#1 Sedikit tentang Zora

"Kalau diberi satu kesempatan untuk bermain dengan waktu, kamu mau ke mana?"

"Ke masa di mana semuanya nggak jadi beban."

"Mau coba memperbaiki kesalahan?"

"Aku rasa, aku bukan orang yang ahli dalam memperbaiki suatu hal. Aku hanya ingin merasakan beberapa hal baik, untuk yang kedua kalinya. Supaya hal-hal itu nggak terlewat lagi."

***

Zora duduk menatap snellen chart yang berjarak beberapa meter di depannya. Sesekali ia membenarkan posisi kacamata yang digunakannya dengan harap dapat membaca huruf-huruf itu dengan lebih jelas. Setelah merasa semuanya cukup dan pandangannya tak kabur, ia melepaskan kacamata itu dan memberikannya kepada pegawai optik di sampingnya. Perempuan berumur 40 tahunan itu tersenyum menatap Zora.

"Nggak pusing, kan, Dek?" tanyanya ramah kepada Zora.

"Nggak kok, Bu. Udah jelas."

"Sebentar, ya. Saya buatkan notanya dulu."

Perempuan itu berlalu menuju meja kasir, di mana ada beberapa pegawai optik yang lebih muda sedang berbisik, membicarakan Zora. Pegawai yang baru saja melayani Zora langsung menepuk bahu salah satu dari mereka, menyuruh mereka untuk berhenti dan minggir dari meja kasir. Di sisi lain, Zora mengalihkan pandangannya keluar optik, mencari letak parkir mobil yang tadi mengantarnya. Ia sedikit menyipitkan kedua matanya, agar sinar matahari yang terlalu terang tidak menyilaukannya. Akhirnya, ia mendapati di mana letak mobil itu. Di dalamnya, Yudha—pacar Zora, terlihat sedang sibuk menelepon seseorang. Zora dengan jelas dapat melihat bahwa Yudha tersenyum dan tertawa kecil, berbicara dengan entah siapa di seberang sana. Segala hal buruk yang Zora tahu tentang Yudha, langsung menyeruak lagi di pikirannya, walau sudah ia coba untuk usir keluar.

"Notanya, Dek."

Lamunan Zora pecah. Ia langsung memalingkan wajahnya ke arah pegawai optik yang menyodorkan secarik kertas nota pada Zora. Ia melihat nominal harganya, dan segera memberikan kartu debit miliknya pada pegawai optik itu. Ada seorang pegawai optik yang lain, yang tadi sibuk berbisik membicarakan Zora, berjalan ke arahnya sambil menggenggam sebuah smartphone di tangannya.

"Kak Zora, boleh minta foto Kakak sambil pegang plastik toko kami? Untuk di-upload ke instagram optik kita," ia memohon dengan halus.

Zora yang awalnya menatap bingung pegawai optik tersebut, langsung mencoba tersenyum ramah dan mengiyakan permintaannya.

"Oh, boleh, silakan. Aku pakai sekalian, ya, kacamatanya," ucap Zora sambil membongkar plastik dan kotak kacamatanya.

"Nggak harus bayar, kan, Kak?" ucapnya lagi bermaksud bercanda.

"Ya, nggaklah," jawab Zora dengan ramah.

Pegawai optik itu memekik senang. Lalu segera mengambil beberapa gambar saat Zora tersenyum menatap kamera.

"Makasih, ya, Kak Zora. Maaf ganggu waktunya. Ngomong-ngomong, aku suka banget sama puisi-puisi Kakak di instagram."

Zora tersenyum menerima pujian itu, "Sama-sama. Aku pergi dulu, ya. Makasih semuanya." Zora melambaikan tangannya ke pegawai yang ada di optik itu, lalu bergegas keluar dari sana. Ia mempercepat langkahnya saat sadar ada beberapa orang yang menatapnya. Mereka pasti sedang memastikan kalau mereka mengenali wajah Zora. Ia tak ingin menghiraukan mereka. Pandangan Zora lurus ke depan, ke arah mobil Yudha, di mana ia masih saja asyik dengan teleponnya...

"Hai!"

Zora serasa mendobrak pintu mobil untuk masuk ke dalamnya. Setelah menutup pintu mobil, ia bernafas lega karena akhirnya dapat "kabur" dari tatapan orang-orang yang memandangnya tadi. Yudha yang terkejut akan kedatangan Zora yang tak ia ketahui, hanya bisa bungkam dan langsung menutup teleponnya tanpa berkata apa-apa lagi.

Tapi Zora tahu kalau pembicaraan dalam panggilan itu belumlah selesai.

"Udah jadi kacamatanya?"

Zora hanya bisa bergidik kecil mendengar pertanyaan basa-basi Yudha. Ia tahu Yudha mencoba mengalihkan pembicaraan agar rasa gugup yang ia rasakan dapat ditutupinya. Kacamata itu sudah jelas bertengger di punggung hidung Zora, lalu pertanyaan basi macam apa yang barusan Yudha lontarkan?

"Cocok nggak di aku?" Zora membalas dengan pertanyaan.

"Cocok, kok."

Kringgggg. Telepon genggam milik Yudha berbunyi lagi. Tanpa sengaja, Zora melihat jelas nama kontak yang tertera di layar telepon Yudha. Sebuah nama yang asing bagi Zora. Sebuah nama seorang perempuan, lebih jelasnya. Nama itu terngiang-ngiang di dalam pikiran Zora, ia coba pastikan apakah jauh di dalam memorinya tersimpan sebuah wajah dengan label nama itu. Tapi, ia tak menemukan apa-apa. Ia kalah. Hatinya mulai panas, mulai mencoba menguapkan air mata yang tersimpan rapat dalam kelopak matanya.

"Dari siapa?" akhirnya rasa muak yang Zora rasakan keluar jua. Ia dapat melihat Yudha sedikit bergetar, kebingungan.

"Mama."

"Kenapa nggak diangkat?"

Yudha memasukkan telepon genggam itu ke dalam saku celananya, "Tadi Mama titip buah. Mungkin dia kira aku lupa, makanya telepon. Padahal aku nggak lupa."

Zora menatap kaku pacarnya, muak sudah terasa di ujung tenggorokannya. Yudha mencoba bersikap tenang dengan segala alasan yang dilontarkannya. Zora tahu telepon itu bukan dari mamanya Yudha. Zora tahu ada yang salah. Zora tahu pacarnya itu berbohong. Sebentar lagi saja ia akan tercekat nafasnya sendiri karena sesak di dadanya kian menjadi.

Tapi, Zora berusaha menguatkan dirinya, lagi. Ia berusaha mengontrol segala emosi yang ia rasakan agar dapat kembali masuk ke dalam penjara di hatinya, lagi. Ia berusaha untuk tersenyum palsu di hadapan laki-laki yang sudah bersamanya selama hampir dua tahun itu, lagi. Ia berusaha mengiyakan segala omong kosong yang laki-laki itu katakan walau ia tahu kebenarannya, lagi. Ia tak berusaha bertanya lebih lanjut dan melawan, lagi.

Lagi dan lagi, Zora pura-pura menerimanya. Menerima bahwa hatinya dipatahkan lagi oleh orang yang ia sebut kekasih itu.

***

"Tara. Namanya Tara."

"GUE BILANG JUGA APA!?"

Zora dapat merasakan teriakan Raya—sahabat terdekatnya, hampir membuat tuli sebelah telinganya. Ia hanya bisa terduduk lemas, menangis sesenggukan, sambil memakan sereal cokelat kesukaannya. Dadanya sakit, sesak yang tadi siang ia rasakan masih mengebul keluar dari tempatnya. Ia bahkan tak tahu kalau ada rasa sakit sebanyak itu tersimpan di dalam dirinya. Ia kembali memakan satu suap, dua suap hingga mulutnya penuh, dan entah sudah suapan ke berapa, Zora tak akan berhenti sampai ia memuntahkan apa pun yang sudah ia telan ke lantai.

"Zo, lo kapan, sih, dengerin gue?" Raya bersikeras menahan emosinya yang sudah berada di pucuk kepala. Rasa kesal yang ada di hatinya tak dapat ia toleransi lagi.

"Gue udah sering bilang ke lo buat putusin tuh cowok brengsek. Lo udah pernah diselingkuhin sebelumnya. Cowok kayak begitu nggak mungkin bisa berubah!"

Zora mengisi penuh lagi mangkuknya dengan sereal. Ia sama sekali tak menggubris kata-kata Raya dan hanya fokus untuk memakan habis apa pun yang ada di dalam mangkuk itu. Raya semakin kesal melihat Zora yang bersikap masa bodoh dengan perkataannya, tapi ia jauh tak bisa percaya bahwa sahabatnya itu menangis sesenggukan sembari memakan habis sereal cokelat kesukaannya di waktu yang bersamaan. Dalam hati Raya, ia sedikit berharap agar Zora tersedak sendoknya sendiri, setidaknya hanya agar ia berhenti menangis. Tapi langsung ditepisnya pikiran itu, karena apa yang Raya saksikan bukanlah hal yang pertama kalinya dilakukan oleh Zora.

"Bisa berhenti, nggak? Lo hampir makan sekotak sendirian," Raya menyingkirkan mangkuk sereal yang Zora makan di hadapannya. Dengan tatapan dingin, Zora menyambar kotak sereal yang ada di sebelahnya dan langsung memakan isinya tanpa memedulikan Raya yang berdiri tak percaya di depannya.

"Lo harus mulai terima kenyataan kalau dia nggak baik buat lo."

"Gue bukannya nggak percaya dia mainin gue, Ray!" Zora berteriak, membuat Raya terkejut dan mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri, "Gue cuma nggak percaya dia bakal lakuin itu lagi."

"Mau sampai kapan lo pura-pura nggak tahu, Zo?"

"Nggak tahu, Ray. Gue cuma nggak pengin orang-orang lihat gue yang lemah, yang nggak punya siapa-siapa, yang nggak dicintai sama siapa pun. Gue nggak mau kelihatan punya ruang kosong di diri gue."

"Sejak kapan lo dengerin omongan orang lain?"

"Sejak gue sadar kalau selama ini, ternyata gue sendirian."

Raya menyerah, ia tak bisa berkata apa pun lagi. Zora jarang sekali membawa isi hatinya dalam sebuah perdebatan. Raya tahu, kalau sampai Zora melakukannya, itu berarti, di dalam hatinya sedang terjadi kekacauan yang luar biasa. Zora tak akan sepenuhnya mau jujur soal apa pun yang sedang dilaluinya, karena ia tahu betul sahabatnya itu akan lebih memilih untuk pura-pura bersikap hangat di hadapan semua orang, bahkan di hadapan para pengikut sosial medianya, lalu menangis sendirian saat tengah malam. Tapi, setidaknya, Raya merasa cukup dapat membantu Zora dalam urusan kisah cintanya dengan orang yang tak pernah mendapat kata setuju darinya. Setidaknya, ada salah satu bagian kecil dari Zora yang dapat ia gali lebih dalam, agar ia mampu mengerti dan menolongnya, membantu langkahnya agar Zora tak tersesat sendirian.

"Tara, ya..." Raya akhirnya duduk di samping Zora, "Gue cari orangnya di instagram. Pertama kita cari di akunnya Yudha, kalau nggak ada, kita ke akun kampus, dan kalau nggak ada lagi, kita cari di akun-akun promo kota ini. Biasanya cewek-cewek pasti suka follow akun diskonan," hibur Raya.

"Gue nggak," ucap Zora yang berusaha bercanda, sambil mengusap pipinya yang ia biarkan tetap basah karena air mata.

"Lo udah bisa beli apa aja, lo nggak butuh diskon," ujar Raya, "Pokoknya gue nggak bakal pulang sebelum kita nemu orangnya yang mana. Okay?"

Zora tersenyum menatap sahabatnya. Ia tahu sahabatnya itu adalah orang yang bisa diandalkan. Mungkin Zora salah soal mengklaim dirinya tak punya siapa pun dan selalu merasa melakukan apa pun sendiri. Karena nyatanya ia punya Raya yang entah kenapa masih betah menghadapinya. Raya adalah teman pertama Zora semenjak ia pindah ke Jakarta. Raya yang menolong Zora mengenal setiap seluk beluk kota ini, bahkan setiap seluk beluk soal Zora sendiri. Dan Raya adalah sahabat Zora, semenjak Zora bukanlah Zora yang sekarang.

Semenjak Zora kehilangan dirinya sendiri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top