7. Caramel Cookies
~ Kerenyahannya tertutup dengan rasa yang cenderung lengket, serta pekat. Seperti kisah yang kulalui akhir-akhir ini. ~
🍽🍽🍽
Sudah beberapa hari ini, remaja lelaki bernama Bintang, terus saja membuntutiku. Pintu gerbang, kelas laboratorium, bahkan sampai masjid ... tak luput dari jangkauannya untuk mengetahui jejakku.
“Kamu, sama Bintang ... ada apa?” tanya Kak Riza. Aku yang tengah lahap menyantap batagor pemberiannya, mendadak menjadi kenyang seketika. “Na! ...,” panggilnya.
Kuletakkan sendok yang masih tergenggam di tangan. Menghela napas perlahan, lalu kuembuskan kasar. “Kenapa Kakak jadi seperti mereka?” keluhku.
“Seperti mereka gimana?” tanyanya bingung.
“Iya! Pertanyaan Kak Riza tuh sama seperti mereka.” Rasanya aku benar-benar sudah mulai terbakar emosi dengan ulah semua orang yang berkasak-kusuk di sekitarku.
“Aku tanya ... karena ingin mendapatkan jawaban langsung dari kamu, Na!” ujarnya dengan nada menggeram.
💻💻💻
# 4 hari yang lalu, Lab. Komputer
Sebuah kotak dengan ukuran sedang, berisikan aneka camilan manis serta sebuah boneka, bertengger cantik di atas meja. Tak lupa sebuah kartu dengan ucapan, ‘To Sweetness Smile : Aluna'.
Siapakah gerangan? Yang menginginkanku menjadi bahan ejekan satu kelas! Namun sayangnya dugaanku salah ... bukan hanya satu kelas, melainkan satu sekolah.
Kasak-kusuk mulai merebak ke seantero, Anugerah Persada. Bukan hanya sekedar cibiran, akan tetapi perkataan mereka sudah mengusik ketenanganku.
“Cih! Ngga puas kali, kalo jalannya sama Riza doang!”
“Bener banget. Mungkin kurang tertantang, jadi didobel aja!”
“Kasi tau kali, gimana caranya biar dapet dua!”
“Gak bersyukur! Udah dapet Kak Riza, sekarang Kak Bintang diembat juga.”
Ya Tuhan! Sesulit inikah yang dinamakan bergaul di sekolah. Ternyata benarkan, apa yang menjadi ketakutanku selama ini?!
Aku harus segera meluruskan masalah ini dengan berbicara pada Kak Bintang. Sudah cukup aku mendengar ringannya praduga yang mereka lontarkan kepadaku.
“Kak!” panggilku pada orang yang menjadikanku pemeran antagonis ini.
“Eh, Gemi ... suka gak sama bonekanya?” tanyanya dengan senyum merekah.
“Maaf, Kak! Bisa kan panggil Aluna saja, seperti teman-teman yang lainnya.” Apa sih yang dipikirkan Kakak tingkatku satu ini? Kenapa seenaknya sendiri membuat nama panggilan untukku?
“Bukannya dari dua bulan lalu, kita emang udah dekat ya?! Yang waktu di UKS,” tukasnya.
“Iya. Itu karena Kak Bintang, kakak tingkatnya Aluna.”
“Loh! Kenapa? Riza aja boleh dekat, main, terus manggil kamu sesuka hatinya. Masa, aku gak boleh?! Curang nih, Gemi.” Ia berceloteh seolah-olah kami adalah teman akrab. Tangannya tiba-tiba terulur untuk mengemas pipiku.
“Kakak, bisa sopan gak?!” teriakku tanpa sadar. Beberapa siswa yang tengah berkeliaran di sekitar kami, memerhatikan dengan saksama.
“Sorry guys! Dia lagi ngambek. Lanjutin urusan kalian masing-masing!” usir Kak Bintang pada mereka semua.
Mendapat perlakuan seperti itu, membuatku menjadi tidak respek kepada Kak Bintang. Aku tidak suka bagian tubuhku disentuh oleh orang lain. Dengan langkah tergesa aku kembali ke dalam kelas.
“Dari mana, Na?” sapa Erika.
Entah salah atau benar? Aku ingin membagi perasaanku dengannya, “e ... dari depan, Ka. Aluna boleh cer-”
“Na, Na! Masa Chessa beliin ini buat aku,” ujarnya memotong kalimatku, seraya menunjukkan sebuah jaket dengan bentuk menyerupai anak ayam tersebut.
“Bagus, Ka.”
“Makasih, Na! Aku ke bangkunya Chessa dulu ya,” ucapnya berlalu begitu saja.
Ya Allah ... kapan Na boleh punya teman, seperti yang lainnya?
🎨🎨🎨
Aku memilih bungkam, usai perdebatan tak berujung dengan Kak Riza. Setelah sepiring batagor tandas, aku memutuskan kembali ke ruang seni, sementara ia ke ruang fotografi.
Baru saja melewati pintu, seseorang menarik lalu mendorong bahuku. “Gue gak sangka ... Lo tega, Na!” Aku terheran mendengar pernyataan, teman sekelasku, tepatnya teman sebangku Aulia.
“Apa maksud Anggun? Luna gak ngerti.”
“Gak usah munafik deh! Kak Bintang itu gak pantes lo mainin!” ujarnya berapi-api.
Sejujurnya pantang untukku mengeluarkan amarah, apalagi di tempat yang tidak tepat seperti ini. Sabar, Na! Ini ruang umum, bukan kamar Aluna.
Setelah meluapkan isi hatinya, ia pergi begitu saja dari hadapanku. Aku mendaratkan tubuh pada bangku, dengan setengah keras. Mata-mata elang yang sedari menyaksikan perlakuan Anggun terhadapku, kini berpaling dengan meninggalkan senyum sinis.
Dapatkah kalian menunjukkan, apa salah yang telah kuperbuat? Mungkin saja, ... mungkin Tuhan sedang ingin menguji kesabaranku. Begitukah yang seharusnya kupikirkan?
Bibirku benar-benar terkunci, sejak kejadian tadi. Bahkan Erika menjadi bingung untuk menghadapi kebisuanku.
“Na. Na kenapa?” tanyanya. Aku menggeleng cepat. “Ika salah apa sama Na?” Aku kembali menggeleng. “apa karena kejadian tadi?” sambungnya.
Teettt ... teettt ... teettt ....
Beruntungnya aku tak perlu menjawab atau menjelaskan apa pun pada Erika. Aku lebih memilih segera berkemas meninggalkan ruangan tersebut.
Tujuh belas menit menunggu, akhirnya muncul juga mobil milik bunda, memasuki halaman sekolah. Segera saja aku merentak berdiri dari bangku ruang tunggu, dengan tatapan menunduk.
Namun, keterkejutan ini tampaknya enggan beranjak dariku. Tepatnya saat aku mengetahui, sosok yang kini berada di balik kemudi. “Kamu?! Bunda mana?” seruku, seraya memasuki mobil.
“Kamu habis nangis? Siapa yang berani ganggu kamu?” Bukan jawaban yang aku dapatkan. Justru yang mengudara adalah kalimat yang mempertanyakan tentang keadaanku saat ini.
“Na ... lihat, Mas! Siapa yang sudah berani membuat Nana, menangis?” ujarnya mengeram.
“Ih, apa sih!” dalihku, saat menyusut air mata. Aku kembali bertanya, “Bunda mana?” Tak ada jawaban darinya, membuatku makin penasaran saja. Setelah kuamati, ini bukan jalan kembali menuju rumah.
“BAGAS! KITA MAU KE MANA?!” teriakku yang disertai suaraku decitan ban, hingga mobil pun berhenti.
Bagas tampak menghela napas panjang. Aku tak bisa menebak, apa yang tengah disuguhkan oleh raut wajahnya? Sejurus kemudian ia berucap, “kita ke rumah sakit!”
Tubuhku lemas seketika. Pandanganku pun menggelap. Aku seolah tertarik oleh ruang waktu, saat masih menggunakan putih-biru.
“Kita ke rumah sakit!” tukas sebuah suara dengan tenor serendah mungkin. Siapa gerangan? Yang pernah mengucapkan kalimat ini, padaku!
.
.
.
Assalamu'alaikum, Friends!😊
Aluna kembali 'mengisi' toples lebih cepat dari biasanya.👏👏
Mohon dukungannya dengan memberi vote dan juga komentar. Terima kasih 🙏.
Salam sayang selalu dari
~ Dunianya_D ~
01-04.04.20 -> 04.04.20 19:30
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top