#2 Memoriam
Ada suara gaduh dari luar rumah. Zora, yang sedang mengedit konten puisi di kamarnya, dapat mendengar suara pintu rumah dibuka. Pasti oleh Mama. Suaranya yang ramah terdengar mempersilakan beberapa tamu untuk duduk di ruang tengah, selagi mereka tertawa dan saling menyapa. Zora tetap di meja belajarnya, menyelesaikan apa yang sedang ia kerjakan, lalu menyimpan file itu. Sebelum ia mengunggah ke akun instagramnya, dibacanya ulang isi puisi tersebut:
Aku selalu berusaha, 'tuk
Memperbaiki semuanya
Mencoba berdiri, bangkit sendiri
Tapi yang ada, kenyataan hanya lebih menyiksa.
Aku terlempar jauh,
Tersungkur jatuh,
Dan terpuruk kaku...
Kembali pada tepi dunia yang sudah menghukum duluan
Sekarang, bisa apa?
Tragis memang, tapi indah. Itulah yang ada di pikiran Zora untuk memuji hasil permainan katanya. Itulah yang selalu Zora katakan pada dirinya sendiri, bahwa ia adalah penulis yang handal, yang bisa memberi emosi pada setiap bait puisi yang ia tulis. Tapi, Zora sendiri sadar, bahwa puisi-puisi itu hanyalah bentuk kecil dari wujud berantakan yang dimiliki pikirannya. Puisi-puisi itu adalah ekspresi paling mudah untuk menjelaskan bagaimana rapuhnya hati dan rasa yang ada dalam batin Zora. Puisi-puisi itu hanya topeng, yang membuat orang lain membentuk sudut pandang mereka, guna menutupi gelapnya kenyataan yang Zora tulis. Tentu, Zora selalu jujur akan apa yang ia tulis. Tapi ia tak pernah jujur akan asal muasal kata-kata menyedihkan itu. Yang ia tunjukkan pada dunia adalah Zora yang periang dan berbahagia, walau saat ia menutup pintu dan jendelanya, kekosongan akan segera berhambur masuk, menyerangnya, hingga ia babak belur, dan memaksa diri untuk bertingkah seakan ia baik-baik saja di esok hari.
Tombol unggah sudah Zora tekan. Tak butuh waktu lama bagi para pengikut akunnya untuk memberi likes dan comment padanya. Zora memperhatikan bar notifikasi di mana nama-nama orang yang sama sekali tak ia kenal muncul dan seolah berlomba untuk menyukai posting-an Zora. Banyaknya notifikasi memanglah memusingkan untuk dilihat, lagi pula Zora tidaklah mengejar jumlah likes dari netizen, karena yang lebih menyenangkan untuk didapat adalah berbagai tanggapan dan perspektif dari para audiens mengenai tulisan-tulisannya.
Kriiieeet.
Pintu kamar Zora terbuka. Mama telah ada di sana duluan saat ia menengok, tersenyum hangat pada Zora yang menatapnya dengan tanda tanya.
"Zora, keluar sebentar, yuk, Nak. Ada Tante Surya," Mama melambaikan sebelah tangannya, memberi aba-aba untuk menyuruh Zora ikut keluar kamar. Dengan malas, Zora beranjak dari mejanya dan mengikuti langkah Mama.
"Anakku... Zora!"
Tante Surya langsung menyambar Zora begitu ia sampai di hadapannya. Ia memeluk Zora sangat erat, mengekspresikan rindu yang sangat berat. Zora kaget saat menerima pelukan itu. Wahyu, sepupu Zora yang merupakan anak dari Tante Surya duduk di sofa ruang tengah. Ia melambaikan tangannya ke arah Zora, yang langsung dibalas serupa.
"Sombong kamu, ya! Tinggal satu kota sama Tante tapi nggak pernah mampir ke rumah!"
Zora tersenyum, "Apa kabar Tante?"
"Baik... Kamu apa kabar? Gimana progres buku kamu? Sudah rampung?"
"Belum, Tante. Pusing mikir revisinya. Zora maunya yang perfect, biar nggak kalah bagus dari buku yang pertama."
"Halah... Hidup bukan selalu soal kesempurnaan, Nak."
Zora tersenyum kecil, hatinya terenyuh menyadari sesuatu. Kata-kata yang barusan ia dengar memanglah pantas ia terima saat ini, guna menamparnya halus dan menyadarkan jiwa perfeksionisnya. Zora memang sedang bersikeras dalam merampungkan naskah buku keduanya. Pihak penerbit sudah mengecek naskah yang Zora kirimkan, dan mereka sudah merasa cukup akan isinya. Masalahnya hanya ada di Zora, yang merasa perlu merevisi ulang, lagi dan lagi. Buku kedua ini adalah bentuk novel dari buku pertamanya yang berisi kumpulan puisi Zora di sosial media. Ia bersikeras menggunakan buku pertamanya sebagai patokan kisah yang harus ditulis dengan baik. Hal itulah yang telah memakan lebih banyak waktu dari proses lainnya.
Mama sedang menyiapkan teh di dapur, Zora yang melihatnya langsung meminta izin kepada Tante Surya dan Wahyu untuk membantu sang ibu.
"Tumben Tante Surya ke sini, ada apaan, sih, Ma?" tanya Zora.
"Dia sering, kok, ke sini. Kamu saja yang jarang ada di rumah," tanggap Mama, sembari mengaduk gula yang sudah ia tuang ke dalam cangkir teh.
Zora hanya diam mendengar ucapan Mama. Ia mempersiapkan cangkir kedua untuk tamu mereka. Mama hanya memperhatikan apa yang dilakukan putrinya dari belakang. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah Tante Surya yang mengangguk pelan, memberikan aba-aba untuk memulai apa yang sudah mereka bicarakan di waktu sebelumnya.
"Kamu ingat, kan, satu minggu lagi hari apa?"
Cangkir yang Zora pegang hampir terjatuh. Ia dapat merasakan turunnya nada bicara Mama membuatnya terkejut bagai tersengat listrik. Zora mengingat sesuatu. Entah kenapa, pikiran-pikiran itu langsung menyambar dirinya lagi, memenuhi otaknya dengan segala hal yang ia tampik untuk pikirkan. Memori demi memori tentang hari yang buruk datang lagi untuk menggoyahkan kekuatan Zora. Tentu, tentu saja. Zora tak mungkin lupa sekarang bulan apa, dan ia tahu hari ini tanggal berapa. Zora tetap melirik tanggal yang tertera di jam tangannya, untuk memastikan sekaligus membenarkan kenapa kenangan usang ini menguasai jalan pikirannya. Ia dapat merasakan tangannya bergetar hebat. Satu-satunya yang mengontrol dirinya adalah keinginan untuk tidak menjatuhkan cangkir yang ada di genggamannya, di hadapan semua orang.
Mama, yang berdiri di belakang Zora dapat merasakan perubahan hati dari anak perempuannya itu. Ia menatap punggung Zora yang masih berdiri diam, menunduk, sibuk dengan isi pikirannya sendiri. Pertanyaan itu hanyalah basa-basi pembuka percakapan, karena Mama tahu Zora tak akan pernah lupa soal hari itu. Hari yang membuat luka lebam itu membekas di sepanjang hidup Zora...
"Zora ingat, kok, Ma."
Dingin, tanggapan yang begitu dingin dari Zora. Suasana canggung dapat terasa hadir di antara mereka semua. Tante Surya duduk di depan pintu dapur, sehingga apa pun isi percakapan Mama dan Zora dapat terdengar jelas olehnya. Ia bahkan dapat melihat Mama yang menatapnya penuh cemas, menuntut pertolongannya. Tapi, ia tahu posisinya untuk bicara adalah kesalahan, karena hal ini adalah hal yang paling sensitif bagi keponakannya itu.
"Keluarga besar Ayah kamu mau adain acara di Singaraja, buat mengenang sepuluh tahun kepergian Ayah kamu," bibir Mama bergetar, ia melirik lagi Tante Surya dan Wahyu yang saling menatap, "Kita berangkat Jumat sore, minggu depan. Kamu harus..."
"Orang meninggal kok dirayain?"
Kata-kata Zora membungkam seluruh isi ruangan. Mama langsung diam, tidak percaya akan apa yang barusan ia dengar dari anaknya. Tante Surya hanya bisa pasrah menerima bahwa Zora sudah jelas tidak akan bersedia ikut dalam acara itu. Ia hafal betul bagaimana sensitifnya Zora jika sudah menyangkut tentang ayahnya. Sudah sembilan tahun berlalu sejak Ayah Zora melakukan upacara *ngaben, dan Zora tak pernah menginjakkan kakinya lagi di Singaraja. Ia merasa sangat berat jika harus kembali pulang ke kota di mana terakhir kali ia dapat melihat sosok sang ayah. Zora juga merasa tak ada yang bisa dilakukan lagi di kota itu, karena semua hal yang ada di sana selalu berhubungan dengan Ayah, dan karena insannya sudah tak ada, hal-hal itu pun mengikutinya berlalu pergi dari dunia.
(*Ngaben: upacara pembakaran mayat bagi umat Hindu.)
***
Mobil Tante Surya sudah melaju pergi. Zora hanya memperhatikan dari balik jendela rumahnya, bersembunyi di sana. Mama melambaikan tangannya ke arah mobil itu begitu klakson berbunyi. Mama pun berbalik, berjalan ke arah pintu rumah. Zora segera beranjak, berpura-pura bahwa ia tidak ikut "mengantar" pamitnya Tante Surya dan Wahyu. Ia yang sedang mengambil cangkir kosong dapat merasakan bahwa Mama sudah berdiri di belakangnya. Zora tahu apa yang akan dikatakan Mama. Dan ia benar-benar merasa tak mampu untuk mendengarnya lagi.
"Zora nggak mau datang ke acara itu, Ma."
Zora masih sibuk dengan cangkir-cangkirnya, tapi Mama tahu betul bahwa putrinya itu hanya mencari-cari cara agar ia dapat kabur dari hadapannya.
"Ya sudah kalau kamu nggak berkenan datang, biar Mama saja yang pergi. Tapi kamu nggak bisa lakuin hal itu di hadapan Tante Surya, dia itu keluarga Ayah kamu..." ucap Mama halus.
"Terus kita bukan keluarga Ayah, gitu? Kita berhak nolak acara perayaan itu, Ma!"
Zora berteriak. Ia sudah tak tahan lagi.
"Mama nggak nolak. Kamu yang nolak."
Benar, Mama memang benar. Zora yang menolak acara itu, hanya dirinya. Semua orang setuju dan akan pergi ke sana, ke kota kecil di bagian Bali Utara, ke rumah yang tak mau Zora injakkan kaki lagi. Termasuk Mama. Apa yang salah dari Mama? Kenapa Mama bisa sekuat ini? Atau pura-pura sekuat ini? Sementara hari di mana suaminya meninggalkan dunia akan berulang beberapa hari lagi? Apa yang Mama pikirkan sehingga ia dapat menangani semuanya? Apa karena anaknya? Benar, ia harus berlaku kuat di hadapan anaknya, Zora tahu itu. Dan Zora mencoba memahaminya. Tapi, fakta bahwa Mama tidak mendukungnya kali ini, cukup menyakiti hatinya.
"Zora, Mama nggak enak sama keluarga Ayah kamu. Selama ini Mama selalu berusaha untuk berhubungan baik sama mereka, tolong kerja samanya, dong, Nak..."
"Kenapa sih harus buat acara? Dan kenapa orang-orang anggap ini sebagai waktu yang tepat buat kumpul keluarga and saying 'Hi, how's your life? – Good, thanks. But actually, I am quite stressed, depressed, and it all sucks. It all sucks!'" (Halo, bagaimana hidupmu? – Baik, terima kasih. Tetapi sebenarnya saya sangatlah stres, depresi, dan semuanya payah. Semua ini payah!)
Mama tak berkedip mendengar kata-kata kasar yang Zora ucap. Ia menghela nafasnya, "Ini bukan soal Ayah kamu, kan? Ini soal kamu sendiri."
Zora dapat merasakan kata 'benar' mengalir dalam telinganya. Amarahnya sudah berada pada level tertinggi. Berdiri di sini untuk beberapa waktu lagi tak akan berakhir dengan baik. Zora segera melangkah pergi dari hadapan Mama. Cara terbaik untuk menyelesaikan perdebatan adalah lari, kan?
"Hei, Zora, Okay, stop. Mama tahu kamu masih menyesal soal semuanya, tapi tolong jangan taruh semua bebannya di Mama..."
"Mama harus tahu kalau Zora nggak pernah rela Ayah pergi! Mama harus tahu!"
Zora membanting pintu kamar dan menguncinya. Meninggalkan Mama di luar sana menatap nanar pintu itu. Hatinya hancur berkeping, melihat putri semata wayangnya bersikap demikian. Mama tak bisa menahan air matanya, walau sesak di dada karena dirinya yang tercengang lebih minta untuk diperhatikan. Pintu bercat putih dengan gantungan huruf Z di atasnya, terasa bagai pertanda bahwa, mereka telah selesai, untuk hari ini.
Di sisi lain, di dalam kamarnya, Zora membaringkan dirinya di atas lantai, menatap langit-langit kamar yang redup. Ia biarkan air mata mengucur membasahi lantai di bawah tubuhnya. Ia masih tak percaya bisa melontarkan kata-kata sedemikian rupa. Hal yang selama ini menjadi benalu dalam hatinya, pada akhirnya dapat ia biarkan keluar, di hadapan orang lain. Selama ini Zora telah membiarkan benalu itu tumbuh menjadi parasit yang memakan kewarasannya sendiri. Dan, walau akhirnya keluar pun, rasanya tetap sama saja. Masih ada sisa-sisa parasit yang mencoba berkembang biak lagi di hatinya.
Sesekali Zora berharap dapat mengunci dirinya di dapur saja, agar ia bisa memakan semua sereal gandum cokelat yang ia simpan. Setidaknya itu yang akan membuatnya merasa lebih baik. Ia menyisir isi ruangannya, mencoba mencari pengalihan dari kesedihan yang semakin berani unjuk gigi. Hanya ada laptopnya yang masih menyala di atas meja. Ia sadar masih bisa berlari ke pelarian terbesarnya; kata. Ia masih dapat menulis banyak kata, bait, kalimat—agar batinnya lega, agar rasa sakit ini tak tercecer di dalam dirinya. Setidaknya membiarkan rasa sakit itu terkurung hidup di dalam semua kata yang keluar, adalah pilihan terbaik yang bisa ia lakukan untuk saat ini. Zora segera bangkit, berjalan tertatih ke arah mejanya.
Tolong ajari aku caranya lupa
Tolong ajari aku caranya rela
Jika "selamat tinggal" tak sempat terucap
Ataukah, sudah? Tapi bukan dengan cara yang benar
Karena ini menyiksa, sungguh, saat...
Aku melewatkannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top