#9 Kembali Bertemu

Sinar matahari semakin meredup, meminta izin untuk pamit undur diri dan beristirahat pada malam. Zora berdiri, lantas melangkah menuruni setiap anak tangga. Hatinya riang menikmati sore yang menjadi tradisinya sewaktu kecil. Perasaan nostalgia sangatlah menyenangkan. Sudah lama sekali sejak Zora duduk di tangga ini. Tangga menuju sebuah pura di atas bukit. Masih bersih dan serba terawat. Zora ingat bagaimana lumut dan rumput liar mengisi penuh tangga ini di masa depan. Mungkin sudah tak banyak orang yang mengunjungi tempat ini karena lokasinya yang berada di sudut kota, dekat dengan rumah Zora. Padahal, tempat ini sangat menenangkan. Pemandangan kota yang masih belum ramai dapat terlihat jelas dari atas sini.

Langkah Zora terhenti sesaat ia sampai pada anak tangga yang terakhir. Ia memperhatikan kaki kecilnya, kagum pada susunan tulang yang tak mengenal lelah setelah berjalan kaki seharian. Hari Zora sudah ia penuhi dengan berkeliling kota masa kecilnya, mengunjungi tempat-tempat yang sebagian sudah lenyap di masa depan. Walau Zora masih bertanya-tanya bagaimana dan mengapa jiwa 21 tahun-nya dapat menempati raga berumur 10 tahun-nya, tak dapat dipungkiri bahwa ada secuil rasa bahagia dalam dirinya. Muak menjadi kata pertama untuk mendeskripsikan bagaimana hidup Zora pada umur 21 tahun. Tentu ia bisa membandingkannya dengan apa yang ia rasakan sekarang. Namun setidaknya, yang ia rasakan sekarang ialah tak adanya berbagai keresahan yang selalu menghantui setiap langkah Zora. Tak ada rasa cemas akan masa depan yang tak pasti, atau hubungannya dengan sebagian orang yang akan berakhir, serta pekerjaan maupun studi Zora yang tak bisa mengganggunya. Untuk sementara waktu. Kehidupan dewasa yang rumit tiba-tiba sirna setelah Zora jatuh ke dalam jurang itu. Ia belum mendapatkan jawaban akan semua pertanyaan yang berlarian di dalam kepalanya. Tapi, setelah melalui satu hari kembali pada dunia yang Zora rindukan, mungkin ini saatnya untuk berhenti mencari tahu akan jawaban dari semua rahasia yang disembunyikan darinya. Dan mulai membiarkan waktu untuk mengungkap sendiri makna dari semua ini.

Langit sudah berwarna ungu kebiruan, malam pun segera hadir dengan lebih cepat. Zora mendongak ke atas, tersenyum menatap indahnya angkasa luas malam ini. Langit tak pernah seindah ini di kota Zora tinggal. Hal sederhana seperti ini cukup membuat hatinya tentram. Ditambah lagi, hari ini Ayah dan Mama akan pulang. Jika itu memang benar mereka, dan jika Ayah memang masih ada di dunia. Walau Zora tahu keberadaan Kakek yang harusnya sudah pergi adalah nyata, ia tak ingin terbuai setelah mendengar suara sang ayah. Zora tak ingin terlalu menaruh harapannya pada sesuatu yang tak pasti. Ia tak ingin dikecewakan oleh dunia yang sedang bermain-main dengan jiwanya.

Dua rumah lagi yang harus dilewati dan Zora akan segera sampai. Namun tiba-tiba, langkahnya terhenti. Di hadapannya, di depan halaman rumahnya telah terparkir sebuah mobil APV silver. Itu mobil Ayah. Zora dapat merasakan kakinya yang gemetar hebat melihat lampu depan mobil yang baru saja dimatikan. Dua orang figur segera keluar dari dalam mobil. Zora melangkah pelan, hatinya penuh dengan diskusi antara ya dan tidak. Jantung Zora berdegup kencang membayangkan hal apa yang akan ia hadapi.

Cahaya lampu kuning keemasan menerpa salah satu wajah dari figur itu: Mama. Mama, sebelas tahun yang lalu, dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai dan jaket jeans biru yang masih setia dia gunakan, sebelas tahun dari sekarang. Zora sempat lupa dengan rupa Mama pada tahun ini, dan sekarang ia dapat mengumpulkan segala isi ingatannya akan bagaimana Mama terlihat. Selalu anggun tapi tetap tampak seperti wanita modern yang mandiri. Dia dapat melihat sosok dewasa dirinya dalam diri Mama. Walaupun demikian, Zora sama sekali tak terkejut akan wajah Mama yang dilihatnya, karena di masa depan Mama masih ada di sisinya. Tapi, setelah langkahnya semakin mendekat dengan mobil itu, Zora menyadari sesuatu.

"Zora!"

Salah satu figur selain Mama mendapati Zora yang tengah berjalan pelan ke arah mereka. Ia melambaikan tangannya dengan tinggi di dalam gelap. Zora berhenti lagi. Jantungnya semakin berdegup kencang. Zora tahu siapa orang itu. Ia hanya tak siap menghadapi kenyataan yang akan terjadi. Ia hanya tak siap untuk kembali bertemu dengan orang yang sudah pergi lama dari hidupnya. Zora hanya tak tahu cara bagaimana ia harus bersikap jika memang sosok yang berdiri dalam gelap malam di depannya adalah Ayah, yang sudah mati bertahun-tahun dari sekarang. Selama yang ada dalam ingatannya.

Sosok itu mulai berjalan mendekatinya yang terbujur kaku dalam diam. Selangkah demi selangkah untuk menggapai raga Zora. Sorot lampu segera menghampiri wajah orang itu setelah kakinya bergerak ke depan. Itu Ayah. Itu Ayah. Itu Ayah. Ayah yang sehat, dapat berdiri tegap dengan kakinya. Bukan Ayah yang tergulai lemas dalam badan yang menyusut kering di atas kasur rumah sakit dengan berbagai kabel dan alat infus yang menopang hidupnya. Bukan Ayah yang lemah dan dikuasai penyakitnya. Bukan Ayah yang sakit, yang sebagian besar selalu mengisi ingatan Zora. Semua memori tentangnya dan Ayah mengalir lambat dalam pikirannya. Dan itu potret Ayah yang ada dalam masa kecilnya.

Kaki Zora melemas lagi, mereka mundur beberapa langkah ke belakang. Rasa tak percaya akan apa yang ia lihat sudah ada di ubun-ubunnya. Harapan kemarin yang tak ia akui, terkabul sudah. Zora tersentak nafasnya sendiri. Berteriak-teriak dalam hatinya kalau semua ini hanya mimpi. Tapi, tangan itu meraih lengan Zora. Ayah membungkuk, tersenyum ke arah putrinya. Zora menelaah wajah itu. Rambut ikal, bibir tipis, hidung yang mirip seperti milik Zora... Bulu kuduk Zora berdiri. Ragu berangsur hilang dari hatinya. Itu jelas ayahnya. Tak ada bantahan lagi.

Zora mulai terisak, ia yakin tangisannya akan segera pecah. Tapi, ia berusaha menguatkan dirinya setelah melihat lebih dalam ke arah kedua retina Ayah. Mata sayu itu selalu menatap Zora dengan bangga. Ayah memeluk putrinya dengan erat. Zora hanya dapat berdiri diam merasakan hangat tubuh ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Bahkan hangat itu tergantikan oleh dingin membiru saat terakhir ia memeluk ayahnya, di kamar rumah sakit. Pikiran itu tak pernah terlintas... tentang dirinya yang dapat merasakan pelukan ternyaman di dunianya lagi.

Secuil rasa bahagia mulai muncul ke permukaan. Mulai mengisi penuh jiwa Zora yang selama ini sudah hampa, kosong. Hatinya yang berlubang bagai ditambal lagi. Ini rasa bahagia yang sudah lama Zora lupakan. Sudah lama ia kubur dalam karena... Ia tak pernah yakin akan merasa demikian lagi. Tapi, inilah kebahagiaan itu. Rasa ini nyata. Semua ini adalah nyata. Semua hal yang terjadi, dan tak terjadi.

Jika pun hal ini sebenarnya mimpi, Zora merasa tak apa jika ia terus-terusan hidup dalam mimpi ini. Tak usah bangun, selamanya, tak apa. Tak usah kembali pada kehidupan dewasa yang selalu menuntutnya untuk menjadi sempurna. Tak usah kembali pada waktu di mana ia berusaha untuk memperbaiki semuanya, perasaannya, dirinya, tapi dunia mendorong kasar agar ia terjatuh, lagi dan lagi.

Inilah rasa yang tlah lama hilang. Perasaan bahagia yang selalu ia cari pada orang lain, bermaksud untuk menggantinya, tapi tak pernah ia temukan di mana. Perasaan bahagia yang selalu Zora idam-idamkan. Zora dapat berdiam lebih lama dalam dekapan hangat Ayah, dan bujuk rayu Mama yang iri akan dekatnya mereka berdua. Sudah cukup sangat untuk merasakan itu semua.

Merasakan keluarganya utuh menjadi "keluarga" yang selalu ia rindukan...

... Dan lewatkan.

***

Aku ingin tinggal sedikit lebih lama

Merasa sedikit lebih dalam

Seperti ini untuk selamanya...

Walau hidup bukan selalu soal aku,

Tapi, rasanya

Tak cukup jika hanya mengenang sampai akhir masa.

Zora sudah berjanji. Ia berjanji tak akan bertanya-tanya pada dirinya sendiri soal ketidakmasukakalan yang ia alami beberapa hari ini. Zora kira, pada saat ia bangun tadi di pagi hari, ia akan kembali pada hidup dan masa di mana seharusnya ia berada. Kembali pada entah apa, kasur rumah sakit dan segala perban yang seharusnya menutupi sebagian besar tubuhnya. Pikiran itu selalu menghantui dirinya. Karena bisa saja, jika tidak hari ini, esok hari dapat membawanya kembali pada masa itu. Itulah rasa cemas yang selalu menumpuk dalam hatinya setiap pagi, setiap ia berguling dan membuka matanya. Namun, di pagi ketiga ia terbangun di "masa lalu", Zora masih saja ada di sana. Ia masih terbangun pada hiasan plastik berbentuk bintang yang tertempel di langit-langit kamarnya. Dengan suara Kakek yang sibuk mengurus ayam aduannya di kebun samping kamar Zora. Atau suara radio tetangganya yang memutar rekaman gamelan Bali. Semua hal normal yang terasa aneh bagi jiwa dewasanya saat ini.

Tapi, pagi ini ada hal yang berbeda. Zora membuka mata dengan Ayah dan Mama yang masih tertidur di sampingnya. Dia membuka mata pada keluarga utuh yang sudah lama hilang. Keluarga yang selalu ia rindukan. Kebahagiaan yang Zora rasakan semakin nyata. Ini jelas bukan mimpi, tak perlu berbagai pertanyaan lagi. Melihat keluarga kecilnya kembali bersama sudah cukup baginya.

Dan dia sangat bersyukur akan hal itu.

Semesta memberikannya kesempatan untuk mengulang lagi masa lalunya. Bahkan dari sekian banyak orang di dunia, ia memilih Zora untuk meraih kesempatan itu. Zora tak tahu apakah dia pantas menerima semuanya, karena baginya ia hanya seorang remaja 21 tahun yang tak berguna dan tak pernah ikut berpartisipasi dalam mengubah dunia. Tapi, di sinilah dia. Mungkin, dunialah yang ingin membuat Zora mengubah dunianya sendiri. Mungkin dunia memberikan dia kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan dan melakukan apa yang tak sempat ia lakukan di kehidupannya terdahulu.

Zora menatap lagi wajah ayahnya. Ya, banyak hal yang tak sempat ia lakukan dulu. Walau lebih banyak hal baik yang ingin ia rasakan lagi. Dan karena dunia bersedia, Zora tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Tidak lagi. Tidak akan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top