#21 Sekali Lagi, Maaf

Hari ini, Ayah akan dipindahkan dari ruang ICU ke bangsal rawat inap yang sudah disediakan. Ruang Cempaka 10, Zora menatap pintu ruangan itu yang terbuka lebar. Om Jaya berlalu-lalang di dalam ruangan, menaruh semua barang-barang bawaan yang sedari kemarin berserakan di dalam mobil dan ruang tunggu. Tante Chandra membawa Nenek ke rumahnya untuk sejenak tidur dan beristirahat. Mama sedang berada di lantai bawah untuk mengurus administrasi dan kepindahan Ayah ke bangsal.

Suasana di lantai empat ini sangatlah sepi, tak banyak pasien yang dirawat di lantai ini. Tak ada orang lewat di koridor tempat Zora berada. Ia hanya sendirian dengan pikirannya, ditemani pamannya yang sibuk sendiri di dalam sana. Om Jaya terlihat menutup semua korden yang ada di ruangan itu. Ia lalu memencet remote AC berkali-kali, seakan mengatur suhu ruangan pada titik yang paling ujung. Zora yang ingin protes soal pamannya yang memblokir cahaya matahari dari jendela, tiba-tiba terhenti setelah mendengar suara pintu lift yang terbuka. Disusul oleh gema suara ranjang pasien yang didorong pelan. Dalam harap-harap cemas, Zora menunggu untuk siapa yang akan muncul dari ujung lorong. Keyakinan dalam hatinya bertambah saat sosok Mama muncul dalam pandangannya, diikuti oleh dua orang suster yang mendorong ranjang Ayah. Mereka berjalan pelan, melewati Zora yang mematung melihat Ayah yang sudah sadar. Matanya melirik lemah ke arah Zora sebelum dibawa masuk ke dalam kamarnya.

Kaki Zora kembali bergetar, ia berusaha mengatur nafasnya yang tersengal. Hatinya lagi-lagi sakit. Penyakit sialan. Ayah tak lagi memandang Zora dengan tatapan berbahagia karenanya. Setelah semuanya selesai, Mama, Om Jaya dan para perawat itu menutup pintu kamar, lalu sibuk berbincang entah membicarakan apa. Zora kembali membuka pintu itu, melangkah tak pasti ke dalam ruangan gelap yang sudah dingin beku. Ia segera menyeka tirai yang menghalanginya dan...

"Zora..."

Sebuah panggilan rendah terdengar dari tubuh lumpuh yang terbaring di atas ranjang pasien. Zora yakin mengenali ayahnya, namun tidak dengan berbagai peralatan medis yang terpasang pada sekujur tubuhnya sekarang. Langkah Zora semakin melambat, namun pasti untuk sampai di sebelah Ayah. Ia menatap pilu sang ayah, matanya kembali basah.

"Ayah..."

"Ka...kamu di sini, Nak..."

Ayah berucap dari dalam ventilator yang membantu pernapasannya. Matanya yang berat dapat menangkap Zora berkali-kali mengusap wajahnya guna menghapus air mata yang tak mau disuruh berhenti.

"Zo... Ayah ngg... Ayah nggak apa-apa," Ayah berusaha meyakinkan Zora.

"Maafin Zora, Yah..."

"..."

"Maafin Zora karena melewatkan semua ini dulu."

"Jangan nan...nangis, Zo..."

"Jangan nangisin Ayah..."

Zora terkesiap mendengar suruhan ayahnya. Ia akui, ia memang sangat cengeng, namun Ayah tak pernah marah saat Zora menangis dengan atau tanpa alasan. Sosok yang hangat itu selalu membiarkan tawa untuk berkumandang keras, dan air mata untuk jatuh. Baginya, menangis adalah ekspresi, sedih jugalah rasa. Hidup ini selalu soal dua hal berlawanan yang saling melengkapi. Bahagia dan sedih, mudah dan susah, tawa dan tangis, senyum dan murung... Dan untuk menjadi manusia yang hidup, ia selalu memperbolehkan untuk merasa segala rasa.

Namun, ini pertama kalinya Ayah tidak mengizinkan Zora untuk menangis.

"Maafin Zora, Yah. Maafin Zora."

***

Zora terdiam mengamati segelas teh hangat di hadapan Mama. Ia kembali menyendok sesuap nasi campur yang Mama pesan untuknya. Keadaan cafetaria di lantai tiga rumah sakit pagi ini masih sepi. Di luar sana, matahari fajar sedang tidak berselera untuk tampil. Sebentar lagi musim panas akan berakhir. Wajar bila langit mendung yang menjadi pembuka pada pagi ini, rasanya percuma jika matahari ada, tapi sinarnya tak mampu terangi pikiran yang sedang muram-muramnya.

"Nggak usah, Mbok. Mbok Surya nggak perlu ke sini. Mas Wina sudah baikan, kok."

...

"Iya, Mbok. Keluarga di Jakarta sudah Mira kabari semua."

...

"Zora izin sekolah. Dia bilang mau jagain ayahnya, lagi pula nggak ada siapa-siapa di rumah. Kasihan kalau harus sendirian."

...

"Iya, Mbok. Nanti Mira sampaikan ke Mas Wina. Makasih."

Mama segera menutup telefonnya. Itu telefon dari Tante Surya di Jakarta. Ia pasti sangat khawatir akan keadaan adik laki-lakinya, sementara dirinya terhalang jarak yang jauh.

"Ma, kok nggak pesan makan, sih?" tanya Zora pada ibunya yang kembali mengangkat telefon itu.

"Mama belum lapar, buruan dihabisin! Sebentar lagi Ayah ada jadwal periksa," suruh Mama sambil menunjuk nasi campur yang Zora makan.

Zora kembali memakan sarapannya dengan malas. Namun pandangannya masih tertuju pada wajah lelah yang ibunya berusaha tutupi.

"... Seingat saya, dokternya buka praktik di daerah Gianyar. Nama kliniknya..."

...

"Sekitar seminggu setelah suntik di sana, Pak. Hasil tesnya positif tetanus. Tapi suami saya nggak punya luka apa pun di badannya."

...

"Baik, Pak. Tolong kabari, ya, Pak. Terima kasih."

Mama kembali menutup telefonnya. Ia memejamkan matanya, lama. Entah apa yang ia rasakan sekarang selain lelah, bingung, sedih dan tertekan... Semuanya dapat Zora bayangkan.

"Ayah kena malpraktik, ya, Ma?"

"Siapa yang kasih tahu kamu?"

Zora menggeleng pelan.

"Kemungkinan besar iya, Zo. Dokter bilang, jarum suntik yang nggak steril juga bisa terkena bakteri tetanus."

"Hanya karena satu suntikan, Ma?"

Mama menghela nafasnya, "Andai Mama tahu kebenarannya gimana, Zo."

Zora menatap Mama yang kembali termenung. Ia lantas menyendok makanannya, lalu mengangkat sendoknya ke hadapan Mama.

"Mama makan, ya? Ayah udah sakit, Zora nggak mau Mama juga ikut sakit."

Wajah muram di hadapan Zora berangsur hilang. Mama tersenyum kecil, namun matanya sembab karena air mata. Ia segera menerima suapan dari sendok Zora, mengunyahnya pelan. Ada rasa ingin memuntahkan makanan itu karena sesak yang mendorong ke luar. Tapi Mama tetap berusaha tenang untuk melegakan Zora. Perhatian yang anaknya beri membuat hatinya lebih tegar.

Segera setelah sarapan mereka habis, Mama dan Zora kembali ke ruangan Ayah di lantai empat. Di mana ternyata Nenek dan Tante Chandra sudah ada di sana. Mereka bilang akan ada beberapa keluarga jauh yang akan datang menjenguk Ayah hari ini. Setelah memeluk Nenek, Zora mengendap masuk ke dalam ruangan itu sendirian.

Seutas memori yang sudah lama Zora lupakan kembali hinggap. Ia baru ingat bahwa pasien tetanus sangatlah peka terhadap rangsangan. Orang yang mengidap tetanus tidak boleh terkena cahaya, suhu panas, suara berlebih, bahkan sentuhan sekali pun. Rangsangan-rangsangan normal seperti itu dapat menyebabkan kontraksi otot yang abnormal. Itulah sebabnya kenapa suhu di ruangan ini sangatlah dingin, korden ditutup dan lampu dimatikan, Ayah harus dirawat di ruangan yang gelap dan tenang. Bahkan untuk tindakan medisnya harus dilakukan seminimal mungkin agar Ayah tidak kembali mengalami kejang.

Zora menyibak tirai dengan perlahan. Ayah ternyata sudah bangun dari tidurnya. Matanya terlihat menyipit, mungkin bibirnya yang terhalang oleh alat bantu pernafasan sedang tersenyum saat melihat anaknya datang berkunjung.

"Hai, Ayah," sapa Zora, ia duduk di samping ranjang ayahnya.

"Eh, ada anak Ayah..."

"Udah merasa baikan?"

"Rahang Ayah sudah nggak terlalu kaku lagi."

"Sakit banget, ya, Yah?"

Ayah hanya menyimpulkan senyum pada wajahnya. Matanya beralih ke arah langit-langit kamar yang redup.

"Ayah kira, setelah Ayah bangun dari koma... hal yang sama bakal terjadi ke Ayah. Tiba-tiba terlempar ke masa lalu, kayak kamu."

"Kalau hal itu terjadi sama Ayah... Ayah bisa milih buat nggak jadi ayahnya Zora.

Tatapan kosong dari kedua mata Ayah terlihat, dengan lemah, ia bertanya: "Kenapa?"

"Supaya Ayah nggak bakal kayak gini."

"Menjadi orang tua kamu adalah pencapaian terbesar buat Ayah, Zo."

"Tapi Zora nggak mau Ayah kayak gini," Zora menyapu air mata yang sudah membasahi pipinya, "Ayah kenapa nggak ngelawan aja, sih?"

"Terkadang takdir bukan untuk dilawan, Nak... Entah kenapa, rasanya percuma."

"Percuma apanya? Ayah kan belum coba! Siapa tahu tujuan Zora dibawa ke masa lalu untuk nyelamatin Ayah! Untuk buat Ayah tetap ada di hidup in..."

"Zo!"

Masih dengan suara lemahnya, nada Ayah meninggi. Zora yang hampir berteriak marah seketika langsung diam. Ia meradang. Ada rasa tak terima yang tumbuh dalam hatinya karena keadaan yang terjadi. Ada rasa menyalahkan betapa pasrah ayahnya akan kenyataan yang mungkin bisa ia cegah. Semuanya terasa sudah terlambat. Hidup bagaikan timer yang mulai menghitung mundur. Bergegas maju ke arah hari di mana Zora akan kehilangan lagi, untuk yang kedua kalinya. Zora hampir membanting kursinya, dan segera keluar dari dalam kamar. Enggan bersikap seolah tak terjadi apa-apa, ia menerobos Mama dan orang-orang yang ada di depan pintu. Tak digubrisnya teriakan sang ibu yang memanggil namanya. Zora mulai berlari di sepanjang lorong rumah sakit. Entah langkahnya membawa ke mana. Ia tetap berlari, terus berlari. Kaki kecilnya bergerak sama cepatnya dengan semua amarah di dalam kepalanya. Mereka saling mengejar satu sama lain. Zora berusaha menghilang di dalam gedung rumah sakit yang sudah ia kenal seluk-beluknya.

Langkah Zora berakhir di atas rooftop rumah sakit. Langit pagi ini masih saja mendung, enggan beranjak dari warna abunya. Zora biarkan angin yang menubruknya menghapus kasar air mata yang masih saja jatuh dan jatuh. Dadanya bagai tertusuk tepat di rasa. Ia berteriak, meluapkan segala geram yang terasa. Membiarkan semesta luas mengejeknya untuk yang kesekian kali. Sebelum Zora benar-benar merasa kalah, dan jatuh terduduk pada lutut yang enggan menyangga tubuhnya.

Ia tak bisa menang melawan semua ini, bahkan perih di hatinya sendiri.

***

Siang dan malam di bangsal rumah sakit ini tak ada bedanya, sama-sama menyeramkan. Zora kembali mengintip dari balik pintu ruangan. Di dalam temaramnya kamar itu, Mama duduk di samping ranjang Ayah. Mereka terlihat membicarakan sesuatu dengan nada pelan. Tak dihiraukannya Zora yang sedari tadi berdiri di depan pintu, menunggu kerabat yang ingin datang menjenguk Ayah. Entah apa topik yang sedang Ayah dan Mama bahas, namun mereka terlihat sangat serius. Sering sekali Mama menunduk dan membuang mukanya dari pandangan Ayah. Sesekali juga Mama menggigit bibirnya, atau mengusap wajahnya dengan pelan. Rasa penasaran Zora bertambah besar akan topik pembicaraan mereka, namun di sisi lain, ia sungguh tak ingin tahu apa-apa. Karena yang bisa ia tangkap dari ekspresi kedua orang tuanya adalah; itu bukan sesuatu yang baik.

Saat Zora berbalik, ada beberapa orang seumuran Ayah yang berdiri di belakangnya. Salah satu di antara mereka terlihat menenteng tas kresek berisi buah pir. Butuh waktu yang cukup lama untuk Zora memperhatikan mereka dan kemudian mengingat bahwa mereka adalah kawan-kawan ayahnya di Ubud.

"Zo, jagain Ayah sebentar, ya?"

Belum sempat Zora masuk untuk memanggil Mama, namun ibunya sudah lebih dulu menyadari kalau ada yang datang menjenguk. Zora mengangguk pelan. Mama kembali mengusap wajahnya dengan kasar, menyapu lagi lelah yang tampak bernaung di sana. Segera Mama keluar dari dalam kamar, menyapa ramah semua orang-orang yang datang membesuk Ayah. Ia tutupi raut minta kasihan yang selama ini terlihat saat orang-orang acuh dari hadapannya. Zora memperhatikan ukir senyuman yang ada di bibir sang ibu, entah itu tunjukkan ketulusan atau keterpaksaan. Sudah sejak pagi Mama mondar-mandir untuk mengurus segala administrasi, asuransi, bahkan menyapa orang-orang yang menjenguk tanpa henti. Entah fisik Mama terbuat dari apa, tapi hanya dialah orang yang paling teguh saat ini. Sampai detik ini Zora sama sekali belum mendengar ujar keluhan yang terlontar dari bibir ibunya.

Hati Zora kembali sakit mengingat bagaimana buruknya sikap yang ia tunjukkan pada ibunya di masa depan. Ia segera menutup pintu kamar dengan pelan, agar semua bising yang berasal dari koridor bangsal tak mengganggu Ayah. Pandangan Zora tertuju pada sebuah kotak kecil berwarna oranye terang yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Kotak itu berada di atas meja di samping tempat tidur Ayah, di sisi lain dengan tempat Zora berdiri sekarang. Tadi, Ayah juga sempat memberikan kotak itu pada Mama. Entah apa isi di dalamnya, Zora tak pasti.

Ruangan ini temaram, hanya lampu di balik tirai yang menyala, sinarnya masuk melalui celah atas untuk sedikit menerangi. Suhu dingin dari AC yang menyala menambah kesan lembab yang dihadirkan di sini, membuat Zora harus kembali menarik lengan jaketnya agar menutupi jemarinya yang mulai beku.

"Zo?"

Lamunan Zora pecah saat ia mendapati mata Ayah yang berkedip di dalam temaramnya ruangan.

"Maafin Ayah, ya? Ayah nggak bermaksud teriak ke kamu..."

Zora langsung menunduk lesu. Hatinya masih perih menerima keadaan, perdebatan pagi tadi masih terus berlanjut ke episode lain di dalam pikirannya. Zora sangat jago berpura-pura untuk menjadi anak kecil, tapi tak bisa dipungkiri bahwa hatinya masih remaja berumur entah 21 atau 22 tahun yang sudah mengerti bagaimana dunia bekerja. Karena itu, ia harus mulai belajar memahami. Tak semua ego harus dibalas dengan ego juga.

"Masih susah buat telan makanan, ya, Yah?"

"Sudah mendingan, Zo."

"Gimana yang Ayah rasain sekarang?"

"Sudah baikan."

"Pura-pura kalau sudah baik-baik aja itu nggak baik."

Ayah kembali memicingkan matanya.

"Ayah lemah banget, ya, Zo? Pasrah sama keadaan, mau mengalah sama hal buruk... Ayah nggak mikir gimana efeknya ke kamu. Nggak mikir siapa yang jaga kamu saat Ayah pergi nanti. Ayah cuma mikir hasil akhirnya, lupa soal proses panjang buat kamu lepas dari kesedihan."

"Kalau Ayah bisa mengulang waktu, Ayah bakal milih buat nggak jadi ayah kamu..." ucap Ayah lagi. Kali ini, dengan perih yang keluar dari sela-sela kerongkongannya.

"Aku nggak tahu ayah yang sempurna itu kayak gimana, tapi aku tahu kalau Ayah adalah ayah yang terbaik," Zora menghapus kasar air matanya yang tercecer di pipi karena ucapan Ayah,

"Maafin Zora, Yah. Aku cuma takut nggak bakal ada yang bisa gantiin posisi Ayah buat jaga aku... Makanya itu, aku butuh Ayah."

"Ayah menyesal, Zo, Ayah yang minta maaf. Waktu yang bisa Ayah luangkan buat kamu itu sedikit sekali... Sekarang, rasanya sudah terlambat."

"Jangan nyalahin diri sendiri, Yah."

"Biar bebannya buat Ayah, Zo. Jangan kamu semua yang tanggung."

"Aku udah pernah lari, Yah. Dan sekarang, aku nggak bakal lakuin yang sama," ucap Zora pelan. Matanya masih tak sanggup untuk menatap wajah lesu sang Ayah.

"Kamu di sini, Nak..."

"Zora coba memperbaiki kesalahan."

Entah apa raut wajah Ayah yang terpampang di balik masker oksigennya, Zora tak ingin menebak. Air mata yang terkumpul di depan retinanya berperan lebih dalam menghalangi penglihatan Zora dibandingkan dengan kamar yang hampir gulita ini. Kata "maaf" atas berbagai sesal lebih banyak hadir dibandingkan kesempatan untuk mengulang. Mereka berdua bungkam. Hanya suara pikiran masing-masing yang berteriak mengejek satu sama lain.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top