⩨ . Hablur Es ❄️ᵎ 𓂃✧
Kisah-kisah romansa dicampur bumbu mistis sedang populer belakangan ini. Sebagai seorang penulis, tentu saja, aku harus mengikuti perkembangan menarik ini! Agar aku dan karyaku tak tertinggal. Cerita-cerita seperti romansa antara hantu dan manusia; hantu dan hantu; hantu dan alien ... terdengar sedikit konyol. Haha.
Maka dari itu, aku, Sharon—penulis yang sudah lama tak menulis—memutuskan untuk membuat novel baru! Sebenarnya, ini sedikit konyol. Tetapi, aku sempat nendengar beberapa rumor mengenai malaikat pencabut nyawa. Jadi, sebelum salju pertama turun, aku putuskan untuk menerbitkan novelku!
。・:*˚:✧。
Halu_Project's event • Graupel
Hablur Es || A Yumeship
Nakahara Chuuya © Kafka Asagiri 'n Sango Harukawa
Plot ©DeadChuu
Total words : 2061
Enjoy~
[1 Februari 2024,
Shana]
。・:*˚:✧。
Masa hidupku tersisa satu minggu lagi. Di musim dingin akhir ini, wanita itu akan mencabut nyawaku. Aku tak akan mempermasalahkan hal ini. Lagipula, kehadirannya ini sedikit mengganggu hidup tentramku.
"Chuuya ...!"
"Kau datang lagi? Tidak bosan?"
"Aku tidak boleh bosan!"
Ia duduk tepat di pinggir ranjangku. Saat cahaya membias, seluruh tubuhnya menjadi transparan. Itu dia, malaikat pencabut nyawaku, Sharon.
"Lagipula, aku diperintahkan untuk menjaga dan mengabulkan semua permintaanmu, Chuuya."
Ia tertawa. Manis. Sosoknya sama sekali tak mencerminkan perilaku seorang malaikat pencabut nyawa. Yang kubaca, para pencabut nyawa itu bertudung hitam dan membawa sabit panjang. Tapi, Sharon ... dari penampilannya saja sudah berbanding terbalik dari yang disebutkan di buku-buku.
Ia terlihat lebih manusia dariku yang manusia ini.
"Tuhkan, Chuuya termenung lagi. Apa sih yang sedang kau pikirkan?"
"Bukan apa-apa."
"Hm .... Kalau itu tentang biaya pengobatanmu, kudengar—"
"Bukan. Aku tidak akan memikirkan hal itu."
"Benar juga, sih. Chuuya 'kan orang kaya."
Setiap kata yang tergelincir dari bibirnya, membuatku menghela napas.
"Bukan. Bukan begitu."
"Iya, deh, Tuan Miliuner ...."
Sharon mendengkus dan mengeluh sedikit. Aku tak mengerti apa yang ia eluhkan. Apa semua malaikat pencabut nyawa memang seperti ini? Kekanakan sekali.
Oh. Aku jadi teringat sesuatu. Biasanya, setiap kali Sharon menjengukku, dia akan membawakan sesuatu—entah itu setangkai bunga liar atau manisan yang bahkan tak bisa kumakan (dokter melarangku untuk mengonsumsi manisan terlalu banyak). Tapi, hari ini, aku tak melihat apa pun di tangannya.
"Sharon."
"Ya?"
"Aku mau mencari angin sebentar."
"Kutemani, ya?"
"Tidak perlu. Diam saja di sini."
"Di luar banyak orang pacaran, loh, Chuuya!"
"Huh? Lalu?"
Cepat-cepat Sharon berdiri dari duduknya. Ia pun berlari kecil ke hadapanku.
"Chuuya akan terlihat menyedihkan, kalau tidak ada yang menemani."
"Huh?!"
"Walau sebentar lagi akan pergi dari dunia ini, kau tetap tidak boleh terlihat menyedihkan, Chuuya!"
Ingin rasanya kucubit mulut banyak cakapnya itu. Sayangnya, aku tidak bisa menyentuhnya. Setiap kali aku mencobanya, tanganku akan menembus kulitnya. Bahkan, pakaiannya yang seperti remaja itu pun tak bisa kupegang.
"Memangnya, orang lain bisa melihatmu?"
Sharon tertawa. Tawa yang penuh ejekan. "Tidak."
Jawaban singkat bersamaan dengan tawa khasnya itu membuat emosiku mendidih.
"Aku tidak mau dianggap orang gila, Sharon!"
"Yah, setidaknya, Chuuya punya teman buat jalan sore, kan?"
Aku sadar betapa keras kepalanya wanita satu ini. Jadi, ditiap percakapan kami, akulah yang harus mengalah.
"Iya, iya. Ayo, kita ke luar."
"Asyik! Begitu, dong! Semangat sedikit, walau waktumu semakin menipis ...~"
"Berhenti mengingatkanku terus!"
Pintu ruangan VIP terbuka. Seorang pasien keluar dari sana, menuntun tiang infus dengan langkah lunglai. Tubuhnya hampir tak sanggup untuk melakukan apa pun, tetapi ia yang teramat keras kepala tetap memaksa tubuhnya yang sudah layu. Nakahara Chuuya seolah dipecut realita pahit hidupnya.
Wajah pucat dan napas pendeknya tak dapat membohongi siapa pun, bahkan Si malaikat pencabut nyawa. Akan tetapi, karena tahu bahwa Chuuya benci terlihat lemah di hadapan orang lain, Sharon tak menanyainya apa pun. Sebaliknya, ia meracau tak jelas, membuat pening kepala Chuuya.
Kedua kaki beralaskan sandal tipis sampai di luar ruangan. Dingin menembus kulit Chuuya dengan kejam.
"Benar juga. Aku lupa memberitahumu untuk memakai jaketmu."
"Telat. Aku tidak mau kembali hanya untuk mengambil jaket, yang bahkan tak berguna."
Iya. Chuuya sangatlah pemaksa. Tubuhnya yang setengah mati bertahan tak ia hiraukan. Ia tetap melangkah, menikmati musim dingin terakhirnya. Akibat diagnosis dokter, Sharon datang ke dalam hidup damainya. Otak Chuuya yang jeli pun berpikir bahwa hidupnya benar-benar akan berakhir.
"Sedingin itu, ya?"
Pertanyaan Sharon kembali mendidihkan emosiku. Bisakah ia diam? Sesaat saja!
"Iya. Pasti, makhluk sepertimu tak dapat merasakannya."
"Jangan salah, Chuuya! Pikiran, rasa sakit, perasaan ... semua yang kau rasakan, aku pun merasakannya. Jadi, jangan sombong!"
Pernyataan Sharon .... Jangan sombong?
Entah mengapa, perkataannya membuatku geli. Tanpa sadar, aku tertawa lepas. Seluruh perhatian tertuju padaku—yang tertawa sendirian, tanpa sebab. Aku tak peduli. Malaikat ini baru saja menghiburku.
"Jangan tertawa! Aku serius!"
"Iya, iya .... Aku mengerti."
"Berhenti tertawa, dong. Orang-orang memerhatikanmu, tuh ...."
Helaan napas panjang terlepas begitu saja; menciptakan embun tipis tepat di depan hidungku. Kalau kuperhatikan, Sharon juga memiliki embun di depan hidungnya. Apa ... dia bisa bernapas?
Dengan sejuta rasa penasaran yang bahkan Chuuya tak pernah tahu eksistensinya, mereka melanjutkan kegiatan sore mereka. Setelah berjalan cukup jauh di bawah rangkulan kejam musim dingin, Chuuya kehilangan kesadarannya. Semua penonton menjadi panik.
。・:*˚:✧。
Kepalaku sakit. Di sini ... hangat. Apa aku sudah kembali ke kamarku?
Lidahku kelu dan tak berasa. Sepertinya, aku tidur terlalu lama. Apa dokter menambah dosis obatku? Yah, belakangan ini aku mengeluh sering mengalami insomnia, sih.
Saat aku mencoba untuk mengubah posisi—dari yang tadinya hanya berbaring seperti mayat, menjadi duduk termenung di atas ranjang—tiba-tiba suara yang sangat kukenal menyambutku. Tak hanya suara, kali ini diiringi sentuhan hangat di punggungku.
"Pelan-pelan."
Nada penuh khawatir yang telah lama kunantikan. Ekspresinya pun sama saja. Dadaku nyeri. Bukan karena penyakitku, tapi karena perasaan mendadak yang aneh.
"Sharon ...?"
"Kaget, ya?" Sharon tertawa. Ia terlihat lebih hidup, dibanding sosoknya sebelum ini. "Aku terpaksa memakai wujud manusia ini. Habisnya, Chuuya tiba-tiba pingsan. Buat jantungku jatuh ke liang lahad saja!"
Mendapati Si malaikat pencabut nyawa berada tepat di hadapannya, sedang menggenggam tangannya yang dingin, membuat otak Chuuya berhenti bekerja. Untuk sesaat, semua sistem yang berkaitan dengan logika, berhenti bagi Chuuya. Ia tak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Menyadari hal tersebut, Sharon tersenyum gusar. Ia tarik pelan kedua tangan Chuuya hingga menyentuh pipi hangatnya. Kini, Chuuya dapat menyentuhnya.
"Aku serius. Aku hidup, sama sepertimu. Tapi, ini tak akan bertahan lama."
"Kenapa?"
"Kenapa?" Sharon kembali tertawa, mengulang pertanyaanku. "Apa-apaan pertanyaan itu? Tentu saja, karena kalau ketahuan yang lain, aku akan diberikan hukuman."
Wanita ini ... Sharon, tahu dia akan diberikan sanksi, tapi tetap saja membantuku? Bukankah dia seharusnya membiarkanku mati kedinginan? Aku tak masalah mati dalam keadaan apa pun.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan, Chuuya. Waktumu tersisa tiga hari, loh."
"Tiga hari?"
"Iya! Kau pingsan, um .... Selama dua hari! Benar, dua hari!"
"Hah?! Dua hari?!"
"Dokter melarangmu untuk ke luar lagi. Menyedihkan, bukan? Pria dua puluhan, yang bahkan tidak bisa pergi dari ruang VIP ini sesuka hatinya."
Dia mengejekku, untuk kesekian kalinya hari ini. Tawanya saja sudah bergema di kepalaku.
"Sudahlah. Aku akan tidur saja."
"Minum obatnya dulu!"
"Iya ...."
Karena perubahan yang mendadak ini, entah mengapa, hubungan kami malah jadi semakin dekat. Aku kembali mengetahui sesuatu dari Sharon. Dia ... sangat mencemaskanku. Terkadang, aku berpikir, untuk apa ia mencemaskanku yang akan mati sebentar lagi? Tapi, aku terlampau pengecut untuk menanyakannya.
Dia terus menemaniku, dari pagi hingga malam. Dia tak pergi ke mana pun, bahkan untuk sekadar mencari makan. Sharon menjelaskan bahwa, bahkan dalam wujud manusianya, ia tak membutuhkan makan atau minum, juga tidur.
Aku sebenarnya merasa terbebani.
Tentu saja. Sifat yang mengakar dari seorang Chuuya, tak dapat dengan mudah disingkirkan. Entah berapa kali Sharon melarangnya untuk berpikir demikian, Chuuya tetap melihat dirinya sebagai beban bagi Sharon, yang secara sukarela membantunya.
Hari demi hari mereka lewati. Tak satu pun duka terselip di sisa hari Chuuya. Yang ada hanya tawa Sharon yang semakin menggema dan tertanam di benaknya.
Dan untuk kali pertama dalam hidupnya, Chuuya teramat takut pada kematian.
Hari itu datang. Penghakiman bagi jiwa mereka yang jauh dari kata selamat.
Chuuya termenung di kamarnya, di sofa dekat jendela. Bola mata setenang permukaan laut menampakkan kekacauan di dalamnya. Ombak besar menerjang, memakan tubuh dan pikiran—
"Jangan khawatir."
Segera Chuuya menengadah ke sumber suara yang teramat ingin ia dengar. "Kenapa? Aku akan mati, dan kau menyuruhku untuk jangan khawatir! Kenapa?!"
Sharon menghela napas pelan. Ia berjalan kecil ke arah Chuuya, yang sedang menunggunya di sofa dekat jendela.
"Kita akan bertemu lagi."
Kedua telapak dingin ia taruh di pipi Chuuya yang sama dinginnya. Chuuya pucat pasi. Perasaannya yang bercampur aduk tak karuan membuat belas kasih sang malaikat maut meledak-ledak. Ia tarik pelan Chuuya ke dalam dekapannya, yang entah mengapa, terasa hangat.
"Maaf, selalu merepotkanmu," gumam Chuuya—perlahan luluh.
"Aku yang seharusnya meminta maaf." Ia dekap lebih erat lagi, tubuh yang mulai kehabisan waktu itu. "Karma pahit serapuh hablur es telah tercipta, karena kebodohanku. Kuharap, kau memaafkanku, Chuuya."
Tak ada yang mengerti apa yang dimaksud malaikat pencabut nyawa itu, bahkan 'pasiennya' sekalipun.
Bertepatan dengan jatuhnya salju terakhir di musim dingin, Sharon mengangkat sabitnya; menarik ke luar jiwa dari raga Chuuya secara paksa. Tubuh itu tetap terasa hangat, meski tak bernyawa lagi. Ia dekap tubuh Chuuya, membiarkan rohnya menunggu.
Maaf .... Maaf .... Maaf ....
Karma itu telah terlukis, secara tak terduga dalam hidupmu yang sudah layu. Sebagian jiwaku ada padamu. Dan, kau harus menanggung semuanya, hanya karena aku telah jatuh hati padamu.
Kuharap engkau mengampuniku, kala kita berjumpa lagi, 'hatiku', Chuuya.
Ini kulakukan, semata-mata karena keegoisanku; agar kita berjumpa lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan la—
。・:*˚:✧。
Belum sempat Si penulis selesai menulis narasi pada novelnya, jendela kamar pasien terbuka lebar. Dia yang ditugaskan untuk menjemput nyawanya telah kembali, setelah pergi tanpa pamit. Sharon mendengkus. Senyum pahit terlukis di wajah pucatnya.
"Memangnya, waktuku sudah habis? Padahal, aku belum menyelesaikan novel terakhirku."
"Tinggalkan pekerjaan tak gunamu itu."
"Jangan kasar begitu, dong, Chuuya."
Malaikat pencabut nyawa, Chuuya, memutar bola matanya sembari menggelengkan kepala. Ini bukan yang pertama kalinya Sharon bersikap demikian, tetapi itu tetap membuat Chuuya geram.
"Waktumu semakin menipis."
"Berapa jam lagi?"
"Satu."
Sharon termenung. Pikirnya kacau, namun air mukanya tetap tenang. Ia menghela napas pelan sambil tetap tersenyum.
"Saat kita pertama bertemu, katamu, kau akan mengabulkan permintaan terakhirku, bukan?"
"Iya." Chuuya mengangguk. Ia duduk di pinggir ranjang pasien. "Apa permintaan terakhirmu?"
"Novel ini .... Aku tak pernah ingin mempublikasikan novel ini. Yang kuinginkan hanyalah ... Chuuya membacanya. Bacalah dengan teliti, karena ini kesempatan terakhir."
Nada tenang nan manis yang menghiasi wajah pucat pasi membuat rasa penasaran meledak-ledak dalam diri Chuuya. Ia tak yakin. Sejak awal, Chuuya tak ada niatan untuk menuruti permintaan terakhir Sharon. Sama seperti jiwa sebelumnya, Chuuya akan pergi setelah berhasil mengantar jiwa Sharon ke seberang sana.
Sayangnya, kali ini, perasaan manusiawi mencegahnya.
Sharon ulurkan buku berukuran sedang penuh tulisan tangannya. Ia tersenyum riang, seolah tak akan terjadi apa pun padanya.
"Setelah ini, mari kita berjumpa lagi."
Waktu berjalan begitu cepat bagi Chuuya, dan begitu kejam bagi Sharon.
Dengan berat hati, Chuuya mengambil buku tersebut, menaruhnya di meja lain. Ia memantapkan hati untuk mengambil jiwa wanita yang hampir berhasil mencuri karsa sang malaikat maut.
Lain halnya dengan Chuuya yang tampak gelisah setengah mati, Sharon malah tersenyum dan tertawa riang. Ia bersikap seolah hari yang ia tunggu-tunggu telah datang.
"Maaf, ya. Padahal, Chuuya jadi kerepotan karenaku. Malahan, sampai mengubah wujudmu."
"Aku melakukannya karena kumau."
"Bukan karena peduli padaku, ya? Jadi sedih, deh, mendengarnya."
Chuuya menghela napas seraya tersenyum. Senyum palsu penuh kepedihan. Ia usap lembut pipi Sharon yang mulai mendingin.
"Jangan bersedih."
"Awalnya, aku sedih. Tapi, setelah kupikir lagi ... Chuuya sendirilah yang akan menjemputku, aku jadi senang."
Hatinya kembali berbohong. Air mata tergelincir dari pelupuk mata. Sharon menangis, menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Ia meringis dalam diem seraya mendekap erat tangan Chuuya, sedang Chuuya tak dapat melakukan apa pun untuk melawan takdir yang akan segera melahap jiwa si wanita.
Tak tahan dengan tangisan Sharon, Chuuya pun menarik tubuhnya yang kian mendingin. Mengusahakan yang terbaik untuk menghangatkan calon mayat itu.
Perlahan tapi pasti, jiwa si pencuri hati ke luar dari raganya. Harum mengikuti jejaknya. Roh yang tak lagi memiliki beban pikiran itu berdiri di samping Chuuya, menunggu untuk dibawa, entah ke mana.
Hampa yang teramat mendekap relung hati Chuuya. Ia tatap roh sang wanita dalam-dalam. Emosinya bercampur aduk, tetapi kesedihan kian berkuasa.
"Ayo."
Kecupan selamat tinggal yang terkesan teramat manis dan pedih, Chuuya bubuhkan di kening Sharon. Jemarinya yang dingin bertaut dengan jemari si gadis, yang sama dinginnya. Mereka pergi, berdampingan, meninggalkan dunia yang tak lagi sehat.
Diiringi serpihan salju—yang pertama kali jatuh ke permukaan tanah—Chuuya menyelesaikan tugasnya dengan baik. Meski nurani menjerit penuh kepedihan, ia tetap melanjutkan masa hukumannya sebagai seorang malaikat maut.
Entah, kapan, bagaimana, dan di mana, mereka akan berjumpa lagi.
End~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top