#27 Putus
Kisah yang hanya ilusi, maya...
Bahagia yang tak pasti
Selama ini, yang kamu bawa hanyalah temaram
Aku sendiri yang ciptakan sinarnya
Dengan berbagai caramu, yang selalu berhasil meluluhkan.
"Ima!"
Ima, yang sedang membersihkan meja pengunjung langsung melirik ke arah suara.
"Kak Zora? Kakak udah sembuh?"
Zora menunjuk balutan gips yang ia miliki dengan matanya, "Semacam itu."
Ima terkesiap takjub melihat Zora yang berdiri di hadapannya, masih dengan semua anggota tubuhnya yang lengkap. Beberapa waktu yang lalu berita tentang kecelakaan yang Zora alami tersebar di internet, dan sekarang topik utama pada berita itu telah berdiri di hadapan Ima.
"Oh iya, Im... Aku ada sesuatu buat kamu."
Zora merogoh totebag yang tergantung di pundak sebelah kirinya. Ia mengeluarkan sebuah buku lalu menyodorkannya kepada Ima.
"Ini buku kedua Kak Zora?" Ima mulai sumringah, "Buat aku, Kak?"
"Iya, itu buku kedua aku, dan buat kamu. Cetakan pertama, loh. Benar-benar cetakan yang pertama."
Ima menatap kagum buku bercover hitam pekat yang masih tersegel rapi itu, "Makasih, Kak, makasih banget... Kakak baik banget sama aku..."
"Kamu juga baik, sama diri kamu sendiri, sama orang lain, sama orang tua kamu... Aku yang makasih karena kamu bikin aku sadar buat lebih peduli sama orang tuaku. Makasih, ya, Im."
"Emangnya aku ngelakuin apa, Kak?"
Zora hanya membalas dengan senyuman, lantas pandangannya menuju ke arah sebuah lambaian tangan yang terangkat ke atas. Di dalam coffeshop yang baru sepekan buka itu, Yudha ada di sana, memanggil Zora yang baru ia sadari sudah ada di tempat.
"Pacar aku udah datang ternyata," Zora berkata pada Ima.
"Loh? Kakak masih pacaran sama dia?"
Senyuman pada wajah Zora seketika hilang. Zora mengernyitkan dahinya, menerka-nerka apa maksud dari pertanyaan yang Ima katakan. Mereka berdiri diam dengan isi pikiran yang tak sama. Ada yang janggal dari pertanyaan itu, tapi Zora tak tahu apa, dan Ima tidak terlihat ingin menjelaskannya. Segera, Zora pamit dari hadapan Ima dan menuju ke arah Yudha yang sudah menunggunya sedari tadi.
"Sayang, kenapa nggak minta dijemput, aja, sih?"
"Nggak apa-apa. Takut ngerepotin."
"Masih sakit tangannya?"
"Terkadang, tapi tadi dokter bilang tangan aku sembuhnya termasuk cepat, loh. Kemungkinan awal bulan depan udah bisa lepas gips. Rasanya udah nggak sabar buat garuk tangan aku!" Zora tertawa, diikuti oleh Yudha yang mendengarnya, "Eh, udah pesan?"
"Udah, kok. Tadi aku pesan cheese fries buat kamu. Yang di sini juara, loh!"
Zora menatap Yudha dengan bingung, "Aku nggak suka makan keju, Yud. Lagi pula tadi pas di telepon, bukannya kamu bilang kalau belum pernah ke sini?"
Linglung, Yudha hanya berbalik menatap Zora tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia sadar baru saja melakukan sebuah kesalahan. Dan fatalnya, Zora yang tadinya hanya menatap Yudha bingung, tatapan itu sekarang berubah menjadi tatapan mengintrogasi. Yudha dapat bernafas lega saat Ima mengantar segelas lemon tea dan latte pesanan Yudha. Ia dapat memikirkan cara untuk mengalihkan pembicaraan.
"Eh, kamu udah lihat video di twitter, belum? Ada orang yang bikin musikalisasi pakai puisi kamu. Videonya niat!"
"Iyakah?" Zora mulai mengaduk lemon tea-nya.
"Iya. Sebentar, kayaknya masih aku simpan..."
Yudha segera membuka handphone-nya, mencari di mana letak video yang ia bicarakan itu disimpan. Segera, ditunjukkannya video itu pada Zora. Namun, sialnya Yudha, sebuah notifikasi dari seseorang yang tidak diinginkan muncul. Panik, Yudha segera menarik kembali telefon genggamnya dari bidikan Zora. Entah mungkin karena gerakan jemarinya yang terlalu cepat, secara tidak sengaja telefon genggam Yudha terlempar ke meja, dengan layar yang jelas menunjukkan seluruh isi pesan itu. Pesan dari seseorang yang terlarang untuk Zora ketahui... Keberuntungan untuk menyembunyikan rahasia itu tak berpihak lagi pada Yudha.
"Tara, ya?" Zora bergidik membaca berbagai kata-kata romantis saling balas yang pacarnya dan perempuan itu kirim kepada satu sama lain, "Iya, sih, di instagram-nya dia bilang kalau dia itu... cheese-lover. Kayak nama pizza aja."
Yudha memejamkan kedua matanya, tak ada yang bisa ia elak lagi, "Zo, aku bisa jelasin..."
"Gue habis kecelakaan, Yud!"
Seluruh orang yang ada di sekitar meja itu langsung menoleh ke arah mereka. Dalam hatinya, Zora amat merindukan Yudha. Namun dalam beberapa menit saja, rindu itu berangsur berubah menjadi kebencian karena yang teringat hanyalah perlakuan-perlakuan buruk tanpa henti yang terus Yudha lakukan terhadapnya.
"Gue kira dengan hampir kehilangan gue, lo bakal berubah. Tapi ternyata gue salah."
"Zo, nggak usah teriak kayak gitu, bisa? Malu dilihatin orang lain..."
"Ha, lo cuma peduli tanggapan orang lain? Lo nggak pernah peduli soal perasaan gue?"
Rasa malu yang Yudha rasakan sudah berada di tingkat tertinggi. Ia memperhatikan sekitar, banyak pasang mata asing masih tertuju ke arah mereka. Sementara itu, amarah yang Zora rasakan tak dapat ia batasi lagi. Pikirannya hanya fokus pada laki-laki di depannya tanpa peduli orang sedang membicarakan apa. Ia lelah berpura-pura di hadapan dunia.
Selamat tinggal dunia yang selalu menuntut sempurna.
"Mau lo apa sekarang?" Yudha terdengar menantang, membuat amarah Zora kembali naik seketika.
"Gue mau putus."
Yudha mengernyitkan dahinya, ia tersenyum lebar yang kemudian senyuman itu berubah menjadi gelak tawa mengejek, "Lo yakin mau putusin gue? Yakin ada yang mau terima lo yang... kayak gini? Cewek labil yang nggak bisa kontrol emosinya sendiri, dan cuma bisa nulis puisi menye-menye biar orang lain pada simpati."
Zora menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Ia tak menyangka jika orang yang ia sayangi selama ini akan mengeluarkan hinaan pada dirinya. Ternyata, hal itu yang tergambar dari sosok Zora di dalam pikiran Yudha. Hati Zora sakit, ia menyesal sudah mempertahankan hubungan yang tidak memiliki arah dengan pecundang seperti Yudha selama ini. Suruhan Raya benar, sikap tak suka Mama benar, pesan-pesan Ayah juga benar... Bahkan, untuk membandingkan, ia dapat mengingat bagaimana hangatnya sikap Ricki padanya yang jelas tak memiliki arti status apa pun. Dan orang yang ada di hadapannya sekarang, orang yang masih ingin ia perjuangkan setelah semuanya, ternyata Yudha bukanlah apa yang selama ini Zora cari. Dia tak pantas sedikit pun menyanding tempat di sisi Zora. Dia tak pantas sedikit pun untuk menjaga Zora atau menggantikan peran ayahnya. Harapan besar yang ia taruh pada laki-laki itu sama sekali tak dapat terwujud.
"Sampah lo, Yud."
"See, baru keluar sifat aslinya. Zora, Zora... Lihat diri lo! Lo kira lo bisa dapat yang lebih baik daripada gue?"
Byuuuur.
Zora menyiramkan isi dari gelas lemon tea-nya ke wajah Yudha. Ia lantas membanting gelasnya ke meja, menatap puas Yudha yang kaget setengah mati mendapat perlakuan memalukan dari Zora. Seketika, pandangan semua orang yang ada di sekitar beralih lagi ke arah mereka. Beberapa orang itu saling berbisik, menerka-nerka wajah Zora yang mungkin pernah mereka dapati di media sosial. Beberapa lagi mengenali Zora, beberapa ikut menyimak pertengkaran yang semakin panas. Zora sudah tak peduli lagi, pada orang-orang itu, pada Yudha, pada apa pun.
"Lo itu penghambat buat gue, Yud. Selama ini gue salah udah biarin lo menguasai imajinasi gue soal kita yang akan baik-baik aja. Dan mulai dari sekarang, lo nggak punya kendali atas apa yang gue rasain," Yudha menahan nafas saat Zora mendekatinya. "Harusnya lo yang takut, Yud, gue yakin lo nggak bakal bisa dapat yang lebih baik daripada gue. Karena gue yang terbaik."
Degup jantung Yudha bergemuruh tak karuan mendengar ungkapan mengejutkan dari Zora. Ia tak pernah melihat Zora berucap selantang dan seberani ini sebelumnya. Di sisi lain, Zora yang sudah muak segera pergi dari tempat itu, meninggalkan Yudha dengan wajah dan bajunya yang basah, serta menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar.
Yudha berdiri dari tempat duduknya, berteriak memanggil Zora yang enggan menetap lagi, "Zo, Zora! Babe, I am so sorry! Aku nggak maksud bilang gitu..."
"Lari aja ke cewek yang lo ajak ke sini kemarin!"
Ima, yang sedari tadi memperhatikan pertengkaran mereka tiba-tiba menghadang langkah Yudha saat ia ingin mengejar Zora yang semakin jauh berlari... Hingga sosoknya hilang dimakan gelap malam dan kata perpisahan yang ia lontarkan.
Hubungan mereka sudah cukup, dan berakhir di sini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top