‧₊˚ ੈ✩ Hope of Faith ੈ✩‧₊˚
Hope of Faith
WARN! OOC GARIS KERAS!
𝐂𝐑𝐄𝐃𝐈𝐓𝐒;
≛︴▻Kim Dokja ©️ Omniscient Reader's Viewpoints; SingNSong
≛︴▻Plot original ©️ -ayrraya
𝄞 𝐒𝐎𝐍𝐆'𝐒;
♬ Midnight Rain ©️ Taylor Swift܀
♫ Muak ©️ Aruma܀
♬ We Used to Be so Close ©️ Jay-Jay Johanson܀
♫ STAY ©️ Justin Bieber & KID LAROI܀
♬ The One That Got Away ©️ Katy Perry܀
♫ Tak ingin Usai ©️ Keisya Levronka܀
—★—
"Jaga diri baik-baik, ya? Jangan sampai sakit, jangan kecapekan."
Gadis yang dinasehati itu terkekeh geli, "Apasih, Kak? Kayak pergi jauh aja. Aku sama kamu itu hanya pisah sekolah, bukan dunia."
"Tetap aja namanya pisah, anak kecil," sanggah lelaki bersurai hitam itu sambil menepuk-nepuk kepala sang gadis dengan sayang.
Sang gadis menyentuh tangan yang ada di atas kepalanya dengan menyunggingkan senyum tipis, "Iya, cerewet, aku akan kangen banget sama Kakak. Aku boleh nelfon kamu kalau kangen, 'kan?"
Lelaki itu tersenyum tipis dan mengusap pipi sang gadis dengan ibu jarinya, "Kenapa tidak? Telfon aku kapanpun kamu mau. Hati-hati, ya. Jaga dirimu, titipkan salam untuk Ayah dari aku, ya?"
"Pasti!" Gadis itu terkekeh geli, "Jaga dirimu juga, Kak. Selamat menempuh kehidupan SMA! Masa-masa terindah~"
"Kehidupan SMA-ku malah sepertinya akan hampa karena kekurangan dirimu, Ashra."
Gadis itu menggeleng pelan dengan senyuman tertahan, "Kak Dokja, sejak kapan bisa ngegombal? Nanti jangan gombalin gadis lain, lho, ya~" godanya menaik-turunkan alis, mendapatkan sentilan pelan di dahinya.
"You're the only one," Dokja tersenyum kecil, "Kamu tahu itu."
"Hoo~ yeah? I slightly~ doubt it??" Ashra tertawa kecil melihat raut wajah kesal dari kekasihnya itu, "Bercanda~ I trust you, deh."
"Ya. Kepercayaan itu pondasi paling penting dalam hubungan, bukan?"
—★—
Sorakan riang terdengar dari arah sekumpulan gadis di pinggir lapangan basket. Para gadis yang masih di dalam kelas berbondong-bondong keluar untuk menyaksikan permainan bola basket yang dimainkan oleh para lelaki dari kelas XII IPS-1 dan XII IPS-3.
Siapa sih yang tidak ingin melihat para lelaki tampan yang sedang beradu skill sekalian mencuci mata?
"Kak Kim Dokja walaupun tubuhnya terbilang kecil, lincah banget, ya!"
"Selain itu wajahnya juga ganteng banget, 'kan?! Sayang banget tidak punya pacar, aku ikhlas lahir batin buat jadi pacarnya deh."
"Paling tidak lihat anggota circle-nya sih, kentang kayak kita bagaimana bisa masuk di antara mereka?"
"Woi! Sudah selesai ghibahin orang?"
Suara ketus dari belakang para gadis itu membuat mereka sontak menoleh, mendapati seorang gadis bersurai hitam sebahu menatap mereka dengan sinis.
Han Sooyoung namanya, bersedekap dada sambil mengangkat dagunya tinggi, "Dokja tidak akan mau tuh sama kalian. Berangan-angan pun percuma," ujarnya tak suka.
Gadis-gadis itu berbisik-bisik ketika Sooyoung meninggalkan mereka, walaupun dia jelas tahu apa yang para penggosip itu bicarakan.
—★—
"Kau tidak ingin ketemu sama pacarmu, 'kah?" Sooyoung bertanya sambil memakan cemilannya dengan kaki yang naik ke atas meja, "Woi!!"
Kim Dokja menoleh dengan kesal, "Bisa diam dulu tidak, Sooyoung?!" Lelaki itu menekan tombol mute pada panggilan telepon yang tengah tersambung padanya, "Aku lagi sibuk, nanti aja," cetusnya lalu berlalu dari ruangan yang terisi oleh Han Sooyoung dan Yoo Joonghyuk itu.
Sooyoung mendecak kesal sambil menoleh pada Joonghyuk, "Oi, sunfish! Temanmu itu, sudah gadis ke-berapa yang ditelpon minggu ini?!"
Yoo Joonghyuk menoleh dengan wajah tertekan dan menjawab malas, "Kamu bertanya padaku? Aku kira kamu tidak menganggapku ada."
Perempatan imajiner munculnya seketika di dahi gadis itu, "Brengsek!" makinya spontan membanting bantal sofa ke wajah Yoo Joonghyuk, "Jelas aku bertanya padamu! Siapa lagi yang ada di ruangan ini selain kita berdua?!"
"Empat, kurasa."
Han Sooyoung menatap datar lelaki sunfish itu sambil mendesah keras, "Cih, setia apanya itu. Masih ngerespon gadis lain ketika dia sudah punya kekasih?!"
"Itu namanya friendly."
"BAJINGAN! KAU MENDUKUNG CUMI ITU??"
Yoo Joonghyuk menatap datar gadis brutal itu dengan wajah penuh chiki yang baru saja dilemparkan Sooyoung lantaran kesal.
"Tidak."
Sooyoung terdiam sejenak dan mendengus, "Lelah sekali mengingatkannya untuk menjaga hati!" desisnya tak suka sambil mengambil satu camilan lain yang ada di atas meja. "Kasihan Ashra, dia dari bulan kemarin mengajak ketemuan sampai-sampai menghubungi aku buat nanya ke Dokja, dia bisa atau tidak."
Joonghyuk seketika mengubah raut wajahnya menjadi sedikit tenang dan membersihkan wajahnya dengan tissue, "Menurutku suruh aja dia kesini sekali-kali, dia yang paling berhak memarahi Kim Dokja untuk masalah seperti ini," ujarnya tenang malah membuat Sooyoung kembali menatapnya dengan amarah menggebu-gebu.
"Hei, brengsek! Dia kesini terus tahu! Kau sibuk OSIS, Dokja ngurusin klub jurnalis-nya! Gimana bisa ketemu kalau begitu??!" hardik Sooyoung tajam pada Joonghyuk. "Lagipula, dia datang kesini juga nyari waktu senggang! Ini camilan aja bukan aku yang beli, tapi dia!"
Joonghyuk menghela nafas sabar menghadapi amarah Sooyoung yang mengomel tanpa henti itu, "Kalau begitu, suruh Dokja–"
"Kau pikir dia mau?!" Sooyoung dengan cepat menoleh dan memelototi Joonghyuk yang kembali mengunci bibirnya dengan tatapan datar. Gadis bersurai hitam sebahu itu berdecak sebal dan mengipasi wajahnya yang memerah lantaran emosi, "Kau lihat tadi? Dia–"
Ting!
Ucapan Sooyoung terpotong dengan notifikasi ponselnya, dengan kemalasan yang tinggi gadis itu menggapai ponsel miliknya yang tergeletak di sebelahnya. Tetapi auranya berubah cerah ketika melihat si pengirim pesan dan pesan yang disampaikan padanya.
Sooyoung tertawa heboh sambil memukul lengan Joonghyuk yang telah memasang wajah tertekan dan mata tajam.
"Ahaha~ siap deh, Bocah Cilikku!"
"Kamu dengannya hanya berbeda 4 cm."
BRAK!
"BRENGSEK, JANGAN DIINGATKAN DONG!"
—★—
"Kamu tidak memberitahu dia, 'kan, Sooyoung?"
Gadis bersurai hitam sebahu itu menggeleng dengan wajah bangga, "Enggak, dong~ Tenang aja mah kalau sama aku!" Sooyoung mendengus sambil merangkul hangat seorang gadis bersurai hitam sepunggung yang kini dikuncir kuda disertai netra biru bagaikan samudera.
Gadis bernetra biru laut itu menghela nafas lega sambil mengusap punggung tangan Sooyoung yang ada di bahunya, "Tapi kenapa kamu maksa banget buat aku pindah ke sini? Ayah ngomel dulu baru ngizinin, katanya makin jauh kalo sekolah di sini ... Tapi ya, karena ada Kak Dokja aku dibolehin," jelasnya panjang lebar.
Sooyoung tertawa lepas, "Ashra~ maaf deh hehe..!" Gadis itu sedikit tersipu dengan usapan Ashra pada punggung tangannya dan tersenyum penuh makna, "Kamu tuh harus tahu something-something yang ada! Dan ...." Gadis bersurai hitam sebahu itu berhenti berjalan dan berbalik lalu memegangi bahu si netra biru.
"Jangan temui Kim Dokja dulu untuk sekarang!"
"Hah?" Ashra mengerjapkan matanya berkali-kali, mengira dia salah dengar.
"Pokoknya jangan! Kamu tahu sendiri nanti!"
"O-oke??"
—★—
"Aku tidak boleh keluar buat lihat-lihat klub, begitu?" Dahi Ashra mengernyit halus dengan kesal, "Sooyoung! Aku disuruh buat cepat memilih klub! Kenapa tidak membiarkan aku buat lihat-lihat? Aku 'kan mau secepatnya selesai!" omelnya dengan nada kesal.
Ashra menghela nafas sabar ketika melihat Sooyoung dengan santai mengorek telinganya, "Aku sudah tidak menemui Kak Dokja dari kemarin, apa itu masih kurang cukup buat kamu?" tanyanya lembut, dia harus ekstra sabar dengan perangai sahabatnya yang satu ini.
"Kim Dokja itu salah satu ketua klub di sini."
"Makin bagus dong!" Wajah Ashra seketika cerah, "Klub apa? Siapa tahu aku tertarik!"
Sooyoung seketika mendelik, "Jangan berpikiran untuk menemuinya dalam area sekolah ini, Ashra!" Ia mendekati Ashra lalu mengguncang tubuh gadis itu dengan brutal, "Ingat, 'kan?!"
"Sooyoung jari kamu bekas telinga, IHHH!!!"
Gadis itu seketika melepaskan genggamannya di bahu Ashra dan mengedihkan bahu tak acuh, "Tidak kotor, kok," ia menyengir lebar.
"Tapi serius," Sooyoung menjeda dan melirik area kelas yang sepi karena jam istirahat, "Jam segini lagi rawan, kamu mau lihat yang aku katakan kemarin?"
"Hah?" Dahi Ashra terlipat kesal dengan matanya yang memicing, "Sooyoung, walaupun aku itu juga penulis kayak kamu, tidak semua metafora bisa aku mengerti," dengusnya.
"Kalau begitu, mau lihat langsung?"
Kini wajah Ashra seketika bingung ketika melihat raut serius Sooyoung, gadis bernetra biru laut itu meneguk ludahnya dengan ragu, takut sekali dia kalau Sooyoung sudah dalam mode serius ini. Gadis itu kemudian mengangguk perlahan, berusaha memperbaiki raut wajahnya yang kaku menjadi tenang dengan menghela nafas panjang.
"Okay. Daripada aku mati penasaran lebih baik aku lihat," ujarnya bergidik.
"Ayo kalau begitu, jangan shock ya." Sooyoung berdiri dan mengulurkan tangannya dengan cengiran khas gadis itu, "Gandeng aku dong, Ashra!"
Ashra terkekeh pelan walaupun tak mengerti arti kata-kata yang Sooyoung lontarkan, dan menerima uluran tangan itu, "Dengan senang hati."
Sooyoung tertawa lebar dan menarik gadis bernetra biru laut itu keluar dari kelas mereka, memeluk lengan gadis yang lebih pendek darinya dengan hati riang.
"Sambil ke kantin boleh, tidak? Aku mau lihat menu disini," ujar Ashra sembari mengelus kepala Sooyoung yang bersandar di bahunya.
Gadis yang ditanya sejenak terdiam dan berpikir, "Yah ... Boleh kok. Diego tadi ngirim pesan, kamu belum sarapan, ya?"
Seketika Ashra terkekeh canggung, "Iya ... Karena kebiasaan datang agak telat ke sekolah lama, jadinya kaget gitu buat bangun lebih awal. Ujung-ujungnya jadi lupa sarapan, padahal Ibu sudah mengingatkan ..." Gadis itu tersenyum kaku, "Aku yakin pulang nanti, Ibu akan mengomeli aku ...."
Sooyoung tertawa sambil menepuk-nepuk pelan punggung tangan yang ada di kepalanya, "Makanya, jangan pelupa. Tahu-tahu kamu tidak mengingatku nantinya," candanya mendapat pukulan sayang dari tangan yang ia pukul pelan, "KENAPA DIPUKUL AKUNYA??"
Perempatan imajiner nampak di pipi Ashra yang tengah tersenyum manis, "Do'anya yang bagus dong, kenapa tidak sekalian aku amnesia saja?!"
"Aku 'kan hanya bercanda!!"
"Bercandamu bisa kutanggapin dengan serius!" sanggah Ashra memelototi gadis yang sedikit lebih tinggi darinya itu.
Perjalanan mereka ke kantin diiringi perdebatan kecil hingga akhirnya mereka saling tatap sejenak, hingga tawa kecil Ashra dan suara tawa Sooyoung terdengar. Melihat pintu masuk kantin yang sudah dekat, Sooyoung menegakkan kepalanya dan menggandeng pergelangan tangan Ashra seperti seorang Ibu yang tidak ingin anaknya menghilang di tempat yang ramai.
"Jangan jauh-jauh dariku, kita pesan makanan dulu baru cari tempat duduk, okay?"
Ashra mengangguk paham dengan sebelah tangannya yang bebas memberikan hormat sekilas, "Okie dokie, siap!"
Sooyoung tersenyum menanggapi, dengan tanpa Ashra sadari genggaman tangan gadis itu mengerat ketika telah memasuki kantin dan mengedarkan pandangan. Ashra menatap kagum kantin yang terisi banyak murid yang ingin mengisi perut.
"Bersih, ya ... Aku rasa makanannya higienis disini, jadi aku tidak khawatir!" Ashra berujar semangat lalu menoleh pada Sooyoung dengan senyum lebar, "Dimana kios untuk memesan? Aku ingin cepat mencoba makanannya!"
Tetapi raut wajah gadis itu berubah bingung melihat garis wajah Sooyoung yang kaku dan mengeras, "Sooyoung?" Panggilan dari Ashra membuat pemilik nama seketika menoleh tanpa merubah mimik wajahnya.
"Ah, maaf– kenapa, Ashra?" Sooyoung dengan cepat merubah raut wajahnya walaupun percuma.
"Kamu yang kenapa?" tanya Ashra, dahinya mengernyit bingung dengan suara khawatir.
Sooyoung sejenak terdiam dan terkekeh canggung kemudian, "Entah kenapa aku tidak rela kamu lihat itu ...."
"Hah? Apasih, Sooyoung?! Jangan setengah-setengah, dong!"
Gadis yang terkenal brutal itu mengode ke suatu arah, dengan kebingungan yang tinggi Ashra seketika mengikuti arah pandangan Sooyoung dan melihat sebuah meja yang dikerumuni banyak gadis.
Netra biru laut gadis itu memicing, ia merasa salah lihat. Apakah minusnya bertambah? Tidak, perawakan lelaki yang baru saja mencolek dagu gadis di sebelahnya di meja yang Sooyoung katakan lewat tatapan tidak pernah berubah baginya.
"Itu ..." Suaranya lirih dan berbisik, sedikit nada kecewa dan cemburu karena dirinya saja tidak pernah berani duduk dalam jarak sedekat itu.
"Kak Dokja ...?"
He was sunshine, I just midnight.. Rain.
—★—
Kim Dokja tertawa kecil setelah melihat wajah gadis di sampingnya itu memerah, "Astaga, masa segitu saja sudah tersipu? Manis sekali~" godanya menaik-turunkan alis.
Gadis bersurai pirang panjang dan netra biru yang lelaki itu goda kembali tersipu malu, "Kak Dokja apaan sih? Godain terus! Apa tidak pacaran saja denganku?" sungutnya.
Wajah Dokja sedikit berubah kaku dengan sorot yang sedikit tajam, walaupun begitu wajahnya tetap ramah dengan tawa kecil, "Tidak, terima kasih, Yuna."
'Lagipula aku hanya bermain, matamu sedikit mirip dengannya.'
Dokja menyadari bahwa gadis bernama Yuna itu tengah kesal dengan jawabannya, lelaki itu hanya mengedihkan bahu tak acuh sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh arah. Netra hitam itu mengerjap kala merasa salah dengan pengelihatannya, tetapi ketika ingin memastikan sosok yang ingin dia lihat, pandangannya tertutupi oleh gadis-gadis di depan mejanya membuatnya memasang senyum kesal.
'Ah.. tidak mungkin itu dia.'
Lelaki itu kemudian menoleh pada Yoo Joonghyuk yang diam sambil memainkan game di ponselnya, tetapi sedaritadi nampak terganggu. Kim Dokja segera tersenyum ramah pada para gadis itu dan berujar dengan nada halus,
"Sebaiknya kalian segera menyelesaikan istirahat kalian dengan mengisi perut," ujar Dokja.
"Aku sudah kenyang dengan menatap wajah Kak Ketua!" Mendengar hal itu dari salah satu anggota organisasi yang ia pimpin, Dokja hanya memasang wajah ramah.
"Kalian pengganggu." Dua kata dari seorang Yoo Joonghyuk membuat para gadis terdiam, jika sudah angkat bicara seperti ini pastinya lelaki itu sudah benar-benar terganggu.
Dokja tersenyum kaku, "Baiklah, silahkan pergi para gadis~!" ujarnya santai, melambaikan tangan kecil dengan ringan.
Dengan berat hati para gadis itu meninggalkan meja kedua lelaki yang populer di sekolah mereka. Yuna yang juga ingin beranjak menegang kala Dokja berbisik lembut di telinganya.
"Akan bagus kalau kamu memendekkan rambutmu hingga sepunggung."
Yuna setelah itu pergi dengan telinga yang memerah. Yoo Joonghyuk menatap Kim Dokja dengan datar, "Kamu serius?"
Dokja menanggapi dengan kekehan lembut, "Tidak, tuh. Kalau dia melakukannya, langkah yang bodoh telah dia lewati," Lelaki itu menyeruput minumannya dengan santai, "Lagipula aku hanya bermain-main dengannya, yang nomor satu di hatiku tetap Ashra~"
Yoo Joonghyuk mendelik, "Tetapi semua tingkah lakumu bisa disalah artikan oleh Ashra jika kamu tidak memberitahunya," Netra kelamnya mengedar ke segala sisi, termasuk dimana dia melihat siluet Han Sooyoung dengan seorang gadis yang ia kenali, "Terlebih hubungan kalian sedang renggang karena kurang komunikasi, kamu harus segera menemuinya, Kim Dokja."
Jari Kim Dokja yang sedang mengetik pesan pada seseorang terhenti, lalu kembali bergerak dan tersenyum hangat pada Yoo Joonghyuk, "Kata Sooyoung, hari ini dia mau berkunjung. Kesempatan yang bagus, bukan?"
Alis Yoo Joonghyuk menekuk, "Maka dari itu batalkan janjimu dengan Yuna untuk berkencan hari ini," Ia bergidik, "Itu menjijikkan."
Kim Dokja tertawa pelan, "Melayani mereka yang mendambakan kita itu sangat menyenangkan lho, Yoo Joonghyuk! Kau jangan terlalu jujur," ujarnya sarkas, "Hatiku itu hanya ada satu, dan hanya untuk dia."
"Tetapi perilakumu telah melanggar janjimu dengannya. Walaupun kalian jarang berkomunikasi apalagi bertemu, setidaknya jangan khianati kepercayaannya padamu."
Kim Dokja sontak terdiam.
"Aku memberitahumu karena aku juga merasa kamu sudah sedikit keterlaluan. Meladeni semua gadis di saat kamu sudah memiliki kekasih itu bukanlah hal yang buruk, tetapi ..." Wajah Yoo Joonghyuk yang sedaritadi memandangi layar ponselnya beralih menatap Kim Dokja setelah ia berhasil memenangkan game-nya, "Semua orang memiliki batas kepercayaan dan kesabaran."
"Jangan sia-siakan 5 tahun dan 2 tahunmu dengannya, juga jangan sia-siakan perjuanganmu sebelum mendapatkannya. Kalau tidak, dia bisa saja menyerah."
Yoo Joonghyuk menampakkan wajah tenang walaupun hatinya sedikit gelisah, "Kamu yang paling tahu bagaimana seorang Ashra."
Kali ini, Kim Dokja benar-benar tak bisa membalas perkataan dari sang sahabat.
—★—
"Aku salah lihat tadi, 'kan?"
Sooyoung mendengus lirih, ini entah ke-berapa kalinya Ashra mengucapkan pertanyaan yang sama hingga mereka sampai ke rumah seperti sekarang. Sejak melihat adegan yang membuat hatinya gelisah, gadis pemilik netra biru laut itu mulai diam dan berpikiran untuk kemungkinan terburuk.
"Aku sudah menyangka reaksimu akan begini," bisik Sooyoung kesal, "Sudah kubilang untuk jangan shock, ini alasannya." Gadis itu menarik Ashra yang ada di sampingnya dan mendekap gadis itu dengan erat dan hangat, tangan Sooyoung mengelus punggung dan kepala belakang gadis yang kini menyembunyikan wajahnya di dadanya dengan sayang.
"Aku bingung buat bereaksi apalagi ... A-apa dia sering begitu sama gadis lain ...?"
Dekapan Sooyoung semakin erat ketika ia mendengar ucapan yang teredam pelukannya itu keluar dari bibir Ashra.
"Sejak kelas XI dulu. Baru-baru ini agak ngelunjak setelah gadis yang dia colek itu menyatakan perasaannya," jawabnya pelan. Sooyoung tahu bahwa Ashra menginginkan jawaban, sekarang. "Menurutku sih, Kim Dokja hanya bermain-main sama gadis itu," sanggahnya menuturkan pendapat.
"Tapi 'kan ada aku ...?" Suara Ashra bergetar, ia bingung bagaimana mengeluarkan semua pertanyaan yang bergerumul di kepalanya.
"Kamu tanya sama Kim Dokja aja, aku sudah ngabarin kalau kamu mampir ke sini. Tapi belum bilang kalau kamu pindah," tuturnya melembut, Sooyoung melepaskan dekapannya dan menyeka sudut mata Ashra yang basah, "Jangan menangis dong, Adik kecil. Diego akan mengamuk kalau dia tahu," candanya lalu mengusap gemas pucuk kepala Ashra.
Si netra biru samudera itu tertawa pelan dengan suara yang masih sedikit bergetar, "Ssstt, kalau Diego tahu bisa-bisa aku harus dapat lembur untuk menenangkannya!" balasnya dengan candaan dan suara kecil.
Sooyoung tersenyum kecil, "Cuci mukamu deh, pasti mereka akan segera sampai tidak lama lagi." Ia melihat jam dinding dan mengangguk, "Yah, tidak lama lagi."
"Aye aye, captain!!" Dengan secepat kilat Ashra beranjak dan pergi ke belakang, meninggalkan Sooyoung yang perlahan mendatarkan raut wajahnya.
"Bagaimana?"
Yoo Joonghyuk di ambang pintu mendesah keras sambil membanting tas punggungnya di sofa, "Kim Dokja memilih mengantar si ikan Tuna itu pulang daripada langsung kemari," hardiknya tajam.
"Itu terlalu berlebihan untuk sandiwara mempermainkan gadis itu."
"Kamu seperti tidak tahu sifatnya saja."
Sooyoung mendengus, "Lagipula untuk apa coba? Memberikan gadis itu harapan palsu lalu meninggalkannya hingga membuat hatinya sakit, malah membuatnya semakin gila."
Tatapan gadis itu menajam, "Untuk apa tiba-tiba Kim Dokja malah mendekati gadis pembully itu, huh?"
"Tidak ada yang bisa menghalangi Kim Dokja dengan sifat keras kepalanya itu."
"Termasuk Ashra, " sambung Sooyoung sambil melepaskan almamater sekolahnya, "Entah apa yang dia rencanakan."
"Tapi aku yakin ..." Yoo Joonghyuk melirik ke arah belakang berjaga-jaga jika Ashra kembali.
"Ini berhubungan dengan insiden saat SMP dulu."
—★—
"Tidak ingin mampir, Kak Dokja?"
Kim Dokja menggeleng singkat dengan senyum ramah, "Tidak perlu, terima kasih. Aku harus segera pulang," ujarnya sopan, lalu melambaikan tangan sebagai perpisahan dan berbalik, wajah ramahnya berubah datar dan kurang minat tanpa membiarkan Yuna menanggapi ucapannya. Ia segera menaiki mobilnya dan meninggalkan perumahan gadis itu dengan pikiran yang tak karuan.
'Aku juga tak ingin membuatnya menunggu.'
Tiba-tiba terlintas kembali kejadian di kantin saat istirahat tadi, Dokja sangat yakin matanya tidak akan pernah salah lihat, tapi apa yang gadisnya lakukan di sekolahnya?
Lelaki itu menghela nafas kasar sambil melajukan kendaraannya di jalanan, dirinya tak bisa merasa tenang jika belum memastikan hal itu.
—★—
Sesampainya di rumah tempat berkumpulnya circle KimCom, Dokja segera turun dari mobilnya dan menyandang tasnya diiringi langkah cepat ketika berjalan masuk. Pintu rumah terbuka dengan motor Joonghyuk dan mobil Sooyoung di pekarangan.
Begitu memasuki ruang tamu, ia melihat Sooyoung tengah memakan cemilan dengan berbaring di sofa menggunakan paha Ashra sebagai bantalan, lalu Yoo Joonghyuk yang memakan sebuah cookies dengan laptop yang menampakkan layar dari game yang ia mainkan.
Seketika hati Kim Dokja meradang melihat Sooyoung yang dengan santainya menjulurkan lidah, mengejeknya. Ashra yang tengah menjalin sedikit rambut Sooyoung pun menjadi agak kaku karena teringat hal di sekolah tadi.
Gadis bernetra biru laut itu berusaha menenangkan diri, tersenyum lembut pada kekasihnya itu sambil melambaikan tangannya menyapa, "Apa kabar, Kak? Sudah lama kita tidak ketemu," sapanya kaku. "Minggu kemarin aku mampir tapi kamu tidak ada, bulan sebelumnya juga. Sibuk banget, ya?" Nafasnya terasa tercekat kala ia bertanya dengan nada bercanda itu.
Kim Dokja menghampiri dengan senyum hangat, "Maaf, aku ngurusin klub yang aku pimpin," ujarnya lembut, duduk di sisi lapang di sebelah Ashra dan mengusap pipi gadis itu, "Mata kamu agak merah, habis menangis ...?" Dahi Dokja mengernyit, dirinya tidak akan pernah salah jika membaca wajah dari gadisnya ini. Sangat mudah ditebak.
Seperti saat ini, tubuh gadisnya bahkan menegang saat dirinya duduk di samping Ashra. Wajahnya juga sedikit sembab walaupun hanya sedikit, matanya sedikit memerah dengan bagian bawah mata yang sedikit membengkak. Walaupun sudah lama tidak melakukan kontak fisik dan bertemu secara langsung seperti ini, Kim Dokja sangat mengenal baik gadisnya, dan ia yakin bahwa Ashra tadi habis menangis.
Tak!
"Jangan kau sentuh dia! Tidak lihat dia sedang fokus menjalin rambutku??" ketus Sooyoung, membuat Dokja mendengus malas dan menjentik dahi gadis itu.
"Jauh-jauh, aku mau sama Ashra."
Perempatan imajiner timbul di wajah Sooyoung, "HAH?? Kenapa kau tidak telponan sama gadis lain saja kayak seminggu lalu?!" ceplos gadis itu tanpa menyadari ucapannya membuat ketiga orang lainnya di sana menegang.
Sooyoung seketika mengerjapkan matanya ketika melihat raut wajah Ashra yang berubah pucat, ia bangkit dan menarik gadis itu menjauh dari jangkauan Kim Dokja. Yoo Joonghyuk bahkan sudah meletakkan laptopnya di tempat aman berjaga-jaga jika terjadi baku hantam.
"Sooyoung, maksud kamu apa, ya?" tanya Dokja, dengan senyum manisnya hendak menggapai pergelangan tangan Ashra sebelum tangannya ditepis oleh Sooyoung dengan wajah garang.
"Maaf ya, Ashra," bisik Sooyoung pelan pada gadis itu dan lalu menampilkan tatapan tajamnya pada Kim Dokja.
"Habis dari mengurus klub, huh?" Suara gadis itu terdengar sinis, "Atau mengurus para gadis yang selalu menggerayangi dirimu itu?!" Ashra tersedak kala mendengar kata-kata frontal yang dilontarkan Sooyoung.
Dahi Kim Dokja terlipat halus, wajah tenangnya hilang seketika, ".. Han Sooyoung aku–"
"Jangan berantem!"
"Kak, aku tidak mau salah paham ... Jadi tolong jelaskan," ucapan Ashra memotong tatapan tajam antara keduanya, gadis pemilik netra biru samudera itu menarik nafas dalam dan berujar tenang, "Empat mata, jangan ada yang berantem hanya karena masalah kayak begini."
Ashra berdiri dari sofa dan menatap Kim Dokja dengan tegas, "Kita perlu bicara."
—★—
"Sooyoung maksa aku buat pindah ke sekolah kalian, katanya urgent," ujar Ashra dengan tenang, ia memulai percakapannya dengan Dokja setelah lama terdiam di dalam mobil. "Katanya aku tidak boleh sampai ketahuan kamu."
"Kenapa?"
"Karena kata Sooyoung aku harus melihat sesuatu," sahut Ashra tersenyum tipis dengan tatapan lurus ke depan, "Waktu di kantin aku lihat kamu dikerumuni banyak gadis, kamu populer, ya? Beda sama aku," ujarnya terkekeh.
"Aku tidak membandingkan apapun, hanya saja aku ngerasa sakit disini, Kak." Jari gadis itu menunjuk dadanya, "Disini, sakit banget. Setelah sekian lama hampir lost contact dan hubungan kita lumayan renggang karena kurang komunikasi, aku malah dapat pemandangan kayak begitu. Bagaimana caranya aku tidak sakit hati?" Nadanya setengah berbisik, netra biru laut itu mulai kabur dengan beberapa butir air mata yang tercipta tanpa sadar.
"Salah tidak kalau aku marah, marah ke kamu yang bahkan tidak menjawab pesanku untuk mengajak bertemu?" Ashra menarik nafasnya, "Salah tidak kalau aku marah, marah ke kamu karena aku dengar dari Sooyoung kalau kamu lagi senggang, aku minta ditemani buat kontrol ke dokter tapi malah direject???????????????" Bibirnya mulai bergetar untuk melanjutkan ucapannya.
"Salah tidak kalau aku marah ... marah ke kamu karena menanggapi para gadis dengan tangan terbuka, memberi harapan pada para gadis itu, padahal kamu punya aku?"
Ashra mengerjapkan matanya dengan perlahan, menutup matanya erat lalu kembali membuka mata, "Aku ada disini, menunggu kamu buat pulang ... Aku ada disini, menantikan kamu buat anggap kalau aku masih jadi rumah kamu. Bukan tempat sekedar singgah kamu, Kak."
Kim Dokja terdiam, menatap wajah Ashra dari samping dengan tatapan tak terbaca.
"Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan dalam kepala kamu. Aku tidak akan pernah tahu itu," Suaranya kian bergetar, "Tapi apa salah kalau aku egois, aku mau kamu tidak terlalu menanggapi para gadis itu?"
"Ashra."
"Apa? Kamu tidak setuju dengan perkataan aku, iya?" Ashra menoleh dengan matanya yang memanas dan memerah, alisnya menekuk halus dengan bibir terkatup pucat, ia takut jika perkataannya malah diiyakan oleh Dokja.
Tahukah sakit yang tak terobati?
"Aku tahu kamu boleh egois untuk aku, Ashra. Iya, aku tahu. Tapi aku bersikap kayak begitu, terbuka sama semua orang termasuk para gadis itu, aku juga tahu batasan. Tanpa kamu ingatkan aku akan selalu tahu," sanggah Kim Dokja tak mau kalah, dahinya terlipat dengan tatapan serius.
"Kamu boleh egois, iya, boleh. Tapi aku juga punya kehidupan sendiri, aku juga punya keputusanku sendiri. Tidak semata-mata aku harus terus ngertiin kamu, 'kan?"
... Belum sempat sembuh, tertikam lagi
Air mata Ashra seketika mengalir begitu saja, dirinya merasa sebuah batu besar baru saja menimpanya tanpa ampun. Memang bodoh dan terlihat sangat berharap, namun sungguh .. ia hanya ingin kata 'tidak' keluar dari bibir lelaki itu.
"Jujur, entah apa ini efek karena kita sudah lama tidak bertemu, kamu jadi kekanak-kanakan?" dengus Kim Dokja, "Ashra, pemikiran kamu itu terlalu jauh."
"Bagaimana caranya aku tidak memikirkan hal yang tidak-tidak kalau kamu aja tidak menjelaskan alasannya?" sergah Ashra tak mau kalah, dadanya naik turun dengan emosi yang ia tahan. Sungguh, rasanya sangat sesak mendengar semua ucapan yang lelaki berstatus kekasihnya itu lontarkan.
"Katanya kamu percaya padaku?" Dahi Dokja mengernyit tajam, "Lalu kenapa tidak percaya saja? Seperti biasa?"
"Lalu menganggap apa yang aku lihat tadi hanya sebuah kebetulan? Kak, aku ini manusia, aku punya hati, aku bukan robot!"
Tatapan Dokja menjadi datar, "Harusnya begitu," tuturnya membuat Ashra menatapnya tak percaya, "Entah kenapa Yuna jadi lebih dewasa dibanding kamu."
Ashra mengepalkan tangannya dengan erat, nafasnya tak beraturan dan tatapannya terlihat sendu, "Kamu tidak suka melihat aku kayak begini?"
Kim Dokja tanpa ditanya dua kali segera mengangguk, "Iya. Kamu terlihat menyedihkan."
Netra biru laut itu bergetar, punggungnya sontak gemetaran dan wajahnya memucat dengan tatapan tak percaya.
Ashra tertawa kosong, "Aku hanya meminta kamu untuk tidak terlalu friendly dengan para gadis, Kak ... Aku–"
"Kekanak-kanakanmu membuat aku muak, Ashra. Jangan egois."
Tatapan rumit Ashra memandangi Kim Dokja dengan kosong, "M-maksud kamu ..? Kamu ... kamu muak sama a-aku ...?"
"Ya."
Hanya satu kata.
Satu kata yang membuat gadis itu terdiam dan menundukkan kepalanya.
Hanya satu kata.
Satu kata yang membuatnya merasa hancur.
Hanya satu kata.
Satu kata yang tak pernah ia harapkan untuk terucap dari orang-orang tersayangnya, yang menjawab pertanyaannya.
We used be close, but people can go from people you know to people you don't.
"Lebih baik kita break untuk sementara waktu."
Kembali, Ashra merasa dunianya akan hancur, lagi.
Katanya cinta sedalam samudra, bohong nyata kita berakhir juga.
—★—
"Besok jadwal kontrol ke Dokter Arin, ya, Kak."
Seorang remaja laki-laki menutup kotak obat setelah memberikan beberapa pil pada gadis pemilik netra biru laut.
Ashra terdiam sejenak, lalu menelan semua pil sekaligus dan meminum segelas air yang telah disediakan oleh sang Adik.
"Tidak lusa aja? Kakak ada kelas tambahan besok," bohongnya. Tentu, sejak kapan dia mengikuti hal seperti itu? Bahkan klub sekolah saja dia belum memutuskan untuk ikut yang mana.
Diego, sang Adik dari Ashra mengernyit halus. Netra birunya yang kelam menelisik sang Kakak dengan curiga, "Tumben nunda? Tidak, tidak boleh. Aku yang akan minta Ayah buat izin kalau begitu."
Ashra seketika meneguk ludahnya payah, susah sekali menyogok Adiknya untuk membiarkannya bolos kontrol dokter. Lalu mengangguk malas dan berbaring di kasurnya.
"Dek," panggil Ashra, yang ditanggapi deheman oleh Diego yang menempelkan sticky note di dinding meja belajar sang Kakak.
Sang Kakak tersenyum tipis melihatnya, kali ini kata 'Don't Give Up' terpampang disana dengan warna sticky note yang berbeda.
"Apa, Kak?"
Diego menghampiri Ashra lalu duduk di pinggir kasur, melepaskan kunciran rambut sang Kakak dengan hati-hati.
Ashra terdiam. Dirinya sungguh takut untuk mengeluarkan kata-kata yang tersusun rapi di kepalanya.
"Kakak ... Kakak memuakkan, ya?"
Gerakan tangan Diego yang menyisir rambut sang Kakak dengan jemarinya seketika terhenti, dengan tatapan tajam yang tiba-tiba saja tercipta, remaja lelaki itu menoleh ke bawah menatap sang Kakak dengan tajam.
"Siapa yang bilang? Biar aku hajar," desisnya tak suka.
Ashra terkekeh pelan, "Tidak ada, Kakak hanya iseng bertanya kok," ujarnya lembut, mengusap punggung tangan sang Adik yang ada di kepalanya.
Diego sejenak terdiam, lalu mengusap pucuk kepala sang Kakak dengan lembut, "Kalau ada yang mengatakan hal seperti itu pada Kakak, katakan padaku." Remaja lelaki itu tersenyum ramah, "Aku akan 'berbicara' dengannya."
Sang Kakak hanya tertawa kecil sembari menikmati usapan sang Adik.
—★—
"Brengsek kau, Kim Dokja!"
Yoo Joonghyuk bergerak dengan cepat menahan pergerakan Han Sooyoung yang ingin kembali melayangkan tinjunya pada Kim Dokja.
"Jangan ditahan, Yoo Joonghyuk," decak Dokja mengusap darah di sudut bibirnya, "Biarkan saja dia memukuliku."
Nafas Sooyoung tak beraturan, gadis itu meronta dalam kuncian bermarga Yoo itu, "Brengsek! Kalau ini semua hanya untuk bersandiwara, semuanya sudah keterlaluan, Kim Dokja!" Sorot matanya tajam, wajahnya memerah emosi lantaran respon yang kemudian ia dapatkan dari lelaki yang menjadi sumber amarahnya.
"Apanya yang sandiwara? Aku 'kan–"
"Kim Dokja." Joonghyuk menekan suaranya dengan sorot tajam, "Cukup bermain-main, itu benar-benar tidak cocok untukmu."
Kim Dokja berdecak lalu menyandarkan tubuhnya di dinding dengan posisi masih terduduk di lantai karena pukulan Sooyoung tadi. Lelaki itu mengatur nafasnya sambil memejamkan matanya, kemudian kembali membuka mata dan mendongak ke atas langit-langit ruangan.
"ARGHH!"
Sooyoung dan Joonghyuk sontak kaget dengan suara berdebum yang berasal dari tangan Dokja yang memukul dinding di sebelahnya.
".. Sooyoung, apa tadi dia masih menangis?"
Gadis yang ditanya mengalihkan pandangannya sambil mendengus lirih, "Tadi tidak, tapi mungkin sekarang sedang menangis. Si Bocah cengeng itu mana mau dilihat langsung kalau dia menangis, kecuali di depanmu kurasa."
Joonghyuk perlahan melepaskan kuncian Sooyoung merasa gadis itu telah meredakan emosinya. Lalu menoleh pada Dokja yang menutupi wajahnya dengan tangan.
"Kim Dokja, kamu terlalu gegabah kalau semua ini hanya untuk sandiwara. Yuna mungkin sudah terpikat olehmu, tapi kalau dia tahu alasanmu menariknya mendekat, lalu tahu kalau ada Ashra di belakangmu ..."
"Dia tidak akan tinggal diam, aku tahu itu."
"Sejak SMP gadis itu sudah gila," sahut Sooyoung merapikan pakaiannya dan berdecak, "Kenapa juga sampah tak berguna sepertinya masih bisa hidup setelah semua yang sudah dia lakukan."
Tatapan gadis itu tajam, menatap Dokja dan Joonghyuk dengan sinis lalu menyandang tas sekolahnya di punggung, "Aku akan berkunjung ke rumahnya, nanti aku kabari."
Setelah itu, tanpa menunggu jawaban kedua lelaki itu, Sooyoung segera berlalu setelah menendang kaki Kim Dokja dengan penuh dendam.
Lelaki itu meringis, gadis itu sepertinya menendang dirinya dengan tenaga dalam, itu sakit sekali.
Yoo Joonghyuk menghela nafas kasar dan menarik tubuh Dokja untuk memapahnya ke sofa, lalu menyerahkan kotak P3K agar lelaki itu dapat mengobati luka kecilnya itu.
Hening menyapa mereka sangat lama, sehingga Kim Dokja lantas mendengus setelah merapikan kotak P3K yang ia pakai.
Lelaki itu terkekeh pelan, "Aku keterlaluan, ya?"
"Sangat," jawab Joonghyuk cepat, lalu menghembuskan nafas pelan sebelum berucap, "Sebenarnya kenapa kamu masih bersabar dengan para gadis itu? Padahal kamu jelas-jelas tidak nyaman."
"Kau tahu, Joonghyuk? Aku belum pernah ingin melindungi sebuah lentera kecil saat angin semilir berhembus, sebelum aku bertemu dengannya," ujar Kim Dokja tersenyum tipis.
Lelaki itu membenarkan posisi duduknya, menyandarkan punggungnya di sofa, menatap ke atas langit-langit ruangan dan memejamkan matanya.
"Sebuah lentera kecil yang dibawa seorang gadis kecil untukku, yang diberikan padaku, dan dipercayakan padaku ..."
Kim Dokja membuka matanya, netra hitamnya menerawang jauh ke langit-langit ruangan.
".. Dan beginilah, caraku melindungi lentera kecil," jedanya, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman tulus, "Dan gadis pembawa lentera."
—★—
"Aku lelah."
"Istirahat dong, Ashra sayang!"
Suara Han Sooyoung nampak menggebu-gebu ketika dua kata yang gadis itu lontarkan membuatnya seketika berpikiran tidak-tidak. Diego menatap kedua gadis yang lebih tua darinya itu dengan helaan nafas kecil, lalu kembali pada ponselnya dan memainkan game favoritnya.
Kekehan Ashra memenuhi ruang keluarga itu, lembut dan pelan, yang mampu membuat Sooyoung seketika jinak dan tertawa senang saat tangan gadis bernetra biru laut itu mengusap punggung tangannya.
"Bercanda."
Ashra tersenyum tenang. Tetapi dirinya merasakan sebuah rasa sakit menghujaninya tanpa ampun setiap gadis itu melontarkan sepatah kata.
"Ayah sebentar lagi pulang, jadi makan malamnya disini aja, bareng," titah Ashra pada Sooyoung yang seketika mengangguk patuh, hal itu membuat sang gadis tertawa pelan dan mencubit pipi Sooyoung dengan gemas.
"Sooyoung lucu banget."
Yang dipuji hanya tersipu malu. Sooyoung dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya menjadi kalem dan tenang walaupun hatinya sangat berbunga-bunga.
"Ketika seorang bidadari mengatakan hal itu, bagaimana bisa aku tidak tersanjung~" ujarnya dramatis membuat tawa di antara keduanya pecah.
"Aku ke kamar dulu." Ashra berdiri lalu menatap pada Sooyoung, "Waktu itu aku 'kan ada nulis puisi acak, jadinya aku mau memperlihatkannya sama kamu, ekhem ..." Gadis itu sedikit tersipu, "Daripada puisi, ini kayaknya bisa dibilang sebuah surat."
Netra Sooyoung memicing curiga, "Surat cinta, ya?"
Wajah Ashra sontak memerah, dirinya menutupi wajahnya dengan kibasan kedua tangannya yang cepat, "T-TIDAK..!!" Gadis itu meneguk ludahnya dengan gugup lalu dengan cepat meninggalkan ruang keluarga dengan wajahnya yang masih merona. Meninggalkan suara tawa Sooyoung yang senang setelah menggodanya.
Pemilik netra biru laut itu memasuki kamarnya, menutup pintunya dan bersandar di sana. Tubuhnya perlahan luruh ke lantai dengan tangan yang menekan dada, wajahnya memerah dengan nafas tercekat, Ashra memejamkan matanya guna mengatur nafasnya yang sesak. Bibirnya bergetar, bergerak perlahan tetapi suaranya tak kunjung keluar.
Netranya berkeliaran dengan cepat, lalu merangkak susah payah menggapai nakas dan menjatuhkan gelas berisi air dengan keras. Nafasnya pendek, Ashra menyandarkan punggungnya di sisi kasur sambil netra biru lautnya menatap penuh harap pada pintu yang ia tutup.
BRAK!
"KAK!"
Setelah itu, pengelihatannya menggelap. Yang ia lihat hanyalah sosok Diego yang berlari menghampirinya dan Han Sooyoung yang berdiri mematung di depan pintu.
—★—
Derap langkah kaki memenuhi koridor rumah sakit di malam itu, dua orang lelaki dengan tergesa-gesa memeriksa seluruh label kamar seiring melangkahkan kaki. Hingga tak sengaja mendapatkan siluet remaja yang ia kenali, Kim Dokja dengan cepat menghampirinya diikuti Yoo Joonghyuk di belakangnya.
"Diego. Ashra, bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan wajah khawatir, ia sungguh tak bisa berpikiran jernih kala mendengar kabar dari Han Sooyoung bahwa gadisnya dibawa ke rumah sakit.
"Buruk," sahut Diego mempercepat langkahnya dengan ponselnya yang ada di genggaman, Dokja berasumsi bahwa remaja lelaki itu baru saja selesai menelepon sang Ayah mengenai keadaan gadisnya.
Tetapi, mendengar jawaban Diego membuat hati Dokja makin tak nyaman. Diego yang menyadari itu segera melanjutkan ucapannya.
"Dokter bilang Kakak terlalu banyak pikiran, tapi bukan itu masalahnya ..." Raut wajah remaja lelaki itu sedikit menyendu namun segera berubah normal, dan Dokja menyadari hal itu, "Aku kayaknya teledor. Aku tidak mengingatkan Kak Ashra untuk minum obat malam ini, aku ..."
Tangan Diego mengepal erat, langkahnya terhenti di sebuah ruangan yang Dokja yakini merupakan ruangan tempat Ashra berada. Lelaki itu menepuk-nepuk kepala Diego dengan lembut, memberikan senyuman hangat guna menenangkan remaja itu.
"Bukan salah kamu, dan Ashra juga pasti tidak akan suka dengan kata-katamu yang menyalahkan diri sendiri."
Joonghyuk mengangguk setuju, "Diego, kamu akan dimarahi oleh Ashra jika dia mendengar ucapanmu itu."
Diego tersenyum kecil pada keduanya, "Aku mengerti ..." Lalu menghembuskan nafas panjang dan meraih gagang pintu, membukanya perlahan.
Di dalam sana terlihat Sooyoung yang menyuapi Ashra dengan bubur dan si pemilik netra biru laut yang mengeluarkan aura suram karena dipaksa memakan makanan itu.
"Aku tahu bubur itu enak, tapi bubur orang sakit itu tidak enak sama sekali, Sooyoung! Rasanya pahit! Bleh!" Ashra menjulurkan lidahnya seolah-olah jijik dengan bubur khas pasien rumah sakit itu, membuat Sooyoung menghela nafas sabar.
"Bocah cilik, kamu ingin sembuh?" Pertanyaan itu sontak diangguki oleh Ashra.
"Nah! Maka dari itu makan–"
"TIDAAAKKK!!"
Ashra menolak tegas, kepalanya menggeleng berulang kali sambil kedua tangannya membekap bibir dan menatap horor Sooyoung. Gadis yang terkenal brutal itu tersenyum sabar sampai netranya melirik pada Kim Dokja di ambang pintu.
"DOKJA! Kau saja yang menyuapinya, dia sangat keras kepala!" ujar Sooyoung, wajahnya memerah menahan emosi demi bocah kesayangannya ini, padahal sudah jelas wataknya yang emosian tidak bisa menahan diri akan berujung meledak.
Ashra sontak menarik tangan Sooyoung yang ingin beranjak, "Maaf, ihh ... Ayo sini, suapin aku Sooyoung, ya?" Sungguh, gadis ini sedang menghindari lelaki bermarga Kim itu.
Dahi Sooyoung mengernyit halus, namun begitu teringat apa yang ia katakan tadi, segera ia mengangguki permintaan Ashra dan kembali duduk di tempatnya. Sedangkan Dokja, hanya menghela nafas pelan melihat hal itu.
"Kalian punya masalah?" Diego bertanya sedikit pelan dan mendekatkan dirinya pada Dokja.
Kim Dokja tersenyum tipis, lalu menepuk-nepuk kepala Diego dengan lembut, "Hanya sedikit, dia lagi marah sama aku."
Diego hanya menikmati usapan sang lelaki di kepalanya, jika itu orang lain mungkin sudah remaja itu tepis dengan kasar.
Adik dari Ashra itu mengintip ponselnya ketika terasa bergetar pelan, lalu menatap kedua lelaki yang ia kenal baik itu dengan sopan, "Aku keluar dulu," pamitnya yang diangguki keduanya.
Kim Dokja menatap Ashra dengan senyum tipis, Joonghyuk berbicara pelan setelah melihat itu, "Masih ingin bersandiwara, huh?"
Lelaki itu sejenak terdiam, namun menggeleng ragu. Hal itu membuat Joonghyuk tersenyum miring sambil mendengus remeh.
"Aku penasaran sampai mana kamu akan tahan," ujarnya pelan, menepuk-nepuk bahu Kim Dokja dan kemudian berlalu menghampiri ranjang rawat Ashra dan menyapanya.
Kim Dokja hanya menghela nafas dalam, tangannya mengepal dan sorot matanya sedikit mendingin.
'Sebentar lagi, hanya sebentar lagi.'
—★—
Wajah gadis itu nampak gugup, bulir keringat dingin jatuh dari dahinya. Tolonglah, Ashra hanya ingin menghindari seorang Kim Dokja untuk sementara waktu. Dirinya juga tidak tahu bahwa Sooyoung bahkan sudah pulang pagi ini untuk bersiap pergi sekolah, begitu pula dengan Joonghyuk. Jika tidak, ia tidak mungkin akan mengatakan ingin berjalan-jalan di taman rumah sakit.
Tetapi kenapa ... kenapa seorang Kim Dokja ada disini? Mendorong kursi rodanya mengabaikan wajahnya yang tak nyaman??!
"Aku dengar dari Dokter Arin, kamu banyak pikiran." Ucapan yang lelaki itu lontarkan membuat Ashra berjengit kaget, lalu mendongak dengan reflek hingga netra biru lautnya bertemu dengan netra hitam sang lelaki yang menundukkan tubuhnya di atasnya. Hal itu sontak membuat Ashra menahan nafas.
Dokja yang melihat itu tersenyum sangat tipis, namun ia berusaha untuk mengatur ekspresinya menjadi datar.
"Hobi sekali kamu berpikiran buruk dan overthinking?" celetuknya dengan nada kesal yang tak dibuat-buat.
Ashra kembali bernafas dengan normal, dirinya segera menurunkan pandangannya dan menatap lurus ke depan. Bibir pucat itu sedikit gemetar dengan gadis itu memainkan jemarinya.
"Maaf ..."
Hah, tidak bisa seperti ini. Kim Dokja bahkan tidak kuat untuk tidak mengusap lembut kepala gadisnya, dia sungguh merindukan momen seperti ini. Sederhana, namun begitu berarti baginya.
"Cepat sembuh. Harusnya aku yang minta maaf," tuturnya lembut, tanpa sadar Kim Dokja melupakan skenario yang sudah tersusun rapi di kepalanya. Lelaki itu menundukkan tubuhnya dan mencium pucuk kepala gadisnya yang menegang.
".. Kak Dokja?"
Dokja menjawab dengan deheman, jemarinya merapikan poni tipis yang menutupi dahi gadisnya dengan lembut. Sungguh, ia benar-benar melupakan semua skenario untuk berpura-pura acuh pada Ashra.
Hingga lelaki itu menyadari raut wajah Ashra yang tertekuk, wajahnya melembut dan berjalan mengitari kursi roda gadisnya dan berjongkok di hadapan Ashra. Tangannya memegangi tangan kecil gadis itu, memandangi tangan pucat dan lemah gadisnya dan menciuminya dengan perlahan.
Sontak, hal itu membuat Ashra membeku. Dirinya tidak percaya apa yang telah Dokja lakukan.
"Maaf."
Satu kata yang dilontarkan Dokja membuat Ashra tersadar, menatap bingung lelaki itu dengan kepala yang sedikit dimiringkan.
Kim Dokja tersenyum tipis, ibu jarinya mengusap punggung tangan Ashra dengan lembut. Tetapi, seketika ia tersadar. Memejamkan matanya sejenak dan hingga netra hitam itu menyorot kaku.
"Aku hanya ingin minta maaf, atas perkataanku tadi."
Lelaki itu segera berdiri dan kembali memegangi kursi roda sang gadis dengan erat.
"Kamu harus segera kembali ke kamar, nanti siang jadwalmu operasi, kamu tidak boleh kelelahan."
Ashra hanya diam. Bibir pucatnya mengukir senyum kecut, sungguh .. dirinya terlalu berharap lebih dan terlalu percaya bahwa lelaki itu akan meminta maaf karena ucapannya kemarin sore. Ternyata hanya sekedar meminta maaf untuk ucapan sarkas yang tadi ia lontarkan.
Gadis itu mengangguk lemah, dirinya bahkan tidak sanggup mengeluarkan sedikitpun suara untuk menjawab sang lelaki.
Mereka meninggalkan area taman, tanpa menyadari ada seseorang yang sedaritadi memperhatikan interaksi mereka.
—★—
Siang itu berjalan dengan tegang, Han Sooyoung bahkan terdiam sambil bergerak dengan gelisah. Diego tak henti-hentinya mengintip di sela kaca pintu ruang operasi untuk memastikan tak ada yang salah dengan operasi sang Kakak.
Mungkin sudah hampir 3 jam lebih mereka menunggu dengan sabar hasil operasi yang dilakukan terhadap Ashra. Kim Dokja sungguh khawatir, apalagi dia tak sengaja mendengar seruan khawatir dan panik dari dalam sana.
Sedangkan di dalam ruang operasi, Ashra yang hanya dibius separuh tubuhnya mengerjapkan matanya dengan perlahan. Tatapannya redup, netra biru laut miliknya nampak kosong sembari menerawang ke atas.
"Dokter, detak jantung pasien melemah!"
"Tunggu apa lagi? Siapkan defibrillator!"
Nafas Ashra sangat tipis, tatapannya yang kosong dan bibir pucat itu sangat menakutkan akan kemungkinan hal terburuk. Ashra memejam matanya dalam, bulir air mata jatuh dari sudut matanya.
Bibir pucatnya perlahan bergerak, namun tak ada satu kata pun yang dapat keluar dari sana. Ashra menggigit bibir bawahnya dengan erat, kembali ia mencoba meskipun percuma.
'Aku tidak tahu kenapa kamu tiba-tiba berubah, Kak ...'
Netra biru lautnya melirik pintu ruang operasi dengan perlahan, 'Tapi aku mau percaya .. T-tidak. Aku mau percaya kalau Kak Dokja tidak mungkin berubah. Kakak tetap sama.'
"Dokter!!"
'Aku berharap kamu masih sama .. Aku harap aku masih bisa buka kepercayaan yang lebih besar sama kamu, aku tidak akan meragukan kamu, aku tidak akan kekanak-kanakan lagi ...'
—★—
"Pasien sempat kritis, tetapi syukurlah pasien masih memiliki keinginan untuk hidup. Masa kritisnya terlewati," tutur Dokter Arin, selaku dokter yang menangani Ashra semenjak penyakit gadis itu terdeteksi.
Semua orang bernafas lega, Sooyoung mengusap punggung Diego dan Ibu sambung Ashra dengan mata yang berkaca-kaca.
"Syukurlah ..."
Kim Dokja tertawa pelan, tangannya menutupi wajahnya. Matanya berkaca-kaca, rasanya ia ingin benar-benar menangis.
—★—
"Yuna, apa yang kau lakukan disini?"
Yuna berjengit kaget, dengan cepat berbalik menghadap Kim Dokja yang memasang wajah ramah padanya. Gadis itu memasang wajah manisnya sebaik mungkin dan tersenyum riang.
"Papaku 'kan salah satu dokter disini," jawabnya sambil terkekeh pelan, "Kak Dokja sendiri sedang apa disini?" Matanya menatap lembut pada Dokja yang memasang wajah santainya.
"Temanku sakit, jadi aku menjenguknya."
Gadis itu mengangguk paham, "Uhm .. Kak Dokja, boleh temani aku ke kantin rumah sakit, tidak?"
Lelaki itu memasang wajah bersalah, "Ah, maaf. Malam ini giliranku untuk menjaganya, aku tidak mungkin membiarkannya sendiri," tolak Dokja secara halus.
Yuna memasang ekspresi sedih yang seketika membuat Dokja bergidik jijik, tetapi segera ia tutupi. Gadis itu menggapai pergelangan tangan lelaki itu dan menariknya pelan.
"Hanya sebentar, lagipula dia hanya 'temanmu', 'kan?"
Tunggu. Entah kenapa, perasaan Kim Dokja menjadi tak karuan dengan kata-kata yang keluar dari gadis itu.
".. Hanya sebentar, okay?"
Yuna mengangguk semangat, langsung saja ia menarik lengan Dokja dengan riang dan senyum lebar. Lelaki itu sejenak memasang wajah tak nyaman tetapi langsung ia tutupi dengan topeng ramahnya, meninggalkan koridor ruangan inap Ashra yang sepi.
—★—
Derap langkah memasuki indera pendengaran gadis bernetra biru laut yang kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, matanya menyesuaikan pencahayaan yang masuk dengan perlahan. Dirinya mendengar suara dia orang wanita tengah berbincang-bincang dengan nada pelan di kedua sisinya.
"Gadis ini malang sekali. Apa kau yakin?"
"Nona Yuna sudah memberikan perintah. Tenang, kita akan baik-baik saja selama kita tutup mulut dan melakukan semuanya dengan tertutup."
"T-tetapi ... apa kau tidak melihat wajah gadis ini? Bukankah dia gadis yang dulu selalu bersama dengan Nona Yuna? Temannya Nona Yuna? Apa Nona Yuna tidak salah untuk memerintahkan kita memberikan cairan ...."
"Jangan berisik! Tugasmu hanya memastikan kita tidak ketahuan."
"...."
Ashra tak dapat bergerak, tubuhnya benar-benar sangat lemas karena baru terbangun dari tidurnya. Ketika membuka matanya dengan perlahan, gadis itu melirik kedua suster yang memasang wajah terkejutnya melihat Ashra yang telah terbangun.
"Kalian ..." Netra biru laut miliknya bergerak menatap suntikan yang sudah sepenuhnya masuk ke dalam infus miliknya, dahi gadis itu mengernyit halus, "Apa yang kalian lakukan ...?! Apa yang ... apa yang kalian berdua masukkan ke dalam infusku?!"
Secara paksa, Ashra segera mencoba melepaskan jarum infus di punggung tangannya, sebelum pergelangannya ditahan dengan kuat hingga ia yang memang tak kuat bergerak tak bisa apapun selain mencoba meronta sekuat tenaga.
"Pastikan cairan itu masuk ...! Jangan biarkan dia melepaskan jarum infusnya!"
Tubuh Ashra meronta sekuat tenaga, tetapi tak lama kemudian nafasnya tercekat, tubuhnya perlahan-lahan benar-benar tidak terasa sedikitpun sekuat apapun ia mencoba.
"Tinggalkan dia, tinggalkan ruangan ini!"
Tatapan Ashra menyendu, tubuhnya benar-benar mati rasa. Matanya berkaca-kaca, nafasnya menipis.
Mata gadis itu perlahan tertutup rapat, bibirnya kini pucat pasi, dan nafasnya ... berhenti terpompa.
—★—
Kim Dokja memasuki ruangan inap Ashra dengan wajah kesal, menggunakan tissue basah di atas nakas di samping ranjang gadisnya untuk mengelap lengannya.
"Kamu tahu, Ashra? Hal tadi benar-benar menggelikan, aku bahkan sampai tidak bisa membayangkan bagaimana bodohnya aku mengikuti skenario yang memuakkan ini," Dokja mendengus.
Duduk di samping ranjang inap Ashra, lelaki itu memandangi wajah pucat sang gadis yang tertidur tenang.
"Kapan kamu bangun? Aku ingat, kamu bilang tidak akan selemah ini," decaknya dengan nada jahil.
Netra hitam lelaki itu kemudian tak sengaja melihat sebuah suntikan kosong di atas nakas dan sedikit tersembunyi oleh buah-buahan yang ada di sana. Dahi Dokja mengernyit halus, ia berdiri dan memutari ranjang gadisnya, kemudian mengambil suntikan kosong itu dan menelitinya baik-baik.
Nafas lelaki itu tercekat, "Toksin botulinum ...?"
Dokja menegak ludahnya susah payah lalu memandangi wajah pucat Ashra, tangannya bergerak menepuk lembut pipi gadis itu berharap dia akan segera terbangun, namun siapa sangka ia malah mendapati kulit dingin yang menyentuh telapak tangannya?
Tatapan Kim Dokja seketika kosong, lelaki itu menatap rumit wajah pucat Ashra, lalu dada gadis itu yang tak juga memompa oksigen, dalam sekejap mata .. wajah Dokja pucat pasi dengan tatapan tak percaya untuk kemungkinan terburuk.
Dengan tergesa-gesa ia beranjak dan menekan tombol emergency di kamar inap Ashra, membuka ponselnya dengan tangan yang gemetaran dan mencoba menghubungi kontak siapapun yang dapat ia jangkau. Sebelah tangannya membelai punggung tangan Ashra yang dingin dengan tatapan nanar.
"T-tidak ..."
Netra hitam itu terguncang dengan dada yang bergemuruh, Dokja bahkan mengabaikan panggilan tersambung yang menghubungkannya dengan Yoo Joonghyuk.
"Kim Dokja?"
Mata lelaki itu berkedip, begitupun setetes air mata turun ke pipinya.
"Y-yoo Joonghyuk ... Ashra, Ashra .. Aku takut."
Suara gemetar Kim Dokja dapat memberikan semua clue pada Yoo Joonghyuk yang mematung mencerna situasi.
Dokter Arin masuk dengan beberapa susternya yang segera mengaktifkan defibrillator dan melakukan kejut jantung pada Ashra. Suara panik dari semua orang disana bagaikan tertelan dari indera pendengaran Kim Dokja.
Bahkan, lelaki itu mengabaikan teriakan Yoo Joonghyuk yang berasal dari ponselnya.
Dunia terasa terhenti begitu saja.
I know that I can't find nobody else as good as you
Kim Dokja melihat, Dokter Arin menghentikan kejutan jantungnya dan menggeleng lemah pada salah satu suster yang menemani.
Air matanya turun kian deras, tungkainya terasa tak dapat menumpu tubuhnya dan dadanya terasa amat sesak.
I need you to stay, need you to stay, yeah
—★—
10 tahun kemudian ...
"Kak Dokja! Kamu terlambat!!"
Kim Dokja seketika bangkit dari posisi duduknya setelah mendengar teriakan Diego. Astaga, bagaimana bisa dirinya seceroboh ini setiap tanggal dan bulan yang sama setiap tahunnya?
Pria itu merapikan jas dan pakaiannya kemudian segera bergegas menuju ruang tamu.
"Paman Dokja," panggil seorang gadis kecil yang sudah siap dengan pakaiannya yang rapi membuat Dokja menoleh dengan senyum tipis.
"Kemari, Shin Yoosung. Dimana Gilyoung?"
Dokja berjongkok dan merapikan pita putih di pakaian Yoosung dengan lembut, hingga ia merasakan kehadiran seseorang lainnya disana.
"Gilyoung? Kemarilah."
Tanpa dua kali disuruh, Lee Gilyoung segera menghampiri keduanya, membiarkan Kim Dokja merapikan dasinya yang sedikit berantakan.
Kim Dokja tersenyum hangat pada keduanya, lalu mengulurkan tangannya pada kedua anak itu. Yang disambut baik oleh keduanya, kemudian mereka bertiga beriringan berjalan keluar dari rumah yang mereka tempati.
Terdapat banyak orang di sana, memakai pakaian hitam-putih sesuai yang mereka janjikan semalam.
"Kita berangkat sekarang?" Jung Heewon bertanya.
Kim Dokja melirik Han Sooyoung yang fokus pada ponselnya dan mengangguk, "Ya, sekarang."
—★—
Figura seorang gadis tengah tersenyum lebar diletakkan di atas sebuah nisan. Gadis yang memiliki sorot mata tenang, netra biru laut yang amat dalam dengan surai hitamnya yang tergerai sepunggung.
Diego mengusap lembut nisan itu dan tertawa kecil, "Selamat ulang tahun, Kak."
Sooyoung mendekat dan menyerahkan sepucuk surat di atas nisan tersebut.
"Hei, Bocah. Bagaimana kabarmu disana? Aku rindu usapanmu lho~"
"Kamu mengatakan hal itu berkali-kali setiap tahunnya, Han Sooyoung," sahut Yoo Joonghyuk yang meletakkan bungkusan kecil cookies disana.
Kim Dokja terkekeh dan ikut mendekat setelah melepaskan genggaman tangannya dari kedua anak angkatnya, berjongkok di samping nisan itu sambil tersenyum hangat.
"Halo, anak kecil. Apa kamu masih marah padaku dari sana?"
Lelaki itu mengambil nafas dalam, "Kamu tahu, aku masih ingat dengan pesanmu di surat itu. Seharusnya aku membacanya lebih awal saat kamu masih di sampingku, ya?"
Dokja mendengus, "Aku rindu caramu tersenyum, kapan kita akan bertemu lagi? Aku belum meminta maaf secara langsung, lho."
"Lirik yang kamu tulis itu, astaga ... aku ingin menangis lagi karenamu." Lelaki itu menyeka sudut matanya dengan tatapan menyendu, "And then ... In another life, I always be your boy~"
"We keep all our promises, be us against the world ..."
"In another life, I would make you stay. So I don't have to say; you were the one that got away ..."
".. Ashra, aku yakin kamu mendengar aku dari sini," bisiknya pelan, "Aku percaya kehidupan lain, aku percaya harapan yang bakalan terwujud kalau kita mempercayainya, kayak kamu bilang."
Berharap suatu saat nanti,
"Then Ashra," dia berkata pelan, mengukir senyum hangat dan tulusnya tanpa sadar meneteskan air matanya.
"Let's meet in the next life, I promise."
Kau dan aku 'kan bertemu, lagi.
— end —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top