#4 Rumah
Mereka sebut ini pulang,
Rasanya aku sama sekali tak ikut kembali.
Mereka sebut ini pulang,
Hanya raga yang kubawa, tanpa rindu, tanpa senyum.
Mereka sebut ini pulang,
Memaksa aku, 'tuk ambil lagi setengah jiwaku yang tertinggal
Di kota kecil ini, di tempat terkutuk ini
Kenapa, ke mana harus mencari?
Separuh dari aku sudah lama pergi menyusul langkahnya.
Kedua tangan Zora bergetar hebat. Ia dapat melihat dengan jelas nama sebutan kota itu bertengger di gapura perbatasan, mereka akan memasuki wilayahnya segera. Isi pikiran rumitnya mulai menggoda lagi, menggoyahkan apa saja yang sudah ia bangun untuk menguatkan hatinya sejak kemarin. Ia merasa akan mengalami serangan panik. Zora mencoba mengatur nafasnya, karena ia tahu ia bisa berteriak kapan saja. Suaranya sudah ada di ujung lidahnya, memaksa untuk keluar, entah kata apa yang akan terucap duluan. Mungkin "putar balik!" atau hanya teriakan penolakan kembalinya Zora ke tempat di mana ia kehilangan ayahnya. Semakin dekat, semakin mendekat. Nafas Zora semakin tak beraturan. Mama dan Tante Surya tertidur pulas, hanya Zora yang terjaga dan Wahyu yang menyetir di bangku depan. Mereka tak akan melihat bagaimana kecemasan berlebih mencekik Zora di kursi belakang mobil. Dan akhirnya, mereka melewati gapura batas kota. Tak ada putar balik, Zora, semuanya sudah terlambat. Zora pasrah, berusaha menenangkan degup jantungnya yang berpacu sama cepatnya dengan segala bayangan dan memori tentang masa lalu.
Tak ada yang banyak berubah dari kota ini. Semuanya sama saja. Apa memang tak terjadi sedikit pun perubahan pada tempat ini, atau semuanya tersihir menjadi gambaran masa kecil Zora saat mobil mereka melewati gapura batas kota? Tenangnya kota ini sempat menjadi candu bagi Zora, dulu. Tapi sekarang, ketenangan yang ia tawarkan sangatlah menyesatkan, membuat Zora semakin menjelajah jauh ke dalam memori-memori yang sudah lama tak lewat dalam ingatannya.
"Sudah sampai!"
Wahyu melihat ke kursi belakang saat mobilnya berhenti di tujuan mereka. Ia mendapati Zora yang melamun menatap ke luar jendela. Pandangannya kosong. Zora sama sekali tak menggubris teriakan Wahyu. Ia sudah tenggelam sangat dalam pikirannya sendiri.
"Kak Zo, udah sampai!" teriak Wahyu lagi.
"Loh, sudah sampai?"
Jiwa Zora kembali ke dalam tubuhnya, bersamaan dengan Mama dan Tante Surya yang terbangun dari lelap. Wahyu tersenyum pada Zora yang masih belum sadar total akan keadaan. Saat ia melihat keluar jendela, hatinya kaget bukan main. Mereka telah sampai di rumah itu. Di rumah yang bagai kutukan bagi Zora jika ia menginjakkan kakinya lagi di sana. Rumah di mana ia meninggalkan semua masa indah dalam hidupnya, membiarkannya terkunci rapi di dalam sana. Rumah di mana semuanya berawal, dan berakhir tragis.
Rumah di mana Ayah, dan segala hal tentang Ayah hidup.
Kali ini Zora akan benar-benar mengalami serangan panik. Nafasnya semakin sulit untuk ia atur, bahkan terasa tercekat di kerongkongannya. Sesak telah memenuhi dadanya. Tapi, kali ini ia harus berani. Tak lucu saat sudah bepergian sejauh ini hanya untuk membiarkan rasa takutnya sendiri untuk menang. Zora membuka pintu mobil, dan segera keluar dengan perlahan. Mendapati kakinya yang sudah menginjak tanah di depan halaman rumah itu, akhirnya ia bisa mulai leluasa mengatur nafasnya. Zora menatap lagi rumah itu untuk yang kesekian kalinya. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri untuk melangkah maju. Dan akhirnya, entah bagaimana ia sudah berada di depan pintu pagar. Dibukanya pintu kayu bercat putih itu dengan sebelah tangannya yang masih bergetar hebat.
Segala kenangan tentang masa kecil Zora bangkit lagi dari kuburnya. Ia dapat dengan jelas melihat hal itu di depan kedua matanya. Ia dapat melihat sosok itu ada di sana, duduk di teras dengan segelas kopi hitam dan koran. Zora dapat melihat jelas sosok itu memetik buah jambu air dengan sebuah galah, di mana Zora pernah jatuh dari pohonnya saat ia mencoba memanjat ke atas. Ada sebuah ayunan dari ban mobil yang pernah sosok itu sengaja buat di batang pohon jambu, untuk Zora. Muncul lagi segala memori tentang apa saja yang pernah Zora lakukan dengan sosok itu di halaman depan rumahnya. Pohon itu tak ada di sana sekarang, ditebang karena daunnya mati dimakan hama. Ayunan ban itu pun hanya tergeletak di tanah tanpa menggantung lagi, entah kenapa tak pernah dipindahkan dari sana. Banyak yang berubah, dan kebanyakan adalah hal-hal favorit Zora dan dia. Benda-benda itu sudah tak ada lagi sekarang.
Karena Zora, maupun sosok itu; Ayah... pun sudah tak ada di sini.
Seseorang menepuk kasar pundak Zora, menyebabkan lamunannya kembali pecah. Zora tertegun menatap orang itu, dan segala rasa bersalah hadir dalam dirinya. Itu Nenek. Tanpa sempat memberi senyum ataupun menyapa, pelukan Nenek sudah mendarat di tubuh Zora. Nenek menangis sejadi-jadinya, memukul punggung Zora tapi tetap memeluknya erat. Sesak di dada Zora semakin bertambah. Air mata Zora akhirnya jatuh, bersama dengan luapan sisa sesak yang sedari tadi mengganggu. Mereka berdua menangis, mengadu rasa rindu dan rasa bersalah karena mencoba menolak perasaan masing-masing.
"Kamu lupa atau sengaja lupa, kalau umur Nenek tinggal sedikit, hah!?"
***
Banyak hal yang berhubungan dengan Ayah di rumah ini. Ayah, Mama dan Zora memang pernah tinggal di sini untuk beberapa tahun, sebelum Ayah meninggal saat Zora masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sejak saat itu, Mama memilih kembali ke Jakarta—kota kelahirannya, mengajak Zora meninggalkan rumah ini dan semua yang berhubungan dengan Ayah. Walau realitanya Zora-lah yang lebih memilih pergi, bukan Mama. Ia tak tahu apakah bisa melanjutkan hidup di kota yang penuh sesak berisi hal-hal tentang orang yang raganya sudah mati.
Rumah ini benar-benar tak berubah sedikit pun. Masih rumah dengan dapur yang lebih luas dibandingkan ruang tengahnya. Masih rumah dengan berbagai barang antik dari artshop milik Ayah dulu. Masih rumah dengan banyak bingkai foto tergantung di dindingnya. Ayahlah yang kerap memasang foto-foto itu di sana. Ia dapat melihat figur Ayah naik ke sebuah kursi untuk memasang paku yang akan menopang foto-foto itu, dengan Zora kecil memegang frame foto di bawahnya. Zora tersenyum, satu-persatu menelaah apa yang tergambar pada foto demi foto di dinding itu. Sebagian besar yang tergantung di sana adalah potret Zora di masa kecilnya. Sisanya adalah foto keluarga besar Ayah pada perayaan hari raya besar. Tapi, ada satu foto yang sangat Zora tolak untuk lihat, namun terlanjur berada di hadapan wajahnya. Itu adalah foto yang digantung di peti mati Ayah sebelum dia dikuburkan. Air mata Zora tumpah lagi, walau ia sudah berusaha sangat untuk tetap tegar. Dadanya kembali penuh sesak. Ia benar-benar tak bisa mengunci rasa sakitnya sendiri.
Mama yang sedari tadi memperhatikan Zora langsung datang ke arahnya. Ia memeluk Zora yang semakin jatuh ke dalam isak tangisnya. Dalam usahanya menenangkan putri kecilnya, ia juga tak kuasa menahan air mata yang semakin memaksa untuk keluar. Lidahnya kelu merasakan tubuh Zora yang bergetar hebat karena tangisannya. Tetapi, foto Ayah itu menguatkannya. Senyum Ayah yang tergambar di foto itu seakan menyuruh Mama untuk menjadi kuat di depan anaknya.
Dan untuk selalu percaya bahwa semuanya akan baik saja.
***
Coretan-coretan di tembok itu masih ada di sana. Tak berubah sedikit pun. Siapa pun yang masih tinggal di kota ini tak pernah mengecat ulang kamar Zora. Bahkan, Nenek bilang kalau ia tak mau menempati kamar cucunya yang jauh lebih luas dibanding kamarnya. Ia masih percaya bahwa cucunya akan kembali ke sini, walau hanya berkunjung selama beberapa hari, tapi ia ingin Zora-lah yang tetap tidur di kamar ini. Zora duduk sendirian di tepi tempat tidur, menatap sekeliling kamar masa kecilnya. Kasur itu, lemari itu, meja belajar dan piano usang yang sudah rusak itu... semuanya masih ada di sana. Entah kenapa tak ada yang mau mengubah tata letak barang-barang yang ada di sana, apalagi berniat membuangnya, tidak sama sekali. Rasanya semua orang tak bisa melupakan orang yang sudah pergi, tapi dalam hal ini, orang itu adalah Zora. Kamar tidur yang dulu Ayah dan Mama tempati sudah dirombak menjadi ruang keluarga, karena letaknya yang dekat dengan dapur. Tak akan ada yang tersisa di sana, karena semua memori yang lampau ada di dalam ruangan segi empat ini. Mereka sengaja menempatkannya di sana, menguncinya, dan menyerahkan kuncinya pada Zora agar sewaktu-waktu ia kembali, bagian dari masa lalunya dapat ia putar ulang sehingga tak akan pernah hilang dari hidupnya.
Mata Zora kembali pada coretan di pojok pintu kamarnya. Sketsa wajah Ayah, Mama, dan dirinya yang sama sekali tak berbentuk, juga beberapa kalimat tentang rindu, semuanya Zora buat dengan sebuah pulpen di hari di mana ia kehilangan Ayah. Ia ingat mengunci dirinya di kamar saat orang-orang sibuk dengan persiapan pemakaman Ayah di ruang tengah. Zora ingat beberapa ketukan di pintu dan suara halus yang memintanya untuk keluar dari sana, namun tak pernah ia gubris. Zora ingat betapa hancur dirinya saat itu, dan rasa itu membekas, sangat, tak bisa ia hentikan.
Pintu kamar yang sudah terbuka diketuk beberapa kali. Wahyu muncul dari balik korden, menghampiri Zora yang masih memperhatikan sketsa itu. Dia duduk di samping Zora, matanya ikut menuju ke arah yang sama dengan sepupunya.
"Lo inget, nggak, kita pernah kekunci di kamar ini pas main masak-masakan?"
Zora yang awalnya tak memedulikan keberadaan Wahyu, langsung tertawa, ia mengingat semuanya dengan jelas, "Ingetlah! Itu pas lo bawa tanah sebaskom ke atas kasur, terus tanahnya tumpah, dan lo langsung ngunci pintu kamar biar Nenek nggak bisa masuk. Gue masih inget gimana muka panik lo waktu itu."
"Lagi pula lo nggak bilang kalau kuncinya rusak."
Zora hanya menanggapi dengan senyum kecil, lalu kembali fokus pada pojok ruang kamarnya itu. Ia mencoba menelaah apa saja yang dirinya tulis di sana pada umur 11 tahun. Sebagian dari sketsa gambar dan tulisan sudah hilang, cat biru di tembok sekitar pintu kamar sudah mengelupas karena lembab. Sedangkan Wahyu memandang Zora dengan cemas, mencari topik pembicaraan lain. Sejak kepergian pamannya, Wahyu sangat jarang berbicara dengan Zora, sehingga ia tak tahu kalau sepupunya sudah menjadi orang yang sangat kaku. Padahal yang ia ingat, Zora adalah pribadi yang sangat periang dan bersemangat, dulu. Dulu. Sebelum dunianya terjungkir balik karena kehilangan ayahnya.
"Gue inget lo gambar itu pas Om Wina nggak ada."
Arah mata Zora mulai bergerak ke sisi yang lain. Wahyu rasa ia berhasil untuk menarik perhatian kakak sepupunya.
"Iya, cuma lo yang tahu. I mean, cuma lo yang tahu dan berani tanya ke gue itu apaan."
Zora menghembuskan nafas pelan. Sekarang, pandangannya beralih ke langit-langit kamar itu.
"Orang lain selalu takut nyinggung perasaan gue."
"Lo masih sering kepikiran tentang ayah lo, ya?" tanya Wahyu.
Zora masih bisu, lama. Sama sekali belum menanggapi pertanyaan Wahyu. Di sisi lain, Wahyu berharap agar sepupunya mau bicara tentang perasaannya. Ia tahu terlalu banyak rasa yang Zora simpan sendiri sejak waktu itu. Ia hanya ingin membantu, jika bisa, walau hanya dengan cara mendengarkan.
"Udah sepuluh tahun, Yu, sepuluh tahun. Kenapa gue masih nggak bisa relain Ayah, sih?" Mata Zora berair, ia mulai terisak, "Gue kira gue udah lupa sama Ayah, tapi ternyata, kalau hati gue digali lebih dalam lagi, rasa sakit itu masih ada di sana. Gue selalu berusaha kubur perasaan itu, agar jadi rahasia besar yang bahkan nggak bakal bisa gue ungkap sendiri. Tapi memori buruk tentang hari itu lebih kuat dari kuasa gue. Dan akhirnya, gue yang harus mengalah lagi."
Gantian Wahyu yang terdiam mendengarkan setiap kata yang Zora ucapkan. Ia tak tahu kalau Zora akan berbicara sebanyak itu. Dan ia sama sekali tak siap.
"Perasaan ini udah jadi parasit di hidup gue, Yu. Entah berapa lama lagi harus kayak gini..."
"Mungkin alasan kenapa perasaan itu masih di sana, di dalam hati lo... Karena dia udah jadi bagian dari diri lo. Lo cuma harus nerima, belajar berdamai dengan rasa sakit itu."
Zora masih menangis dalam diam. Ia buru-buru menghapus semua tetes air mata yang sedang terjatuh agar Wahyu tak terlalu mencemaskannya. Tapi, baik Zora maupun Wahyu, mereka sama-sama tahu soal beban yang sudah dipikul lama oleh Zora.
"Gue bangga sama lo, Kak, karena akhirnya lo mau buat ikut ke sini setelah sekian lama. Gue tahu, kota ini, rumah ini, hal-hal yang ada di sini... semuanya udah jadi sumber trauma terbesar bagi lo. Dan lo udah buktiin lo berani ngelawan mereka dengan cara datang ke sini. Lo lebih kuat daripada apa yang lo pikirin."
Sungging senyuman langsung terbentuk di wajah Zora. Kata-kata Wahyu membuatnya tenang, hatinya terasa jauh lebih baik.
"Sejak kapan lo jadi dewasa?" tanya Zora. Air matanya yang tadi bercucuran sudah kering diusapnya.
Wahyu tersenyum lebar, "Sejak gue ngerasa harus ngomong sama lo, buat keluar dari kamar ini sekarang juga, karena keluarga besar udah pada ngumpul di depan."
"Emang kakak lo udah datang?"
"Belum. Mbok Dian baru dapat pesawat nanti malam. Dia kan gitu, tukang ngaret."
Zora tertawa. Tangannya mengusap lagi wajah dan ujung matanya, memastikan tak ada bekas air mata yang tertinggal di sana. Dengan segenap hati, Zora beranjak dari tempat tidurnya, berjalan menyusul langkah Wahyu di depannya. Ia menarik nafas perlahan, bersiap akan berbagai reaksi dari setiap anggota keluarga yang sudah lama tak ditemuinya itu.
Korden pintu terbuka, dan Zora melangkah keluar dari kamarnya. Benar saja, banyak pasang mata langsung menuju ke arahnya. Mereka serentak menatap Zora, menelaahnya dari ujung kaki hingga ujung rambut, mencari perbedaan dari Zora yang mereka kenal dulu dengan orang yang ada di hadapan mereka sekarang. Zora ingat semua wajah itu. Wajah-wajah yang menyertai masa kecilnya dulu. Ada sosok Om Jaya di sana, berdiri di samping Tante Candra. Mereka merupakan adik kandung dari Tante Surya dan Ayah. Ayah memang memiliki empat saudara, lima sebenarnya, tapi kakak keduanya meninggal saat masih bayi. Om Jaya adalah orang yang dulu sering menemani Zora saat Ayah dan Mama bekerja di luar kota. Tak ayal, mereka sangatlah dekat, bahkan banyak yang salah kaprah menganggap Zora adalah anak dari pamannya itu. Om Jaya sangat berarti bagi Zora, ia mengambil peran sebagai ayah saat Ayah tak bisa ada di sisinya. Itu jauh sebelum Ayah pergi dan Zora menarik dirinya untuk bersembunyi dan hilang dari keluarga itu.
Om Jaya mendekat ke arah Zora, memaksa dirinya untuk tersenyum tulus. Tapi Zora tahu mata sayu pamannya itu tak pernah bisa menyembunyikan perasaan yang sebenarnya: mereka mulai berembun.
"Kamu kenapa mirip sekali sama Nyoman Winatha, ya?"
"Kan aku anaknya," jawab Zora, mencoba mengalihkan perih yang bergemuruh dalam hati masing-masing dari mereka. Om Jaya tertawa, matanya sudah terisi penuh air.
"Om sudah melewatkan berapa tahun, kamu tumbuh sebesar ini, Zo?"
Zora mengigit bibirnya yang bergetar hebat. Ia tak mampu lagi menjawab pertanyaan retoris dari Om Jaya.
"Kangen, loh, sama Zo!" ucap Om Jaya.
"Zora juga."
Zora menjawab dengan lirih. Air mata yang tadi sudah dihapusnya kembali mengisi penuh kedua matanya itu. Sekarang, semua orang yang ada di sana mendekat ke arah Zora. Menyapanya, menepuk pelan pundaknya, memeluknya, menangis karenanya... Walau dengan air mata yang kian berlinang, Zora dapat dengan jelas merasakan kehangatan yang orang-orang itu berikan padanya. Kehangatan yang sudah lama tak ia rasakan. Rasa hangat yang pernah ia buang jauh. Sekarang ia temukan lagi rasa itu, dan bukan pada orang lain, tapi pada raga-raga yang sama, yang tetap ada di tempat ini, bernaung dalam porsinya masing-masing. Memang, rasa untuk menghakimi dan menyalahkan pasti ada. Tapi, kasih sayang menutupi semuanya. Zora baru merasakannya. Dia sadar, seberapa jauh pun ia lari, yang namanya keluarga pasti akan selalu ada di tempat yang sama. Tak akan pernah berpindah sampai langkah Zora lelah dengan apa yang ia kejar, lalu berhenti, dan menengok lagi ke belakang. Keluarganya akan tetap ada di sini, setia berharap dan menunggu kapan pun waktu yang dibutuhkan Zora untuk kembali pulang.
Dan akhirnya, Zora kembali pulang ke rumahnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top