#25 Ikut Serta

"Kamu yakin sudah kuat berdiri?"

"Udah, Ma..."

Zora berpegangan kuat dengan kursi roda oleh-oleh dari rumah sakit. Ia mencoba sekuat tenaga untuk mengangkat tubuhnya. Hari ini adalah hari pertama ia kembali ke rumah setelah hampir dua minggu menjalani pemulihan di rumah sakit. Zora sudah muak menatap tembok putih yang hanya dihiasi jendela kayu di sebelah kanannya. Tanpa melakukan apa pun, namun selalu diawasi oleh siapa pun. Bahkan dokter tak akan mengizinkannya untuk memaksa berdiri di kakinya sendiri seperti yang sedang ia lakukan. Sekarang, akhirnya Zora bisa kabur dari segala aturan dan batasan yang ada di tempat itu.

Wahyu yang sedari tadi memegangi kursi roda Zora agar tetap stabil, mulai merasa gemas melihat langkah lambat kakak sepupunya.

"Nggak usah dipaksa kali, Kak..." ucap Wahyu

"Semakin cepat gue sembuh, semakin cepat gue nggak nyusahin orang lain," jawab Zora ketus.

"Lo kan tahu sendiri gimana kondisi kaki lo... Lagi pula tangan lo masih di-gips gitu mana bisa dipakai buat nulis?"

Zora memberikan pandangan masamnya pada Wahyu, membuatnya mati kutu. Mama dan Tante Surya yang ada di depan mereka langsung saling menatap.

"Buruan pegangin Kakak kamu!" suruh Tante Surya.

Wahyu menurut, lalu menuntun langkah Zora yang tertatih ke kamarnya. Ya, kamarnya. Sebuah ruang segi empat sempit lain untuk mengurungnya lagi. Namun setidaknya Zora tak akan bosan berada di sana.

"Makasih, Yu. Udah gue nggak apa-apa, tinggal aja."

Sepupu laki-lakinya itu masih berdiri di hadapan Zora. Zora memperhatikan gerak-gerik Wahyu yang masih bungkam sembari menatapnya.

"Nggak mau keluar?" tanya Zora lagi.

"Lo kira gue bakal lupa?"

"Apa lagi?"

"Tadi kan dokter bilang kalau pas sampai rumah, lo harus minum obat yang dia kasih!"

Zora menghela nafasnya, "Yaelah, Wahyu... Belum ada lima menit gue injakin kaki di rumah."

"Gue hafal banget kalau lo suka pura-pura lupa," Wahyu segera berlalu ke luar kamar sembari berteriak, "Tante Mira! Obatnya Kak Zora di mana, ya?"

"Wahyu!" Zora berusaha memanggil Wahyu tapi langkah kakinya sudah tak terdengar lagi di gendang telinga. Ia menepuk pelan dahinya. Ruang tengah nampak sepi, entah ke mana orang-orang pergi. Dengan berhati-hati, Zora melangkah keluar.

Ada yang berbeda. Zora menelaah sekitar dengan matanya. Ada yang lain dari tembok penuh bingkai foto itu. Terlalu banyak bingkai kecil yang bertengger pada barisan paling bawah. Yang Zora ingat, bingkai-bingkai itu harusnya tak ada di sana. Harusnya barisan foto hanya berakhir pada deretan di atasnya. Zora berjalan dengan tertatih untuk mendekati tembok itu. Rasa penasaran lebih besar dibandingkan rasa nyeri di kakinya.

"Apa-apaan..."

Terdapat belasan bingkai kecil berwarna putih polos berisi hasil-hasil jepretan asal Zora menggunakan kamera yang Ayah beri saat ulang tahunnya. Kamera yang seharusnya bukan menjadi kado ulang tahun saat itu, namun sengaja diganti oleh Ayah yang berpikir ada yang bisa diubah dari masa lalu Zora.

Zora masih tak dapat memercayai apa yang dilihatnya. Hatinya mulai dipenuhi argumen, ia tak dapat mencerna bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana bisa foto-foto asal itu ada di sana? Foto-foto itu memang tak memiliki peran apa pun dalam mengubah alur cerita, tapi Zora merasa bahagia bahwa salah satu memori yang dapat mengingatkannya pada apa saja yang terjadi di satu tahun paling berharga—di kesempatan keduanya lampau lalu—ikut terbawa ke masa depan.

***

Kali ini, langit di atas Sanggah keluarga Zora sedang bersahabat dengan perasaan di hati. Zora terpukau menatap warna oranye yang bercampur biru keunguan terlukis di cakrawala. Ada beberapa tempat yang memiliki sore paling indah, salah satunya, ya, kota ini. Di balik semua memori masa lalu yang entah bisa Zora sebut apa karena ia memiliki keduanya; masa lalu yang penuh trauma, maupun masa lalu yang penuh bahagia. Keduanya hadir membentuk perubahan pada diri Zora yang sekarang.

Mama, yang baru saja selesai berdoa mendapati Zora sedang menatap langit. Kedua bola matanya ikut melirik ke arah yang sama.

"Ma, langitnya cantik, ya? Kira-kira Ayah ada di atas sana, nggak, ya? Lagi lihatin kita, gitu?"

"Ayah nggak ada di atas sana, Nak. Tapi di sini, di dalam hati kita," ujar Mama.

Zora tersenyum, "Aku kangen sama Ayah, Ma. Rasanya baru kemarin Ayah nggak ada. Pertemuan bisa cuma sehari, tapi kalau kehilangan berhari-hari, berlarut-larut... Mama kangen, nggak, sama Ayah?"

"Setiap saat, Zo. Rasanya nggak pernah lengkap kalau nggak ada Ayah kamu."

Seutas rasa perih kembali menusuk hati Zora, ia teringat akan berbagai memori yang serasa baru terjadi kemarin. Ditatapnya Mama dengan penuh rasa bersalah akibat perlakuannya selama ini. Tak adil bila Mama selalu mengalah dan memaafkan jika Zora tak pernah berniat untuk mengubah sikapnya. Dan kali ini, Zora bertekad untuk menjadi lebih baik.

"Zora sok kuat, ya, Ma? Aku kira, aku yang paling kuat, yang bisa hadapi segalanya sendirian. Tapi ternyata Mama yang lebih kuat. Selama ini Zora kurang ajar, acuh, nyalahin Mama soal semuanya. Padahal Ayah meninggal bukan karena Mama..."

"Zo... saat Ayah kamu pergi, Mama juga kayak kamu. Rasanya nggak apa-apa kalau dunia hancur di hari itu juga. Hari-hari setelahnya bahkan lebih parah lagi," Mama mengusap bulir air mata yang hampir jatuh di ujung kelopak matanya, "Mama nggak bakal bisa ada di sini kalau bukan karena satu hal."

"Apa, Ma?"

Usapan kecil mendarat di kepala Zora, Mama tersenyum tulus menatap putrinya,

"Kamu. Di rumah sakit, sepuluh tahun yang lalu kamu pernah bilang terima kasih ke Mama, karena Mama nggak menyerah buat jaga Ayah kamu."

"Aku pernah bilang gitu?"

"Pernah," Mama tertawa kecil, mengingat-ingat, "Waktu itu umur kamu baru sebelas tahun, dan Mama kaget saat dengar kata-kata kamu. Ucapan kamu berhasil mengubah Mama, Zo. Mama kira bakal susah kalau nggak ada Ayah kamu, tapi ternyata, kamu bisa dewasa dengan sendirinya. Kamu bukan cuma mengubah dirimu sendiri jadi lebih baik, tapi juga orang lain, Mama..."

Satu lagi perubahan yang ikut serta ke masa depan. Ya, kata-kata mutiara yang Zora ucapkan pada Mama di depan ruang ICU saat Ayah dirawat. Zora mengingat jelas kata-kata yang lahir dari bibirnya setelah perasaan bersalah karena sudah membentak Mama di sana. Zora bersyukur karena faktanya ucapan itu ada di alur cerita mereka, dan dapat membekas di hati Mama hingga sekarang.

Nyatanya, kekuatan kata juga dapat mengubah seseorang untuk merasa lebih baik.

"Tapi Zo banyak salah sama Mama..." Rasa bersalah masih bernaung di diri Zora.

"Hei, Zora, putri Mama... Mama nggak pernah merasa kamu salahkan."

"Kenapa Mama bisa sekuat itu sih, Ma?"

"Kan Mama sudah bilang, ada Ayah kamu di sini," ucap Mama sembari menunjuk dadanya, "Kalau kita tulus taruh nama seseorang di dalam hati... mereka bisa jadi sumber kekuatan dan kebahagiaan bagi diri kita sendiri."

Zora langsung memeluk ibunya dengan erat. Ia pernah berjanji pada Ayah untuk menjaga Mama karena mereka hanya memiliki satu sama lain. Dan Zora akan menepati janji yang ia buat itu. Zora akan menjaga ibunya, menempatkan peran dan perasaannya di urutan paling depan pada setiap langkah dan pilihan yang Zora ambil.

"Ada Zora juga nggak Ma?"

"Ya adalah."

"Kalau gitu, Zora boleh minta tolong?"

Mama mengernyitkan alisnya, tanda bertanya. Namun Zora hanya tertawa dan segera bangkit dari duduknya. Mereka segera melangkah keluar dari dalam Sanggah. Langkah Zora semakin kuat, walau sesekali ia tetap butuh topangan dari Mama. Mereka berjalan menyeberangi jalan raya, menuju toko bunga yang ada di pinggir jalan. Begitu sampai, hanya ada bapak Ricki, Om Edi di depan toko sedang menata bunga-bunganya. Ia terkejut melihat Zora dan ibunya datang berkunjung.

"Loh Mbok Mira? Apa kabar, Mbok?" sapa Om Edi sumringah, "Gek Zora? Kemarin Ricki bilang habis kecelakaan, ya?"

"Iya, Om. Tapi udah nggak apa-apa, kok," Pandangan Zora menjelajahi sepetak toko bunga itu, namun tak ia temukan sosok yang dicarinya, "Om Edi, Ricki-nya ada?"

"Ada, Gek. Mau masuk aja atau Om panggilkan? Kemarin dia ke rumah sakit bawa buket bunga, sudah terima?"

"Oh, bunganya dari Ricki?" Zora mengangkat salah satu alisnya sembari menggoda Mama. Om Edi baru sadar bahwa ia melakukan sebuah kesalahan.

"Iya dari Ricki, dia bilang buat jangan kasih tahu kamu kalau dia yang kasih."

Zora berusaha menahan tawanya mendengar Mama yang akhirnya mau berkata jujur soal asal-muasal dari buket mawar lavender itu. Zora hanya butuh kejelasan, walaupun ia sudah tahu kalau Ricki-lah yang mengirim buket itu. Om Edi buru-buru mempersilakan Zora masuk ke dalam rumahnya karena anaknya yang tak kunjung keluar setelah dipanggil. Dia pasti sedang berusaha menutupi malu.

Zora memasuki ruang tengah rumah Ricki. Ia masih ingat letak ruangan-ruangan di rumah ini yang memang tidak berubah sama sekali. Di dinding ruangan, tergantung sebuah foto saat Ricki wisuda. Tak ada sosok ibu kandungnya yang entah di mana sekarang. Hanya Ricki dan sang ayah, tersenyum lebar menatap kamera. Mereka terlihat bahagia. Foto itu membuat Zora dapat menggambarkan bagaimana foto wisudanya nanti. Ia kembali tersenyum kecil.

"Zora?"

Zora menoleh ke belakang, didapatinya sosok Ricki yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia langsung kembali melompat ke dalam kamar saat Zora menoleh ke arahnya. Ternyata Ricki hanya menggunakan celana boxer yang kebesaran dan kaos singlet berwarna putih lusuh. Mungkin dia baru saja bangun tidur.

"Sebentar, ya, Zo!"

Zora kembali menahan tawa melihat bagaimana amburadulnya sosok Ricki yang baru saja dilihatnya. Rambutnya yang selalu acak-acakan itu terlihat lebih berantakan daripada biasanya. Zora segera menuju teras belakang rumah itu, matahari sore seakan memanggilnya. Ricki yang sudah berganti pakaian mengintip dari balik korden kamar, berusaha untuk mengusir rasa malu yang terbentuk di dalam dirinya. Tak mau membuat Zora menunggu terlalu lama, ia langsung bergegas untuk menghampiri Zora.

"Kamu udah keluar dari rumah sakit?" Ricki melihat balutan perban di salah satu lutut Zora, "Zo? Mendingan kamu duduk aja, ya? Kayaknya kamu nggak boleh berdiri dulu, deh."

"Aku udah baikan, Rick. Dua minggu lebih cuma rebahan doang, sekarang pengin gerak."

"Um, gitu, ya... Tapi beneran nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa."

Zora mengelak. Padahal, kakinya terasa sedikit nyeri karena sudah ia paksakan untuk mulai berjalan. Tapi, ia merasa tak perlu menunjukkan itu di depan kawannya. Ia tak ingin dikasihani.

"Eh, ada perlu apa ke sini, Zo? Harusnya kan aku yang jenguk kamu."

"Cuma mau bilang makasih sama kamu."

"Makasih buat?"

"Buket bunganya."

"Dari mana kamu tahu kalau aku yang kasih?"

"Cuma feeling."

Ricki menekuk wajahnya.

"Sama-sama, Zo. Aku senang kamu selamat dari kecelakaan itu. Itu yang terpenting."

"Kamu baik banget sama aku, Rick," Zora menunduk, "Terkadang aku nggak sadar kalau sebenarnya banyak yang peduli sama aku."

Pandangan Ricki beralih mengikuti sepoi angin yang menyapa mereka pelan. Diperhatikannya perempuan yang ada di sampingnya. Sinar kuning keemasan menambah kesan cantik dari wajah Zora. Namun, ia rasa, warna cerah dari mentari di sore ini tak dapat menembus hati Zora. Ricki tak pasti tentang kekosongan apa yang Zora rasakan selain karena kepergian ayahnya. Hanya itu yang ia tahu karena pernah lalui hal yang sama. Di dalam hatinya ia berharap seandainya ia bisa menggali lebih dalam agar dapat membuat Zora merasa lebih baik.

"Itu karena kamu nempatin orang yang kamu pedulikan di atas orang yang peduli sama kamu, Zo. Terkadang, mereka belum tentu melakukan yang sama," ujar Ricki, kedua retinanya masih berada pada wajah yang ada di sampingnya, "Ini hidup kamu, kamu yang jalanin, kamu yang hidupin, kamu yang menentukan arahnya ke mana... Saran aku, nggak ada salahnya buat buang orang-orang itu dari hidup kamu kalau misalnya di tengah perjalanan, mereka menghambat proses yang kamu lalui."

Sungging senyuman Zora melebar tatkala mendengar kata-kata mutiara yang Ricki ucapkan. Ternyata, Ricki masih selalu menjadi Ricki yang ia kenal. Ricki yang sedari dulu memberikan perhatian lebih untuknya. Ricki yang selalu bersikap hangat, Ricki yang sok tegar dan sok tahu banyak soal dunia... Tapi, itu yang Zora butuhkan sekarang; seseorang untuk lebih meyakinkan dirinya bahwa ia tak pernah sendiri. Masih banyak insan yang menyayanginya, dari yang sedekat dunia, sampai yang sudah tidak satu dunia. Ia tak akan pernah sendiri karena cinta dari orang-orang itu akan selalu menemaninya.

"Kamu kedengaran kayak Ayah aku, tahu nggak?" ucap Zora.

"Aku nggak bakal bisa gantiin peran Ayah kamu, Zo."

"Aku nggak nyuruh kamu gantiin peran Ayah aku."

"... Oh... Iya juga, ya... Hahaha." Ricki terkekeh, ia mulai salah tingkah.

"Rick?"

Ricki menoleh lagi ke arah Zora.

"Kenapa selalu bunga mawar warna lavender?" tanya Zora penuh serius.

"Oh, itu..." Ricki mulai terbata,

"Itu... lambang cinta pertama."

Kali ini, gantian Zora yang menatap lurus Ricki yang tak ia sadari sudah menatapnya duluan. Mata mereka bertemu. Zora menyadari sesuatu. Binar netra yang penuh kehangatan itu ternyata masih ada di sana. Entah apa rasanya, tapi ini rasa yang sudah lama tak Zora rasakan. Zora merasa aman diperhatikan oleh Ricki, sebelum ingatan tentang kekasihnya yang ada di Jakarta segera menghampiri.

Canggung, Zora segera memalingkan pandangannya ke arah hijaunya tanaman padi yang riuh saling menyentuh. Namun tidak dengan teman masa kecilnya itu. Ricki, matanya tetap setia curi-curi pandang pada Zora yang pikirannya sudah melayang pergi dari tempatnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top