#5 29 Oktober

Tanggal 29 Oktober. Hari yang Zora selalu hindari, akhirnya datang. Terik mentari pagi hilang, entah kenapa langit jadi agak mendung, ikut berwarna abu-abu seperti perasaan Zora saat ini. Zora tak dapat menjelaskan berbagai rasa yang ada di hatinya. Ia kembali memperhatikan keadaan sekitarnya yang terlihat asing, sudah lama sejak terakhir kali Zora menginjakkan kakinya di Sanggah (tempat suci untuk sembahyang bagi suatu keluarga Hindu tertentu). Berbagai prosesi doa dan sebagainya sudah selesai dilakukan, Zora hanya tinggal menunggu Mama yang sibuk menyapa dan mengobrol dengan banyak orang. Sesekali mereka datang ke Zora, dan, seperti biasa, terkejut akan perubahannya saat ini lalu mengucapkan kata-kata rindu pada Zora yang akhirnya kembali pulang. Rasa tak enak hati memukul Zora perlahan, ia sangat ingin melangkah pergi dari sana, namun Zora hanya dapat terpaku berdiri menatap langit yang terlihat sama berdukanya dengan dirinya.

"Sudah kelar berdoa-nya, Zo?"

Om Jaya tiba-tiba muncul entah dari mana, lantas duduk di samping Zora.

"Dari tadi mau berdoa, eh ada aja yang tiba-tiba manggil," jawab Zora.

"Pada kaget pas tahu kamu sudah sebesar ini."

Zora tersenyum kecil, "Om kirim doa tentang apa?"

"Nggak banyak. Ayah sama Kakek kamu, kan, sudah di surga. Jadi Om nggak terlalu khawatir," ucap Om Jaya, ia menyelipkan bunga kamboja pada telinga sebelah kanannya, "Zora tadi doa soal apa?"

"Belum sempat. Soalnya Zora bukan cuma berdoa, mau ngobrol banyak ke Ayah. Tapi nunggu sepi ajalah."

"Mau ngobrol tentang apa?"

"Tentang aku."

Om Jaya tersenyum, lalu menepuk kepala Zora dengan pelan, "Di atas sana, Ayah kamu pasti lagi nengok ke bawah dan senyum bangga karena kamu sudah tumbuh jadi perempuan yang cantik, mandiri, sukses... Sesuai apa yang dia harapkan selama ini. Apa lagi yang mau kamu omongin?"

Zora tersenyum menerima kata-kata pujian soal dirinya. Tapi, di dalam hatinya selalu ada sesuatu hal yang mengganjal, dan tak dapat disingkirkan dari sana. Semua kejadian di masa lalu langsung terlintas dalam memorinya. Menuntutnya untuk berkata jujur, pada semua orang, atau setidaknya, pada dirinya sendiri. Kali ini saja.

"Zora mau minta maaf ke Ayah, soal semuanya. Soal semua hal yang Zora lakuin, dan nggak pernah lakuin."

Langit kembali menutupi sinar matahari yang tadi muncul sebentar. Zora menengok lagi ke atas langit. Tak ada kata yang mewakili selain doa, tapi Zora sangat jarang sekali berdoa untuk ayahnya. Selama ini, isi pembicaraan Zora dengan Tuhan-nya hanyalah seputar kehidupan dan masa depan yang ia sangat khawatirkan. Zora selalu membahas soal dirinya dan dirinya. Sudah lama ia berhenti mengirimkan doa untuk sang ayah yang sudah tenang di surga. Zora tak pernah berpikir akan bagaimana perasaan Ayah yang melihatnya dari atas sana. Mungkin, setiap saat, Ayah selalu berusaha untuk mengawasi Zora dan setiap langkah yang ia ambil. Sedangkan jauh di dunia ini, Zora selalu mencoba untuk menghapus sosok Ayah dari hidupnya. Apa yang akan dirasakan oleh Ayah di atas sana? Bagaimana jika ia marah atau tak terima soal perlakuan Zora selama ini?

Entah cara apa yang bisa dilakukan Zora untuk menebus segala kesalahannya. Ia tak tahu, ia tak pernah temukan caranya. Kota ini seakan menyadarkan Zora dari segala hal yang dilakukannya selama ini. Membangunkannya dari delusi tentang kehidupan normal yang ia ciptakan sendiri. Karena kenyataannya, Zora hanya selalu berusaha lari. Dari trauma, dan segala dendam masa lalu yang ia buat untuk menghukum dirinya sendiri.

Dan sekarang, memori lampau itu menuntut Zora untuk terbebas darinya. Untuk terbebas dari penjara dendam yang sudah mengurung dirinya selama ini.

***

Akhirnya Zora melangkah pergi dari Sanggah. Mama menyuruh dirinya dan Wahyu untuk pulang lebih dulu, karena Mama masih ada keperluan dengan saudara-saudara iparnya. Segera setelah berpamitan dengan semua orang yang ada di sana, Zora dan Wahyu berjalan menuruni jalan setapak yang berada di depan Sanggah. Jarak antara Sanggah dan rumah termasuk dekat, sehingga tak perlu menggunakan kendaraan bermotor untuk pulang. Kenangan akan masa kecilnya muncul lagi. Ia ingat betul bagaimana rajinnya dia dulu pergi ke sana setiap sore demi memetik bunga kenanga yang digunakan untuk sembahyang di rumah. Sungging kecil di bibirnya terbentuk lagi. Zora sangat rindu masa-masa nan ceria itu.

Saat sampai di tepi jalan besar, langkah Zora terhenti. Pandangannya langsung terarah pada sebuah toko bunga yang tak asing baginya.

"Yu, duluan aja. Aku mau beli bunga buat vas-nya Nenek."

Wahyu menekuk alisnya, mulutnya sudah menganga bermaksud ingin bertanya. Tapi Zora sudah berlalu duluan ke lain arah, meninggalkan sepupunya yang hanya bisa bengong tanpa kata larangan. Akhirnya, Wahyu lebih memilih untuk melangkah pulang sendirian.

Zora masuk ke dalam toko bunga yang sudah ada sejak ia duduk di bangku TK. Ia memilih beberapa tangkai mawar merah untuk dibeli dan dibawa pulang.

"Zora?"

Zora menengok ke arah sumber suara. Di hadapannya, berdiri seorang laki-laki yang berusia sekitaran usianya. Perawakannya kurus, berkulit gelap, dengan rambutnya yang berantakan bak tak pernah di sisir. Ia tersenyum lebar kepada Zora yang masih mematung memperhatikan sosok yang ada di depannya. Mencoba mencari satu nama yang ia lupakan. Wajah itu tak asing baginya.

"Aku Ricki, Zo. Masa' nggak ingat?" ucap orang itu. Zora memejamkan matanya, menyetujui. Akhirnya ia mendapat jawaban akan pertanyaan yang ada dalam batinnya.

"Ricki???"

"Zo... Hahaha! Apa kabar? Kapan balik ke sini? Kamu beda sekali, ya, sama Zora yang dulu. Berubah total!" ucap Ricki dengan antusias.

"Hai Rick. Maaf, gue... Maaf aku sempat lupa tadi..."

"Nggak apa-apa, Zo. Kapan kamu balik ke sini?"

"Baru kemarin sore."

Ricki mengangguk mengerti, "Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi, setelah sekian lama."

Zora tersenyum. Ya, terakhir kali Zora bertemu dengan Ricki adalah di hari kelulusan SD, sebelum ia pindah ke Jakarta.

"Aku kira kamu udah nggak tinggal di kota ini, Rick."

"Sebenarnya aku tinggal di Denpasar sekarang. Baru aja lulus kuliah bulan lalu. Sambil nunggu panggilan kerja, aku balik sebentar ke sini. Nemenin Bapak, kasihan sendirian."

Zora melebarkan sungging senyumnya. Ia dapat mengingat bagaimana kejadian di masa lalu yang pernah menimpa kawan lamanya itu.

"Kamu sekarang udah jadi penulis hebat, ya, Zo."

"Kenapa bisa bilang aku hebat?"

"Aku baca buku kamu, follow instagram kamu juga. Akun personal maupun akun puisi. Tapi nggak ada yang kamu followback."

Zora tertawa kecil, merasa bersalah, "Maaf, Rick. Nanti aku followback, oke? Sekalian mau beli ini, ya, Rick. Berapa totalnya semua?"

Ricki mengambil lima tangkai mawar merah yang Zora genggam. Ia segera membalut mawar-mawar itu dengan kertas koran, lalu menyodorkannya kembali pada Zora, "Nggak usah, Zo. Buat kamu aja, sebagai ucapan "selamat datang kembali" ke kota ini, dari aku."

"Eh, jangan dong, Rick. Aku mau bayar."

"Nggak usah, Zo. Udah bawa aja."

"Aku nggak enaklah, masa' baru ketemu langsung dapat gratisan."

"Nggak apa-apa, Zora..."

Zora mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan memberikannya pada Ricki.

"Kamu ambil, atau aku nggak jadi bawa bunganya pulang?"

Dengan terpaksa, Ricki menerima uang yang Zora berikan. Ia mengambil beberapa lembar uang dari sakunya sebagai kembalian. Sebelum Ricki memberikan uang kembalian Zora, tangannya menarik setangkai bunga mawar berwarna lavender dari tempatnya. Dihadiahkannya bunga itu pada Zora.

"Aku kasih bonus. Diterima, ya?"

Akhirnya Zora menerima setangkai mawar lavender itu. Tak apalah, sekali-sekali. Kapan lagi bisa menyenangkan hati seorang kawan lama? Namun, perasaan yang berbeda Zora rasakan. Zora tak tahu pasti apakah bunga ini hanya sebatas ucapan "selamat datang" atau lebih dari itu. Namun perlakuan kecil nan manis yang Ricki lakukan cukup membuat hatinya sedikit bahagia. Hal ini bagaikan resep obat yang ia minum untuk meredam berbagai nyeri yang ada dalam hatinya.

Setelah Zora mendapatkan bunga pesanannya dan uang kembaliannya, ia berterima kasih pada Ricki, lalu segera berpamitan pulang. Zora tak ingin berada di luar rumah terlalu lama, takut orang-orang di rumah bertanya-tanya akan keberadaannya. Segera ia melangkah pergi dari sana.

"Um... Zora?" Zora berbalik menatap kembali Ricki yang berjalan mendekatinya, "Aku boleh minta nomor telepon kamu? Ya... Bukan buat apa-apa sih, cuma sebagai teman lama... mau tetap saling ngabarin gitu."

Zora terdiam mendengar permintaan Ricki. Otaknya masih memproses lebih lanjut. Ricki yang mulai panik melihat kebisuan Zora, langsung mencari cara agar keadaan tidak menjadi lebih canggung.

"Eh, nggak perlu, Zo. Nanti aku DM kamu lewat instagram aja. Maaf udah lancang."

Zora tertawa, "Mana sini handphone-nya," Zora mengambil telepon genggam Ricki dari tangannya, "Kamu sopan banget, sih. Masih kayak dulu."

Ricki yang masih diselimuti kebingungan, tersenyum riang. Ia memperhatikan Zora yang mengetik dan menyimpan nomor kontaknya. Ia kira Zora akan menolak permintaannya. Ditambah lagi, Ricki tak percaya akan bertemu Zora di sini, di kota ini. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia melihat kawan masa kecilnya itu. Zora sudah jauh berbeda dengan apa yang ia ingat. Selama ini, Ricki hanya melihat rupa Zora dari foto-foto yang ia unggah di akun sosial medianya. Tapi sekarang, rupa itu nyata berada di hadapannya. Dengan bulu mata lentiknya, rambut lurus hitamnya, dan kacamata yang bertengger pada wajah manisnya... Zora bukan Zora yang Ricki kenal dulu. Penampilannya berubah, hidupnya pun jauh lebih berubah.

Ricki langsung membuang pandangannya saat tiba-tiba Zora mengembalikan telepon genggam miliknya. Ia langsung tersenyum lebar, menutupi jantungnya yang berdegup kencang.

Rasa itu ada di sana.

"Makasih, Zo."

"Aku yang makasih. Duluan, ya."

Zora melambaikan setangkai mawar lavender yang Ricki berikan padanya. Ricki mengangguk, mengantar kepergian Zora yang segera berlalu dari toko bunganya. Ia memandang sosok Zora yang berjalan menjauh. Hatinya penuh dengan rasa bahagia.

"Itu Zora? Anaknya Pak Wina?"

Ricki terperanjat menyadari ayahnya yang sudah berdiri di sampingnya, entah sejak kapan, "Iya, Pak."

"Kaku banget sekarang, padahal pas kecil ramah, ceria..."

"Mungkin, gara-gara ayahnya udah nggak ada... dia jadi, kayak, berasa kehilangan separuh dirinya. Dia dulu dekat banget sama ayahnya."

Bapak Ricki tersenyum, mengingat istrinya yang meminta cerai dan meninggalkannya berdua dengan Ricki saat anaknya itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

"Memang kamu seperti itu?"

"Semua orang beda kali, Pak."

Mereka berdua tertawa mendengar jawaban Ricki. Sedangkan, bola mata Ricki kembali pada Zora. Figur perempuan itu masih nampak berjalan sendirian menuju rumahnya di ujung sana. Bapak Ricki yang menyadari kelakuan anaknya, langsung berniat menggodanya.

"Dulu bukannya kamu suka sama dia?" ucapnya sambil menunjuk Zora.

Ricki menepuk dahinya, tak percaya dengan apa yang ayahnya katakan, "Bapak apaan sih... Sukanya mengintimidasi, ah."

"Loh, serius..."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top