#16 Serangan Jantung
Sepuluh bulan telah berlalu. Dan Zora masih ada di sini, di masa lalu yang sudah pernah terjadi di kehidupannya. Ia kira, dengan mengetahui apa saja yang akan terjadi, berbagai rasa takut di hatinya akan terbunuh dengan sendirinya. Zora kira rasa-rasa itu akan mati. Tapi ternyata, tidak. Dunia tidak mengizinkannya. Rasa khawatir, sedih, kecewa, amarah... Mereka tetap kokoh merobohkan benteng kekuatan di hati Zora. Selalu bersedia menyerangnya sewaktu-waktu, memberi luka baru tepat di atas luka yang sudah Zora tambal dengan rapi. Karena nyatanya, hari ini terjadi.
Salah seorang yang tersayang bagi Zora telah pergi meninggalkan dunia. Kakek, ia meninggal kemarin malam. Jenazahnya dimakamkan siang ini setelah semua sanak keluarganya berkumpul di rumah. Termasuk Tante Surya yang harus mengejar pesawat dini hari dan terbang melintasi pulau untuk sampai ke kota kecil ini. Zora dapat melihat tangis yang dulu sudah pernah dilihatnya. Ia dapat merasakan rasa sakit karena kehilangan Kakek untuk yang kedua kalinya. Walau pikiran tentang hari ini selalu ia tolak untuk setujui, ternyata hari ini akan tetap terjadi. Zora memilih bungkam tentang hal ini kepada siapa pun, termasuk pada Ayah yang sudah tahu soal rahasia besarnya. Ia tak ingin menumbuhkan luka sebelum kepergian Kakek terjadi. Dan memilih untuk menanggung sendiri perih itu.
Hati Zora semakin sesak. Air matanya kian deras, setiap tetesnya berlomba untuk mencuat keluar lebih dahulu. Hembusan angin yang menerpa wajah Zora tak mampu untuk menghapus air mata yang berceceran sedari tadi. Tiba-tiba, Ayah sudah berada di samping Zora. Ia tak menyadari langkah kaki sang ayah yang mendekatinya. Jelas Ayah tahu Zora akan berada di sini, di tangga menjulang ke bukit yang berada di bawah Pura Dalem.
Ayah menyunggingkan senyuman kepada Zora. Wajah lelah dan mata merahnya sangat terlihat jelas akibat terjaga semalaman. Ia harus menjaga jenazah Kakek sekaligus menerima tamu yang melayat, bergantian dengan Om Jaya dan saudara-saudaranya yang lain. Tak ada setitik air mata pun di wajah Ayah. Seperti biasa, ia tak akan menunjukkan kesedihannya di depan anaknya. Walau ia tahu Zora yang ada di hadapannya pasti sudah sangat paham akan keadaannya sekarang.
"Zora tahu ini semua akan terjadi, Yah."
Ada yang salah dengan kepergian Kakek. Selama ini, yang Zora tahu adalah Kakek meninggal karena benturan di kepalanya setelah ia jatuh terpeleset di kamar mandi. Tapi, ingatan itu tak benar. Kejadian itu bukanlah fakta yang sebenarnya, karena nyatanya, Kakek meninggal karena serangan jantung. Zora sudah tak ingat akan siapa dan di mana ia mendengar ujaran itu. Ia pun tak bisa menyalahkan siapa-siapa lagi. Karena ini adalah kegagalannya.
"Semua orang bilang ke Zo kalau Kakek meninggal karena kepalanya terbentur dan pendarahan. Zora nggak tahu kalau Kakek kena serangan jantung. Zora salah. Zora... Zora udah pastiin kalau lantai kamar mandi nggak bakal licin supaya Kakek nggak jatuh tapi ternyata... Ternyata bukan itu penyebabnya. Bukan itu penyebab yang Zora ingat. Aku salah, Yah, aku salah!"
"Hei, itu bukan salah kamu," Ayah segera memeluk putrinya, "Hidup, mati... Kita nggak bisa milih. Bukan kita yang mutusin gimana takdir kita bakal terjadi."
"Aku sayang sama Kakek. Pada kesempatan kedua Zora hidup di masa lalu, Zora tetap nggak sempat nunjukkin gimana sayangnya Zora ke Kakek," ungkap Zora dalam dekap Ayah.
"Kakek pasti sudah tahu kalau kamu sayang sama dia. Kamu, kan, cucu kesayangannya," ucap Ayah.
Zora segera melepas pelukan Ayah untuk menghapus air matanya. Dipalingkannya wajahnya ke atas. Menatap langit mendung yang seakan mengejeknya, mencaci maki sikap cengeng yang selalu ada dalam dirinya. Rasanya lelah. Dunia kali ini sama saja, seakan menuntutnya untuk menyembunyikan segala pedih yang ia rasakan.
"Terkadang capek, Yah. Zora kembali ke masa ini, hal-hal nggak ada yang berbeda. Tahu alurnya, tahu ceritanya. Dan Zora tetap nggak bisa mengubah apa pun. Zora nggak tahu apa maksud semua ini, apa alasan kenapa Zora ada di sini."
...
"Mungkin, kalau hal-hal itu kamu ubah, kamu nggak bakal ada di tempat kamu berada nanti."
Pandangan Zora langsung beralih ke arah ayahnya. Ia ingin tahu tentang penjelasan dari ucapan yang seakan membangunkan otaknya untuk berpikir ulang.
"Kamu tahu, nggak, awal pertama Ayah ketemu Mama kamu... Pas itu Ayah lagi sakit, nggak enak badan. Ayah masih kerja jadi tour-guide, dan ada satu tamu yang memang jadwalnya Ayah yang antar. Owner travel sebenarnya nyuruh Ayah buat istirahat, biar digantikan sama yang lain. Tapi Ayah tetap maksa buat kerja. Nah tamu Ayah itu, namanya Mr. Tarrix dari Prancis... dia minta diantar ke toko meubel; tokonya Mama kamu. Awal mula Ayah ketemu Mama, ya gitu. Sampai kita saling jatuh cinta, menikah, dan punya kamu."
Zora tersenyum kecil. Cerita Ayah berhasil membuat pikirannya teralih. Ia tak pernah bertanya soal bagaimana orang tuanya bertemu dulu.
"Kalau misalnya Ayah ada di posisi kamu, Ayah nggak bakal mengubah semua hal. Tetap ikutin alur ceritanya, lakuin kesalahan dan kegagalan yang sama. Biar langkah Ayah tetap sampai di sini."
"Kenapa?"
"Supaya tetap jadi Ayah kamu."
Sesak di dada Zora mulai berangsur hilang, "Tapi gimana kalau anak Ayah yang lain lebih baik daripada Zora?"
Ayah tertawa, "Ya, nggak apa-apa. Asal ibunya tetap Mama kamu. Dan nanti anak itu tetap kita kasih nama Zora. Zora Ayunda Winatha."
"Jahat!"
Gelak tawa Ayah semakin merekah. Kata-kata Ayah barusan seakan membangunkan sesuatu di dalam diri Zora. Zora berharap ia tak bodoh dalam memilih pasangan. Jauh di masa depannya nanti, jika kecelakaan itu ternyata tidak merenggut nyawanya, Zora berangan untuk menemukan laki-laki penuh tanggung jawab yang akan selalu mencintai Zora sebagai pasangannya, sampai menjadi istri, lalu mencintai buah hati mereka sebesar ini. Laki-laki yang akan membina langkah Zora agar ia tak menyimpang ke arah yang salah. Laki-laki yang tak akan membiarkan air matanya jatuh. Laki-laki yang persis seperti sosok ayahnya.
Mama beruntung memiliki Ayah yang sangat mencintainya. Namun Zora jauh lebih beruntung karena ia lahir dari ayah dan ibu yang memberikan kasih sayangnya, sebesar dan setulus ini.
"Aku harap bisa punya laki-laki yang mencintai Zo layaknya cinta Ayah buat Mama."
Ayah merasa senang mendengar pujian dari Zora. Namun hatinya penasaran akan satu hal:
"Memang kamu belum punya pacar, Nak?"
Zora tertawa, "Udah, namanya Yudha. Tapi dia nggak baik buat aku. Aku baru sadar ternyata selama hubungan kita, dia cuma jadi beban. Pantesan Mama nggak pernah suka sama dia."
"Putusin, dong!"
"Nggak segampang itu, kali, Yah!"
"Kenapa kamu buang-buang waktu buat orang yang kamu sendiri tahu nggak baik buat kamu? Ayah saja selalu coba kasih yang terbaik buat hidup putrinya, masa' kamu biarin orang lain jadi parasit di hidup kamu?"
Iya, Yah, dia hanya parasit. Tapi yang perlu Ayah tahu, aku hanya ingin mencari sosok yang dapat menggantikan peran Ayah untuk menjaga langkahku, saat Ayah tak ada di sisi, nantinya. Maaf kalau salah pilih, Yah. Aku juga nggak mau akhirnya jadi seperti itu.
"Terus Ayah yang ada di masa depan bilang apa soal dia?"
Zora terdiam. Ayah tak akan berkomentar apa-apa soal pacarnya karena... Ayah tak ada di sana. Jika Ayah ada, mungkin Yudha tak akan pernah menjadi kekasih Zora. Ayah tak mungkin membiarkan Zora merasakan patah hati yang berangsur-angsur karena Yudha. Zora dapat membayangkan bagaimana sikap posesif yang akan ditunjukkan ayahnya jika ia ada di masa itu.
"Ayah juga benci, kok, sama dia," Zora berbohong, hatinya kembali merasa tak enak, "Tiap dia jemput aku ke rumah, Ayah selalu diam dan nggak pernah nyapa dia."
Ayah mengangkat salah satu alisnya, "Nggak kedengeran kayak Ayah."
"Waktu bisa mengubah orang, Yah."
"Iya, contohnya kamu. Kamu nggak seceria dan secerewet yang biasanya setelah datang dari masa depan."
... Ternyata Ayah menyadarinya. Sangat bodoh untuk Zora selalu percaya bahwa perubahan sikapnya tak akan terlihat di hadapan orang tuanya. Apalagi di hadapan Ayah yang sudah tahu akan kebenaran tentang dirinya. Zora memang tak pernah jujur soal apa yang dirasakannya, baik itu saat ini maupun saat yang akan datang. Sedari belia, Zora memang bukan sosok yang terbuka akan segala hal. Tapi dulunya, ia adalah bocah sepuluh tahun yang ceria dan selalu berbahagia. Mau berbagi tawa dengan siapa pun dan kapan pun. Semuanya berubah setelah kepergian Ayah. Zora tak bisa menutupi perih di hatinya dengan perban keceriaan. Ia tak bisa memainkan peran menjadi dirinya sendiri. Tentu saja Ayah akan menyadarinya, bahwa Zora selalu berpura-pura untuk tidak patah.
"Apa pun yang terjadi sama kamu nanti, saat dunia berbaik hati atau berbalik menyakiti... Kamu harus tahu, kalau manusia itu boleh buat sedih, boleh nangis. Tapi tetap harus tahu diri. Dalam artian, nggak akan kehilangan diri sendiri, nggak ngebiarin kesedihan semakin memakan kamu hidup-hidup..." ucap Ayah.
"Sedih itu juga termasuk perasaan. Tapi jangan ditempatkan di atas rantai makanan. Janji?"
Ayah menyodorkan jari kelingkingnya pada Zora, memberinya kode untuk membuat janji. Zora membalas dengan jari kelingkingnya juga. Teduh. Rasanya selalu teduh saat bersama Ayah. Ayah bagai tameng untuk Zora, tempat untuk sembunyi dari sadisnya dunia yang selalu menuntut sempurna. Ayah tak akan lakukan hal yang sama, Ayah hanya akan menuntut Zora untuk menjadi... Zora. Untuk menjadi dirinya, utuh, tanpa perlu berpura-pura sedikit pun.
Terima kasih, Yah. Terima kasih karena selalu mencari cara untuk membawa kebahagiaan di waktu yang kelam sekalipun. Terima kasih karena tak pernah memaksa untuk menghapus air mata karena bersedih itu juga wajar. Terima kasih untuk selalu membuatku percaya bahwa duka cita tak akan tinggal selamanya. Terima kasih sudah mengajari untuk tidak terlena dalam kesedihan.
Ada alasan kenapa Ayah sangatlah berarti bagiku. Dan inilah alasan terbesarnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top