#24 Pulang

"Kalau diberi kesempatan untuk bermain dengan waktu, kamu mau ke mana?"

"Aku nggak akan ambil kesempatan itu."

"Kenapa?"

"... Karena semua kesalahan, kegagalan, bahkan kesedihan yang aku lalui... Mereka sudah membawa aku ke tempat di mana seharusnya aku berada; di sini, di hadapan dunia luas ini.

Semua ini sudah cukup. Aku bahagia ada di sini.

Dan aku nggak mau merusak peran mereka."

***

"Selamat ulang tahun... Selamat ulang tahun..."

Zora terbangun karena suara bising dari sebelahnya. Ia tak bisa menggerakkan lehernya. Kedua kelopak matanya terasa sangat berat, seolah-olah ia telah terjaga sepanjang malam. Dengan usaha cukup keras, ia mencoba membuka mereka lebih lebar. Zora mengedipkan matanya berkali-kali. Pandangan yang kabur, perlahan mulai jelas. Anehnya, dia tak terbangun di kursi ruang ICU di rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Tidak juga pada stiker bintang-bintang yang tertempel di kamarnya. Di atas Zora, hanya ada langit-langit putih polos dengan satu lampu yang menyala terang. Saat Zora mencoba melirik sebelah kirinya, sebuah cairan infus bertengger di atas situ.

Apakah ini... masa depan?

"Tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga..."

Masih mencoba meyakinkan dirinya akan apa yang terjadi, Zora mencoba lagi menggerakkan lehernya, namun gagal. Sebuah benda keras menahan pergerakkannya. Ia yakin benda itu adalah alat penyangga leher. Dengan kuat, ia mencoba menggerakkan turun kepalanya. Pemandangan yang tak seharusnya membuatnya terkejut terpampang jelas di hadapannya. Zora terbaring di ranjang rumah sakit dengan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Infus yang tertanam di tangan kirinya, alat penyangga leher, beberapa perban luka di kedua kakinya, dan juga... terpasang sebuah gips di tangan Zora. Pikirannya malam itu benar. Zora mematahkan tangannya, atau yang lebih jelas, tangan kanannya. Ia mengutuk kebodohannya sendiri karena tidak fokus dan berhati-hati pada malam naas itu. Kecelakaan tunggal yang ia alami membuat kondisi fisiknya menjadi sangat kacau sekarang.

Tapi yang lebih Zora pikirkan adalah fakta bahwa ia terlempar kembali ke masa depan. Iya, ini masa depan. Masa di mana Zora seharusnya berada, masa di mana raganya sudah menunggu. Zora dapat bernafas lega karena ia selamat dari kecelakaan itu. Cahaya mentari yang masuk tanpa izin seakan membawa kembali jiwa Zora ke masanya. Jiwa Zora kembali pulang tepat di hari kematian sang ayah, membuat rasa sesal masih setia menunggunya. Ada perasaan menyesal kenapa ia harus jatuh tertidur saat itu juga. Kenapa ia tak melihat saat sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya? Perasaannya campur aduk. Kecewa, sedih, marah... namun lega. Tak ada gambaran pasti akan apa yang Zora rasakan sekarang. Hal baik yang ia coba syukuri adalah karena Zora melewatkannya lagi. Mungkin jika ia ada di sana, sisa sesak yang terbentuk pada hari itu akan menghantui dirinya hingga nanti.

"Zora... Ayo buka kado dari Bunda!"

Zora berusaha menoleh lebih dalam, mencoba melirik seluruh isi kamar. Ada Nenek yang tertidur pulas di sofa samping tempat tidurnya. Seketika itu rasa bersalah Zora mulai terbentuk lagi. Sudah berapa lama dia ada di sana? Sudah berapa lama ia tak sadarkan diri? Karena bisa saja, kecelakaan itu tak terjadi kemarin, kan? Bisa saja seminggu yang lalu, sebulan, atau bahkan setahun yang lalu? Karena waktu Zora di masa lalu sangatlah banyak. Jiwanya melalui sekitar lima belas bulan di sana. Dari pertengahan bulan Juni 2009 hingga akhir Oktober 2010, tepat saat Ayah meninggal. Dan tiba-tiba saja Zora sudah kembali pada raga yang separuhnya dibalut rasa nyeri parah. Kepala Zora terlalu sakit untuk memproses keajaiban demi keajaiban yang terjadi padanya. Hingga pada saat ia sadar, ada sebuah luka juga di dahi kanannya. Sebuah kebetulan. Zora pun bertanya-tanya berapa banyak luka dan patah tulang yang dialaminya.

"Wahhh... Makasi, Mama."

"Kok "Mama"? Manggilnya "Bunda"!"

"Mama, Coa mau peluk, Mama..."

"Ya sudah, biarin saja manggil kamu "Mama"..."

"Tuh, kamu dibelain Ayah kamu, tuh..."

Zora menoleh ke arah jendela. Mama ada di sana. Ia membiarkan wajahnya dibalut sinar mentari. Cahaya matahari berwarna oranye keemasan yang hangat memberi petunjuk waktu pada Zora, ia yakin sekarang adalah sore hari. Perasaan bahagia langsung berhamburan masuk ke dalam hatinya saat melihat sosok Mama ada di hadapannya.

"Zora... Ayah sama Mama sayang sama Zo..."

Mama tertawa kecil menonton sebuah rekaman di layar handphone yang ia genggam. Zora tak dapat melihat gambar dari rekaman itu, tapi suaranya sudah cukup jelas. Rekaman handycam pada ulang tahun Zora yang pertama. Rekaman yang sudah lama tak ia tonton karena tak mau rasakan rindu yang menyiksa akan masa kecil tanpa beban miliknya. Zora sudah tak memilikinya dalam waktu yang lama, tapi ternyata Mama masih menyimpan rekaman legendaris itu, di telepon genggamnya, di sebuah benda yang sangat dekat dengannya.

Zora dapat melihat air mata yang mengalir di pipi Mama. Hatinya mulai kembali sakit. Entah bagaimana hancurnya perasaan Mama saat ini. Ia hampir kehilangan putrinya. Zora hampir membuat Mama kehilangan satu-satunya hal yang menjadi alasannya berjuang, satu-satunya dunia yang ingin ia lindungi, dan satu-satunya orang yang ia tunggu pulang setiap harinya. Dan malam itu Zora tak pulang ke dekap Mama. Ia malah pulang dengan keadaan babak belur seperti ini.

Ia kembali teringat bagaimana kerasnya tangisan Mama sore itu. Akhirnya Zora tahu. Akhirnya ia tidak lari meninggalkan ibunya yang tersakiti sendirian di kamar rumah sakit waktu itu sembari menyaksikan kepergian Ayah secara langsung. Akhirnya Zora ada di sana, mendengar bagaimana riuhnya para tenaga medis untuk menyelamatkan Ayah, meresapi semua teriakan takut kehilangan dan putus asa dari semua orang yang ada di kamar terkutuk itu. Zora ada di sana, sebelum ayahnya pergi, sebelum jiwanya juga ikut pergi ke masanya. Ia ada di sana.

"Ayah... Mama..."

"Mama..."

Mama terkesiap mendengar nama panggilannya disebut. Hanya ada satu orang yang memanggilnya demikian; Zora. Mama menoleh ke arah ranjang rumah sakit di mana ia mendapati Zora yang sudah membuka matanya dan berusaha menggerakkan jari-jari tangan kanannya yang ditekan oleh gip. Mama segera berlari menyambar putrinya.

"ZORA!"

"Ma..."

Air mata Mama jatuh dari mata yang sudah basah sedari tadi. Akhirnya Zora siuman. Haru di dadanya tercampur dengan bahagia yang tak terbatas. Ia memeluk tubuh Zora dengan erat, diciumnya pipi putrinya berkali-kali. Mama segera menekan tombol panggilan medis yang ada di atas Zora. Nenek yang sudah terbangun juga tak kalah terkejut melihat cucunya yang akhirnya sadar. Namun ia memilih untuk berlari keluar kamar dan memanggil dokter untuk mengecek keadaan Zora.

"Mama..." Zora terisak.

"Iya sayang? Mama di sini."

"Zo... Zora minta maaf, Ma..."

"Sayang, itu kecelakaan. Mama nggak bakal pernah salahin kamu, Mama yang salah karena sudah bawa kamu ke sini, Nak." ucap Mama lembut. Air matanya yang jatuh berisi rasa sesal yang tak dapat dipungkiri. Yang terpenting baginya hanyalah anaknya yang sudah bangun dari koma.

"Bukan soal kemarin, Ma..." sanggah Zora pelan, "Tapi soal yang dulu-dulu. Zora nggak pernah jadi anak yang baik buat Mama..."

Bungkam. Itulah cara pertama yang dilakukan Mama untuk menanggapi ucapan Zora. Semua hal dan memori tentang sang putri langsung terlintas cepat dalam benaknya. Mama masih tak tahu maksud dari perkataan Zora sepenuhnya, tapi kata-kata itu melegakan hatinya. Mama mencium lagi kening Zora tanpa sepatah kata pun. Baginya, Zora tetaplah anak yang terbaik. Melepas semua sikap buruknya yang memiliki alasan, Zora tetaplah buah hati yang selalu Mama inginkan dan banggakan.

Seorang dokter dan suster masuk ke kamar Zora. Nenek mengikuti mereka dari belakang. Zora tersenyum menyapa neneknya yang sudah berlinang air mata. Dokter itu tersenyum ke arah Zora. Lalu mulai melakukan apa saja untuk mengecek kondisi Zora. Ia menanyakan beberapa pertanyaan yang hanya dibalas senyuman oleh Zora. Dia adalah dokter yang ada di ruang operasi di malam yang naas itu. Zora ingat betul tatap matanya yang penuh dengan ketulusan. Ia sangat berterima kasih karena dokter itu sudah menolongnya, menyelamatkan nyawanya, memintanya untuk berjuang bersama saat ia ada di ujung pilihan antara hidup dan mati. Yang akhirnya membawa fakta di mana Zora benar-benar selamat, walau jiwanya sempat sedikit bermain-main di masa yang lain.

Dokter itu mengalungkan lagi stetoskopnya setelah selesai memeriksa kondisi Zora. Ia menepuk pundak Zora dengan pelan,

"Selamat datang kembali, Zora."

***

"Kamu kecelakaan tiga hari lalu, sekitar jam 9 malam. Beruntung ada warga yang lewat dan langsung manggil bantuan."

Mata Zora tertuju pada buket mawar lavender yang berada di atas meja di samping ranjangnya. Tak ada kartu memo apa pun di antara bunga-bunga yang ditata rapi, namun Zora tahu siapa yang mengirim buket itu. Ia tersenyum, sakit di kepalanya tak terasa berat karena rasa senang di hatinya. Yang terpenting, Zora dapat bernafas lega karena setidaknya ia dapat melewati masa kritisnya. Zora masih merasa seolah dia telah pergi lama karena kunjungannya ke masa lalu selama berbulan-bulan. Betapa bersyukurnya dia mengetahui keluarganya di masa kini tidak kehilangan "jiwa" Zora dalam waktu yang cukup lama.

"Nggak tahu kenapa, rasanya lama..."

"Lama bagi Mama dan keluarga yang nunggu kamu sadar beberapa hari ini."

Pintu kamar tiba-tiba diketuk pelan. Zora tersenyum lebar saat batang hidung sepupunya, Wahyu muncul dari ambang pintu. Di belakangnya, Tante Surya dan suaminya, Om Wayan ikut berjalan masuk ke dalam ruangan.

"Tante, Om... Maaf ya, mobilnya Zora rusakin... dikit," ucap Zora.

Seluruh isi ruangan tertawa.

"Nggak usah mikir mobilnya! Itu mobil seharusnya sudah Tante jual dari dulu, tapi Om kamu ini yang nggak pernah izinin. Padahal di sini nggak ada yang pakai!"

"Itu kan mobil kesayangan Wina... Marah dia kalau aku jual mobilnya!" ucap Om Wayan pada istrinya.

Zora tertawa pelan. Rasanya sama sekali tak aneh mendengar nama ayahnya disebut.

"Gimana keadaan lo?" tanya Wahyu, ia duduk di atas ranjang Zora.

"Badan udah nggak terlalu sakit, sih. Cuma masih sakit hati pas sadar kalau nggak bakal bisa nulis selama beberapa bulan ke depan."

Wajah Wahyu mulai serius, "Gue kira gue bakal kehilangan lo, Kak."

Zora memandang dalam adik sepupunya. Hatinya yang sumringah langsung bergetar mendengar pernyataan itu.

"Lo selalu jadi inspirasi buat gue. Semua hal yang lo lakuin, kesuksesan lo, kemandirian, bahkan hati lo yang kuat banget... Gue selalu pengin jadi kayak lo. Nggak bisa bayangin gimana kalau kemarin gue kehilangan lo karena ini."

"Makasih, Yu... Lo itu lebih dewasa daripada gue. Dan gue yakin lo bakal bisa lakuin lebih daripada apa yang gue lakuin selama ini..." Zora bergidik, "Tapi jangan coba-coba buat nabrakin diri ke jurang!"

Wahyu mengernyitkan matanya, membuat Zora terbahak karena perubahan ekspresinya.

"Malah bercanda... lagi serius juga!" Wahyu merogoh saku celananya, "Oh iya, handphone lo ketemu di dalam mobil itu. Masih bisa nyala, nih."

Zora menerima telepon genggamnya. Memperhatikan layar yang hampir keseluruhannya retak. Ia tersenyum kecil, lalu menunjuk gips di tangan kanannya, "Lo nggak lihat tangan gue dibalut perban yang gedenya hampir sepaha?"

Wahyu tertawa, "Siapa tahu ada yang mau lo kabari."

Sepupu laki-laki Zora itu menepuk bahu Zora dengan pelan. Zora berpura-pura meringis kesakitan, namun Wahyu tak percaya akan kebohongannya. Wahyu segera beranjak dari tempatnya, mempersilakan siapa saja anggota keluarganya yang ingin berbicara dengan Zora.

"Eh, Kak..."

Zora kembali menoleh ke arah sepupunya.

"Udah lama gue nggak lihat lo senyum setulus itu."

Senyuman Zora kembali merekah. Ia tak tahu pasti jika ada yang berbeda darinya setelah kembali dari masa lalu. Namun yang dapat dirasakannya, ialah keadaan hati yang lebih luang. Rasanya lebih berbahagia dari sebelumnya.

Retak di layar telepon genggam itu sangatlah parah. Pasti sempat terbanting berkali-kali bersama tubuh Zora saat terguling ke dalam jurang itu. Namun Zora yakin masih dapat menggunakannya guna mengecek isinya. Dengan cemas ia menunggu proses reboot handphone-nya. Zora bernafas lega saat telepon itu dapat menyala. Banyak sekali pesan masuk. Sepertinya berita langsung tersebar luas oleh media. Mungkin Mama mencoba menghubungi siapa saja yang harus ia hubungi, termasuk pihak penerbit buku yang ternyata memasang foto Zora di akun instagram mereka, dibarengi ajakan berdoa untuk keselamatan dan kesembuhan Zora. Notifikasi Zora sudah bagai pasir di pesisir pantai. Zora menghembuskan nafasnya. Ia akan mengabaikan semua hal yang tertulis di sosial media luas dan berpura-pura belum membaca semua itu. Zora segera membuka aplikasi Whatsapp. Isinya kebanyakan dari Raya yang berusaha menghubungi Zora berkali-kali. Telepon, Instagram, Whatsapp... bahkan Raya mengirim banyak sekali pesan spamming yang berisi ujaran khawatir dan ungkapan takut kehilangan sahabatnya. Atau cerita tentang malam panjangnya saat menunggu kabar dari Zora. Dan soal bagaimana ia akan membiarkan Zora memakan sereal cokelat sebanyak apa pun jika ia sadar nanti. Zora tersenyum haru karena sahabat karibnya itu selalu menunjukkan kasih sayang yang tak terbatas padanya. Ia tahu Raya benar-benar peduli akan dirinya.

Ada sebuah nomor tak dikenal mengisi jajaran pesan-pesan yang Zora terima. Merasa asing, Zora segera membuka pesan itu. Kalimat pertama yang ada di atas pesan-pesan beruntun lainnya adalah: Hai Zora, ini Ricki. Itu nomor Ricki. Zora baru ingat sempat memberikan nomor pribadinya pada teman kecilnya di hari kecelakaan itu terjadi. Zora kembali membaca beribu kata yang Ricki kirimkan padanya. Baik, Ricki juga tahu soal kecelakaan itu, pasti dia akan tahu. Zora tidak mengharapkan Ricki untuk menghubunginya, tetapi doa-doa manis yang ia kirimkan cukup menghadirkan sungging senyum kecil di wajah Zora.

Karena nyatanya, Yudha, orang yang Zora ingin hubungi pertama kali untuk memberikan kabar bahwa ia sudah siuman... hanya mengirim beberapa pesan. Kemarin, sebelum kecelakaan itu terjadi. Setelah itu, Yudha sama sekali tak bergeming. Berusaha menelepon yang tata caranya hanya dua langkah saja, tak sempat ia lakukan. Yudha tak akan berani untuk menghubungi Mama, Raya, atau siapa pun orang terdekat Zora saat ini guna menanyakan kabar kekasihnya. Ia jelas melihat apa pun yang orang-orang tulis di sosial media. Namun untuk berpura-pura memedulikan Zora saja, ia tak mampu. Zora kecewa, sungguh. Ia tak pantas diperlakukan sedemikian rupa oleh orang yang sama sekali tak pantas mendapatkan dirinya. Yudha benar-benar membuktikan bahwa ia brengsek. Zora berencana untuk menamparnya berkali-kali saat ia kembali... dan saat gips di tangan kanannya boleh dilepas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top