#13 Putri Kecil

Ayah menatap nanar layar komputernya. Komputer tabung yang memiliki banyak radiasi, ucap Zora beberapa bulan yang lalu. Suasana kantor Ayah sudah sepi, para karyawannya baru saja pulang ke rumah. Jam di meja menunjukkan pukul 9 malam. Kondisi kantor di dalam artshop-nya sudah gelap gulita. Satu-satunya sumber cahaya hanya dari monitor lebar yang sinarnya sangat menyakiti matanya. Sebuah e-mail yang sedari tadi Ayah tolak untuk buka, perlahan terlihat mengejeknya. Ayah belum siap untuk membaca apa isi dari e-mail itu. Hanya ucapan salam di awal paragraf yang bisa dia lihat. Namun, ia tak tahan lagi. Tangannya mengarahkan mouse dan mengklik e-mail itu. E-mail dari Mr. Hebert.

Zora benar. Seratus persen benar. Isi e-mail itu adalah kabar bahagia atas lahirnya bayi yang dikandung istri Mr. Hebert. Bayinya berjenis kelamin laki-laki, lahir tepat tanggal 14 Juli. Mr. Hebert dan istrinya juga sepakat untuk memberi nama bayinya Daniel Campbell Hebert. Ia singkat menjadi "Dan" untuk memanggilnya. Mr. Hebert juga mengatakan banyak permintaan maaf karena baru bisa mengabari Ayah. Ayah tersenyum, lalu menutup web browser-nya. Dalam hatinya ia berjanji akan membalas e-mail itu esok pagi. Karena otaknya sudah buntu untuk memproses segala ucapan selamat untuk kolega kerjanya itu. Jalan pikiran Ayah dihalangi oleh semua hal tentang Zora.

Pengakuan Zora di Danau Beratan satu setengah bulan yang lalu mengusik pikirannya lagi. Segala perkiraan yang tak pasti berlomba untuk masuk ke dalam dirinya. Hatinya masih syok untuk menerimanya, tapi tak bisa ia bohongi dirinya sendiri bahwa ia sudah percaya pada anaknya. Ayah tahu Zora berkata jujur. Walau ia belum tahu mendetail akan beberapa hal. Setelah Danau Beratan, tak banyak pertanyaan yang Ayah lontarkan pada Zora tentang "kunjungan" jiwanya ke masa lalu. Ia merasa belum siap untuk mendengar semuanya. Ia tahu bagaimana rumitnya hidup, semua peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu sebelas tahun dari sekarang tak akan selalu berisi hal-hal yang baik. Zora pasti sudah merasakan pahit dan kelamnya dunia. Putri kecilnya yang selalu ia jaga sudah bertumbuh dewasa. Dan dirinya tak tahu apa-apa soal apa pun, sedangkan di satu sisi, Zora tahu.

Suara derit pintu mengagetkan lamunan Ayah. Disusul dengan suara saklar lampu yang menyala dan terang yang merambat ke dalam kantor. Sosok Mama masuk sembari membawa segelas teh hangat untuk suaminya. Ayah mengusap wajahnya, lalu tersenyum pada istrinya. Mama menaruh gelas teh itu di atas meja kerja Ayah.

"Lembur, Mas?"

"Nggak, kok. Habis baca e-mail dari Pak Jo. Ngabarin kalau anaknya sudah lahir."

Mama mendekati komputer Ayah, lalu membuka kembali isi e-mail tersebut,

"Anaknya persis kayak Pak Jo."

"Muka bayi masih berubah-ubah."

"Zora sampai sekarang masih mirip muka ayahnya."

Ayah tertawa. Ia menyeruput teh hangatnya, "Zora tadi sempat telepon?"

"Baru saja. Ngobrol sebentar, langsung tanya soal ayahnya. Katanya sekarang jarang telepon."

Hanya senyuman kecil yang menjadi jawaban Ayah untuk Mama. Pengakuan Zora merenggangkan hubungan Ayah dengan anaknya. Rasa cemas dan rasa takut menjadi langganan pada benak Ayah setelah itu. Ayah menjadi sangat berhati-hati akan berbagai hal. Dan ia tahu Zora akan menyadarinya.

"Kamu pernah ngerasa takut nggak, Mir... Saat Zora beranjak dewasa secepat itu, apa nanti dia akan jadi anak yang selalu kita harapkan?"

Mama mengernyitkan alisnya, merasa heran akan pertanyaan Ayah, "Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"

"Dari dia kecil, kita nggak bisa seratus persen rawat dia. Sampai semua ini maksa kita buat titipin dia ke tempat ibu. Aku taruh harapan dan doa besar ke anak kita, tapi aku nggak bisa selalu ada buat memantau pertumbuhan dia."

"Aku lebih ngerasa takut nggak bisa jadi orang tua yang baik buat Zora, sih, Mas."

Mama memotong pembicaraan Ayah. Membuat Ayah menyadari bahwa perkara yang ia pertanyakan sangatlah salah.

"Kamu kenapa tiba-tiba nggak kenal sama anak kita, sih, Mas?" Mama menggeser kursi lalu duduk di depan Ayah, "Zora itu anak yang mandiri, kuat. Kalau dia menginginkan sesuatu, dia pasti nggak akan menyerah buat mengejar hal itu sampai dapat. Walau terkadang, memang Zora bisa kaget dan takut akan beberapa hal. Tapi dia selalu bisa menghadapinya, pakai caranya sendiri."

Ayah tersenyum menatap Mama.

"Zora itu... dia memang bukan anak yang paling pintar di kelasnya, bukan juga anak yang aktif punya hobi, bukan juga yang ikut lomba sana-sini... Tapi sikap kemandiriannya sudah cukup untuk tunjukkin kalau dia akan selalu bisa diandalkan."

Mama benar. Walau sekarang belum terlihat, Zora tetap memiliki kelebihan yang berbeda dari anak-anak yang lain. Zora tetap anak yang mandiri walau terkadang ia bisa sangat menjadi cengeng dan merengek dalam tangis, tapi hal itu ada sebabnya. Ayah tak akan menuntut anaknya untuk selalu bersikap kuat dan tak tergoyahkan. Jika menangis itu diperlukan, maka menangislah. Yang seharusnya Ayah khawatirkan adalah caranya dalam menjadi orang tua bagi putrinya. Zora, baik di masanya sekarang ataupun nanti, dia tetaplah anaknya. Tak ada yang harus dikhawatirkan. Semua kecemasan yang Ayah rasakan hanyalah buntut dari ketakutan karena ia tak punya cukup waktu untuk menemani hari-hari Zora. Ia yakin Zora pada akhirnya akan mengerti tentang segala perjuangan yang Ayah dan Mama lakukan saat ini. Zora pasti akan mengerti bahwa orang tuanya harus mengorbankan salah satu hal. Walau faktanya adalah Zora yang harus mengalah dari pekerjaan yang kedua orang tuanya lakukan.

"Kamu benar, Mir. Aku nggak bisa menuntut Zora jadi anak yang sempurna jika aku belum bisa jadi orang tua yang sempurna buat dia."

Ayah sudah melihat beberapa gambaran dari bagaimana Zora di masa depan nanti. Dan dengan adanya jiwa Zora dari masa depan di waktu yang sekarang, seakan memberi Ayah petunjuk akan bagaimana Zora nantinya. Meski belum sepenuhnya jelas, tapi ia tahu Zora akan tumbuh menjadi perempuan yang tetap mandiri dan cerdas. Dan itu sudah cukup baginya.

"Aku tahu putri kecil kita akan jadi sesuatu yang besar, nantinya, di masa depannya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top