#15 Janji Kosong

Dinding kosong di ruang tengah sudah separuh terisi oleh frame-frame foto. Ayah dan Kakek sibuk memasang bingkai demi bingkai dengan teratur. Mereka bekerja bersama sejak pagi hari. Suara pukulan palu di tembok menghiasi lengangnya rumah.

"Pak, nggak gitu masangnya. Ukuran framenya beda itu..." ucap Ayah seraya menunjuk bingkai foto yang dipegang Kakek.

"Ini di sini saja, sudah. Bagus di sini," bantah Kakek.

"Nggak gitu. Harus sejajar ukurannya."

"Dari tadi pagi belum selesai, loh, Win..."

"Kan biar enak dilihat..."

Nenek tertawa melihat perdebatan kecil antara anak dan suaminya. Sembari mengunyah pisang gorengnya, ia berjalan menuju kamar Zora. Gelak tawa terdengar dari dalam sana. Saat Nenek membuka korden kamar, Mama sedang mengepang rambut panjang Zora yang sedang fokus membaca buku di depannya.

"Jadi gitu ceritanya... Dari balita kamu nggak pernah bisa manggil Mama dengan sebutan "Bunda", kalau diajarin bilang "Bunda", pasti tetap ngomong "Mamamama"" ungkap Mama.

"Kok Zora nggak pernah tahu?"

"Terkadang kamu orangnya bisa sangat pendiam, sama kayak ayahmu. Jarang buat bertanya. Terkadang."

Baru saja Nenek duduk di atas kasur untuk bergabung dengan mereka, tiba-tiba ada suara ketukan dan ucapan salam dari pintu depan rumah. Zora yang mendengar itu langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia menerobos Nenek yang sudah berniat untuk berdiri.

"Biar aku aja, Nek!"

Zora berlari kecil ke arah pintu. Saat ia membukanya, rasa bingung ikut terbawa ke dalam rumah setelah melihat sosok yang berdiri di sana. Zora terperanjat menatap orang itu; Om Edi, ayah dari Ricki yang baru beberapa waktu lalu Zora ingat nama aslinya. Om Edi lantas tersenyum kepada Zora.

"Gek Zora... Ayahnya ada?"

Zora masih tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia mengangguk pelan, kemudian lari memanggil ayahnya. Ayah yang masih sibuk dengan dinding fotonya langsung menghampiri sang tamu. Mempersilakannya duduk di teras rumah.

Satu jam berlalu, dan pembicaraan antara Ayah dan Om Edi belumlah usai. Zora yang sedari tadi berusaha menguping dari ruang tengah tak dapat menangkap obrolan apa pun karena berisiknya suara palu Kakek. Percakapan itu terlihat sangat serius. Tak ada gelak tawa yang biasanya mereka gaungkan saat mereka berkumpul bersama. Ayah dan Om Edi memang berteman sejak dulu. Rasa ingin tahu di benak Zora akan isi percakapan mereka semakin bertambah besar. Ia sudah tak sabar. Ia merasa ada sesuatu yang salah, dan hal itu berhubungan dengan temannya, Ricki. Tak lama, Ayah dan Om Edi bangkit dari kursi mereka. Ayah terlihat menepuk pundak kawannya itu, lalu mereka bersalaman. Segera setelah itu, Om Edi pergi meninggalkan rumah.

"Edi ngapain ke sini, Mas?" Mama langsung bertanya sesaat Ayah masuk ke dalam rumah. Zora bernafas lega, setidaknya ada orang yang mewakili keingintahuannya.

"Tanya-tanya soal biaya sewa rumah di Ubud. Kayaknya mereka sekeluarga mau pindah. Istrinya nggak mau tinggal di sini, penghasilannya nggak cukup," Ayah duduk di samping Zora di depan TV, "Edi cerita kalau mereka bertengkar terus setiap hari. Malu jadi bahan omongan orang lain."

"Mas!"

Mama melotot ke arah Ayah yang terlalu bersikap terang-terangan di hadapan Zora. Ia merasa anaknya tak harus mendengar kejelasan itu. Mama lalu melirik Zora yang terlihat sangat fokus mendengar percakapan mereka dari depan TV. Sial, Zora ketahuan. Ia baru sadar kalau di hadapan Mama, ia masih seorang bocah sepuluh tahun yang belum boleh tahu kebanyakan obrolan orang dewasa.

"Aku tahu Zora sudah ngerti, kok." Jawab Ayah dengan tegang. Mama semakin memelototi suaminya.

"Ricki sering cerita ke Zora masalah orang tuanya, Ma."

Akhirnya Mama pasrah dan menyerah. Ya, benar saja. Suami dan anaknya adalah satu tim yang akan saling mendukung satu sama lain. Mama terpaksa percaya pada Zora dan membiarkan Zora mendengar semua isi pembahasan obrolan yang akan terjadi.

"Terus si Ricki gimana?" tanya Mama.

"Edi bilang, kalau mereka tetap tinggal di sini, istrinya bakal nekat pergi."

"Ninggalin suami sama anaknya?"

Ayah membuang nafasnya dengan berat, "Minta cerai, katanya."

Entah dari mana, rasa sesak perlahan hinggap di hati Zora. Itu sisa sesak dari masa yang akan datang... Masa di mana Zora tahu semuanya akan terjadi. Perceraian orang tua Ricki, kehilangan Ayah... dia tahu kalau tak akan bisa mengubah apa pun. Semua hal yang akan terjadi bagai menghakimi Zora, menyalahkan dirinya untuk kejadian-kejadian di luar kuasanya. Membuat Zora selalu bertanya-tanya apa gunanya ia berada di sini. Ini semua menyiksanya.

"Lah, Ricki-nya?"

"Ya, itu. Masalahnya tetap di anak, kan..."

Mama mulai terisak. Itulah Mama. Selalu punya rasa simpati yang mendalam pada banyak orang. Tapi, Ma, jika itu anakmu yang ada di posisi itu... Apakah Mama akan bersikap demikian? Atau, Mama akan selalu berusaha untuk menutupi perih seperti yang biasa Mama lakukan di masa nanti?

"Kasihan Ricki. Aku nggak bisa bayangin gimana anak sekecil itu nanggung semuanya sendiri..."

"Zora nggak mau kayak Ricki!"

Zora berteriak. Air mata Zora sudah jatuh dari tempatnya. Ia segera berlari meninggalkan kedua orang tuanya yang tampak terkejut dengan ucapannya. Zora masuk ke dalam kamar, membanting pintunya, dan segera naik ke atas kasur. Tangisannya semakin pecah. Zora berbaring dan menutup wajahnya dengan bantal. Mencoba membungkam suara isakan tangisnya agar tak terdengar.

Krieeet. Terdengar suara pintu yang dibuka. Zora mengigit bibirnya. Siapa pun orang yang datang, ia duduk di samping Zora. Mengelus rambut Zora dengan lembut.

"Zora... Kamu kenapa, Nak?"

Itu Mama.

"Sedih, ya, karena Ricki bakal pindah?" tanyanya lagi.

Zora masih menutupi mukanya dengan bantal. Diusapnya kedua pipinya yang sudah basah kuyup. Tangisnya belum berhenti, tapi ia segera bangun.

"Zora... Ricki, kan, belum tentu pindah."

"Kalau Ricki nggak pindah, orang tuanya bakal cerai."

Mama menghembuskan nafasnya. Ia segera tersenyum lembut ke arah putrinya,

"Jadi kamu kasihan sama Ricki, ya..."

"Gimana kalau Zora kehilangan Ayah atau Mama?" ucap Zora yang masih dipenuhi dengan isak tangisnya.

Mama tertegun, tak menyangka akan mendengar anaknya mengucapkan hal itu. Hatinya langsung sakit. Isak tangis Zora di hadapannya terasa pindah ke dalam dadanya. Namun Mama berusaha kontrol sesak itu agar Zora tak menyadarinya.

"Suatu saat nanti, mau nggak mau Zora bakal tetap kehilangan kita. Akan ada masa di mana Zora harus melepaskan kita berdua. Entah itu karena pekerjaan, cita-cita Zo, atau... kalau Zo menikah nanti. Itu sama saja dengan kehilangan, kan?"

"Zora nggak mau kehilangan Ayah sama Mama..." air mata Zora jatuh lagi, "Dari Zo kecil, Ayah sama Mama selalu sibuk kerja. Waktu yang kalian beri ke Zo selalu sedikit."

Tangis yang sedari tadi Mama tahan berusaha memberontak lebih keras. Inilah saat yang selalu ia harapkan tak akan terjadi. Mama tahu selama ini Zora merasa demikian. Namun, selagi ia bungkam, Mama berusaha tetap acuh akan perasaan Zora walau sebenarnya hatinya sakit terpisah jauh dengan sang anak. Dan sekarang, putri kecilnya mengungkapkan rasa kosong itu padanya. Sesak karena rasa takut akan hal ini segera menghujam hati Mama berkali-kali.

"Maaf, ya, sayang, Ayah sama Mama belum bisa selalu jaga kamu di sini. Tapi kamu harus coba mengerti, kita berdua kerja jauh dari kota ini... semua hanya untuk kamu, bukan untuk kita, bukan untuk kaya, bukan untuk apa pun. Kita lakuin ini agar kamu bisa hidup yang layak, yang nggak pernah kekurangan satu hal pun. Ayah sama Mama pernah hidup susah, dan cukup di kita saja, kamu jangan, ya, Nak... Selagi kita bisa usaha."

Zora memejamkan kedua matanya. Jika bisa memutar waktu ke beberapa detik yang lalu, Zora tak akan pernah mengatakan hal itu. Memang, selama ini Zora selalu merasa kesepian, tak ada orang tuanya yang menemani setiap langkah yang kaki kecilnya ambil. Tapi, biarlah Zora memendam kekosongan itu sendiri. Karena ia mengerti keadaan mereka, sungguh ia dapat mengerti. Zora kalut mengucapkan kata-kata itu. Ia merasa sangat egois.

"Mama janji... Zora nggak bakal kehilangan Ayah sama Mama. Mama janji."

Mama menyodorkan kelingking kanannya, tanda berjanji. Zora hanya bisa bungkam mendengar ungkapan janji itu. Jangan, Ma, jangan, aku memohon. Jangan buat janji yang dunia tahu tak akan bisa Mama tepati. Janji itu bagai harapan palsu untuk Zora karena ia tahu apa yang akan terjadi. Zora tak dapat membayangkan bagaimana retaknya hati Mama saat... saat di masa depan nanti, akhirnya Mama tahu kalau ia tak akan bisa menepati janji kosong yang ia buat sekarang. Zora tak akan menuntut lagi, itu bukan salah Mama, seratus persen bukan salah Mama. Zora tak ingin menaruh semua bebannya pada Mama, seperti kata Mama dulu, atau nanti.

Sementara itu, di balik pintu kamar... Ayah yang sedari tadi menguping pembicaraan Mama dan Zora, menunduk lesu. Pikirannya kacau. Hatinya sakit mendengar ungkapan Zora yang terasa bagai hantaman keras baginya. Ternyata, ketakutannya selama ini adalah ketakutan putrinya jua. Dan setelah berpikir lebih jauh, mungkin ia bisa mengubah suatu hal...

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top