
"Kami baik-baik saja untuk sekarang. Berkatmu yang telah menjaga Hide."
"Tidak, tidak. Hide bisa langsung pulang jika kalian menginginkannya. Jika tidak ada lagi yang Anda perlukan, saya izin permisi menyusul anak-anak lain," ucapnya saat ia memberikan tas sekolah Hide padaku.
Aku menerimanya dengan kedua tanganku bersama-sama. "Silakan, kami selaku orang tua Hide sangat berterima kasih."
"Arigatou gozaimasu, sensei!" Osamu bersama Hide menundukkan kepala sambil mengucapkan terima kasih bersama-sama. Setelah itu, bu guru tersenyum kemudian memutar badannya lalu masuk kembali ke dalam sekolah.
"Ayo pulang," kata Hide.
Aku perhatikan Osamu lekat-lekat tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Osamu pun balik menatap balas dengan tatapan yang mengisyaratkan permohonan kepercayaan. Kalau sudah begini, artinya wajahku sudah terlalu berkerut karena kelewat khawatir. Aku coba tenangkan diriku dengan berjalan di samping mereka sambil menenteng tas Hide yang mungil. Kuperhatikan terus mereka berdua, Osamu sedang dalam ancang-ancang memulai percakapan kembali.
"Hide pasti haus setelah menangis. Sudah minum? Sudah cuci muka?"
"B-belum..." Hide menggeleng dengan lemah, rupanya napas sesenggukannya masihlah tersisa.
Hide menatap langsung ke arahku dengan mata yang sembab dan pipi yang terlihat lengket karena dibasahi air matanya sendiri. Irisnya berkilau, seolah-olah aku sedang menatap sebuah mawar hitam yang terbuat dari kaca. Sinarnya membuat siapa saja mematung, tapi jauh di dalamnya begitu rapuh. Osamu bilang kalau iris mataku seperti warna onyx odyssey hellebore—entah bunga macam apa itu dan dari mana dia tahu—lalu rambutku yang bergelombang bagai bunga tersebut yang memiliki kelopak berlapis-lapis. Sementara itu, mata Hide adalah gabungan dari kami berdua.
Mawar hitam lebih ke warna merah yang sangat gelap.
"Aku mau digendong Mama." Benar, mata itu membuatku terkejut.
"Kenapa tidak dengan Papa saja?" tanyaku.
"Karena Papa sedang sakit, Papa harus istirahat. Kalau tidak, nanti Mama menangis lagi. Papa jangan membuat Mama menangis, ya? Mama sangat sayang sama Papa. Hide juga sayang sama Papa. Jadi Papa jangan sakit." Hide menjambak poni depan Osamu dengan tangan kecilnya. Osamu hanya meringis main-main di hadapan Hide.
"Maafkan Papa karena membuat kalian berdua khawatir. Maafkan aku..." Osamu merapikan rambut Hide, menyelipkannya di belakang telinga.
Ketika mereka sudah berdamai, inilah saatnya bagiku untuk bertanya. "Apakah Hide menangis karena takut dengan Mama? Karena Mama sudah memarahi Papa jadi Hide merasa Mama akan ikut memarahi Hide juga, ya? Apa Mama menyeramkan? Maafkan Mama, Kamu pasti terkejut."
Hide diam sejenak, dia tengah berpikir. Aku berasumsi bahwa di momen seperti ini adalah waktu dari kemampuannya Hide aktif. Tapi Hide aman karena dia berada dalam pelukan Osamu.
Setelah sekiranya ia menemukan jawabannya, dia menggeleng tidak setuju. "Aku tidak suka bertengkar, karena di sini sakit." Hide menepuk-nepuk dadanya untuk menunjukkan bahwa sumber tangis histerisnya adalah dari hati nuraninya.
"Hide punya hati yang lembut dan cinta damai. Empatimu tinggi," tambah Osamu.
"Empati?"
Akan ada waktunya baginya agar bisa memahaminya.
"Nanti dijelaskan kalau sudah sampai ke rumah. Nah, ayo beli buah untuk Papa!"
"Oh iya!"
»»—⍟—««
Tiga hari kemudian, Osamu sembuh. Setelah sembuh itu aku paksa dia untuk mengambil jatah cutinya. Setelah kejadian pada hari itu, aku merasa bersalah karena sudah memarahinya dan membuat Hide menangis. Jadi, piknik kali ini adalah sebagai rasa penyesalanku. Bentuk minta maafku adalah daging king crab asli yang sudah aku keluarkan dari kulit kakinya yang amat keras—tidak banyak yang tersisa di tempat bekal karena aku, Osamu, bahkan Hide terlalu banyak mencicipi saat sedang persiapan di rumah. Akhirnya kami mampir ke konbini lalu membeli makanan siap jadi dari sana.
Hide tertawa girang bersama dengan pistol balon sabunnya yang mengeluarkan banyak balon ringan. Aku dan Osamu tetap duduk di tikar sambil mengawasi Hide tentunya. Setelah Hide puas bermain dengan pistol balonnya, ia memberikan pistol itu kepadaku. Kemudian ia ajak Osamu untuk mengumpulkan dedaunan kering yang berjatuhan. Hanya beberapa saat wujud mereka pergi dari penglihatanku, tidak sampai sepuluh menit. Begitu Osamu kembali, rambutnya sudah carut marut dipasangi dedaunan beragam warna serta ranting kering yang dengan sengaja diselipkan oleh Hide.
Rambutnya Papa seperti sarang buruk, begitu katanya sambil tertawa.
Sekarang aku sibuk membersihkan rambutnya dari serpihan daun dan ranting kering yang sudah terjebak di dalam rambut lebatnya—memang mirip seperti akar pohon. Osamu berbaring di atas pahaku sembari membaca buku puisi milikku, sementara itu Hide sibuk memilah-milah daun dan ranting yang sudah dengan sengaja dia letakkan di rambut ayahnya.
"Apa yang Hide rasakan, ya?"
"Hei, anak itu lebih peka dari yang kita sadari."
"Tidakkah ini waktu yang cukup untuk memberi Hide teman?"
"Tidak menunggu sampai selisih enam tahun saja? Lalu, apakah kira-kira kita sudah siap untuk kelak memberi perhatian keduanya dengan sama rata?"
"Aku akan selalu bersama denganmu." Tanganku yang sibuk mencari kotoran di rambutnya itu dihentikannya. Ia mencium telapak tangan dan punggung tanganku bolak balik. "Bagaimana kalau aku coba tanyakan saja pada anaknya langsung?"
Osamu sudah mau membuka mulutnya untuk memanggil Hide, rupa-rupanya anak itu sudah lebih dulu menghampiri kami sambil membawa tiga helai daun momiji*.
"Momiji hijau untuk Mama dan momiji cokelat untuk Papa. Kalau aku momiji emas!" Masing-masing satu daun dengan warna yang berbeda-beda untuk kami semua.
Dari sini aku bisa tahu kalau Hide teliti. Hide memilah daun yang masih sempurna, tak ada bekas atau noda yang terlalu mengganggu. Terutama daun momiji kuning yang dibawa olehnya. Daun itu benar-benar sempurna, meski lagi-lagi aku tidak tahu bagaimana mereka bisa menemukannya.
Osamu beranjak dari merebahkan kepalanya pada pahaku. "Emas itu membawa keberuntungan, nanti akan Papa simpan semua ke buku koleksi, oke?"
"Yey!"
Aku tatap mata Osamu, kemudian dia melirik dan memberi anggukan kecil. "Omong-omong nih, Hide. Mama dan Papa mau tanya, nih."
"Ya?"
"Hide mau tidak kalau punya adik?"
⋇⋆✦⋆⋇
Akhirnya kelarrr🏳🏳🏳🏳🏳
15.535 word🙏🏻
Dikit lagi jadi novel dah tuh, tanggung amat //ggg//
Jadi, bagaimana menurut kalian? Beda dari yang lain, kan~
Perkiraan awal bakalan 7000 word karena buat dialognya aja bisa 3500 word.
Eh... Kok jadi dua kali lipat...
Ehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top