‧₊˚ ੈ✩ Nepenthe ੈ✩‧₊˚

ʚ♡ɞ

Ditemani segelas kopi hangat, sebuah novel yang cukup tebal, juga suasana malam kota yang diguyur hujan, gadis itu kian tenggelam dalam pikirannya. Gadis yang seharusnya mengumpulkan informasi untuk kasus terkini yang ditugaskan pada agensi detektif itu justru bermalas-malasan di kafe langganannya. Sepertinya, sikap buruk salah satu anggota agensi telah mempengaruhinya.

Setelah lewat kurang lebih tiga puluh lembar novel, gadis itu menengguk habis kopinya. Ia berdiri dari duduknya, membawa novel, lalu membayar untuk tiga cangkir kopi yang telah ia habiskan.

Gadis itu—Sharon membuka payungnya dan mulai berjalan dengan tujuan pulang ke asrama yang telah disediakan agensi. Tak jauh dari blok di mana kafe langganannya berdiri, Sharon menemukan seorang pria tak sadarkan diri.

Segera Sharon menghampiri pria yang tampak familiar di matanya.


Halu_Project's event • Sick

Nepenthe || A Yumeship

Nakahara Chuuya © Kafka Asagiri 'n Sango Harukawa

Plot © DeadChuu

Total words : 1284

Enjoy~

[16 Mei 2023,
Shana]


Pria dengan rambut seindah cahaya mentari di sore hari, juga netra setenang dan sedalam samudra perlahan meraih kesadarannya. Kelopak mata terbuka perlahan. Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh, bersamaan dengan bising pikiran yang kembali menyerbu.

Nakahara Chuuya terdiam. Ia enggan mempercayai kondisinya saat ini. Terbaring di tempat yang cukup asing, berbalut perban, ditemani kepala yang berputar—tampaknya setara dengan kecepatan perputaran bumi, 1.670 km/jam, atau mungkin Chuuya hanya melebih-lebihkannya saja.

Ia tak dapat menggerakkan tubuhnya. Barang kali, jika ia bersikeras, tubuh ringkihnya akan pecah dan segera menjadi debu di detik berikutnya. Yang dapat ia gerakkan hanyalah kedua bola matanya, yang terbatas geraknya.

"Sudah siuman?"

Indera pendengaran menangkap suara itu. Syukurlah Chuuya kenal betul dengan Si Pemilik Suara. Sayangnya, lidahnya kelu.

"Serius, deh. Apa yang terjadi padamu, sih?" Ia bertanya. Kesal, bercampur sedih.

Gadis itu tempatkan handuk kecil yang telah ia basahi di dalam bejana sedang di dahi Chuuya. Ia tunggu beberapa saat, seraya terus memarahi sang pria.

"Maaf ... Sharon."

Sharon mendengkus. "Jangan katakan maaf padaku. Katakan pada dirimu sendiri."

"Maaf, Chuuya," ujarnya, terbata.

"Begitu, dong ...."

Kembali Sharon celupkan handuk kecil tadi, kemudian ia kompres dahi Chuuya.

"Aku tahu, pacarku yang sok kuat ini tidak akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, tolong, setidaknya, sebisa mungkin, hindari luka, dalam apa pun misi yang diberikan padamu."

Kekehan serak terdengar dari lawan bicaranya. "Apa kau mengkhawatirkanku?"

"Tentu saja, bodoh!" Sharon raih tangan Chuuya, lalu meremasnya pelan. "Jika kau bertanya seperti itu lagi, aku akan mematahkan jarimu satu persatu."

Kembali tergelak Chuuya dibuatnya. "Memangnya, bisa?"

"Enggak. Soalnya, aku sayang Chuuya."

Bungkam. Perasaan bersalah yang seharusnya tak bertuan menyebar, membesar, dan membendung dalam diri Chuuya.

"Maaf."

"Untuk?"

Pria itu terdiam sejenak, seolah pita suara lupa akan fungsinya. Setelah lewat lima menit, barulah ia menjawab.

"Datang kepadamu, dengan membawa luka ini, merepotkanmu."

"Tak apa. Aku suka merawat orang idiot, kok," balasnya, mengarah pada satire.

Chuuya menghela napas pelan. "Aku benar-benar minta maaf, Sharon."

"Sudah kubilang, tidak apa-apa, bukan? Memangnya, kau tuli?"

Sudahlah sekujur tubuhnya sakit, ditambah pula perilaku menyebalkan pacarnya saat sedang marah. Chuuya dibuat tambah pusing olehnya.

"Pokoknya, untuk satu minggu ke depan, kau tidak boleh beranjak dari rumah ini."

"Apa itu hukuman untukku?"

"Itu hadiah."

Sharon terdiam dan kembali mengompres dahi Chuuya, sedangkan Si Pasien sibuk menatap perawatnya.

"Kalau kau bersikeras, kita putus."

Chuuya tersentak. "Jangan bersikap seperti itu padaku, sayang."

"Habisnya, Chuuya selalu keras kepala, tidak mau dirawat, selalu sok kuat—Chuuya memang sudah kuat, sih—tidak perhatian pada diri sendiri." Ia menghela napas berat. "Aku jadi kasihan pada istrimu, nantinya."

"Sharon, kau 'kan calon istriku."

"Tidak mau. Kutolak."

"Serius?"

"Serius."

"Benar-benar serius?"

"Serius!"

"Bagaimana kalau aku melamarmu, minggu depan?"

"Kutolak!"

Chuuya tak tahan lagi. Ia teramat gemas dengan sikap pacarnya, mana kala gadis itu sedang marah. Si pria pun tertawa geli, tak mempedulikan rasa sakit yang bersarang dalam dirinya.

"Jangan tertawa! Lukamu bisa terbuka lagi, nanti!"

Ia tak menghiraukan teguran Sharon. Chuuya tetap tertawa. Sampai akhirnya, Sharon terpaksa untuk membungkam mulut Chuuya menggunakan handuk kecil yang ia gunakan untuk mengompres Si Pasien.

"Sebaiknya, kau tidur lagi saja, Chuuya."

"Bagaimana kalau kutolak perintahmu itu?"

"Akan kucubit pipimu sampai kulitmu memerah."

"Coba saja."

Sharon menepuk dahinya enteng. Ia hela napasnya pelan seraya mengusap lembut punggung tangan Chuuya menggunakan ibu jarinya.

"Sudahlah patah tulang, ditambah demam, dan sekarang kau malah menolak untuk beristirahat. Untunglah, patah tulangmu bukan fraktura terbuka."

"Jangan mengkhawatirkanku."

"Terserahlah."

"Ditemani seseorang saat sedang sakit ... terasa menyenangkan," gumamnya.

"Benar, kan? Seolah rasa sakitmu menghilang total, bukan?"

"Iya."

"Mau kucium agar lukanya sembuh lebih cepat?"

Chuuya tersenyum kecil. "Boleh."

Sharon kecup singkat pelipis Chuuya, lalu turun sedikit untuk mengecup pipinya.

"Terima kasih, sayang."

"Beristirahatlah, Chuuya. Bahkan, untuk ukuran manusia sepertimu, kau tetap memerlukan istirahat."

"Apa maksudmu ukuran manusia sepertiku?"

"Pendek."

"Kau lebih pendek dariku!"

"Sembilan centi. Perbedaan kita."

"Tetap pendek."

"Terserah kau saja, deh."

Chuuya mendengkus. Ia pejamkan matanya, berusaha untuk tertidur. Lewat beberapa saat, sang mafioso pun terlelap.

Senyum kecil terlukis di wajah sang gadis. Ia perhatikan lekat-lekat wajah tenang kekasihnya.

"Mimpikanlah hal-hal yang indah, lalu jangan terlalu cepat pulihnya, Chuuya."

Gadis itu angkat perlahan tangan kanan Chuuya. Ia tempatkan tangan kekasihnya di atas kepalanya, membuatnya seakan tengah membelainya.

"Walau Chuuya tak dapat bermimpi, tetaplah mimpikan hal yang indah, selayaknya manusia."

Hari penuh kejutan pun berakhir.

ʚ♡ɞ

Bonus~!

"Boleh request hidangan harian, gak, Ron?"

"Kamu makan apa yang aku makan. Jadi, enggak."

"Tapi, aku mau makan—"

"No. No wine allowed in my kitchen."

"Tapi, sayangku—"

"Orang sakit diam saja."

"Tap—"

"Enggak, Chuuya."

Chuuya menghela napas. Ia akui kekalahannya.

ʚ♡ɞ

Special Bonus~!

Selepas kedua netra memastikan dengan benar, Sharon membopong Chuuya yang tak sadarkan diri di tengah derasnya hujan menuju rumah lamanya. Segera ia baringkan Chuuya di atas lantai yang beralaskan karpet. Tak lupa pula ia tanggalkan pakaian pria tersebut, setidaknya sampai bagian yang tak terlalu basah.

Panik. Hanya itu. Murni.

Kedua netra merah muda berkeliling sepanjang ruang lamanya, mencari sesuatu yang tak ada di sana. Peralatan medis, setidaknya yang paling dasar. Kotak P3K.

"Tunggu sebentar, Chuuya."

Ia kembali ke luar dari kediaman hangat itu. Menembus hujan dengan cepat menuju klinik terdekat dengan tujuan membeli gips, perban, juga beberapa alat medis lainnya. Tak ia pedulikan luka pada lututnya, akibat terjatuh beberapa kali.

Selang beberapa saat, Sharon kembali. Segera ia menatih Chuuya ke kamar lamanya, membaringkan pria itu ke atas ranjangnya. Sharon bersihkan luka di bagian tulang kering sebelah kanan, juga tangan kirinya.

"Kaki kanannya ... patah."

Napasnya tersendat. Ia gigit bibir bawahnya, kencang, hingga berdarah. Tak pernah ia kira, bahwa pria yang ia anggap kuat selama ini akan terluka di hadapannya.

Sharon tampar pipinya kencang, guna menyadarkan diri. Gadis itu pun lanjut membersihkan dan membalut luka Chuuya.

Kurang lebih empat puluh lima menit, waktu yang dibutuhkan Sharon untuk sepenuhnya menutup luka Chuuya dan memasangkan gips pada kakinya. Meski wajahnya belum tenang, tetapi napasnya sudah mulai teratur, begitulah pikir Sharon.

Gadis itu menghela napas pelan. Usaha sebesar-sebarnya ia ke luarkan hanya untuk menahan air mata yang sedikit lagi akan membanjiri pipinya. Sayangnya, usaha itu gagal.

Kedua tangan menggenggam erat tangan kanan sang pasien, sementara kedua netra menatap sedih padanya.

"Begitu, ya?" Sharon tersenyum sepat. "Jangan paksakan dirimu, kalau memang tahu kau sedang sakit, Chuuya. Tiba-tiba pingsan di tengah misi, bukanlah hal menyenangkan, terutama bagimu. Keras kepala."

Ia dekatkan tangan sang pria pada bibirnya. Mengecupnya berulang kali dengan bibir gemetar.

"Cepatlah siuman."

ʚ♡ɞ

End~!

Pojok berbagi

• Nepenthe — something that can make you forget grief or suffering.

ShuuYa's lil note :

• Sharon enggan mengekspresikan rasa sedihnya di hadapan Chuuya. Menurutnya, hal itu akan menimbulkan rasa bersalah bagi Chuuya.

• Chuuya bukanlah pembohong, tetapi, jika diperlukan, ia akan berbohong. Sharon tahu kapan pasangannya berbohong (terima kasih pada ability-nya), tapi dia akan pura-pura tidak tahu (sampai Chuuya ngaku sendiri).

• Setiap kali Chuuya sakit atau terluka, mau ringan atau berat, Sharon akan selalu nangisin kondisi Chuuya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top