#7 Jurang

Zora terbangun dengan rasa nyeri pada kepalanya. Ia berusaha untuk memaksa membuka mata. Betapa terkejutnya Zora saat mendapati area sekitar pantai itu sudah gelap gulita. Hanya ada beberapa lampu jalan yang menerangi tempat itu. Tak ada satu pun orang yang ada di sana. Sepi, sunyi, hanya terdengar bunyi ombak yang saling beradu dan suara binatang-binatang malam. Zora meraba-raba dalam gelap, mencoba mencari telepon genggamnya yang ia ingat ada di sebelahnya sebelum jatuh tertidur. Saat ia menemukannya, ia tak kalah terkejut melihat waktu yang menunjukkan pukul delapan malam. Sial, ia baru sadar sudah tertidur selama hampir dua jam di sana. Bagaimana bisa? Banyak panggilan tak terjawab dan berbagai pesan dari Mama dan orang-orang yang ada di rumah. Mereka semua pasti khawatir karena Zora sama sekali tak berpamitan dan tak dapat dihubungi hingga malam.

Dengan tertatih, Zora berusaha untuk berdiri dan masuk ke dalam mobilnya. Ia tak ingat bagaimana bisa dirinya tertidur di pantai itu. Kepalanya masih terasa sangat pening. Obat-obat itu jelas tidak berpengaruh apa pun untuknya, tapi bisa saja menjadi alasan kuat mengapa Zora dapat merasakan kantuk yang teramat sangat, lalu tertidur secara tidak sengaja di sana. Ia mengecek lagi handphone­-nya, bermaksud untuk menelepon balik ke nomor Mama. Malangnya, tak ada sinyal telepon yang dapat tertangkap. Zora mengeluh lagi. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha fokus. Ia menyalakan mobilnya dan segera melaju pergi dari tempat itu, sebelum sesuatu yang buruk terjadi padanya.

Zora dapat bernafas lega saat ia melihat jalan utama kota yang terang. Segala pikiran buruk tentang begal atau pencuri yang bisa saja ditemuinya tadi, hilang sudah. Ramainya kota ini mengusir segala rasa takut yang membuat Zora harus mengemudikan mobilnya dengan kencang di jalan keluar pantai yang minim penerangan. Zora melihat keluar jendela, ada sebuah pasar malam di seberang jalan. Zora tak percaya bahwa sampai sekarang pasar malam itu masih beroperasi, karena ia pernah mendengar berita tentang kebakaran yang melandanya. Dulu, Ayah sering mengajak Zora untuk mampir ke sana setelah mereka berkunjung dari pantai. Mereka akan selalu membeli es rumput laut terenak yang pernah Zora minum. Sudah sepuluh tahun lebih Zora tak mencicipi es rumput laut itu, entah warungnya masih buka atau sudah tutup lama. Zora berharap masih ada waktu untuk mampir ke sana, tetapi ia takut untuk membuat Mama khawatir berlebih.

Kota yang sebelah utaranya adalah Laut Bali dan desa-desa yang ada di sekitarnya berperan banyak dalam mengisi masa kecilnya dengan Ayah. Ditambah dengan Ayah yang pernah bekerja sebagai seorang tour-guide, Ayah adalah seorang penjelajah yang suka mendatangi tempat apa pun yang ada di sekitarnya. Ia sering mengajak anak semata wayangnya untuk pergi mengunjungi berbagai tempat, dan yang paling sering mereka kunjungi adalah pantai-pantai yang belum terjamah. Sebab itulah, Zora memiliki ingatan yang baik akan seluk-beluk jalan di sekitar kota tempat tinggalnya hingga kota ini. Pantai dengan kota tempat tinggal Zora berjarak sekitar 10 kilometer, diapit oleh tiga desa yang menghalanginya. Setelah Zora melewati hingar-bingar kota pinggir pantai itu, suasana desa yang sepi langsung menghampirinya. Jarang sekali terlihat orang yang lalu-lalang di jalanan desa ini. Hanya ada beberapa mobil yang melewati mobil Zora dari arah berlawanan. Hanya beberapa. Di samping kanan Zora, terdapat rumah-rumah penduduk yang berjarak berjauhan, dan semua pintunya sudah tertutup. Sedangkan di samping kirinya, terdapat jurang dalam yang dibatasi dengan pembatas jalan. Saat Zora kecil, Om Jaya pernah menakut-nakuti Zora, ia berkata bahwa di bawah jurang itu terdapat sebuah rumah nenek tua yang kukunya beracun. Zora kecil yang mudah percaya, setiap kali melewati jalan itu akan selalu berusaha menengok ke arah jurang dari dalam mobil. Tapi karena keterbatasan ruang, Zora tak pernah bisa melihat apa yang ada di dasar jurang. Sampai sekarang, jika berpikir soal tempat itu, rasa penasarannya masih sama.

Seketika, bulu kuduk Zora merinding saat mengingat soal mitos palsu yang Om Jaya buat. Ia tahu kalau hal itu tidaklah benar, tapi siapa yang tahu? Keheningan dan kegelapan yang menemaninya di sisi kiri dan kanannya menambah rasa takut dalam diri Zora. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan ketakutannya. Dirinya baru sadar ada sebuah flashdisk bertengger di music player yang ada di mobil itu. Perasaan senang bercampur lega langsung mengisi hatinya. Dengan sigap, ia menyalakan tape yang perlu diberi tiga kali tekanan jari agar dapat menyala. Mobil milik orang tua Wahyu ini adalah mobil tua, dan Zora mencoba memaklumi itu. Lagu pertama mulai terdengar. Akhirnya, ada yang bisa memecahkan keheningan yang Zora alami. Tapi, setelah musiknya mulai, Zora menyadari sesuatu.

Denting piano, kala jemari menari...

Ia tahu lagu itu.

Nada merambat pelan, di kesunyian malam saat datang rintik hujan, bersama sebuah bayang... yang pernah terlupakan.

...

Benar, "Yang Terlupakan" oleh Iwan Fals. Itu lagu kesukaan Ayah.

Lagu yang dulu selalu mereka berdua nyanyikan bersama saat di dalam mobil.

Hati kecil berbisik, untuk kembali padanya...

...

Lagu yang Zora tolak dengarkan selama bertahun-tahun karena lagu itu selalu mengingatkannya akan Ayah.

Tangan Zora bergetar. Ia merasa dapat mendengar hantu Ayah menyanyikan lirik lagu itu dari kursi di sebelahnya. Ia dapat melihat gambaran soal dirinya dan Ayah, duduk di bangku depan mobil sambil berteriak-teriak menyanyikan lagu itu. Ia dapat mengingat Zora berumur 7 tahun bertanya pada Ayah tentang makna lagu itu, di mana Ayah selalu bilang "Nanti Ayah kasih tahu kalau kamu sudah dewasa". Ia dapat merasakan semua itu, dan kenangan itu menyiksanya. Zora benci lagu itu. Ia tak mau mendengarnya lagi.

Rasa sesal di dasar hati, diam tak mau pergi...

Haruskah aku lari dari kenyataan ini?

Zora mulai menekan lagi tombol power pada tape itu, mencoba mematikan alunan musik dari sana. Tanpa ia sadari, jauh di depannya terdapat blokade perbaikan jalan. Pandangan Zora masih terus fokus ke tape mobil yang masih tak mau menghentikan alunan musik yang semakin memupuk emosinya. Dengan kesal, Zora memukul tape itu dan kembali melihat ke arah depan. Di mana, plang perbaikan jalan hanya tinggal berjarak beberapa meter lagi di depan Zora... Ia terkejut bukan main, kepanikan langsung berhamburan menyerangnya. Zora berusaha menginjak rem, tapi naas, semuanya terlambat. Mobil yang Zora kendarai menabrak plang itu. Dengan panik, Zora membanting stir ke arah sisi kiri jalanan. Yang ia terlambat sadari adalah, ia baru saja mengarahkan mobilnya melaju ke dalam jurang.

Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi...

Namun senyummu tetap mengikuti!

Mobil Zora menghantam pembatas jalanan, lalu terjun bebas, terguling masuk ke dalam jurang itu. Tangannya berusaha tetap memegang erat setir mobil, tapi tak bisa. Tubuhnya kalah, beberapa kali ikut terbanting dengan mobilnya yang semakin jatuh terperosok. Hingga akhirnya, mobil itu berhenti jatuh. Lampu sorot mobil masih menyala, Zora dapat melihat jelas sebuah sungai kecil di bawahnya. Akhirnya ia tahu apa yang ada di ujung jurang tersebut. Sungguh sebuah cara yang sangat buruk untuk mengobati rasa penasarannya sedari kecil. Alunan lagu itu sudah berhenti, entah sedari kapan. Meninggalkan Zora untuk menghadapi sendirian kesunyian jurang pada malam nan pekat ini.

Zora mengerang, berusaha berteriak minta tolong walau ia tahu tak akan ada orang di dalam jurang, semalam ini. Tangan kanan Zora tergulai lemas, tak dapat ia gerakkan sedikit pun. Ia yakin sudah mematahkan tangannya karena beberapa benturan keras tadi. Dengan cahaya yang sangat minim, Zora dapat melihat pakaiannya yang sudah berlumuran darah. Pening di kepalanya makin terasa. Ia berusaha menggerakkan sebelah tangannya lagi, menguatkan diri untuk menahan nyeri. Zora memegang dahinya, di mana darah sudah bercucuran dari sana. Sakit di sekujur tubuhnya sangat menyiksa. Ia tak tahu bagian tubuh mana saja yang terluka parah karena semuanya terasa sama. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Zora berusaha untuk membuka pintu mobilnya, namun gagal. Sepertinya bagian luar mobil ringsek karena terhantam tanah berbatu beberapa kali. Kali ini Zora berusaha untuk menarik kakinya, dan sialnya lagi, kedua kakinya terjepit di bawah sana. Ia bisa bayangkan seberapa parah kerusakan mobil itu. Rasa sakit di tubuhnya tak dapat ia toleransi lagi.

Zora mulai menangis, pasrah. Harapannya putus. Ia benar-benar sekarat. Tak akan ada yang tahu kalau dia ada di bawah sini. Zora menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Darah semakin banyak yang menetes dari keningnya. Pusing. Pening. Nyeri. Hanya keluhan-keluhan itu yang ada di pikirannya saat ini. Rasanya sama sekali tak berdaya, bahkan untuk berteriak saja ia sudah tak mampu. Tangisan Zora semakin menjadi-jadi. Beberapa menit yang lalu, ia masih percaya bahwa keajaiban akan turun dari langit dan menyelamatkannya. Tapi karena rasa sakit yang semakin menjadi, Zora sungguh merasa tak berdaya.

Pandangan Zora mulai kabur. Rasa sakit hebat di kepalanya sudah mengambil alih seluruh tubuh Zora. Mungkin, ini saatnya menyerah. Fakta bahwa Zora akan mati di sini sangat mengguncangnya. Tangis Zora semakin pecah, mengingat banyak sekali hal yang akan ia lewatkan. Ia bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada siapa pun yang ada di rumah. Ia belum meminta maaf pada Mama soal sikap-sikap buruknya. Ia tak akan pernah bisa mengembalikan mobil Wahyu dalam keadaan utuh. Banyak kesempatan yang sudah Zora buang semasa hidupnya, ia sangat ingin mengulang waktu dan kembali ke masa-masa itu. Tapi, kesempatan untuk hidup sekali lagi malam ini, itu yang lebih ia perlukan.

Kepala Zora terasa semakin berat. Ia tak dapat lagi memaksa matanya untuk terus terbuka. Kedua mata Zora akhirnya terpejam. Zora dapat merasakan degup jantungnya sendiri melambat. Nafasnya terengah-engah, dan semakin lelah memompa udara untuk masuk ke dalam paru-paru Zora. Segala penyesalan semakin membawa Zora untuk tenggelam di dalamnya. Ini semua sia-sia. Ini semua mustahil. Tak ada lagi harapan baginya. Sekarang, saatnya untuk benar-benar menyerah. Dan Zora harus menerima itu.

Zora sama sekali tak pernah membayangkan ia akan mati di sini.

Di kota tempat ia kehilangan Ayah, sepuluh tahun yang lalu.

Dan di tanggal yang sama dengan kematiannya.

...

...

...

Ada sorot lampu senter mengarah pada mobil Zora dari arah jalan raya. Zora yang sudah tidak sadarkan diri tak dapat mendengar beberapa warga berteriak memanggil siapa saja orang yang tak mereka tahu ada di bawah sana, di dalam mobil itu. Sebagian orang berusaha untuk turun ke dalam jurang, mencoba untuk menjangkau mobil Zora, sebelum bantuan yang sudah mereka hubungi datang.

Kesempatan itu ada. Zora selamat.

***

"Status pasien?"

"Kecelakaan mobil tunggal. Tangan kanan patah, kepala terbentur beberapa kali, pendarahan hebat, kemungkinan gegar otak. Pasien kehilangan banyak darah..."

Zora terbangun dengan pening yang masih terasa amat parah. Dahinya basah, itu tandanya darah masih mengucur dari dalam kepalanya. Suara-suara orang di hadapannya terdengar semakin jelas, tapi matanya masih enggan untuk terbuka lebar. Zora dapat merasakan tubuhnya dipindahkan dari sebuah mobil ke ranjang pasien. Ini rumah sakit, dan Zora masih tak percaya bahwa ada yang menyelamatkannya. Setelah tubuh Zora dirasa aman, orang-orang yang ada langsung mendorong ranjang itu dengan cepat.

"ZORAAAAAA!!!"

"Zora!!! Anakku!!!"

Terdengar suara seorang familiar yang berteriak memanggil namanya. Itu Mama. Seketika kedua mata Zora dapat terbuka lebar, tapi ia masih terlalu lemah untuk menggerakkan kepalanya. Ada beberapa langkah sepatu yang berlari, berusaha mengejar langkah cekatan para perawat yang mendorong ranjang Zora. Langkah-langkah itu berhenti saat seseorang berusaha berbicara pada mereka, menyuruh mereka menunggu di luar dan membiarkan dokter yang bekerja. Zora tak tahu siapa saja yang datang, siapa saja yang menangis histeris, siapa saja yang diam tak berdaya melihatnya babak belur seperti ini. Tapi, Zora bisa tahu seluruh keluarganya ada di sini, menyaksikan dirinya yang sekarat dan hampir mati. Hanya tangisan mereka yang terdengar paling jelas. Zora merasa sangat bersalah. Ia bahkan tak memiliki kuasa untuk menggerakkan tubuhnya, atau hanya wajahnya, untuk berbohong kepada mereka agar tidak terlalu mencemaskannya, karena ini hanya sebuah "kecelakaan ringan". Zora ingin mereka, terutama Mama, untuk tidak terlalu khawatir dan membuang-buang air matanya. Tak apa, kan, kalau kali ini ia berbohong?

Karena kenyataannya adalah rasa nyeri pada tubuh Zora sudah tak bisa ia bendung lagi. Jika ia memiliki cukup kekuatan, ia akan jelas berteriak mengatakan betapa perihnya segala luka yang ia dapat, baik yang terlihat jelas di luar, maupun yang mencabik-cabiknya dari dalam. Zora hanya dapat melihat lampu-lampu yang tergantung di atas koridor rumah sakit itu, yang kemudian berubah lebih terang sesaat mereka memasuki sebuah ruangan, dan akhirnya laju ranjang pasien berhenti. Itu ruang UGD.

"Nama kamu Zora, ya? Kita sama-sama berjuang, ya, Nak..."

Seorang wanita yang Zora rasa adalah dokter berkata lembut di sebelah telinganya. Zora berusaha melirik para suster yang mulai merobek pakaian bersimbah darah yang dikenakannya. Di sebelah kirinya, salah satu suster memasang selang infus di tangan Zora. Dokter itu kembali mencoba membuka mata Zora menjadi lebih lebar dengan tangannya, lalu menyoroti pupil Zora dengan alat seperti senter kecil. Sesaat, Zora merasa tubuhnya semakin melemah dan melemah. Tubuhnya bagai mati rasa, ia sudah tak bisa penuh menggerakkan anggota tubuh mana pun. Zora tahu ia akan kehilangan kesadarannya lagi.

Sesuatu dalam batin Zora seakan menyuruhnya untuk melirik ke arah yang lain. Di pojok ruang UGD itu, Zora dapat melihat dengan jelas figur Ayah berdiri di sana. Kemudian ia tersenyum, berjalan mendekati Zora. Setetes air mata Zora jatuh dari pelupuk matanya.

"Zora, Ayah di sini, nak."

Tangis Zora menjadi. Dadanya sesak. Ia yakin Ayah berdiri di sampingnya, di samping dokter yang sedang melakukan entah apa saja untuk menyelawatkan nyawa Zora. Zora melihat Ayah hanya berdiri di sana sambil tersenyum ke arahnya. Zora berusaha untuk membalas senyum Ayah, tapi, matanya terasa semakin berat, dan berat...

"Hei, hei, Zora? Hei..."

"Dok, denyut jantung pasien melemah..."

"Zora?"

"Denyut hilang!"

"Siapkan alat pacu jantung, sekarang!"

"Zora, hei? Ayo berjuang. Zora? Ayo berjuang..."

"Zora?"

"Zora, ayo bangun, Nak..."

Suara-suara itu mengisi penuh kepala Zora. Tapi yang paling terdengar ialah suara Ayah yang seakan memaksa Zora untuk tetap terjaga.

Setidaknya, sebelum semuanya hening, dan gelap.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top