#18 Pemeran Utama Rahasia
Motor Ayah berhenti di sebuah pantai berpasir hitam. Tempat ini adalah pantai kedua yang mereka kunjungi di hari Minggu ini. Zora segera turun dari jok belakang motor dan berlari ke arah ombak. Ayah tersenyum melihat anaknya. Zora bercerita kalau jalan-jalan kecil di pinggir pantai itu akan hilang di masa depan, digantikan oleh resort dan restauran mewah. Zora juga bercerita kalau saat beranjak dewasa nanti, semua kesibukannya membuat Zora sangat jarang sekali memiliki waktu untuk berlibur. Tidak hanya tak sempat untuk pergi ke pantai, bahkan Zora tak punya waktu yang cukup untuk tidur dengan nyenyak. Otaknya selalu dipenuhi ide untuk digarap. Kamar yang seharusnya menjadi tempat beristirahat, malah menjadi ruang segi empat untuk bekerja siang dan malam. Dia selalu melihat Zora terjaga hingga pagi, hanya untuk menulis.
Dan dengan kembalinya jiwa Zora ke masa lalu, Ayah ingin mewujudkan nostalgia masa kecil anaknya sekali lagi, memberikan Zora waktu yang sangat banyak untuk menjernihkan pikirannya.
Kebahagiaan sangat terpancar dari wajah Zora. Ia berlarian menyentuh ombak, memungut cangkang kerang yang ada di hadapannya, memotret apa saja yang kameranya tangkap... Bahkan Ayah bertanya-tanya apa Zora versi 21 tahun masih ada di tubuh kecil itu, karena kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan remaja dewasa yang ia tahu. Mungkin, semua orang dewasa akan menjadi anak kecil di depan hal yang disukainya.
"Zora... Sini, Nak!"
Ayah berteriak memanggil Zora sebelum ia kabur lebih jauh dari tempat Ayah duduk. Zora segera beralih menuju ke arah ayahnya.
"Ayah mau bicara sama kamu."
Belum sempat Zora mengangguk, sebuah kenangan muncul dari dasar benaknya. Sial, hari apa ini? Apa nama pantai ini? Kenapa ia bisa lupa? Memori itu seakan memaksa Zora untuk mengingatnya lebih detail. Karena hal itu sangatlah penting, bagai sebuah penentu akan masa depan yang harus dunianya jalankan.
"Ayah sama Mama tahu kamu sudah nyaman tinggal di sini..."
...
...
"Jadi kita mutusin buat pindah ke sini, buat nemenin kamu, jaga kamu..."
Deg. Jantung Zora seakan berhenti bekerja. Isi dari memori itu akhirnya terpampang utuh. Ia tahu hari ini akan datang, tapi tidak secepat ini. Di memorinya, Zora kecil sangat bahagia mendengar keputusan orang tuanya. Tapi, tidak kali ini. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhnya, memenuhi pikirannya dengan rentetan kejadian yang ia tahu akan terjadi.
"Kamu senang, kan? Jadi kamu tetap bisa temenan sama kawan-kawan kamu, terus nanti..."
"Zora nggak mau Ayah sama Mama pindah!"
Ayah terkejut mendengar Zora yang berteriak kepadanya. Langsung timbul rasa bingung pada hatinya. Ia kira, putrinya akan sangat gembira mendengar keputusannya untuk pindah ke kota ini. Tapi ternyata, Zora menolak pilihan itu. Sebenarnya ada apa? Mengapa Ayah merasa ada yang janggal?
"Artshop Ayah di Ubud... gimana? Itu artshop yang udah Ayah bangun dari dulu, masa' mau Ayah tutup gitu aja?"
"Ada teman Ayah yang ngajak kerja sama untuk buka bisnis travel di sini, Zo..."
"Ini cuma kota kecil, Yah... Ayah kira semuanya bakal semudah itu?" teriakan Zora semakin kencang, membuat degup jantung sang ayah menjadi tak beraturan.
"Sebenarnya ada apa sih, Zo?" Ayah memotong pembicaraan Zora.
Zora menatap ayahnya dengan kalut. Isakan itu mulai terlihat. Sisa sesak dari masa yang akan datang mengikuti langkahnya kemari. Bibir Zora bergetar, kakinya lemas tak kuasa menopong tubuhnya lagi. Hal yang paling ia takuti akan tiba. Melihat ke belakang, ke kejadian-kejadian yang tak dapat ia ubah... Rasanya percuma untuk menolak kepindahan Ayah ke kota ini. Rasanya percuma untuk menghindari takdir itu. Tak akan ada yang bisa dihindari walau sudah berusaha sekuat kuasa.
"Apa ada rahasia lain yang nggak kamu ceritakan sama Ayah?"
...
...
...
"Ayah bakal pergi ninggalin Zora."
Sumpah serapah terdengar dari dalam pikiran Zora sendiri. Hatinya terasa kalah dengan ucapannya. Zora mengambil nafas, berusaha melegakan diri setelah mengucapkan kata-kata terlarang itu. Ia menyesal, sungguh. Andai dirinya bisa memutar waktu ke beberapa detik yang lalu... Tapi, semuanya sudah terlanjur. Kata-kata itu sudah terlontar. Jika ia bungkam pun, Ayah pasti akan selalu penasaran dengan apa yang Zora berusaha ucapkan. Memang apa yang perlu disembunyikan lagi? Semuanya percuma.
Tahu, atau tidak tahu soal waktu kematiannya, sang ayah akan tetap pergi. Meninggalkan Zora dengan rasa depresi karena sudah mengetahuinya sejak awal.
"... Pergi?" tanya Ayah. Jelas ia akan bertanya.
Zora memejamkan matanya. Berusaha menguatkan dirinya untuk menjelaskan apa maksud dari ucapannya, sekaligus membeberkan semua rahasia lain yang selama ini ia pendam; langsung kepada sang pemeran utama dalam rahasia itu.
"Ayah sakit. Ayah sakit karena kerjaan Ayah di sini, di kota ini. Awalnya, Ayah cuma sakit ambeien, bukan penyakit yang mematikan, tapi berpengaruh besar buat kenyamanan aktivitas Ayah. Ayah menolak semua anjuran buat operasi dan lebih milih prosedur pengobatan rutin biar Ayah bisa tetap kerja. Tapi... tapi karena prosedur itu penyakit yang lebih ganas muncul..."
Zora mulai menangis. Ia kesulitan bernafas karena menahan sesak yang kian menderu. Ia tak kuasa menahan rahasia itu lagi. Beban itu tak dapat ditanggungnya lebih lama. Semua beban yang membungkam rasanya hingga Zora dewasa nanti...
"... Ayah divonis kena tetanus, karena jarum suntik yang digunakan untuk prosedur kesekian ternyata nggak steril. Ayah dirawat sekitar sebulan di rumah sakit sebelum... sebelum akhirnya... Ayah..."
"... Ayah meninggal."
Ayah dapat merasakan nafasnya tercekik oleh kata "meninggal" yang Zora lontarkan. Ia tak menyangka betapa temaramnya rahasia besar yang putrinya ungkapkan. Pikirannya kacau, hatinya pedih.
"Ayah meninggal dan Zora... Zora selalu menyalahkan diri Zora sendiri karena nggak pernah mau lihat Ayah. Nengok Ayah di rumah sakit yang semakin lemah, kurus, badan Ayah habis dimakan berbagai prosedur pengobatan buat sembuhin penyakit itu. Zora nggak pernah berani nemuin Ayah. Setiap pagi Zora selalu bangun dengan rasa khawatir karena takut hari itu bakal jadi hari terakhir Ayah ada di dunia. Sampai hari itu datang, akhirnya hari itu datang! Ke depan pintu kamar tempat Zora mengurung diri dari takdir! Dari kematian Ayah! Dari fakta di mana Zora nggak pernah ada buat Ayah! Buat Ayah!"
Tangis Zora pun akhirnya pecah. Suara tangisannya mengalahkan nyaring hantaman ombak yang beregu. Semuanya sudah ia curahkan. Semua sumber rasa sakit dan trauma terbesarnya. Di hadapannya, Ayah hanya mampu diam tak bergeming sedikit pun. Tak dapat ia bedakan antara degup jantungnya yang meramai atau malah sebaliknya, ia melambat. Ayah terkejut bukan main mendengar pernyataan putrinya. Ia berharap Zora berbohong, kali ini tak apa, sekali ini saja. Sungguh tak apa! Namun kebohongan apa yang mau bermain-main dengan membawa kematian?
Pandangan Ayah tetap mengarah ke anaknya tapi artinya kosong, entah menjelajah ke mana, atau menghilang masuk ke dalam bayangan-bayangan tak terhingga di dalam khayalannya. Jiwa Ayah telah tenggelam di laut luas sana. Raganya sudah tak berisi lagi.
Semua hal yang ada di hadapannya mulai memudar.
Termasuk rasa di dalam hatinya.
***
"Masih ngapain, Mas?"
Suara Mama mengagetkan Ayah dari arah belakang. Dalam remang-remang cahaya lampu, Ayah menunjukkan selembar foto yang akan ia pasang ke dalam bingkai. Mama pun mengangguk mengerti.
"Zora di mana?" tanya Ayah.
"Sudah tidur. Mas nggak tidur?"
"Duluan saja, nanti aku susul."
Mama tersenyum hangat. Diusapnya pundak Ayah dengan lembut. Ia berlalu meninggalkan Ayah sendirian di ruang tengah. Waktu menunjukkan pukul dua puluh dua. Semua lampu sudah dimatikan kecuali lampu di lorong dapur yang mengarah ke ruang tengah. Itu satu-satunya penerangan yang digunakan Ayah. Jalan raya di depan rumah sudah sepi, tak ada satu pun kendaraan yang lalu-lalang. Satu-satunya suara yang terdengar hanya detik jam, yang seakan mencemooh kesendirian Ayah. Rumah ini biasanya selalu ramai hingga tengah malam. Tidak lagi, sepeninggalan Kakek. Adik bungsu Ayah, Tante Chandra sering keluar kota untuk mengurus pernikahannya. Paman kesayangan Zora, Om Jaya pun semakin jarang pulang kampung karena pekerjaan. Nenek sudah masuk ke kamarnya. Mungkin dia masih terpukul karena kepergian Kakek. Sekarang, rumah yang berisi penuh dengan barang-barang, menjadi kosong akan manusia. Itulah salah satu sebab mengapa Ayah dan Mama memutuskan untuk pindah ke kota ini. Selain karena Zora.
Pikiran Ayah kembali mengingat kejadian tadi siang. Sesak mulai mengisi pelan dadanya. Ia segera membongkar bingkai itu dan memasang fotonya. Sudah ada sebuah paku kecil yang tertancap di tembok itu. Hanya tinggal satu tempat yang kosong, karena semua ruang di sana telah terisi frame foto. Sebelum memasangnya, Ayah menatap foto itu... foto putrinya. Zora kecil tersenyum lebar menunjukkan barisan gigi rapinya. Foto itu berlatar sebuah pantai, dan diambil pada waktu pagi hari. Sinar matahari terbit memberi kesan hangat pada foto itu. Sebuah foto yang mengandung Zora di hadapan Zora. Kenangan tentang hari itu terlintas lagi. Hari di mana dia dan Zora mengendarai motor dan berkeliling Kota Singaraja. Mereka akan memasuki setiap gang kecil yang terhubung dari jalan raya. Gang-gang itu membawa mereka pada pantai-pantai yang keindahannya belum banyak terjamah oleh orang lain. Hal sederhana yang mereka berdua lakukan guna ciptakan kenangan untuk hari esok.
Dan Ayah tak jelas, masihkah ada kesempatan untuk membuat kenangan baik lagi bersama Zora?
Sesak di dada Ayah sudah hampir terisi penuh. Lara ditahan olehnya. Foto itu menyakitinya. Senyum Zora menyakitinya. Kali ini bukan suka cita yang ia rasakan saat melihat anaknya berbahagia. Kata-kata Zora siang tadi menghancurkan. Tidak, bukan Zora yang ia salahkan. Tapi dirinya. Kenapa ia selemah itu di masa depannya? Kenapa harus ada penyakit itu yang hinggap dalam tubuhnya? Kenapa ia tak bisa bertahan sebentar lagi saja, sampai Zora dapat benar-benar tegar akan pahit getir kehidupan? Ayah menyalahkan dirinya sendiri karena akan ciptakan rasa sakit seumur hidup pada hati putrinya. Kepergiannya akan menimbulkan lubang yang tak akan pernah sembuh pada hati Zora.
Yang paling melukai Ayah, ialah karena Zora menyalahkan dirinya sendiri. Menghakimi diri karena berusaha menghindar dari kejaran pilu. Ia akan tumbuh besar dalam penyesalan berlipat ganda karena kepergian ayahnya.
Sampai Zora dewasa nanti... Sampai ia pikir ia telah sembuh dari rasa sakit, namun ternyata tidak. Rasa sakit itu tetap akan di sana, di lubuk hati terdalamnya.
Ketakutan terbesar Ayah ialah harus kehilangan putri kecilnya saat ia beranjak dewasa. Ayah tak tahu apakah ia akan siap untuk merelakan Zora pergi untuk studinya ke kota lain, atau saat ia berkarier, menikah, hingga mereka tidak tinggal satu atap nantinya. Tapi ternyata, sebelum ketakutan terbesarnya terjadi, ia akan lebih dulu pergi meninggalkan anak semata wayangnya. Bukan hanya Zora, tapi juga istrinya, keluarganya, semua hal yang sudah ia bangun sejak dulu... Semuanya harus ia tinggalkan karena penyakit yang tak bisa ia lawan.
Oh, Zora...
Karena Ayah sekarang tahu, biar Ayah yang hidup dalam penyesalan itu.
Biar Ayah yang memikul bebanmu selama ini.
Orang tua mana yang mau anaknya terluka? Ditambah lagi, mereka yang sebabkan luka?
Ayah tak pernah mau kehilanganmu, Nak ...
Sama halnya dengan Ayah yang tak pernah mau kamu kehilangan sosok ayah...
... Secepat itu.
Dalam temaramnya malam di rumah ini, isakan Ayah berubah menjadi tangis. Tangis pelan dalam diam yang paling menyakitkan. Sesak di dada sudah tak bisa ditoleransi lagi. Hatinya hancur, membayangkan kalau sebentar lagi, dunianya juga akan hancur.
***
Zora menatap kelu bingkai-bingkai foto berukuran kecil yang terpasang di hadapannya. Tembok ruang tengah ini sudah sangat penuh oleh frame-frame foto, tapi entah kenapa Ayah masih dapat memutar otaknya untuk mencari ruang kosong agar jepretan-jepretan asal yang Zora bidik dapat memiliki tempat di sana. Ada belasan bingkai berwarna putih polos yang berisi foto pantai, matahari terbenam, teman-teman Zora saat pesta ulang tahun dua bulan lalu, dan berbagai hal-hal random lainnya. Ayah berkata hasil foto Zora adalah seni, tidak lepas dari fakta bahwa jiwa 21 tahunnya memang mengerti cara menggunakan kamera.
Ayah keluar dari kamar dengan menenteng tas travel yang memang biasa dia bawa untuk pulang kampung. Mama masih sibuk dengan bahan-bahan makanan yang Nenek sengaja siapkan untuk mereka bawa ke Ubud. Memang, hari ini Ayah dan Mama harus kembali pergi untuk mengurus pekerjaan mereka. Meninggalkan Zora dengan perasaan bersalah karena Ayah tidak banyak bicara dengannya setelah pengakuan rahasia besar yang kemarin ia ungkapkan.
Zora berlari ke arah pintu depan rumah, di mana ia melihat Ayah yang berdiri diam menghadap ke mobilnya. Sejak kemarin sore, Ayah sama sekali tak bergeming soal ucapan Zora. Zora berusaha mengerti bahwa Ayah pasti sangat terpukul dengan "ramalan" masa depannya, tapi ia sangat-sangat tak betah dengan sikap bungkam yang ayahnya lakukan. Zora merasa disalahkan, walau ia tahu sang ayah tak akan berpikir demikian.
"Ayah..."
Zora mendekati ayahnya yang masih berdiri diam. Ayah menoleh, segera membungkuk di depan Zora. Mencoba menyunggingkan senyum yang terasa berat di hadapan putrinya.
"Ayah marah sama Zora? Maaf, Yah... Harusnya aku nggak berkata jujur soal rahasia itu."
Ayah menatap Zora, datar. Ia tak jelas perasaan apa yang dirasakaannya saat ini, tapi sungguh ia tak bermaksud untuk membuat Zora merasa bersalah atas kata-katanya.
"Kemarin Ayah nemu ini di buku catatan kamu," Ayah mengeluarkan secarik kertas yang sudah dilipat rapi dari saku bajunya. Zora pun lantas membaca isinya. Bodoh. Umpatan itu terdengar jelas di dalam kepala Zora. Kenapa dengan bodohnya Zora menaruh lembar puisi yang belum sempurna itu di atas meja belajarnya? Siapa pun bisa tahu dan bertanya, dan sialnya, Ayah-lah yang bertanya duluan.
"Puisinya belum selesai, Yah."
"Itu puisi untuk Ayah, kan?"
Zora hanya menatap pilu ayahnya. Benar, Ayah benar. Ia tak dapat mengelak bahwa memang puisi itu pernah tercipta untuk sang ayah.
"Ayah nggak mungkin bisa marah sama kamu," Ayah menggenggam kedua tangan kecil Zora. Zora dapat merasakan perih dalam hati Ayah seakan menjalar dari genggaman hangatnya.
"Ayah... Ayah sayang sama Zora. Kamu itu matahari buat dunia Ayah, Ayah nggak tahu apa Ayah bisa..."
"Berangkat sekarang, Mas?"
Tiba-tiba Mama sudah berdiri di ambang pintu. Ayah bangkit dari posisinya, lalu segera pergi dari sana tanpa membalas pertanyaan Mama. Zora hanya bisa mematung di tempat, berusaha menyembunyikan sesak yang mulai mekar dari dadanya. Mama menatap mereka bergantian, ia tahu ada yang aneh, ada yang salah. Sejak kemarin sore, Mama dapat menyadari sikap tak biasa yang suami dan anaknya lakukan. Mereka tak sehangat biasanya. Seperti ada perang dingin dalam senyap yang terjadi di antara keduanya. Namun, sudah tak ada waktu untuk bertanya pada Zora, juga, Mama mengenal bagaimana suaminya berlaku jika ada masalah. Dan dengan terpaksa Mama harus menepis rasa penasaran itu walau itu mengganggunya.
"Zora, Ayah sama Mama balik ke Ubud dulu, ya. Kamu jangan nakal, bantuin Nenek, di sekolah juga harus bisa..."
Zora tak menggubris kata-kata Mama. Ia memalingkan pandangannya pada Ayah yang melangkah menjauh darinya, tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan sedikit pun. Hati Zora sakit menerima perlakuan dingin Ayah, tapi ia tahu penyebab utamanya adalah ungkapan rahasia terbesar soal masa lalu, atau yang lebih tepatnya masa depan, yang dimiliki Ayah. Di sisi lain, Ayah yang berjalan masuk ke dalam mobilnya, ia mengusap pelan butir air mata yang akan terjatuh dari tempatnya. Hatinya jauh lebih sakit, terisi penuh akan rasa khawatir soal masa depan yang belum terjadi. Ia masih tak dapat menerima masa depan soal dirinya yang akan meninggalkan putri semata wayangnya dengan segera.
Mereka berdua memendam perih yang berbeda, walau penyebabnya sama. Beberapa bulan lagi, tepatnya di akhir Oktober, Ayah akan pergi meninggalkan Zora. Meninggalkan Zora dengan segala cerita yang belum terangkai, dengan segala harapan besar yang sudah ia pupuk pada anaknya, dan dengan segala rasa trauma yang akan membekas pada hati Zora, selama waktu yang bisa terjadi.
Ayah dan Zora, mereka berdua sangat tak siap akan hari itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top