#28 Pesan Terakhir Ayah

"Nenek!"

"Zora?"

Nenek segera memeluk Zora erat saat mendapati ada cucunya di ambang pintu rumah pagi ini. Ia sama sekali tidak tahu kalau Zora akan datang berkunjung.

"Kok bisa sampai sini!? Naik apa? Sama siapa? Memang tangannya sudah sembuh?"

"Udah, Nek. Masih sering nyeri, sih, tapi nggak apa-apa."

"Eh, terus masih nekat ke sini sendirian?"

"Sekali-sekali ngunjungin Nenek nggak ada salahnya, kan? Lagipula, bulan depan Zora udah mulai sibuk," ucap Zora sembari menggeser koper yang dibawanya, "Jadi ceritanya, dalam kurun waktu enam bulan kemarin, aku udah ngerjain tugas akhir kuliahku, sidang, rilis buku kedua, dan... bulan depan aku wisuda! Nenek datang, ya! Nanti ke Jakarta-nya sama Zora."

            "Wah, hebatnya cucu Nenek! Tapi gimana cara kamu ngerjainnya, Zo? Keadaan tangan kamu itu, loh."

            "Ada sahabat aku, Raya, yang bantuin, Nek."

            Nenek mengangguk mengerti, "Oh begitu... Ya sudah, kamu ke kamar terus istirahat. Nenek mau masakin ayam suwir spesial buat cucu Nenek yang paling manis!"

            Zora kembali menerima pelukan hangat dari neneknya. Kemudian ia berjalan ke kamarnya untuk beristirahat setelah tiga jam perjalanan darat dari bandara ke kota ini.

"Zo, sudah sampai? Gimana perjalanannya? Aman? J"

Sebuah pesan masuk dari satu-satunya orang di Bali yang ia beri tahu akan kepulangannya kembali; Ricki. Iya, masih Ricki yang sama. Ricki yang menatap Zora dengan penuh binar tulus dari kedua retinanya. Ricki si bunga mawar lavender... Zora tertawa kecil membalas pesan singkat itu. Hatinya senang. Mungkin masih terlalu dini untuk mencap peran Ricki dengan status ini-itu. Tapi yang jelas, Zora tak merasa terganggu dengan keberadaan Ricki, dan Zora bahagia ditemani olehnya. Kedatangan kedua Ricki ke dalam hidup Zora mengurangi kadar kesepian di dunianya, setelah hubungannya dengan Yudha berakhir dan setelah keberangkatan Raya ke Australia satu bulan yang lalu. Sesekali, Zora masih memikirkan soal kehilangan demi kehilangan yang berdekatan, termasuk kematian Ayah. Namun, ia tahu hidup harus tetap berjalan, yang hilang pasti akan berganti dengan yang lebih baik, yang sakit lambat laun pasti akan sembuh jua.

Ricki yang bilang soal hal itu.

Zora segera melempar tas ranselnya ke atas tempat tidur. Sialnya, ia lupa kalau tangan kanannya belum dapat berfungsi seperti semula. Tas ransel yang sudah terbuka itu terayun rendah, dan jatuh ke lantai mengeluarkan seluruh isinya, termasuk lembaran-lembaran naskah puisi yang Zora tulis saat perjalanan ke kota ini. Kertas-kertas itu terjatuh, tercecer acak di lantai. Zora mengumpat pada dirinya sendiri. Ia segera menunduk untuk mengambilnya. Saat Zora menengok ke bawah, suatu benda segera menarik perhatiannya. Ada sebuah kotak usang di ujung bawah meja. Terselip di antara meja belajar dan rak susun miliknya. Zora berusaha meraih kotak itu.

Alangkah terkejutnya dia saat mendapati sebuah kotak berwarna oranye terang yang sudah lapuk dan berdebu. Itu kotak misterius yang pernah dilihatnya di rumah sakit kala itu. Entah sudah berapa lama ada di bawah sana, bertahun-tahun pastinya. Ia menunggu Zora menemukannya di waktu yang tepat. Pasti Mama tak sengaja menjatuhkannya, sekitar sepuluh tahun yang lalu... saat pemakaman Ayah. Mungkin alasan mengapa Mama tak pernah menyebutkan keberadaan kotak itu karena Zora yang menolak untuk membicarakan apa pun soal Ayah setelah kepergiannya.

            Penasaran dengan isinya, Zora segera membuka kotak itu dengan tangan kirinya. Bagai menemukan harta karun, Zora menatap tak percaya isi dari kotak itu; beberapa lembar foto dirinya, dari masa ke masa. Foto-foto yang tak pernah ia tahu ada di dunia ini. Bahkan ada foto jadul di depan rumah sakit tempat Zora dilahirkan. Terlihat Ayah dan Mama yang berpose dengan menggendong Zora yang baru berumur beberapa hari. Ada foto saat upacara enam bulanan Zora, foto Zora dengan pakaian adat Bali saat berumur sekitar tiga tahun, dan lainnya. Namun ada sebuah foto yang sangat Zora ingat. Sebuah foto yang menampilkan dirinya tersenyum lebar menatap kamera di sebuah pantai. Matahari terbit menjadi latar belakangnya. Zora mengingat foto itu, karena ia pernah merasakan momen di mana foto itu diambil dua kali.

            Mata Zora mulai basah, namun bukan lagi air mata perihal kesedihan. Zora memandangi bagaimana cerah wajahnya kala itu. Ia terlihat bahagia, sangat bahagia. Iseng, Zora membalik foto itu, dan mendapati beberapa kalimat yang tertulis di sisi lainnya.

"Zora, seperti namamu yang sebenarnya terlalu indah untuk puisi-puisi kelam yang kamu ciptakan...

Semoga kamu selalu menjadi terang matahari terbit yang menerangi di hari baru, menjadi harapan yang dibutuhkan setelah pekat malam di hari kemarin.

Terima kasih untuk sudah menjadi terang buat dunia Ayah.

Kamu sendiri, jangan lupa untuk mencari terangmu.

Ingatlah kalau Ayah amat sangat menyayangimu,

dalam ada dan tidaknya Ayah di sampingmu."

Ayah – Oktober, 2010

Hati Zora terenyuh membaca kata-kata dari ayahnya. Bahagia menyelimuti perasaannya, air mata haru semakin mengalir deras. Dugaannya salah, ternyata Ayah pergi dengan meninggalkan pesan. Pesan yang akan Zora ingat dalam sisa umur hidupnya yang masih panjang. Ayah pergi bukan tanpa ucap, ia telah berucap lebih banyak dari yang dibutuhkannya. Dan dengan tulisan terakhir Ayah di balik foto ini, semua pesan tentang hidup yang pernah Ayah katakan pada Zora dapat terangkum sempurna. Ia merasa lengkap.

            Akhirnya potongan demi potongan puzzle itu tersusun rapi. Zora dapat mengerti utuh apa maksud Tuhan untuk membawa jiwanya kembali lagi ke hidupnya di masa lalu. Zora diminta untuk mengulik kehidupan untuk yang kedua kali, untuknya sadar bahwa dirinya itu penting, hidupnya itu berharga, jalannya masih panjang.

Dan ia tak mau untuk menyia-nyiakannya lagi.

            Sekarang, sesuai pinta sang Ayah, Zora ingin menjadi sinar bagi dunia. Mengubah dunia untuk menjadi tempat yang lebih baik. Mungkin, kali ini langkah kecil yang dapat ia tempuh untuk memulai adalah mengubah dunia lewat tulisan-tulisannya. Zora ingin terus belajar untuk memahami perasaan orang lain, lalu menuangkannya ke dalam bentuk tulisan yang bisa menginspirasi, dan membuat orang lain merasa lebih baik. Bagai terangnya fajar di pagi hari, ia ingin seluruh isi dunia merasa punya harapan baru, selama mereka hidup dan bernaung di dunia ini.

Zora juga sadar, bukan kecelakaan naas itu yang mengubahnya, tetapi kejadian setelahnya. Kejadian tak masuk akal yang tak akan dapat dipercaya oleh orang lain, termasuk dirinya sendiri. Selama ini, Zora salah karena menganggap dia tak dapat mengubah apa pun saat ia kembali. Masa lalu bukan hanya masa yang baik-baik saja, namun masa yang dapat mengubah diri Zora yang sekarang untuk menjadi lebih baik.

Kunjungan Zora ke masa lalu beberapa waktu yang lalu mengubah dirinya, hidupnya, dan keseluruhan isinya.

Mengubah bagaimana peran dan perlakuannya di masa kini dan nantinya.

Mengubah agar dia selalu menjadi matahari yang bersinar terang di pagi hari,

Dan membawa harapan baru setelah malam yang paling gelap.

Seperti namanya.

***

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top